Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103013 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Supriyanto
"Senyawa polisiklik aromatis (PAC) merupakan salah satu bahan pencemar yang selalu dijumpai di lingkungan PAC dapat berasal dar1 sumber alam maupun sumber antropogenik PAC terdiri dari beberapa golongan dan biasanya golongan-golongan tersebut membentuk campuran yang rumit Golongan PAC yang torpenting dan paling banyak dijumpai adalah golongan PAH ("poJycycllc aromatic hidrocarbon") beberapa senyawa PAH mcmpunyai sifat kan anogen dan mutagen kekuatan karsinogen PAH ditentukan oleh struktur dan gugus-gugus yang terikat pada senyawa tersebut Adapun mekanisme karsinogenesis berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap inisiasi dan tahap promosi PAC biasanya dijumpai diudara, di air, di tanah ataupun di sedimen Pada umumnya untuk mendapatkan PAC dari sampel tersebut d1lakukan dengan cara okstraksi. Analisa PAC dapat dilakukan dengan HPLC, GC, MS, MMR dan Luminesens."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Andra Sari
"Kebakaran hutan dan lahan menghasilkan asap yang diketahui mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH). Efek adanya kerusakan oksidatif pada DNA akibat paparan asap kebakaran hutan dan lahan terhadap risiko kanker diselidiki melalui deteksi biomarker 8-Hidroksi-2’-Deoksiguanosin (8-OHdG) dan 1-Hidroksipiren (1- OHP), metabolit utama piren, sebagai indikator paparan PAH dalam urin. Analisis biomarker paparan PAH dalam urin 24 jam dilakukan secara acak dalam suatu populasi di Kota Dumai, Provinsi Riau. Kandungan 8-OHdG dalam sampel urin dianalisis menggunakan HPLC detektor UV dengan fasa gerak buffer natrium fosfat 0,1 M pH 6,7 dan metanol (85:15, v/v). Sementara, kandungan 1-OHP dalam urin dideteksi menggunakan HPLC detektor flourosens dengan eluen metanol dan air (60:40, v/v). Analisis kedua senyawa tersebut dilakukan dengan kromatografi fasa terbalik mode isokratik. Hasil pengujian menunjukan bahwa 8-OHdG terdeteksi pada seluruh sampel dalam rentang konsentrasi 25,29 g/L hingga 2,16 mg/L urin (n = 11), lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 8-OHdG dalam urin individu sehat (1,42 μg/L – 4,25 μg/L). 1-OHP dalam urin juga terdeteksi dalam empat dari lima sampel yang diuji, menandakan bahwa terdapat potensi besar kerusakan oksidatif DNA akibat paparan PAH
orest fires generate woodsmoke that contain Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH). The effect of DNA oxidative damage due to woodsmoke exposure on cancer risk can be investigated through the detection of urinary 8-Hydroxy-2’-Deoxyguanosin (8-OHdG) and 1-Hydroxypyrene, main metabolite of pyrene, as indicators of PAH exposure. Analysis biomarkers of PAH exposure in 24 hours urine was performed within a population randomized in Dumai City, Riau Province. The 8-OHdG levels in urine samples were analyzed by using HPLC with UV detector using sodium phosphate buffer 0.1 M pH 6.7 and methanol (85:15, v/v) as mobile phase. Meanwhile, 1-OHP levels in urine was detected by using a HPLC with fluorosens detector using methanol and water (60:40, v/v) eluent. Analysis of both compounds was performed by reverse phase chromatography with isoratic mode. The results showed that 8-OHdG was detected in all samples with concentration range of 25.29 μg/L to 2.16 mg/L urine (n = 11), higher than urinary 8-OHdG of health person (1,42 μg/L – 4,25 μg/L). Urinary 1- OHP was also detected in four of five samples. It indicates that there was a high potential of DNA damage caused by PAH exposure"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Hary Dewanto
"Hemoglobin Adduct dapat terbentuk akibat paparan benzo[a]pyrene dalam udara yang diduga mengandung PAH. Dengan Cara mengisolasi globin kemudian mengnidrolisisnya dengan asam, hemoglobin Adduot dari benzo[a]pyrene (BaP) dapat dideteksi sebagai bentuk nidrolisatnya berupa senyavva benzo[a]pyrene tetrahydrotetro/ (BPT) dengan menggunakan HPLC-Fluoresensi fasa terbalik kolom RP-18, eluen metanol-air (55:45).
