Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146301 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Aspardi
"Adat dan upacara perkawinan tidak dapat terlepas dari hakikat dan pengertian perkawinan, demikian pula adat dan upacara perkawinan dalam masyarakat hukum adat Mentawai. Masyarakat hukum adat Mentawai terdiri dari Si Bakat Laggai, Si Mabajak Laggai, Kepala Banjar, Paneinei Paamian dan Sibajak Gareja, dan Si uttei Surau. Mereka hidup di wilayah yang cukup sulit secara geografis sehingga pandangan orang luar baik orang Indonesia maupun orang mancanegara, penduduk Mentawai adalah suku terasing, walaupun sifat keterasingan tersebut lebih cenderung disebabkan karena kondisi geografis wilayah tersebut dan bukan karena sifat penduduknya yang cenderung untuk mengasingkan diri. Hukum perkawinan adat Mentawai, disahkan oleh kepala adat yaitu Rimata. Dalam hal perkawinan orang Mentawai sangat memegang teguh adat dan istiadat mereka di samping bidang-bidang kehidupan lainnya, karena bagi mereka perkawinan adalah suatu hal yang suci dan ada hubungannya dengan Arat Sabulungan, yaitu agama dan kepercayaan roh-roh leluhur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan dengan pembayaran yang berupa denda bahkan sampai ke pengasingan keluar dari wilayah hukum masyarakat hukum adat setempat. Dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keberlakuan undang-undang tersebut menjadi pertanyaan sendiri apabila dikaitkan dengan hukum adat perkawinan Mentawai sebagai suku yang masih memegang teguh adat dan hukum adatnya. Penulis melakukan penelitian mendalam dengan terjun langsung ke wilayah Mentawai untuk melihat sampai sejauh mana efektivitas keberlakuan tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Maulani
"Semakin majemuknya masyarakat Indonesia, terutama menjelang era globalisasi, membuka kemungkinan terjadinya suatu perkawinan campuran. Perkawinan campuran menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah perkawinan antara seorang warganegara Indonesia dengan seorang warganegara Asing. Dalam setiap perkawinan, ada saja kemungkinan timbul suatu kesalahpahaman ataupun penyimpangan dari apa yang sudah direncanakan oleh setiap pasangan yang mengakibatkan putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena perceraian, dimungkinkan dengan alasan-alasan yang disebut secara limitatif oleh Undang-undang, diantaranya karena perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang terjadi secara terus-menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Untuk terjadinya perceraian pada perkawinan campuran pada pasangan yang berbeda warganegara terjadi suatu masalah mengenai hukum apa yang akan diberlakukan dalam menyelesaikannya, hukum Indonesia ataukah hukum asing. Perceraian pada perkawinan campuran yang dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengikuti ketentuan yang diatur dalam pasal 20-36 dan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975. Akibat perceraian pada perkawinan campuran ini, selain menyangkut masalah nafkah isteri, perwalian dan pemeliharaan atas anak, serta harta bersama, juga mempengaruhi status personil yang berhubungan dengan hal kewarganegaraan yang penyelesaiannya diatur oleh Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia nomor. 62 tahun 1958."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20764
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intasari
"Untuk melakukan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ditentukan batas umur untuk kawin bagi seseorang, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Dengan demikian perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang berlangsung antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya belum melalui batas minimal usia kawin yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perkawinan di bawah umur disebabkan oleh faktor lingkungan, psikologi, ekonomi serta kepercayaan dan adat istiadat. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya perkawinan di bawah umur adalah kurang telitinya aparat yang berwenang dalam melihat umur sesorang dengan akan melangsungkan perkawinan sehingga dikhawatirkan akan terjadi penyelundupan umur. Dalam hal pasangan calon pengantin belum mencapai usia 21 tahun maka mereka memerlukan izin dari kedua orang tua mereka/wali namun apabila izin tersebut tidak terpenuhi maka dapat diajukan permohonan izin kawin ke pengadilan. Demikian pula halnya apabila pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai 16 tahun maka perkawinan tidak dapat di ijinkan (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) kecuali adanya suatu alasan-alasan tertentu yang mendesak agar perkawinan segera dilaksanakan, maka kedua orang tua/wali dapat mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin kepengadilan untuk untuk mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin harus welewati suatu prosedur tertentu dan memenuhi persyaratan yang telah di tetapkan. Apabila pengadilan memberikan Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin dengan alasan-alasan yang dapat di terima. Bagi pasangan yang menikah di bawah umur dengan adanya Izin Kawin maupun Dispensasi Usia Kawin tentunya akan timbul akibat hukum serta hambatan-hambatan yang harus dihadapi. Untuk mencegah perkawinan di bawah umur disarankan agar aparat yang berwenang lebih meningkatkan penelitian dalam hal pemberian Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Kartika Sari
