Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1990
S18113
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Martunus Haris
"ABSTRAK
Pada dasarnya persediaan atau inventory dimaksudkan untuk
menghindari kemacetan operasi baik produksi ataupun penjualan,
Pentingnya persedjaan bila ditinjau dan Segi operasional.
merupakan hal yang mutlak bagi hampir semua jenis industri
terutama dalam operasi yang mementingkan kontinunitas.
Operasi perminyakan di Indonesia dilaksanakan dengan
menggunakan bentuk Kontrak Production Sharing (KPS) yang
sesuai dengan Undang?undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
(Pertamina) Pasal 12 yaitu mengadakan kerjasama dengan pihak
lain dalam rangka pencarian, pengeboran dan produksi minyak dan
gas bumi.
Manajemen persediaan untuk KPS Pertamina ini tidak dapat
lepas dari karakteristik barang untuk keperluan operasional
yaitu :
- Barang-barang untuk operasi pengeboran (drilling).
- Barang-barang untuk operasi produksi.
Barang-barang untuk keperluan operasi produksi umumnya
berupa suku cadang mesin-mesin serta barang-barang penunjang
kelancaran operasi seperti bahan kimia. Barang?barang ini tidak
secara langsung mempunyai korelasi dengan output (crude oil)
tapi dapat mempengaruhi jalannya operasi.
Pola penyediaan barang dapat dianggap ?independent demand?
sehingga dapat dianalisa dan dapat dilaksanakan dengan
menggunakan model-model persediaan yang ada.
Model model untuk Dynamic-Certain merupakan model dasar
untuk pengelolaan persediaan yang dibuat berdasarkan keadaan
untuk mengatasi masalah-masalah :
- Kapan kita harus membuat atau membelj suatu barang ?
- Berapa banyak yang harus kita beli atau dlbuat ?
liga model dasar yang dapat digunakan adalah :
- Economic lot size model
- Fixed time replenishment model
- Optional replenishment model
Model?model serta formula pengelolaan persediaan yang
digunakan oleh beberapa KPS Pertamina hampir semua KPS
Pertamina tidak menggunakan model EOQ (Economic Lot Size)
karena berbagai alasan Paling tidak ada tiga alasan mengapa
model EOQ tidak digunakan oleh kebanyakan KPS Pertamina yaitu
alasan teoritis, finansil dan operasionil.
Penerapan model Fixed Time Replenishment? merupakan
alternatif optimal untuk KPS-KPS Pertamina. Dengan periode
pemeriksaan satu bulan sekali. model ini mempunyai keuntungan
yang sarna dengan model optional replenishment yaƬtu tidak
diperlukan parameter biaya-biaya.
Untuk dapat mendukung terlaksananya manajemen persediaan
yang effektif diperlukan perangkat lunak yang mempunyai
karakteristik :
1. Mampu melayani seketika keperluan barang untuk operasi
produksi pada tingkat pelayanan yang ditetapkan oleh manejemen.
2 Mampu menekan biaya Operasional pengelolaan persediaan
dengan cara menekan biaya-biaya :
- pembelian barang untuk persediaan.
- Biaya pergudangan baik untuk barang-barang aktif maupun
barang?barang yang tak hergerak (slow moving & dead stock).
3. Mampu memberikan informasi yang akurat baik pada tingkat
operasjional maupun tingkat manajemen mengenai keadaan barang
yang ada dalam persediaan.
Alternatif pilihan model & formula dipengaruhi oleh
kondisi operasional perusahaan dan kebijaksanaan yang
digariskan oleh perusahaan mengenai manajemen persediaan.
Aspek finansil operasi perminyakan rnenyebabkan manajemen
KPS melihat biaya pembelian barang-barang persediaan sebagai
bagian dan biaya operasional yang akan segera dimintakan
kembali (cost?recovery), karena itu diusahakan agar biaya
tersebut tidak mempengaruhi biaya produksi minyak (per barrel)
dengan cara biaya tersebut harus dibebankan secara merata.