Hasil penelitian membuktikan hemoglobin Adduct teridentifikasi pada sampel daran dari pedagang asongan yang berisiko tinggi terpapar PAH. Bates deteksi (LOD) dalam penelitian ini mencapai 2,6205 pg/mg globin. Konsentrasi adduot tertinggi yang diperolen sebesar 53,3963 pg/mg globin dan konsentrasi terendan 5,7870 pg/mg globin. Terdapat indikasi pengarun faktor kebiasaan merokok pada konsentrasi adduot yang terbentuk pada sampel responden. Untuk memperkuat nubungan faktor tersebut perlu dilakukan penelitian Iebin lanjut dengan menamban jumlan sampel dan melakukan uji statistik."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S30292
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septi Riansyah
"Kualitas produk manufaktur hasil proses pemesinan selalu dikaitkan salah satunya dengan ketepatan dimensi-toleransi dan nilai kekasaran permukaan (surface roughness) dari produk hasil pemesinan tersebut. Hal inilah yang mendorong industri pemesinan khususnya pemesinan logam (metal cutting) secara terus menerus mengembangkan metode serta teknologi proses pelepasan material. Kekasaran permukaan suatu produk hasil pemesinan dapat mempengaruhi beberapa fungsi produk seperti gesekan permukaan (surface friction), perpindahan panas, aliran fluida, kemampuan penyebaran pelumasan, estetika, dan lain-lain. Oleh karena itu kekasaran permukaan menjadi salah satu standar keakuratan dan kualitas permukaan produk manufaktur. Sudah banyak metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas permukaan hasil pemesinan (menurunkan atau mendapatkan kekasaran permukaan sesuai spesifikasi yang ditetapkan) dengan melakukan pengaturan terhadap parameter pemesinan berupa: kecepatan potong, laju pemakanan, material pahat-potong, dan kedalaman potong, namun masih sedikit sekali yang menggunakan fluida pendingin baru dengan karakteristiknya sebagai parameter yang dapat mempengaruhi kekasaran permukaan hasil pemesinan untuk mengatur temperatur pemotongan. Penelitian ini merupakan salah satu kontibusi dalam teknologi manufaktur dan heat transfer dimana akan ditampilkan jenis fluida baru yang belum pernah digunakan dalam proses pemesinan yaitu nanofluida.
Banyak publikasi yang menyebutkan bahwa penggunaan nanofluida dapat memperbaiki karakteristik termal suatu fluida pendingin?khususnya peningkatan konstanta perpindahan panas, heat transfer coefficient. Fenomena inilah yang penulis manfaatkan pada proses metal cutting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek pengunaan nanofluida sebagai jenis cooling fluids baru terhadap kualitas hasil permukaan dan temperatur pemotongan dari material kerja AISI 4140 dengan menggunakan coated carbide insert. Hasil dari pengujian yang dilakukan ialah dengan konsentrasi nano partikel yang sangat kecil dibandingkan dengan volume total terdapat kenaikan karakteristik heat transfer dari nanofluida dan dengan penggunaan kombinasi antara nanofluida dengan lubricant 3.3% volume didapatkan kualitas permukaan terbaik bila dibandingkan dengan jenis fluida pendingin konvensional yang banyak digunakan dalam dunia industri.

The quality of a manufacturing product originated from machining is consistently being associated with the accuracy of dimensional tolerance and the degree of surface roughness from the machining product itself. Such evaluation drives the machining industri, particularly metal cutting to continuously develop efficient methods and technology for the material release. The surface roughness of a machining product will have major impact on several product?s functions such as surface friction, heat flow, fluid movement, lubricant spreading ability, aesthetics, etc. For those reasons, the surface roughness becomes one of the accuracy standard and surface quality measure of a manufacturing product. There has been many methods being employed to increase the surface quality of a machining product (lowering or producing the desired degree of surface roughness). One of them is done by measuring and regulating the machining parameters, e.g. slicing velocity, the cutting tools material and the depth of cut. However, there are only few methods that employ the breakthrough cooling fluid whose characteristics can influence the surface roughness of a machining product to control the cutting temperature. This paper aims to serve as a contribution in the manufacturing technology and heat transfer technology where it describes a new type of fluid that has never been implemented in machining process: nanofluid.
