Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15634 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Lontar ini berisi teks Arjunawiwaha Kakawin, dimulai dengan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, memohon anugrah para dewa untuk membantu kakaknya (Yudistira) dalam memimpin roda pemerintahan di Astina. Kegagalan para bidadari yang dengan segala rayuan menggoda diri Arjuna, menjadikan para dewa semakin yakin akan kemampuan Arjuna yang akan dimintai bantuan dalam memerangi Niwata Kawaca, yang selalu mengganggu Sorga. Mendengar berita tersebut, dengan segera Niwata Kawaca mengutus Momo Simuka (patih andalannya) untuk mengamati sekaligus menggempur tapa Arjuna. Sementara itu, Dewa Siwa pun secara diam-diam menuju gunung Indrakila untuk menguji kemantapan tapa Arjuna. Beliau menyamar menjadi seorang pemburu. Dengan kekuatan yang maksimal, Momo Simuka dalam wujud babi besar mulai mengguncang-guncangkan gunung Indrakila. Arjuna terperanjat seraya mementangkan panahnya ke arah babi tersebut dan tepat mengenai sasaran, yang bersamaan dengan anak panah Dewa Siwa. Kedua anak panah tersebut menyatu, sehingga menimbulkan pertengkaran antara Arjuna dengan Dewa Siwa dalam wujud pemburu. Pertengkaran berakhir, saat Dewa Siwa menampakkan wujud yang sebenarnya yang tengah duduk di atas bunga teratai. Arjuna bersembah sujud, kemudian dianugrahi panah sakti penuh kramat yang bernama panah Pasupati. Akhirnya dengan panah sakti anugrah Dewa Siwa inilah, Arjuna dapat membunuh Niwata Kawaca lewat peperangan sengit dan dahsyat, sehingga Sorga aman kembali. Teks berakhir dengan upacara perkawinan Arjuna dengan bidadari Supraba dengan penuh meriah dan kebahagiaan. Teks Ajunawiwaha ini disertai arti dalam bahasa Bali, isinya sama dengan FSUI/CP.3 (Arjunawiwaha Parikan), hanya dibedakan dalam hal bentuk dan penggunaan bahasanya. Arjunawiwaha Parikan merupakan saduran dari versi kakawin yang diungkapkan dalam bentuk sekar alit atau macapat berbahasa Bali. Sedangkan Arjunawiwaha Kakawin, diungkapkan dengan sekar ageng atau tembang kawi. Suatu catatan tambahan bahwa dalam teks ini disertai titik-titik berbentuk garis lengkung untuk memudahkan pemenggalan kata-kata dalam membaca teks kakawin yang disesuaikan dengan guru basa. Pada h.l28b disebutkan bahwa naskah ini diturun oleh Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), hari Selasa Paing, Julung Pujut, Sasih Asada, 1813 Saka (1891). Naskah ini semula merupakan milik I Gusti Ketut Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, yang pernah disalin untuk dihaturkan kepada Raja Sasak sebagai oleh-oleh. Terdapat catatan tambahan lagi pada h.la yang menyebutkan Arjunawiwaha Marti, I. G. Jlantik, magang bestir Sasak, 1896. Pada saat I G. Pt. Jlantik bertugas di Sasak, beliau pernah menyuruh seorang juru tulis Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), untuk menyalin Kakawin Arjunawiwaha milik I G. Kt. Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, sebagai oleh-oleh kepada Raja Sasak, tahun 1813 Saka (1896). Pada tahun 1896 naskah ini menjadi milik Ida I G. Pt. Jlantik, di Singaraja Bali. Informasi mengenai daftar pupuh/metrum dapat dilihat dalam Zoetmulder 1985; dalam I. Kuntara Wiryamartana 1990; dan lihat Kakawin Arjunawiwaha, bentuk cetakan (teks dan terjemahan dalam bahasa Bali, yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar, Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tahun 1988). Untuk teks-teks lain dengan judul Arjunawiwaha Kakawin, lihat pada Pigeaud 1970: 176; MSB/L.45-47, 67, 206; Brandes I: 130-146; SMP/MN.379.2, MN.473.1; Kirtya 1092."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.4-LT 229
