Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179257 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syarifudin
"Penelitian ini bertujuan untuk menentukan harga koefisien partisi bahan aktif vitamin E asetat dalam berbagai emolien yang berperan dalam pembawa bahan aktif untuk berpenetrasi kedalam kulit dan menentukan penetrasi vitamin E asetat melalui kulit dari formulasi krim yang mengandung emolien primer dan emolien sekunder.
Dari hasil percobaan koefisien partisi didapat nilai koefisien partisi vitamin E asetat dalam emolien olive oil, castor oil, PPG-15 Stearyl Ether dan Glycerol tri (2-ethylhexanoate) berturut-turut adalah 11.62 ± 0.52, 9.7 ± 0.11, 6.3 ± 0.042, 2.55 ± 0.07. Untuk dua emolien yaitu di-octyladipate dan polyglycerol-3 diisostearate tidak dapat ditentukan nilainya karena tidak terjadi dua fase pemisahan.
Selanjutnya dibuat formulasi krim 1 menggunakan castor oil (emolien primer, kp = 9.7) dan PPG-15 Stearyl Ether (emolien sekunder, kp = 6.3). Formula krim 2 yang terdiri dari olive oil (emolien primer, kp = 11.62) dan Glycerol tri (2-ethylhexanoate) (emolien sekunder, kp = 2.55). Dari hasil uji difusi yang dilakukan bahwa penetrasi kumulatif krim 2 lebih besar bandingkan dengan krim 1.

This study aims to determine the price of the partition coefficient of the active ingredient of vitamin E acetate in various emollien carriers involved in the active ingredients to penetrate into the skin and determine the penetration of vitamin E acetate through skin from cream formulation containing emollien primary and secondary emollien.
From the experimental results obtained partition coefficient of the partition coefficient value of vitamin E acetate in emollien olive oil, castrol oil, PPG-15 Stearyl Ether and trietilheksanoin respectively. For two of the emolien di-octyladipate and polygylcerol-3 diisostearate can not determined value because it did happen two phase separation.
Furthermore cream formulation one was made using castor oil (primary emollien, kp= 9.7) and PPG-15 Stearyl Ether (emollien secondary, kp= 6.3). Cream two formulation consisting of olive oil (primary emollien, kp= 11.62) and trietilheksanoin (emollien secondary, kp= 2.55). From the results of diffusion test conducted that the penetration of hte comulative cream 2 large compared to the cream 1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2010
S32926
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Untuk memberikan hasil yang memuaskan, bahan aktif yang tepat harus dihantarkan ke tempat yang tepat dengan konsentrasi yang tepat dan dalam periode waktu yang tepat pula. Dengan metode RPI, digunakan emolien primer guna meningkatkan kelarutan bahan aktif dan emolien sekunder guna meningkatkan tenaga pendorong dengan menurunkan kelarutan emolien primer. Evaluasi terhadap krim yang diperoleh dilakukan dengan pengamatan organoleptis, meliputi warna, bau, terjadinya pemisahan fase, pengamatan homogenitas krim, pengukuran pH, pemeriksaan konsistensi, serta pengamatan dengan mikroskop optik. Hasilnya, krim memenuhi kriteria krim yang baik. Pengujian difusi dengan alat Flow Through diffusion cell menunjukkan bahwa penggunaan isopropil isostearat dan trietilheksanoin sebagai emolien ganda mampu meningkatkan penetrasi vitamin E asetat ke dalam kulit lebih baik dibandingkan dengan formula Krim B yang merupakan formula sediaan krim yang tidak diperhitungkan kombinasi emoliennya. Hasil uji difusi Krim A adalah sebesar 22,17 ± 1,230 μg/cm2, sedangkan hasil uji difusi krim B adalah sebesar 7,97 ± 0,028 μg/cm2."