Dalam proses pemllihan formula dan model untuk KPS
Pertamina (khususnya ARII) perhatian lebib diarahkan kepada
pemenuhan persyaratan-persyaratan diatas, yaitu dengan
menghindari biaya pembelian yang fluktuatif. memperbaiki
tingkat pelayanan (service level), memperpendek lead time serta
menekan biaya?biaya operasional."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Slamet Irianto
"Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional, bahwa Pertamina sebagai pemegang kuasa atas penambangan minyak dan gas bumi dari pemerintah Rl dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam pelaksanaannya sepanjang dilakukan dengan cara Kontrak Production Sharing (KPS). Salah satu aspek yang menonjol daiam sistem KPS adalah adanya kewajiban bagi kontraktor untuk mengeluarkan biaya terlebih dahulu dan pemerintah Rl akan mengakui keberadaan biaya tersebut apabila kontraktor telah berhasil menemukan cadangan minyak. Cost recovery yang merupakan biaya yang telah diakui pemerintah dan sekaligus merupakan biaya pemulihan dari pemerintah Rl kepada Kontraktor, dalam pelaksanaannya akan diperhitungkan sebagai pengurang crude oil yang berarti akan menentukan terhadap bagian masing-masing pihak. Metodelogi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan data dokumenter serta studi kepustakaan. Dalam peIaksanaannya ternyata cost recovery telah ditetapkan dengan tidak memperhatikan pertimbangan ekonomis, terbukti dengan tidak adanya pembatasan terhadap besarnya pengembalian cost oil oleh pemerintah. Begitu pula secara akuntansi, terjadi penyimpangan dalam melakukan penghitungan penyusutan aktiva tetap. Dan dilihat dari aspek perpajakan ternyata tidak diperhitungkan baik dari aspek pertambahan penghasilan Kontraktor rnaupun sebagai penambah deductible expense. Penetapan cost recovery pada KPS Indonesia dibandingkan dengan yang berlaku di beberapa negara, ternyata jauh Iebih murah dari negara Iainnya yang melaksanakan pengusahaan migas melalui kerja sama KPS. Dengan berpokok pangkal pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa cost recovery telah ditetapkan menyimpang dari ketentuan normatif namun sesuai dengan ketentuan hukum positif yang daiam hal ini kontrak dan peraturan pendukungnya. Akibatnya, pengaruh cost recovery tidak nampak jelas terhadap penerimaan pajak. Padahal secara normatif cost recovery mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Haryanto Prayitno
"Tugas pokok yang diemban Pertamina meliputi tugas pengusahaan, yaitu usaha peningkatan produksi, pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak dan energi di dalam negeri, meningkatkan iklim investasi dan ketaatan dalam pelaksanaan ketentuan yang berlaku. Untuk itu, Pertamina melakukan kerjasama dalam bentuk Kontrak Production Sharing (KPS) dengan investor asing dengan sasaran untuk optimasi pendapatan Negara.
Baik dalam Model Perjanjian PBB, OECD dan UU pajak domestik menjelaskan kegiatan dalam pertambangan dan penggalian sumber alam sebagai adanya bentuk usaha tetap (BUT) tanpa persyaratan waktu (time test). Konsep BUT tersebut diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan (taxing right) dari suatu negara sumber (peserta perjanjian) atas laba usaha yang diperoleh perusahaan penduduk negara mitra perjanjian. Bentuk usaha tetap KPS yang telah berproduksi sebagai subyek Pajak Penghasilan dan Branch Profit Taxation.