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah saduran dalam bahasa Bali ini bertembang macapat, diambil dari epos Arjunawiwaha, di sini berjudul Arjunawiwaha Parikan. Teks berawal dengan uraian tentang ketekunan tapa sang Arjuna di Gunung Indrakila, untuk memohon anugrah agar dapat membantu kakaknya (Yudistira) dalam memegang tampuk pemerintahan di Astina. Berkali-kali para bidadari merayu Arjuna dengan segala kemesraan, namun tetap tidak berhasil. Bidadari merasa kecewa, tetapi hasrat para dewa di Surga yang akan minta bantuan Arjuna semakin yakin akan kemampuan (Arjuna) untuk bisa mengalahkan Niwata Kawaca yang tengah mengganggu keamanan di Surga. Berita ini didengar oleh Niwata Kawaca. Niwata Kawaca segera menyuruh Patih Momo Simuka untuk menyelidiki serta menggempur tapa Arjuna. Dalam waktu yang sama, Dewa Siwa yang berubah menjadi seorang pemburu telah menuju pertapaan Arjuna untuk menyelidiki secara dekat kemantapan tapa Arjuna. Dengan wujud seekor babi besar Momo Simuka mengguncang-guncang Gunung Indrakila dengan kekuatan maksimal. Melihat kejadian ini, Arjuna segera mementangkan panahnya ke arah babi tersebut. Anak panahnya tepat mengenai sasaran. Saat itu pula, anak panah Dewa Siwa melesat ke arah babi itu, dan kedua panah tersebut menyatu. Akhirnya terjadilah perang mulut antara Arjuna dengan Dewa Siwa, dalam memperebutkan anak panahnya masing-masing. Pada saat itu, secara tiba-tiba Dewa Siwa yang tengah berwujud seorang pemburu, kembali wujud sebagai Dewa Siwa yang sebenarnya yang sedang duduk di atas bunga teratai. Arjuna bersembah sujud dan akhirnya dianugrahi panah sakti yang bernama panah Pasupati. Dilanjutkan dengan tipu muslihat Arjuna yang didampingi Bidadari Supraba dalam menyelidiki letak kesaktian Niwata Kawaca. Setelah rahasia kesaktian Niwata Kawaca diketahui, tidak lama kemudian meletuslah perang sengit antara pihak Surga dengan Niwata Kawaca. Dalam perang sengit yang cukup memakan korban ini, Niwata Kawaca dapat dibunuh oleh Arjuna dengan panah saktinya. Teks berakhir dengan keadaan Surga yang semakin aman, karena musuh sakti telah tiada, dan rakyat yang menjadi korban dapat dihidupkan kembali. Untuk naskah-naskah lain dengan teks Arjunawiwaha Parikan, lihat Kirtya 1264 dan 694. Daftar pupuh: (1) sinom; (2) pangkur; (3) sinom; (4) durma; (5) sinom; (6) durma; (7) sinom; (8) pangkur; (9) sinom; (10) pangkur; (11) sinom; (12) durma."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.3-LT 208
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Corry Hadi
"Skripsi ini membahas mitos bidadari yang terdapat dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mitos bidadari dalam cerita dan fungsinya sebagai mitos. Teori mitos adalah teori yang digunakan dalam menganalisis mitos bidadari dalam Kakawin Arjunawiwaha dan dengan teori mitos tersebut, fungsi dari mitos bidadari akan didapatkan. Penelitian ini menggunakan metode analisis-deskriptif dan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan bahwa bidadari memiliki peranan penting dalam cerita dan ada lima fungsi mitos bidadri dalam Kakawin Arjunawiwaha."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S11726