Universitas Indonesia, 2005
S32497
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fraida Aryani
"Telah dilakukan penelitian pengaruh penggunaan emolien sekunder terhadap penetrasi vitamin E asetat melalui kulit dari sediaan krim. Krim vitamin E asetat dibuat dalam tiga formula dengan menggunakan emolien sekunder yang berbeda yaitu trietilheksanoin, isopropil miristat, dan propilen glikol isostearat. Emolien sekunder yang digunakan berdasar pada pendekatan parameter lipofilisitas yang ditentukan dengan metode Relative Polarity Index (RPI). Penetrasi vitamin E asetat melalui kulit diuji dengan alat sel difusi Franz dengan menggunakan membran perut tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks vitamin E asetat dari yang paling besar adalah formula yang mengandung trietilheksanoin, isopropil miristat, dan propilen glikol isostearat yaitu masing-masing sebesar 571,56 ± 2,49 μgcm-2jam-1, 300,54 ± 2,40 μgcm-2jam-1, 266,03 ± 2,54 μgcm-2jam-1.

The influence of secondary emollient to vitamin E acetate penetration through the skin from cream dosage form has been studied. Vitamin E acetate cream was formulated by three kind of secondary emollients, trietylhexanoin, isopropyl myristate, and propylene glycol isostearate. The application of secondary emollient based on lipofilicity parameter approach, which determined by Relative Polarity Index (RPI) method. Penetration of vitamin E acetate through the skin were examined by Franz-diffusion cell and used mouse abdomen skin as membrane diffusion. This study showed the flux of vitamin E acetate cream containing trietylhexanoin, isopropyl myristate, and propylene glycol isostearate through the rat skin were 571,56 ± 2,49 μgcm-2h-1, 300,54 ± 2,40 μgcm-2h-1, 266,03 ± 2,54 μgcm-2h-1, respectively.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2007
S33021
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyono
"Teknologi sistem pengantaran bahan aktif hingga sampai organ target saat ini semakin banyak dikembangkan dalam industri kosmetika, padahal awalnya hanya diterapkan dan digunakan dalam industri farmasi saja. Hal ini karena masyarakat semakin kritis dan menyadari bagaimana kosmetika yang mengandung bahan aktif dapat mempengaruhi dan bermanfaat bagi kulit dan kecantikan mereka. Emolien primer sebagai komponen dalam sistem pengantaran bahan aktif berfungsi untuk meningkatkan kelarutan bahan aktif dalam sediaan. Hal ini penting sebab salah satu faktor penetrasi bahan aktif melalui kulit ditentukan oleh konsentrasi bahan aktif yang terlarut dalam sediaan. Vitamin E asetat merupakan vitamin yang praktis tidak larut dalam air dalam formula ini digunakan oleum ricini, oleum olivarum dan oleum arachidis yang berfungsi sebagai emolien primer dengan dasar pemilihan pendekatan parameter lipofilisitasnya. Pengujian difusi dengan alat Flow through diffusion cell selama 180 menit menunjukkan bahwa penggunaan oleum ricini memberikan hasil penetrasi vitamin E asetat sebesar 4807,12 ± 7,90 ug/cm2 , oleum olivarum sebesar 362,61 ± 1,50 ug/cm2 dan oleum arachidis sebesar 198,04 ± 0,89 ug/cm2.

The technology of active materials delivery to the target organ has been more and more developed recently in the cosmetic industry which was previously applied only in pharmaceutical industry. This is due to the people’s critical on think and awareness of now cosmetics containing active ingredients giving more advantages on the people skin appearance. Primary emollient as a component in the active materials delivery system has a function of increasing the solubility of active materials in the dosageform. This is important because one of the skin penetration factor of the active materials is determined by the concentration of the active materials dissolved in dosageform. Vitamin E acetate is practically insoluble in water and in this formula, oleum ricini, oleum olivarum, and oleum arachidis work as primary emollient based on lipofilicity parameter approach. The diffusion test with Flow through diffusion cell apparatus as long as 180 minutes showed that the use of oleum ricini gave the penetration levels Vitamin E acetate of 4807,12 ± 7,90 μg/cm2, oleum olivarum of 362,61 ± 1,50 μg/cm2 and oleum arachidis of 198,04 ± 0,89 μg/cm2.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S33027
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadyanti
"Banyak sediaan antiselulit yang beredar di pasaran dengan beragam zat aktif dan bentuk sediaan. Akan tetapi, belum diketahui bentuk sediaan dan zat aktif yang memberikan penetrasi yang lebih baik. Zat aktif yang digunakan umumnya golongan metilxantin, yaitu kafein dan aminofilin. Ada sediaan antiselulit yang menggunakan derivat vitamin A. Derivat vitamin A, tretinoin, selama ini secara topikal lazim digunakan sebagai antijerawat. Dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh tretinoin terhadap penetrasi kafein dan aminofilin secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan kulit tikus sebagai membran. Tahapan yang dilakukan adalah pembuatan dan evaluasi sediaan, serta uji penetrasi. Sediaan dibuat adalah krim, gel dan salep, mengandung kafein 3% atau aminofilin 2%, dengan atau tanpa tretinoin 0,05% pada krim dan salep serta tretinoin 0,01% pada gel. Fluks (μg.cm-2.jam-1) kafein yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 dan 55,39 ± 5,86 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; dan 63,77 ± 1,04. Fluks (μg.cm-2.jam-1) aminofilin yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; dan 22,54 ± 1,25 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78. Hasil ini menunjukkan bahwa kafein dan aminofilin dengan tretinoin dapat digunakan untuk mengembangkan formula baru dengan penetrasi kafein dan aminofilin yang lebih baik.

