Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207970 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Handayani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22564
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diny Arista Risandy
"ABSTRAK
Mediasi tidak lagi hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di ranah perdata, melainkan dalam perkembangannya dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana tertentu. Mediasi sebagai alternatif model penyelesaian perkara pidana ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Indonesia telah mengimplementasikan konsep mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yakni melalui Diversi dan dalam penanganan perkara-perkara pidana tertentu di tingkat penyidikan oleh aparat kepolisian. Namun demikian, masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia pada dasarnya juga telah menerapkan konsep mediasi penal sejak lama, Aceh menjadi salah satunya. Tinjauan Yuridis dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana mekanisme dan kedudukan mediasi penal di Aceh dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia serta kekuatan hukum hasil mediasi penal yang dijalankan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal yang dijalankan di Aceh terintegrasi di dalam Peradilan Adatnya yang berasaskan musyawarah damai sesuai ajaran Islam, dimana Peradilan Adat ini merupakan tahap pendahuluan bagi penyelesaian perkara pidana tertentu. Apabila telah diupayakan penyelesaian di dalam Peradilan Adat namun tidak berhasil, maka pihak-pihak terkait dapat membawanya ke jalur Peradilan Formal Negara. Putusan yang dihasilkan oleh Peradilan Adat di Aceh memiliki kekuatan hukum yang mengikat langsung bagi para pihak yang telah menyatakan secara tegas menerima putusan tersebut.

ABSTRACT
Mediation is no longer used only for civil cases settlement, but has now been used for particular criminal cases settlement as well. Mediation as the alternative model of criminal cases settlement is known as penal mediation. Indonesia has implemented the concept of penal mediation in Juvenile Criminal Justice System through Diversion and in the dealing of particular criminal cases at the level of investigation by police officers. However, indigenous people in several areas in Indonesia basically have also implemented the concept of penal mediation since quite a long time, Aceh is one of them. Juridical review in this research is focused on how the mechanism and the position of penal mediation in Aceh in Indonesian Criminal Justice System are, also the legal force of the implementation of penal mediation in Aceh. This is a normative legal research which is conducted through literature and desk study. The results of this research show that the implementation of penal mediation in Aceh is integrated in their Customary Justice which is based on the principle of peaceful deliberation according to the teaching of Islam, where the Customary Justice they have is a preliminary stage for particular criminal cases settlement. If a settlement had been attempted through the Customary Justice but was unsuccessful, then the related parties could bring their cases for settlement through the Formal Justice. The decisions made by the Customary Justice in Aceh have a direct legal binding for the parties who have expressed their acceptance of the decisions explicitly."
2017
S65601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reina Angela
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishak Alfred Tungga
"Perkosaan merupakan tindak pidana yang sangat meresahkan, kadang-kadang tindak pidana ini didahului atau disertai dengan tindak pidana lain, misalnya pencurian, bahkan pembunuhan. Modus operandi kejahatan ini semakin meningkat dari segi kualitasnya, kadang dilakukan dengan cara yang sangat biadab misalnya perkosaan dilakukan di depan sesama pelaku. Kerugian yang ditimbulkan tindak pidana ini tidak terbatas pada kerugian fisik saja melainkan juga kerugian nonfisik merupakan penderitaan yang sangat membebani kehidupan korban. Akibat tindak pidana perkosaan ini membuat korban tidak lagi menikmati kehidupan yang tenang karena selain ia merasa malu, merasa telah dinodai, merasa harga dirinya telah dihancurkan, merasa telah berdosa kepada Tuhan, ia selalu dikejar kecemasan dan kekuatiran akan masa depannya dalam kehidupan berumah tangga karena kegadisannya yang telah hilang bisa dipersoalkan oleh suami jika ia menikah. Selain penderitaan yang dialami karena peristiwa perkosaan yang menimpanya, dalam proses peradilan pidana yang selalu melibatkan korban mulai dari tahap penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan sebagai saksi, ternyata menambah tekanan psikologis bagi korban, artinya korban perkosaan menjadi korban ganda.
Uraian di atas menunjukan betapa besarnya penderitaan yang dilami korban perkosaan sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ketentuan hukum pidana, baik hukum pidana materiel maupun hukum pidana formal telah memberikan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan? apakah penerapan hukum pidana materiel maupun hukum pidana formal telah memberikan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan?