There are many publication state that nanofluids can improve thermal charactistic of cooling fluid?especially enhanching heat transfer coefficient. Due to this phenomenon, writer has the idea to use this nanofluid in metal cutting process. This research investigate the effect of novel cooling fluid called nanofluids on cutting temperature and surface roughness in turning of AISI-4140 steel with coated carbide insert. Low concentration of nano particle in liquid can significantly enhance the thermal characteristic of the base fluid. The result of laboratory investigation show increasing in heat transfer characteristic of nanofluid in metal cutting process. Then, combination nanofluid with lubricant with 3.3 % volume can produce better surface roughness quality of metal cutting product compare with conventional cooling fluid."
2008
S36228
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sharfina Tammy Aryanti
"Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) merupakan salah satu jenis bahan pencemar organik yang dapat dihasilkan dari pembakaran yang tak sempurna (pirogenik) ataupun dari kegiatan perminyakan (petrogenik). Pertambakan adalah salah satu kawasan yang rentan akan bahan pencemar organik. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap sedimen dan Udang Windu (Penaeus monodon) di pertambakan untuk mengetahui kadar senyawa PAH yang dipengaruhi oleh tataguna lahan dan vegetasi mangrove. Sampel yang sudah kering kemudian diekstraksi dengan soxhlet selama ± 18 jam dengan 250 mL pelarut campuran (1:1) n-heksan : diklorometan (DCM) lalu di fraksinasi menggunakan kolom berisi silika gel, alumina dan natrium sulfat dengan 40 mL pelarut campuran (1:1) n-heksan : diklorometan (DCM) untuk mendapatkan fraksi aromatik. Hasil fraksinasi kemudian dievaporasi dan diblow up dengan gas helium hingga tepat 1 mL, lalu diambil 2 μL untuk analisa dengan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry). Hasil analisa menunjukkan bahwa konsentrasi Naphthalene di sedimen Blanakan dan Marunda berkisar antara 0.0944 ng.g-1 - 9.9069 ng.g-1 dan 0.1691 ng.g-1 - 8.3503 ng.g-1. Sedangkan untuk konsentrasi benzo(a)pyrene di sedimen blanakan dan Marunda berkisar antara 2.6294 ng.g-1 - 5.2302 ng.g-1 dan 4.0760 ng.g-1 - 6.3368 ng.g-1. Konsentrasi senyawa naphthalene pada tubuh udang windu di kawasan Marunda dan Blanakan sebesar 4.7080 ng.g-1 dan 1.6322 ng.g-1 serta untuk senyawa benzo(a)pyrene di kawasan Marunda dan Blanakan sebesar 1.5367 ng.g-1 dan 1.2910 ng.g-1.

Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) is one type of organic pollutants can be produced from incomplete combustion (pyrogenic) or from petroleum activities (petrogenik). Aquaculture is one of the areas that are vulnerable to organic pollutants. In this research, analysis of sediment and tiger prawn (Penaeus monodon) in aquaculture to determine levels of PAH compounds that are affected by land use and mangrove vegetation. The dried samples were then extracted by Soxhlet for ± 18 hours with 250 mL solvent mixture (1:1) n-hexane: dichloromethane (DCM) and fractionated using a column containing silica gel, alumina and sodium sulfate with 40 mL of solvent mixture (1 : 1) n-hexane: dichloromethane (DCM) to obtain the aromatic fraction. Results of fractionation then evaporated and blow up with helium gas to exactly 1 mL, 2 μL of result then taken for analysis by GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry). The analysis shows that the concentration of Naphthalene in sediments Blanakan and Marunda ranged between 0.0944 ng.g-1 - 9.9069 ng.g-1 and 0.1691 ng.g-1 - 8.3503 ng.g-1. As for the concentration of benzo(a)pyrene in sediment Blanakan and Marunda range between 2.6294 ng.g-1 - 5.2302 ng.g-1 and 4.0760 ng.g-1 - 6.3368 ng.g-1. The concentration of naphthalene compound in prawn's body in the Marunda and Blanakan ranged from 4.7080 ng.g-1 to 1.6322 ng.g-1 and for benzo(a)pyrene compound in the Marunda and Blanakan from 1.5367 ng.g-1 to 1.2910 ng.g-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S44417