There are many kinds of anti-cellulite products with various dosage forms and active ingredients. On the other hand, there is not enough information about dosage forms and active ingredients which give the best skin penetration. Subtances properly used in anti-cellulite products are methylxanthines, i.e caffeine and aminophylline. There are anti-cellulite products containing vitamin A derivatives but no informations enough describing its function as an anti-cellulite. So far, vitamin A derivate, tretinoin, in topical dosage forms is widely used as anti-acne agent. In this research, the effects of tretinoin on in vitro skin penetration of caffeine and aminophylline was investigated through rat skin as membrane using Franz diffusion cell. The steps of this research were formulating and evaluating dosage forms, and testing skin penetration. Formulas were made in three dosage forms, i.e cream, gel and ointment, containing 3% caffeine or 2% aminophylline, with 0,05% tretinoin in creams and ointments, and 0,01% tretinoin in gels. All investigations were compared to caffeine or aminophylline cream, gel, and ointment without tretinoin. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating caffeine from cream, gel, and ointment without tretinoin were 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 and 55,39 ± 5,86; and with tretinoin became 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; and 63,77 ± 1,04. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating aminophylline from cream, gel, and ointment without tretinoin were 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; and 22,54 ± 1,25 and with tretinoin became 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78.. These results indicated that caffeine and aminophylline combined with tretinoin may be developed into a new formula to improve caffeine or aminophylline skin penetration.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32772
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Novitasari
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32740
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengaruh AHA (asam laktat) terhadap penetrasi kafein sebagai
antiselulit dalam sediaan krim, gel, dan salep secara in vitro telah diteliti.
Pada penelitian ini dibuat formula krim, gel, dan salep kafein yang
mengandung AHA dan tanpa AHA. Semua formula dievaluasi stabilitas fisik
selama delapan minggu pada suhu ±29ºC, ±40ºC, dan ±4ºC, meliputi
pengamatan organoleptis, pH, diameter globul, viskositas, konsistensi, uji
pemisahan fase dengan metode freeze thaw dan uji mekanik. Penetrasi
kafein secara in vitro dari krim, gel, dan salep dievaluasi menggunakan sel
difusi Franz melalui kulit tikus. Semua formula menunjukkan stabilitas yang
baik pada organoleptis, pH, diameter globul, viskositas, konsistensi, dan
metode freeze thaw. Namun, krim kafein yang mengandung AHA (krim A1),
serta salep kafein yang mengandung AHA (salep C1) dan tanpa AHA (salep
C2) menunjukkan pemisahan fase setelah uji mekanik. Studi penetrasi kafein
secara in vitro menunjukkan nilai fluks kafein pada jam ke-8 dari krim, gel,
dan salep yang mengandung AHA berturut-turut adalah 264,93±1,55 μg cm-2
jam-1, 455,83±1,43 μg cm-2 jam-1, dan 89,65±0,30 μg cm-2 jam-1. Nilai fluks
kafein pada jam ke-8 dari krim, gel, dan salep yang tidak mengandung AHA
berturut-turut adalah 126,42±0,77 μg cm-2 jam-1, 310,64±4,58 μg cm-2 jam-1,
dan 61,80±0,53 μg cm-2 jam-1. Dapat disimpulkan bahwa AHA meningkatkan penetrasi kafein secara in vitro dan menunjukkan nilai fluks kafein tertinggi
dari bentuk sediaan gel."
Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhsin Alwan
"Sinar matahari mengandung spektrum ultraviolet yang dapat memicu timbulnya radikal bebas. Radikal bebas ini terhadap kulit dapat menyebabkan efek penuaan. Diperlukan suatu sediaan krim yang dapat memperbaiki kulit dari efek penuaan tersebut dan juga menetralkan efek radikal bebas. Krim vitamin E terbukti efektif mengurangi pembentukan radical bebas oleh paparan sinar UV pada kulit, akan tetapi keuntungan penggunaan sediaan topikal ini dikurangi oleh terbatasnya jumlah zat aktif yang dapat diabsorbsi oleh kulit. Dengan penambahan emolien primer dan sekunder berdasarkan prinsip RPI telah terbukti dapat meningkatkan penetrasi vitamin E. Adanya penambahan kedua emolien tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi kestabilan fisik krim, oleh sebab itu dilakukan uji kestabilan fisik krim selama tiga bulan. Uji kestabilan meliputi penyimpanan pada suhu kamar, suhu 4°C, suhu 40°C, freeze thaw / cycling test dan uji mekanik. Parameter kestabilan yang diamati adalah organoleptis, pengukuran pH, viskositas dan diameter globul rata-rata. Hasil yang diperoleh adalah krim dengan penambahan Isopropil isostearat sebagai emolien primer dan trietil heksanoin sebagai emolien sekunder tidak stabil secara fisik pada penyimpanan 40°C, suhu kamar, dan uji mekanik dimana krim menunjukkan adanya pemisahan fase.

Sunlight has an ultraviolet spectrum which trigger the incidence of free radicals. They can cause photo aging effect on human. For that reason, one needs to repair the damage and neutralize the free radicals effect. Vitamin E cream is known can significantly decrease the UV radiation-induced radical flux in skin, however the advantages of the topical application of cream is reduced by limited amount of active ingredient absorbed by the skin. With RPI method, added a primary emollient and secondary emollient had been proven to improve the penetration of vitamin E. The primary emollient and secondary emollient added are estimated to influence physical stability of the cream. For that reason the physical stability test should be done for three months storage; including the storage at room temperature of 4°C, 40°C, freeze thaw and mechanical test. The stability parameters are organoleptics, pH, viscosity and globule s diameter measurement. This study resulted that cream with isopropyl isostearate and triethylhexanoin as the primary and secondary emollient were not stable when storage in 40°C, room temperature and mechanical test because the cream showed separation of phase.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S32826
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Ninayanti Putri
"Peptida merupakan suatu komponen bioaktif yang beberapa tahun terakhir banyak dimanfaatkan dalam produk kosmetik, terutama produk perawatan kulit yaitu sebagai antikerut. Asetil heksapeptida-3(8) adalah salah satu peptida yang mampu memberikan efek anti kerut. Peptida sebagai peningkat penetrasi melalui mekanisme mempengaruhi lipid intermolekuler lapisan tanduk. Peptida memberikan efek hidrasi, oleh karena itu Asetil heksapeptida-3(8) juga mampu memberikan efek peningkat penetrasi komponen lain dalam suatu sediaan. Vitamin C telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan anti kerut. Vitamin C akan memberikan efek sinergis sebagai antikerut apabila dikombinasikan dengan Asetil heksapeptida-3(8). Maka dibuat penelitian untuk mengetahui pengaruh Asetil heksapeptida-3(8) terhadap penetrasi vitamin C dalam sediaan serum dan pengaruh terhadap stabilitas fisik dan kimia serum. Diformulasikan serum vitamin C yang mengandung Asetil heksapeptida- 3(8) dan tanpa peptida, kemudian dibandingkan daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan kulit abdomen tikus. Jumlah kumulatif vitamin C yang terpenetrasi mealui kulit dari serum tanpa peptida adalah 20506,40 ± 8,14 μg/cm2 dan serum dengan peptida adalah 14391,91 ± 8,24 μg/cm2. Fluks vitamin C dari serum tanpa peptida adalah 2563,30 ± 1,02 μg/cm2 jam-1 dan serum dengan peptida 1798,99 ± 1,03 μg/cm2 jam-1. Dari uji stabilitas fisik, suhu rendah didapatkan paling stabil, sedangkan uji stabilitas kimia menggunakan KLT densitometer menunjukkan terjadi penguraian vitamin C pada semua kondisi penyimpanan.