Permasalahan ini dapat dijawab bahwa baik hukum pidana materiel maupun hukum pidana formal dalam pengaturan maupun penerapannya belum memberikan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan, karena ketentuan yang mengatur tentang korban kejahatan termasuk korban perkosaan ternyata memiliki kelemahan dan kekurangan, bahkan ketentuan yang sudah ada tidak jelas sehingga sulit diimplementasikan untuk melindungi kepentingan korban kejahatan. Untuk itu ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan korban kejahatan ini perlu ditinjau kembali untuk direvisi atau dibuat peraturan pemerintah atau peraturan pelaksanaan yang jelas, sehingga dapat memberi perlindungan hukum bagi korban kejahatan umumnya terutama korban perkosaan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Djufri Said
"Sejalan dengan arah kebijaksanaan. pemerintah untuk memilih sektor pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama, dewasa ini laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat tingkatan yang maju . Pertumbuhan ini diikuti dengan makin meningkatnya kebutuhan dalam sumber pembiayaan. Oleh karena situasi demikian, timbullah usaha-usaha mencari sumber alternative pembiayaan. di luar perbankan. Salah satu sumber pembiayaan itu adalah lembaga Leasing. Leasing dijalankan dengan menyertakan barang modal milik lessor dalam perusahaan milik. lessee. Leasing ini berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan leasing ini ternyata tidak diikuti adanya perangkat
hukum yang pasti dan jelas. Dalam praktek selama ini, para pihak banyak menggantungkan materi hukum dari leasing pada asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak murni hanya dapat dijalankan bila kedudukan para pihak sede rajat dan sama kuat. Hal ini tidak ditemui dalam leasing, karena posisi lessee cenderung lemah. Belum jelasnya aspek hukum kegiatan leasing ini akan berakibat pada ketidakpastian di dalam kegiatan leasing. Untuk itulah perlu dipikirkan agar disusun suatu UU Leasing dan adanya pembatasan pada asas kebebasan berkontrak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S20313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marisha Maya Miranty
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S26067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hari Wibowo
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan. Secara khusus tesis ini menitikberatkan pada kajian terhadap penerapan Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Dalam penelitian bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (1) Sejauh mana penyidik POLRI selama ini telah memperhatikan hak-hak asasi tersangka dalam proses penyidikan perkara pidana sehubungan berlakunya UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, (2) Sejauh mana UU no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah terdapat asas-asas anti penyiksaan seperti terdapat dalam UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, (3) Sejauh mana negara menjamin perlindungan terhadap hak-hak korban sebagai akibat dari tindak kekerasan oleh penyidik pada proses penyidikan perkara pidana. Hasil penelitian masih dijumpai pelanggaran HAM terhadap tersangka yang terjadi dalam proses penyidikan dengan cara penyiksaan oleh penyidik POLRI, penyidik juga belum mengetahui keberadaan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Dalam KUHAP sendiri belum mengatur akibat hukum terhadap penyiksaan yang terjadi berupa pembatalan penyidikan atau dibebaskannya terdakwa apabila dalam proses pemeriksaan terjadi penyiksaan. Dalam KUHAP telah diatur tentang lembaga Praperadilan yang mengontrol proses penyidikan akan tetapi belum mengatur tentang pemberian ganti rugi terhadap korban penyiksaan. Tanggungjawab negara terhadap pemberian ganti rugi terhadap korban penyiksaan dalam tingkat penyidikan dalam prakteknya masih sulit ditemukan. Sehingga dapat disimpulkan keberadaan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan akan berlaku efektif apabila telah terdapat pembaruan dalam KUHP sebagai hukum materiil maupun dalam KUHAP sebagai hukum formil sebagai pelaksanaan di tingkat lapangan. Selain itu harus terdapat terobosan hukum dari Hakim untuk menciptakan hukum melalui yurisprudensi untuk mengatasi kekosongan hukum.
(Hari Wibowo, Penyiksaan Dalam Penyidikan sebagai Awal Peradilan yang Sesat (Tinjauan terhadap Penerapan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan))"
2005
T37747
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>