Dalam upaya peningkatan penerimaan disektor pajak dan perluasan pengertian obyek pajak dalam UU PPh, terdapat usaha-usaha untuk memberlakukan industri minyak sama dengan industri pada umumnya yang mengakibatkan rnasalah-masalah seperti pengenaan pajak penghasilan atas overhead & technical charges kantor pusat; penggunaan tarif tax treaty untuk branch profit taxation yang tidak sesuai dengan Kontrak KPS; apakah Indonesia mempunyai hak pemajakan terhadap pengalihan working interest diantara perusahaan minyak asing di Iuar negeri; konsolidasi wilayah kuasa pertambangan (WKP) dan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 terhadap kegiatan yang dilakukan oleh BUT KPS bidang Migas.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu membahas masalah-masalah yang ditemui dalam aplikasi perpajakan BUT KPS bidang Migas dengan teori perpajakan. Sumber datanya diperoieh dari beberapa BUT KPS di Jakarta serta teknik pengumpulan datanya melalui teknik kepustakaan, wawancara dan observasi.
Dari hasil pembahasan tersebut diperoleh kesimpulan, Biaya alokasi overhead dan technical charges kantor pusat dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto BUT KPS bidang migas; Indonesia, negara dimana BUT KPS terletak, mempunyai hak pemajakan atas keuntungan yang diterima dari pengalihan working interest oleh perusahaan minyak asing kepada perusahaan minyak asing Iainnya di Iuar negeri; Perusahaan minyak asing di negara mitra perjanjian dapat menggunakan tarif tax treaty untuk branch profit taxation. Hal tersebut tidak berlaku bi|a terdapat pengecualian, seperti dalam tax treaty Indonesia dengan negara mitra perjanjian seperti Amerika Serikat, Australia dan Korea Selatan; Surat Menteri Keuangan yang mewajibkan setiap KPS/partner eksplorasi dan produksi migas mempunyai NPWP tersendiri dianggap tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan Jasa teknik, manajemen dan jasa Iainnya yang diberikan oleh BUT KPS produksi kepada BUT eksplorasi tidak dipotong PPh Pasal 23, karena dalam kontrak telah diatur, bahwa pemberian jasa tersebut tidak terkena pajak sepanjang pembebanannya at cost."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ayu Probowati
"Tesis ini membahas pengaturan tenaga kerja nasional dan pengelolaannya. Industri Minyak dan Gas Bumi (migas) yang mempunyai karakteristik khusus, yaitu padat modal, beresiko tinggi dan membutuhkan keahlian dari sumber daya manusia nya da1am mengelola cadangan migas, maka terdapat keterbatasan
jumlah tenaga kerja nasional dalam sektor ini. Untuk mengatasi keterbatasan sumber daya manusia aJam pengelolaan cadangan migas, Pemerintah menuangkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja nasional dalam kontrak Bagi
Hasil antara KPS dengan BPMIGAS. Pengutaan tenaga kerja nasional tersebut dituangkan dalam klausula pelatiban dan penempatan tenaga kerja nasional dalam KPS. Berdasarkan Kontrak Bagi Flasil tersebut, KPS wajib untuk melakukan pengembangan terhadap kompetensi tenaga kerja nasional untuk meningkatkan
keahlian pekerja dalam pelaksanaan eksplorasi dan produksi migas dan. peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang berlaku dalam industri migas khususnya, dan peraturan ketenagakerjaan yang oerlaku pada umumnya. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan dan pengemhangan tena kerja nasional, oaik untuk pekerja kontrak, pekerja tetap dan pekerja kontrak pihak ketiga (butsource ), da1am suatu KPS.

The focus of this study is for regulating and developing of national workers who worked in Production Sharing Contract Company in oil and gas sector. The Oil and Gas sector have special characteristic such as the large amount of capital needed, high risk and require a complicated technology to explore and exploited the oil and gas. The deficiency of national workers had raise in this sector. To prevent the deficiency amount of national workers get bigger, The Government of Indonesia raise the regulation"Un to the Production Sharing Contract Company to hire
national workers as a priori , and develop the national workers competency. The Production Sharing Contract Company shall obey the government policy of worker and oil and gas, subject to the Production Sharing Contract had been signed by the Government of Indonesia and Production Sharing Contract Company.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T 25705
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joedojoko Poespaningrat
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1981
S16595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Ramdan Zubir
"Industri perminyakan merupakan suatu bisnis yang penuh risiko teknik, operasional, politik maupun ekonomi- Risiko ekonomi biasanya terutama disebabkan oleh perkembangan harga minyak dan kebijakan negara yang bersangkutan dalam menentukan keuntungan yang wajar (reasonable return) bagi perusahaan minyak Kontraktor Production Sharing (KPS) melalui kebijakan fiskal maupun non fiskal.