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi teks Bhomakawya, mengisahkan kemenangan Kresna atas Bhoma. Tersebutlah sebuah pertapaan kosong dan rusak. Samba, putra Kresna mendapat berita dari seorang murid Bagawan Wiswamitra, bahwa pertapaan tersebut adalah bekas pertapaan Sang Darmadewa. Setelah Darmadewa wafat, istrinya yang bernama Yadnyawati bertapa di situ juga, tetapi kemudian membakar diri. Mendengar berita itu, Samba menjadi ingat bahwa Darmadewa sesungguhnya dia sendiri. Dia sangat merindukan Yadnyawati (istrinya), dalam kerinduan tersebut datang bidadari Tilotama, seraya mengabarkan bahwa Yadnyawati telah menitis pada putri Raja Utara Negara dan tetap bernama Yadnyawati. Ia diasuh oleh Bhoma, karena kedua orang tuanya gugur di tangan Bhoma. Secara diam-diam, diiringi oleh Tilotama, Samba menjumpai Yadnyawati. Perbuatan itu diketahui oleh Bhoma, dan Yadnyawati segera dibawa ke kraton Prajostisa. Akhirnya Samba kebingungan dan menjadi gila atas kehilangan Yadnyawati. Para dewa minta tolong kepada Kresna, karena Bhoma akan menggempur Keindraan. Prabhu Kresna segera turun ke medan laga dan bertempur secara dahsyat dengan Bhoma. Dalam pertempuran itu Bhoma mati. Dengan kematian Bhoma ditangan Kresna, maka Samba dapat bertemu lagi dengan Yadnyawati. Penomoran h.l dilakukan dua kali, masing-masing diletakkan pada akhir teks (dalam keadaan rusak), dan di awal teks (dalam keadaan baik). Keduanya terdiri dari dua lempir dikancing dengan kawat pada ketiga sisi lubang. Kiranya Bhomakawya FSUI/CP.81 ini belum tamat ceritanya, karena h. 121 (lempir terakhir) belum menampakkan akhir teks, kemungkinan ada beberapa lempir teks yang hilang (h.122 dan seterusnya). Teks ini tidak menyebutkan data penulisan atau penyalinannya. Namun dilihat dari bentuk, corak tulisan, maupun bahan yang dipakai, dapat dikatakan dihasilkan di Bali. Informasi tentang daftar pupuh dari Kakawin Bhomakawya ini, lihat Kakawin Bhomakawya (edisi cetak) yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, pada tahun 1988. Keterangan referensi, lihat pada Brandes I: 185; Vreede: 391; Juynboll I: 128, II: 491; Pigeaud 1970: 195; MSB/L.91, 100, 431, 432; Pratelan I: 10; PNRI/ 27 L 554, 23 L 559, 37 L 728."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.81-LT 233
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini memuat dua teks, yaitu Kakawin Indrawijaya (h.1-26) dan kakawin Lambang Pralambang (h.1-21).
Kakawin Indrawijaya menguraikan kemenangan dewa Indra dalam memerangi raksasa sakti yang diciptakan Twasta Prajapati. Teks diawali dengan kecemburuan Twasta Prajapati kepada Dewa Indra. Dengan ketekunan semadinya, Twasta Prajapati berhasil memperoleh seorang putra berkepala tiga bernama Trisirah. Raksasa ini pun sangat tekun bertapa brata, sebagai upaya untuk merebut Keindraan (Surga Indra). Dewa Indra mengutus para bidadari untuk menggodanya, namun sia-sia. Akhirnya Dewa Indra membunuh Trisirah dengan senjata bajra, ketiga kepalanya dipotong-potong oleh Wiswakarma.
Twasta Prajapati menciptakan raksasa kedua bernama Wreta, ditugaskan untuk memerangi Dewa Indra. Raksasa ini tidak dapat mati baik siang atau malam, tidak dapat dibunuh dengan senjata apa pun walaupun berasal dari bahan keras maupun cair. Dewa Indra hampir saja kalah dalam peperangan. Para dewa berupaya untuk menjadikan Wreta menguap, sehingga banyak korban dapat meloloskan diri. Melihat situasi yang demikian itu, Dewa Wisnu pun turut turun tangan, serta menasihati para dewa agar pura-pura bersahabat dengan raksasa Wreta.