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustian Rovi Alfiansah
"ABSTRACT
Several harbours in North Jakarta have been polluted by spills of oil and their derivates. We suggest that diverse
species of crude oil and polycyclic aromatic hydrocarbon-degrading bacteria inhabit these harbours. An experiment
was undertaken in 2007 to isolate crude oil and polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH)-degrading bacteria from
oil-polluted harbours, such as Muara Baru, Sunda Kelapa and Tanjung Priok. Sea water and sediment samples
were collected twice, in March and April. Crude oil and PAH-degrading bacteria were isolated from enrichment
culture of samples in an enrichment medium (SWP), using ONR7a medium with the addition of 5 types of PAH
gases or Arabian Light Crude Oil 210 (ALCO 210) onto medium. This study reported that fluoranthene and crude
oil-degrading bacteria were the major bacteria isolated from the three polluted harbours. In total, 109 isolates have
been collected which can degrade crude oil (29% of total isolates), fluoranthene (33%), fluorene (20%), pyrene (7%),
dibenzothiopene (6%), and phenantrene (5 %). Cultivable bacteria have been isolated mostly from the Sunda Kelapa
samples, with fewer in those from Muara Baru and Tanjung Priok, respectively. Among these isolates, 5 isolates
have the capability to degrade 5 types of PAH and ALCO 210. They were Alcanivorax sp. B-1084, Pseudomonas
sp. D5-38b, Alcanivorax sp. TE-9, Bacillus sp. L41, Alcanivorax dieselolei strain B-5 clone 1. "
Jakarta: LIPI Press, 2014
550 MRI 39:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
02/Pra/p-1
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Setiawan
"Skripsi ini membahas proses dan jumlah kitosan yang diproduksi dari cangkang rajungan dan cangkang kepiting hijau, karakterisasi kitosan, dan pengujian kitosan sebagai koagulan jika dibandingkan dengan koagulan PAC (Poly Aluminum Chloride) untuk menjernihkan air sungai Kalimalang. Jumlah kitosan yang diproduksi dari cangkang kepiting hijau sebesar 12.34 gram dari 420 gram cangkang kepiting kering, dan sebesar 21 gram dari 300 gram cangkang rajungan kering. Faktor-faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah kitosan di dalam pembuatan dijelaskan di dalam skripsi ini. Karakterisasi kitosan didapat melalui pengukuran kandungan nitrogen dan derajat deasetilasi. Besar kandungan nitrogen yang didapat dari kitosan cangkang kepiting hijau, kitosan cangkang rajungan produksi 1 dan kitosan cangkang rajungan produksi 2 adalah 6.208 %, 5.5656 %, dan 5.288 %. Besar derajat deasetilasi secara berturut-turut adalah: 53.47 %, 20.57 %, 53.32 %. Penggunaan kitosan sebagai koagulan diuji dengan menggunakan metode Jar Test dibandingkan dengan PAC. Air sampel didapat dari air sungai Kalimalang dengan tingkat kekeruhan sekitar 947 NTU. Efisiensi dosis optimum cangkang kepiting hijau, cangkang rajungan produksi 1, cangkang rajungan produksi 2, dan PAC secara berturut-turut adalah 8, 40, 50, dan 50 ppm. Efisiensi removal mencapai 99 % untuk semua koagulan untuk menurunkan kekeruhan hingga batas di bawah 5 NTU. Selain itu, juga dilakukan penelitian untuk mencoba penggabungan kitosan dengan PAC dalam mengkoagulasi dan flokulasi. Kemampuan kitosan untuk mengkoagulasi juga dipengaruhi oleh nilai pH, dimana pH optimum bagi kitosan untuk mengkoagulasi air sungai Kalimalang adalah pada daerah pH netral dengan batas sekitar 7.5.