Dalam mengembangkan industri migas secara optimal, Pemerintah ingin memberikan insentif-insentif yang menarik agar para investor kontraktor producing sharing tertarik menanamkan investasinya di Indonesia dalam bidang migas. Namun demikian Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Pajak memiliki sikap yang dapat dikatakan kontradiktif. Pokok permasalahannya, pada satu sisi pemerintah menginginkan adanya peningkatan aktivitas di bidang industri minyak dan gas bumi dengan memberikan kemudahan-kemudahan kepada Kontraktor Production Sharing dalam bentuk insentif/pembagian keuntungan yang lebih menarik, agar penerimaan negara dan hasil minyak bertambah dan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tumbuh terutama untuk Indonesia bagian timur, tetapi di lain pihak, saat ini pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak dan memperluas subjek dan objek pajak, dalam hal ini Kontraktor Producing Sharing menjadi suatu target dan berpotensi didalam penerimaan pajak. Dampak dari perluasan dan intensifikasi pajak ini secara langsung dapat menaikan biaya operasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi dan akhirnya akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi lainnya, seperti energi, penggerak mekanisme industri, teknologi, komunikasi, transportasi dan juga rumah tangga, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap investasi jangka panjang.
Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, Penulis melakukan berbagai pengujian untuk mencari suatu solusi agar para Kontraktor Producing Sharing mendapatkan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengujian dilakukan Penulis terutama dengan menggunakan metodologi observasi langsung dan studi pustaka. Dari pengujian yang dilakukan, Penulis menyimpulkan bahwa ada perbedaan persepsi antar badan Pemerintah dalam mengimplentasikan peraturan-peraturan yang terkait dengan perpajakan Kontraktor Producing Sharing. Agar tidak terjadi perbedaan persepsi, Penulis menyarankan agar Undang-undang migas direvisi dan disinkronisasi dengan undang-undang di bidang perpajakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Balya
"Sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi merupakan somber kekayaan alam Indonesia yang yang sangat strategis dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). BP MIGAS merupakan kepanjangan tangan Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi pada Wilayah Kerja yang ditentukan. Dalam pelaksanaannya, BP MIGAS melakukan ikatan kerjasama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap ("Kontraktor") dalam suatu kontrak yang disebut Production Sharing Contract (Kontrak Production Sharing). Konsep yang dianut oleh Kontrak Production Sharing adalah bahwa Kontraktor bertanggung jawab untuk menyediakan permodalan dan pendanaan atas biaya operasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Apabila Kontraktor berhasil memasuki Fase produksi komersial maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dikembalikan (cost recovery) oleh Pemerintah melalui BP MIGAS. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang minyak dan gas bumi dan Kontrak Production Sharing memberikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab Kontraktor. Pemerintah juga telah membuat Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang mengatur mengenai tata cara penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang antara lain mengatur mengenai kriteria calon Kontraktor yang dapat ditunjuk untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Kontraktor yang telah menandatangani Kontrak Production Sharing dengan BP MIGAS memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sendiri oleh Kontraktor. Namur dalam pelaksanaannya seringkali timbul permasalahan hukum berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab Kontraktor. Kontraktor seringkali menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya yang pada akhirnya banyak menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Kontraktor. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana sebenarnya hambatan-hambatan yang sering dihadapi Kontraktor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dan apa solusi atau jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Kontraktor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magfur S.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1981
S16753
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>