Peptide is bioactive component that has been used in cosmetics in recent years, especially in skin care products because of its function as anti wrinkle substance. Acetyl hexapeptide-3(8) is on of peptide well-known by its antiwrinkle. Peptide for penetration enhancer agent through the mecanism of intermolecular affect of stratrum corneum lipids. Because of its hydration effect, Asetil heksapeptide-3(8) might enhance penetration of the other compound in a preparation. Vitamin C still has antioxidant and antiwrinkle activities. The combination of the Acetyl hexapeptide-3(8) and vitamin C result in a synergict effect producing anti wrinkle substance. Therefore, were made a research to understad the effect of Acetyl hexapeptide-3(8) on vitamin C penetration in serum preparation, and effect of those peptide on its physical and chemical stability. Two kinds of serum preparation, serum vitamin C with Acetyl hexapeptide-3(8) and without peptide. Penetration ability through skin was examined by in vitro Franz diffusion cell test using rat abdomen skin. Total cumulative penetration of vitamin C from serum without peptide and with peptide were 20506,40 ± 8,14 μg/cm2 and 14391,91 ± 8,24 μg/cm2. The percentage of penetrated vitamin C from serum without peptide and with peptide were 2563,30 ± 1,02 μg/cm2 hour-1 and 1798,99 ± 1,03 μg/cm2 hour-1. From physical test, low temperature condition shown the most stable form, while chemical stability test using TLC densitometer revealed vitamin C degradation at all temperature condition.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Zahra Nooraisha
"Ekstrak plasenta dapat digunakan sebagai pengobatan dan kosmetika, seperti produk perawatan kulit dan menghambat penuaan kulit. Ekstrak Plasenta mengandung komponenkomponen seperti asam amino yang dapat meningkatkan produksi kolagen pada fibroblast kulit. Vitamin C merupakan antioksidan yang paling sering dijumpai dan memiliki peran dalam biosintesis kolagen sehingga memiliki fungsi antiaging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penetrasi serum ekstrak plasenta dengan keberadaaan Vitamin C. Ekstrak Plasenta diformulasikan ke dalam bentuk sediaan serum untuk kulit dikombinasikan dengan Vitamin C dengan kadar 5% dan 10% (Formula C2 dan C3) dan diamati kemampuan penetrasinya ke dalam kulit dibandingkan dengan serum ekstrak plasenta tanpa Vitamin C (Formula C1) menggunakan Sel Difusi Franz selama 6 (enam) jam. Diperoleh hasil uji penetrasi Serum C1 sebesar 113,69 mg/cm2 dengan fluks sebesar 15,7 mg/cm2.jam, Serum C2 sebesar 97,52 mg/cm2 dengan fluks sebesar 11,6 mg/cm2.jam, dan Serum C3 sebesar 80,26 mg/cm2 dengan fluks sebesar 9,5 mg/cm2.jam. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa keberadaan vitamin C pada formulasi serum ekstrak plasenta dapat menurunkan kemampuan penetrasinya, yang disebabkan oleh sifat hidrofilisitasnya.

Placenta extract can be used as a treatment and cosmetics, such as skin care products, and inhibit skin aging. Placenta extract contains components such as amino acids that can increase collagen production in skin fibroblasts. Vitamin C is the most commonly found antioxidant and has a role in collagen biosynthesis so that it has an antiaging function. This study aims to determine the serum penetration profile of placental extract with the presence of Vitamin C. Placenta extract was formulated into serum dosage form for the skin combined with Vitamin C with levels of 5% and 10% (Formula C2 and C3) and observed its penetration ability into the skin compared to serum of placenta extract without Vitamin C (Formula C1) using Franz Diffusion Cells for 6 (six) hours. The results of penetration test for Serum were 113,69 mg/cm2 with a flux of 15,7 mg/cm2.hr for Serum C1, 97,52 mg/cm2 with a flux of 11,6 mg/cm2.hr for Serum C2, and 80,26 mg/cm2 with a flux of 9,5 mg/cm2.hr for Serum C3. This study concluded that the presence of Vitamin C in the serum formulation of placenta extract can reduce its penetration ability, which is due to its hydrophilicity properties."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>