Raksasas Wreta dapat diperdaya sehingga bersedia mengungkapkan rahasia kelemahannya. Akhirnya ketika bertemu di tepi laut, Dewa Indra dapat membunuh Wreta di waktu senja (pertemuan siang dan malam) dengan buih (bukan keras atau cair), yang dimasuki Dewa Wisnu.
Dewa Indra pergi dari Surga karena merasa berdosa atas terbunuhnya Trisirah (seorang Brahmin) dan Wreta. Nawusa (dari bumi manusia) menggantikan kedudukannya dan menuntut hak atas Saci (permaisuri Indra). Para dewa beserta Saci segera mencari Dewa Indra, akhirnya dapat ditemukan di persembunyian dalam sebatang bunga teratai. Indra menyuruh Saci untuk bersedia menikah dengan Nawusa, asal bersedia datang ke pernikahan dengan sebuah tandu yang dipikul para resi.
Nawusa menyetujui serta melaksanakan segala permintaan Saci. Akhirnya Nawusa dihukum dan dikutuk menjadi seekor ular selama sepuluh juta tahun karena menghina para resi. Indra pun kembali ke Surga.
Keterangan pada h.26a (Indrawijaya) menyebutkan bahwa, naskah ini merupakan karya Betara di Sinduwati, selesai ditulis pada hari Kamis Julungwangi, di Lombok pada tahun 1722 Saka (1799 Masehi). Naskah yang semula karya Betara Sinduwati ini telah disalin atau diprakarsai (?) oleh Ida I Gst. Pt. Jlantik sewaktu menjadi camat di Sukasada Buleleng, tahun 1918. Hal ini diperkuat dengan keterangan h.1a yang menyebutkan jlantik (t.t) punggawa distrik sukasada, 1918.
Keterangan tentang teks Kakawin Indrawijaya da"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.25-LT 223
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar asal Bali ini berisi teks Kresnandaka (juga berjudul Kakawin Kangsa). Menurut Pigeaud (1980:118), kakawin ini mungkin merupakan kreasi relatif baru.
Teks ini diawali dengan kisah para Yadu, Wresni, dan Andaka di negara Madura di bawah pimpinan Raja Basudewa. Tersebutlah Kangsa, keturunan raksasa Lawana, berbuat sewenang-wenang dan menindas para Yadu. Atas ulah Kangsa ini, menjelmalah Dewa Wisnu lewat rahim istri Basudewa. Pada saat itu Sanghyang Narada sempat mendatangi Kangsa dan meramalkan bahwa dalam waktu dekat Kangsa akan tertimpa musibah, karena musuhnya sedang dalam kandungan ibunya.
Mendengar berita ini, Kangsa segera memerintahkan pra raksasa untuk membunuh setiap wanita yang sedang hamil tanpa kecuali. Namun istri raja Basudewa dapat diselamatkan sampai bayi yang tengah dikandungnya lahir dengan selamat. Banyak cara dilakukan Kangsa untuk dapat membunuh bayi tersebut, namun hasilnya sia-sia. Kedua kesatria putra Basudewa (Kresna dan Baladewa) dapat diselamatkan dalam persembunyian di bawah pengwasan Wabru, yang semakin hari semakin gagah, tampan, dan terlukis sifat kesatriannya.
Kangsa semakin bingung untuk melacak dan membunuh kedua putra Basudewa itu. Akhirnya Kangsa memutuskan untuk mengadakan pertandingan adu senjata secara besar-besaran antara pihak Yadu dengan pihak raksasa di Magada. Upaya ini dilakukan dalam rangka membunuh Kresna dan Baladewa.
Berita yang menarik perhatian Kresna dan Baladewa ini cepat didengarnya. Keduanya memutuskan untuk melihat tempat adu senjata, walaupun sebelumnya dilarang keras oleh Wabru. Di tengah perjalanan mereka menemui halangan dan dicegat oleh seekor buaya raksasa dan seekor naga raksasa. Keduanya dapat dibunuh dengan mudah oleh Kresna dan Baladewa. Ternyata buaya dan naga itu jelmaan widyadari. Atas keberhasilan ini, Kresna mendapatkan senjata Cakra Sudarsana dan Baladewa mendapatkan senjata Bajak (Tenggala).