The focus of study are discuss about the process and amount of chitosan produced from blue crab shell and mud crab shell, characterization of chitosan, and observe chitosan effectiveness as coagulant compared with PAC (Poly Aluminum Chloride) in clarifying Kalimalang river. The amounts of chitosan produced from mud crab shell are 12.34 gram from 420 gram dry mud crab shell, and 21 gram from 300 gram blue crab shell. Factors affecting amount of chitosan produced explained in this study. Chitosan characterization obtained from measurement of nitrogen content and degree of deacetylation. Nitrogen content from mud crab shell chitosan, blue crab shell chitosan 1, and blue crab shell chitosan 2 are 6.208 %, 5.5656 %, dan 5.288 %. Degrees of deacetylation for each chitosan are 53.47 %, 20.57 %, 53.32 %. Performance of chitosan as coagulant measured using Jar Test method compared with PAC. Water sample obtained from Kalimalang river with turbidity 947 NTU. Optimum dose for chitosan from mud crab shell, blue crab shell 1, blue crab shell 2, and PAC are 8, 40, 50, and 50 ppm. Removal efficiencies reached to 99 % for all type of coagulant, reduced turbidity to the limit under 5 NTU. Furthermore the research also tried to integrate chitosan with PAC in coagulation and flocculation. Chitosan performance in coagulation affected by pH value, where optimum pH for chitosan to coagulate Kalimalang river water sample at neutral pH range with upper limit about 7.5."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S50699
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nastiti Soertiningsih Wijarso Karliansyah
"ABSTRAK
Salah satu masalah yang dihadapi kota Jakarta sebagai ibukota negara adalah pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor. Pencemaran udara ini disebabkan tidakseimbangnya pertambahan jumlah kendaraan dengan pertambahan panjang jalan, yang menyebabkan terjadinya kemacetan. Data menunjukkan bahwa pertambahan jalan hanya sekitar 3,5% per tahun, sedang pertambahan kendaraan rata-rata 8,25% per tahun (KPPL DKI Jakarta, 1996: 1-2).
Bergantung kadar dan lama pemaparannya, pencemaran udara dapat mengganggu dan membahayakan lingkungan hidup. Gangguan kesehatan pada manusia, kerusakan tumbuhan dan hewan, gangguan kenyamanan dan estetika, serta kerusakan benda-benda, adalah contoh gangguan yang terjadi akibat pencemaran udara (Kusnoputranto, 1996a: 214).
Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. Tumbuhan adalah bioindikator yang baik, dan daun adalah bagian tumbuhan yang paling peka pencemar (Kovacs, 1992: 7-9). Klorofil sebagai pigmen hijau daun yang berfungsi dalam kegiatan fotosintesis dan berlangsung dalam jaringan mesofil, akan mengalami penurunan kadarnya sejalan dengan peningkatan pencemaran udara (Mowli et aL, 1989: 54). Jaringan mesofil adalah jaringan pertama yang akan terpengaruh oleh pencemaran udara, di samping perubahan kadar klorofil (Heath dalam Mowli et al., 1989: 53).
Pengaruh pencemaran udara pada daun. dapat dilihat dari kerusakan secara makroskopik seperti klorosis, nekrosis; atau secara mikroskopik (anatomi) seperti struktur sel; atau dari perubahan fisiologi dan biokimia, seperti perubahan klorofil, metabolisme (Mudd & Kozlowski, 1975: 4-5; Darral & Jager, 1984: 334; Steubing dalam Kovacs, 1992: 9-10)..
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, telah dilakukan penelitian pengaruh pencemaran udara terhadap daun tanaman peneduh jalan di wilayah Jakarta Selatan.
Penelitian dilakukan di Jalan K.H. Akhmad Dahlan, Jl. Prof Dr. Supomo, SH, Jl. Jenderal Sudirman-Bunderan Senayan; dan Kebun Pembibitan Dinas Pertamanan DKI Jakarta di Cipedak sebagai kontrol. Penentuan lokasi ini didasarkan daerah yang mempunyai data kualitas udara hasil pemantauan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta, dan data tersebut digunakan sebagai data sekunder kualitas udara. Selain itu, kepadatan jalan juga menjadi kriteria pemilihannya dengan menggunakan data hasil pengamatan di lapangan dan data penghitungan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) DKI Jakarta.
Daun yang digunakan sebagai sampel adalah daun angsana dan mahoni yang ditanam sebagai tanaman peneduh di tepi jalan raya. Dengan menggunakan alat spektrofotometer, kadar klorofil daun dianalisis. Kemudian dilakukan uji Kruskal-Wallis atas hasil kadar klorofil ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada masing-masing lokasi. Selain itu, dibuat pula preparat anatomi daun dengan potongan melintang dan permukaan daun, untuk melihat perubahan yang terjadi pada sel-sel akibat pencemaran udara. Atas dasar hasil uji dan analisis tadi dievaluasi hubungan antara kadar klorofil dengan kualitas udara.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diperoleh informasi bahwa:
(1) pada daun tanaman angsana terjadi perubahan sebagai berikut:
a. kadar klorofil a dan b dengan NO, berkorelasi negatif (kenaikan NO, menyebabkan penurunan kadar klorofil),
b. kadar klorofil a dengan SO2 berkorelasi negatif (kenaikan SO2 menyebabkan penurunan kadar klorofil), dan kadar klorofil b dengan SO2 berkorelasi positif (peningkatan SO2 menyebabkan peningkatan kadar klorofil);
(2) pada daun tanaman mahoni terjadi perubahan sebagai berikut:
a. kadar kiorofil a dan b dengan NO, berkorelasi negatif (kenaikan NOx menyebabkan penurunan kadar klorofil),
b. kadar klorofil a dan b dengan SO2 berkorelasi positif (peningkatan SO2 menyebabkan peningkatan kadar klorofil);
(3) terjadi kerusakan secara mikroskopik dan makroskopik pada jaringan daun angsana dan jaringan daun mahoni, akibat NO, dan SO2;
(4) uji Kruskal-Wallis membuktikan kadar klorofil a dan b daun angsana dan mahoni pada keempat lokasi penelitian berbeda nyata;
(5) uji Kruskal-Wallis untuk kualitas udara DKI Jakarta bulan Oktober, November, dan Desember 1996 menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam NO, dan SO2.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. pencemaran udara pada umumnya mengakibatkan terjadinya perubahan pada daun tanaman, baik secara makroskopik, mikroskopik, maupun kadar klorofil;
2. pada daun angsana, hubungan antara kadar klorofil a dan b dengan NO, berkorelasi negatif; hubungan antara kadar klorofil a dengan SO2 berkorelasi negatif, dan klorofil b dengan SO2 berkorelasi positif; pada daun mahoni, hubungan antara kadar klorofil a dan b dengan NO, berkorelasi negatif; hubungan antara kadar klorofil a dan b mahoni dengan SO2 berkorelasi positif;
3. tanaman mahoni mempunyai kemampuan bertahan lebih baik terhadap pencemaran khususnya NOx dan SO2 daripada tanaman angsana;
4. daun tanaman angsana dan mahoni dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara, khususnya NO, dan SO2;
5. tanaman angsana dan mahoni yang selama ini telah ditanam di lingkungan perkotaan, memang berfungsi baik sebagai tanaman peneduh jalan dan dapat mengurangi pencemaran udara khususnya NO, dan SO2 ;
6. daun tanaman peneduh jalan dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator tahap pertama dalam pemantauan kualitas udara;
7. penelitian bioindikator lainnya masih diperlukan dalam mengidentifikasi pencemaran khususnya pencemaran udara di Indonesia; .
8. tanaman peneduh jalan sangat diperlukan sebagai peneduh jalan, penyejuk dan penyaman, mengurangi pencemaran udara, laboratorium alam, dan estetika.

ABSTRACT
Leaf Damage As Bioindicator Of Air Pollution (A Case Study of Shelter Trees Angsana and Mahoni with Air Pollutants NOx and SO2)One of the problems of Jakarta as the capital of the Republic of Indonesia is air pollution caused by motor vehicles emission. Air pollution is caused by imbalance between vehicles and road growth which cause traffic jams. Data of road growth is about 3.5% per year, and vehicles growth 8.25% per year (KPPL DKI Jakarta, 1996: 1-2).
Air pollution may disturb and create a danger to the environment in accordance with its concentration and time exposure. Human health effect, damage of plants and animals, pleasure and aesthetic effect and damage of property, all of them are examples of the air pollution impacts (Kusnoputranto, 1996a: 214).
Plant as bioindicator is one of the air pollution monitoring methods. Plant is a good bioindicator, and leaf is the most sensitive part of the plant to air pollution (Heck & Brandt, 1977: 161-162; Kovacs, 1992: 7-9). Chlorophyll as green pigment of leaves has a photosynthetic function which takes place primarily within mesophyll cells. The chlorophyll content decreases, in line with the increase of air pollution concentration (Mowli et al., 1989: 54). Mesophyll cells are the first cells which are influenced by air pollutants, in addition to changing chlorophyll contents (Heath in Mowli et al., 1989: 53).