Sesampai di tempat pertandingan, Kresna dan Baladewa bergabung dengan pihak Yadu. Mereka tidak ada yang mengenalnya kecuali Wabru dan Basudewa yang merasa senang dan yakin atas keberanian kedua putranya. Tak terhitung korban di pihak raksasa, malahan pemimpin-pemimpinnya dapat ditewaskan oleh kedua putra Basudewa.
Melihat kenyataan itu, akhirnya Kangsa memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tidak lama, Kangsa pun menemui ajalnya terbunuh dengan senjata Cakra Sudarsana oleh Kresna. Para raksasa yang tersisa semuanya dimusnahkan. Para dewa sangat gembira menyaksikan keberhasilan Kresna jelmaan Wisnu itu. Akhirnya suasana kembali damai dan sejahtera, karena para Yadu yang tewas dapat dihidupkan kembali oleh Dewa Indra.
"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.26-LT 218
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks Gatotkacasraya yang berbentuk kakawin ini, diawali dengan kisah Abimanyu, putra Arjuna yang dititipkan di Dwarawati ketika para Pandawa dibuang ke hutan selama 12 tahun. Abimanyu sangat disayangi oleh Kresna, bahkan timbul keinginan untuk menjodohkannya dengan Siti Sundari. Siti Sundari berniat pergi ke hutan untuk mengikuti cara hidup sederhana para pertapa. Abimanyu turut bergabung dengan para prajurit pengawal. Mereka berdua akhirnya saling jatuh cinta. Hubungan mereka tidak berlangsung lama, sebab Siti Sundari akan dijodohkan dengan Laksanakumara, anak Duryudana. Abimanyu bertekad mempertahankan Siti Sundari dengan taruhan nyawa. Baladewa sangat marah mendengar berita tentang hubungan mereka, dan ingin segera menikahkan Siti Sundari dengan Laksanakumara sebelum Kresna kembali ke kraton. Abimanyu melakukan semadi mohon anugerah dewa. Pada saat itu, Karalawakra, abdi Dewi Durga menyergap Abimanyu untuk dipersembahkan kepada Dewi Durga. Berkat mantra sakti yang dilontarkan Abimanyu, Dewi Durga urung memangsanya, bahkan memberi nasihat agar dia minta bantuan Gatotkaca di Kurubaya. Kisah dilanjutkan dengan upaya Gatotkaca dan Abimanyu merebut Siti Sundari. Gatotkaca menyamar sebagai Siti Sundari. Upaya ini diketahui Bajradanta dan segera melaporkan kepada Laksanakumara. Terjadi pertempuran sengit antara Gatotkaca dengan Bajradanta yang menyamar sebagai Laksanakumara. Bajradanta akhirnya tewas. Duryadana sangat murka mengetahui kematian Bajradanta, sehingga berniat menggempur Dwarawati. Niatnya dapat dicegah oleh Baladewa. Tentara Korawa menyerang para Yadu, namun dapat ditangkis oleh Gatotkaca dan Abimanyu. Baladewa hampir saja bertriwikrama dalam wujud yang menggetarkan, jika perintah untuk menghentikan perang tidak ditaati. Dalam suasana kemurkaan seperti itu, datanglah Kresna meredakannya. Teks berakhir dengan pesta pernikahan antara Abimanyu dengan Dewi Utari dan Siti Sundari. Naskah selesai ditulis pada hari Sabtu Manis, Medangkungan, th 1738 (1816 M) i Sasak (h.50a). Suatu catatan tambahan yang terdapat pada h.la menyebutkan: Gatotkacasraya, I G. Jlantik (t.t), magang bestir residen, 1896. Juga pada h.50b menyebutkan: druwen Ida I Gusti Putu Jlantik, ring Singaraja, 1896. Dengan demikian, naskah yang semula ditulis dan berada di Sasak (1816 M), kemudian disalin menjadi milik Ida I Gusti Putu Jlantik tahun 1896, di Singaraja Bali."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.24-LT 216
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Leiden: KITLV Press, 2008
899.221 ARJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mpu Sedah
"Lontar asal Lombok ini berisi teks Kakawin Bhadratayuddha, karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh semasa Prabu Jayabaya di Kediri, bertarikh 1157. Teks lengkap, genap 52 pupuh. Untuk daftar pupuhnya lihat Brandes I: 165-167; lihat juga edisi Gunning (1903), terjemahan Hooykaas dan Poerbatjaraka (1934), dan uraian dalam Zoetmulder 1983: 323-332. Naskah disalin pada tahun 1909, oleh Wiprawuruju Waksa, di pura I Gusti Putu Griya, Cakranagara, Lombok. Naskah ini diperoleh I Gusti Jlantik pada tahun 1910 di Singaraja, Bali. Untuk keterangan tentang naskah-naskah yang berisi teks Bhadratayuddha, lihat LOr 1880, 9479. 3627 (2), 3881 (13), 3919 (2,4), 4118; Kirtya 826 di Singaraja; KBG 110, 123, 124, 149, 167, 233-235, 244, 272, 290, 292, 533, 601; Juynboll 11:6, 501; MSB/L.65-66, 68-71, 74-77, 167, Pr.52, T.3, W.9, 49, 58; SMP/ KS.430, MN.470-473, Rp.97."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.8-LT 232
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar ini berisi teks Kakawin Sutasoma, yaitu kisah upaya Sang Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma. Sutasoma, putra Prabu Mahaketu dari kerajaan Astina, lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahandanya menjadi raja. Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semadi di sebuah candi dan mendapat anugerah. Kemudian beliau pergi ke gunung Himalaya bersama beberapa pendeta. Di sebuah pertapaan, beliau mendengar cerita tentang raja raksasa bernama Prabu Purusada yang gemar makan daging manusia. Para pendeta dan Batari Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Sutasoma menolak bujukan tersebut karena ingin melanjutkan perjalanan. Beliau bertemu dengan raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Keduanya takluk dan bersedia menjadi muridnya untuk mempelajari agama Budha. Sutasoma juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri. Dalam perkelahian ini Sutasoma mati tetapi dihidupkan kembali oleh Batara Indra. Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada). Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan minta perlindungan Sutasoma. Prabu Dasabahu yang terus mengejar, akhirnya tahu bahwa Sutasoma itu sepupunya, lalu diajak ke negerinya dan dijadikan ipar. Setelah kembali ke Astina, Sutasoma dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma. Cerita dilanjutkan dengan kisah Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala. Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala, sebagai ganti atas ke-100 orang raja sitaan Purusada. Mendengar permintaan raja Astina tersebut, Prabu Purusada menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak makan daing manusia lagi. Judul luar teks yang berbunyi Sri Bajra Jnana (tulisan latin), rupanya keliru, karena sesungguhnya merupakan baris pertama dari bait pertama, yang dituangkan ke dalam pupuh Sragdhara (pupuh I). Naskah ini dikarang oleh Mpu Tantular pada jaman Majapahit (h.l47a baris ke-4). Nampak beberapa teks telah diperbaiki dengan tulisan pensil. Keterangan penulisan atau penyalinan teks ini tidak diketahui secara jelas, hanya disebutkan tempat penyalinan wesma Sri Gandi, oleh sangapatra: awirbhuja putraka siwa sudda (?). Informasi tentang daftar pupuh dari Kakawin Sutasoma ini, lihat Kakawin Sutasoma suntingan I G. B. Sugriwa, yang diterbitkan oleh toko buku Bali Mas Denpasar Bali, dan dalam Kalangwan karya P.J. Zoetmulder. Informasi mengenai teks Sutasoma ini dapat dilihat pada Pigeaud 1970: 402; MSB/L.449; Kirtya/114, 974, 910, 2352, 1148, 2290; Brandes. III: 147-157; PNRI/000 L 557; Juynboll I: 140-143."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.27a-LT 236
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>