Air pollution effect on leaf can be evaluated through macroscopic symptoms such as chlorosis and necrosis, or through microscopic symptoms such as cell structure changes; or physiological and biochemical changes such as chlorophyll content and metabolism changes (Mudd & Kozlowski, 1975: 4-5; Dural & Jager, 1984: 334; Steubing in Kovacs, 1992: 9-10).
Based on above mentioned phenomenon, a research of air pollution impact on shelter trees leaves was done in Jakarta Selatan District.
Sampling locations of this research were in Jl. K.H. Achmad Dahlan, Jl. Prof.Dr. Supomo, SH., Jl. Jenderal Sudirman - Bunderan Senayan; and at the nursery of Dinas Pertamanan DKI Jakarta as control area. These locations were selected based on air quality monitoring data done by Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta, which was used as secondary data. Traffic counts on these locations were monitored by Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) DKI Jakarta.
Angsana and mahoni leaves were used as samples of which the trees were planted as shelter trees along above mentioned roads. Chlorophyll contents were analysed by spectrophotometer. The results were analysed statistically by the Kruskal-Wallis test for chlorophyll content changes. Microscopic symptoms were also analysed through microscopic anatomic preparations of cross sectional and surface view of leaves for identifying the impacts of air pollution. Regression-correlation analysis was carried out to analyze the correlation between chlorophyll content and air quality.
Based on this research, the following informations were obtained:
(1) chlorophyll of angsana leaves changed as followed:
a. chlorophyll a and b with NOx showed a negative correlation (increased NO, caused decrease of chlorophyll concentration);
b. chlorophyll a with S02 showed a negative correlation (increased SO2 caused decrease of chlorophyll concentration), and chlorophyll b with SO2 showed a positive correlation (increased SO2 caused increase of chlorophyll concentration);
(2) chlorophyll of mahoni leaves changed as followed:
a. chlorophyll a and b with NO, showed a negative correlation (increased NOx caused decrease of chlorophyll concentration),
b. chlorophyll a and b with SO2 showed a positive correlation (increased SO2 caused increase of chlorophyll concentration);
(3) NOx and SO2 air pollutants did cause angsana and mahoni leaf tissue damage which were demonstrated microscopically and macroscopically;
(4) the result of Kruskal-Wallis test for different chlorophyll contents of angsana and mahoni leaves of those locations was significant;
(5) the result of Kruskal-Wallis test for air quality of DKI Jakarta in October, November, and December 1996 showed significant difference in NO, and SO2.
Based on this research, the following conclusions were made:
(1) air pollutants generally cause changes of tree leaves, as showed macroscopically, microscopically, and in chlorophyll contents;
(2) chlorophyll a and b of angsana leaves and NO, show negative correlation; chlorophyll a of angsana leaves and SO2 show negative correlation, but chlorophyll b of angsana leaves and SO2 show positive correlation; chlorophyll a and b of mahoni leaves and NO, show negative correlation; chlorophyll a and b of mahoni leaves and SO2 show positive correlation;
(3) mahoni has a better adaptive ability to environmental air pollution, especially NOx and SO2 than angsana;
(4) angsana and mahoni tree leaves can be used as bioindicator of air pollution, especially NO,, and SO2;
(5) angsana and mahoni trees which are grown in urban environment have demonstrated perfect functions as shelter trees and also as reducer of air pollution, especially NOx and SO2;
(6) advantages of using shelter tree leaves as bioindicator may help preliminary air quality monitoring;
(7) further research is needed to link the use of other bioindicators to identify pollution, especially air pollution in Indonesia;
(8) shelter trees are needed as shelter, air cooler, reducer of air pollution, nature laboratories, and aesthetics.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahudin
"Aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan Negara berkembang adalah pengendalian dampak negatif dari pencemaran, diantaranya adalah pengendalian dampak pencemaran udara sebagai salah satu parameter perencanaan pembangunan, dalam kaitannya dengan pencemaran udara maka diperlukan informasi yang mendasar mengenai pencemaran udara akibat kegiatan transportasi yang ada saat ini. Informasi tersebut adalah tentang karakteristik yaitu ukuran tingkat pencemaran dan prediksi dispersi pencemaran udara, khususnya pencemaran polutan senyawa kimia organik polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs). Laju pembangunan di DKI Jakarta seiring dengan peningkatan kepadatan penduduk dan frekuensi kendaraan bermotor di jalan raya menyebabkan peningkatan emisi PAHs dan particulate matter yang mengadsorbsi fase padat polutan organik PAHs diprediksi akan meningkat. Karakteristik, konsentrasi dan faktor emisi polutan udara zat organik PAHs di wilayah DKI Jakarta sebagai akibat aktifitas transportasi kendaraan bermotor ini belum banyak dilakukan di perkotaan, dan sampai saat ini juga belum ada prediksi dispersi khususnya cemaran PAHs untuk wilayah perkotaan DKI Jakarta.
Tujuan studi ini adalah (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan emisi PAHs dari kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta, (2) mengkaji karakteristik pencemar emisi kendaraan PAHs di wilayah DKI Jakarta melalui keimpahan, spesiasi, faktor emisi dan diagnosis rasio PAHs yang terbentuk, (3) prediksi konsentrasi PAHs akibat emisi kendaraan bermotor di wilayah perkotaan DKI Jakarta yang tersebar melalui pendekatan model prediksi dispersi pencemar PAHs.
Metode studi dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel udara dan partikel di udara di wilayah tepi jalan yang mempunyai potensi kemacetan, kemudian kelimpahan PAHs dilakukan dengan GCMS. Spesiasi PAHs di udara didasarkan pada bentuk fase partikel dan gas yang terdeteksi, diagnosis rasio dilakukan untuk menelusur jejak sumber emisi PAHs. Prediksi konsentrasi PAHs yang tersebar dihitung menggunakan persamaan dispersi sumber garis terbatas.
Pengolahan data menggunakan analisa statistik dan model matematis dari persamaan dispersi dengan simulasi pada jarak reseptor setiap 500 dan 1000 meter menemukan nilai faktor emisi dari fenantrena, antrasena, fluorantena, pirena, benzo(a)antrasena, krisena, benzo(b) fluorantena, benzo(a)pirena, indeno(1,2,3)pirena, dan dibenzo(a,h)antrasena. Karakteristik polutan PAHs dari kendaraan bermotor dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar yang digunakan, kondisi kemacetan lalu lintas dan stabilitas atmosfer. Tingkat polutan PAHs menuju reseptor akan semakin besar pada kondisi stabilitas atmosfer stabil dan kecepatan angin rendah.
Hasil prediksi emisi polutan PAHs dengan pendekatan dispersi ini bermanfaat untuk menentukan tingkan pencemaran PAHs yang tersebar sampai ke reseptor. Model ini lebih aktual karena memperhitungan kondisi lingkungan pada segmen jalan yang diamati, selain itu jejak sumber emisi dapat dikonfirmasi dengan cara diagnosis rasio PAHs yang tersebar.

Motor vehicles activity on the Jakarta roadway emitted pollutant into the air including polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs) pollutant and particulate matter (PM) that adsorb the solid phase of PAHs pollutants. level of PAHs and its dispersion in air pollution due to motor vehicles transport activities are required as base information for pollution control and prevention. Such information required are about the characteristics and dispersion predictions of PAHs pollutants.
The objectives of this study were (1) to find out the factors that influence the formation of PAHs emissions from motorized vehicles in Jakarta area, (2) assess the pollutant characteristics of PAHs vehicle emissions in the Jakarta area, (3) predict the PAHs pollutant concentration as impact of vehicle emissions through finite length line source dispersion model approach.
Data processing that used for statistical analysis and mathematical models of dispersion equations with simulations of distances of 500 and 1000 meters found values of emission factors from phenanthrene, anthracene, fluorantene, pirena, benzo (a) anthracene, krisena, benzo (b) fluorantene, benzo (a) pirena, indeno (1,2,3) pirena, and dibenzo (a, h).
Results of this study presented pollutant characteristics of PAHs from motorized vehicles affected by the quality of the fuel used, conditions of traffic congestion and stability of the atmosphere. The prediction of PAHs pollutants towards the receptors will be greater under conditions of stable atmospheric stability and low wind speeds. The prediction results of PAHs pollutant emissions with a dispersion approach are useful for determining exposure to scattered PAHs to receptors. This model is more actual because it calculates the environmental conditions in the observed road segments."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2614
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>