"Masyarakat hukum adat Baduy Dalam terdiri dari tiga kapuunan, yaitu Kapuunan Cikeusik, Kapuunan Cibeo dan Kapuunan Cikartawana. Mereka hidup mengasingkan diri selama beratus-ratus tahun dengan berpegang teguh pada pikukuh (ketentuan hukum adat) yang pelaksanaan dan pengawasannya dilakukan oleh Puun. Kepatuhan mereka terhadap sosok Puun dan ketaatan mereka pada konsep buyut (tabu) mampu mempertahankan keberlakuan hukum adat mereka sampai sekarang, termasuk hukum perkawinan adatnya. Hukum perkawinan adat Baduy Dalam dila kukan sesuai dengan hukum adat Baduy Dalam dan kepercayaan Sunda Wiwitan, di sahkan oleh Puun, mereka menyebut perkawinannya sebagai kawin batin, tidak ada akta perkawiman. Ada perbedaan tata cara perkawinan antara Kapuunan Cikeusik dengan Kapuunan Cibeo dan Cikartawana. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan adat tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan biasanya berupa pengasingan ke kawasan Baduy Luar atau melakukan tebus hampura. Sulit untuk menerapkan hukum perkawinan nasional kepada masyarakat Baduy Dalam ini, mereka sangat memegang teguh hukum adatnya. Karena mereka menyakini bahwa hukum adatnya itu merupakan amanat leluhurnya yang harus dijaga dan dilaksanakan, mereka takut durhaka apabila melanggarnya. Pasal 66 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak menyebutkan dengan jelas mengenai kedudukan hukum perkawinan adat, mengenai hal ini, Prof. Hazairin berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam hukum adat sepanjang mengenai hal yang belum diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 masih tetap berlaku. Berdasarkan pendapat Prof. Hazairin, maka hukum perkawinan adat Baduy Dalam masih berlaku mengenai hal-hal yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21012
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Sari Joshinta
"Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dilindungi dan dipenuhi semua kebutuhan-kebutuhan yang merupakan haknya. Sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat baik jasmani maupun rohani, memperoleh pendidikan, mendapat gizi yang cukup, mendapat perlindungan kesehatan, tumbuh dalam suasana yang penuh kasih, dan terpenuhi nya rasa aman. Namun seringkali apa yang menjadi hak anak ini tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua sibuk dengan urusan masing-masing sehingga kebutuhan anak yang merupakan haknya tidak diperhatikan. Akibat kurang perhatiannya orang tua terhadap anak maka anak akan tumbuh menjadi anak terlantar, dan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga akhirnya mengarah pada perceraian, dan apabila hal ini terjadi lalu akan bagaimanakah nasib anak-anak mereka ? Sebagai contoh kasus dalam skripsi ini adalah kasus Arie Hanggara pada tahun 1985 dimana orang tua Arie telah bercerai dan penguasaan anak diserahkan kepada ayahnya karena ibu nya yang berprofesi sebagai wanita malam dirasa tidak baik untuk merawat anak-anak tersebut. Lalu dalam perkembangannya ternyata ayahnya telah hidup bersama dengan seorang wanita yang belum dinikahinya dan ternyata wanita tersebut telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak tersebut, bahkan ayah mereka sendiri pun akhirnya juga ikut menganiaya anaknya sendiri sehingga akhirnya salah satu anak tersebut yang bernama Arie meninggal dunia. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan penguasaan anak diserahkan pada ibu kandung dari anak-anak tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Niyomi
"Harta Benda Perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta Benda Perkawinan ini terdiri dari 2 macam, yaitu Harta Bersama dan Harta Bawaan. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung baik karena pekerjaan suami atau pekerjaan istri. Sedangkan Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing suami atau istri baik sebagai hadiah atau warisan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga diharapkan terjadinya perceraian dapat dihindari, karena Undang-Undang menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penyusunan tesis ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bersama menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bawaan menurut Undang-Undang Perkawinan; dan bagaimanakah pelaksanaan pembagian Harta Benda Perkawinan (Harta Bersama) apabila terjadi perceraian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research), dimana bahan-bahan yang diperlukan diperoleh dengan mempelajari teori mengenai perkawinan, khususnya mengenai pembagian Harta Bersama Perkawinan apabila terjadi perceraian dari sumber-sumber tertulis, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, referensi maupun makalah yang terdapat di perpustakaan yang berkaitan dengan judul tesis ini.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa perceraian biasanya membawa akibat hukum terutama terhadap Harta Benda Perkawinan, baik terhadap Harta Bersama maupun Harta Bawaan. Apabila terjadi perceraian, maka menurut Undang-Undang Perkawinan Harta Bersama akan dibagi menjadi 2 banyak yang sama besar, yaitu: ½ bagian untuk suami dan ½ bagian lagi untuk istri.
Sedangkan Harta Bawaan suami istri tersebut akan kembali ke masing-masing pihak yang mempunyai harta tersebut, kecuali jika ditentukan lain, yaitu dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Masalah Pembagian Harta Benda Perkawinan inilah yang sampai saat ini masih menjadi pokok perdebatan apabila terjadi perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T14471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A Yuliadewi Wijayanti
"Dewasa ini, di Negara kita (Indonesia) pihak-pihak yang melangsugkan perkawinan khususnya yang disertai dengan perjanjian perkawinan masih sedikit. Dari yang sedikit menggunakan perjanjian perkawinan tersebut adalah mereka yang sebagian besar warganegara keturunan asing, namun adapula sebagian kecil warganegara non keturunan. Hal itu disebabkan bagi warganegara non keturunan (Indonesia) mengangqap adanya masalah tabu yang di anutnya yaitu tabu membicarakan perceraian pada waktu hendak melangsungkan pernikahan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan untuk disertai dengan perjanjian perkawinan perjanjian perkawinan mengandung kesepakatan adanya percampuran harta Kekayaan menjadi harta bersama atau tidak ada percampuran harta kekayaan menjadi harta bersama serta pengurusannya. Bagi pasangann calon suami isteri yang hendak melangsungkan perkawinan disertai perjanjian perkawinan mempuyai benda - benda berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan misal, warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkesvoorwaarden) . Akibat perkawinan yang disertai dengan perjanjian perkawinan selama menjalankan rumah tangga namun salah satu pihak mengingkari isi perjanjian yang telah disepakati sehingga terjadi perceraian. Bentuk Perjanjian perkawinan tidak mutlak dituangkan dalam akta otentik yang disahkan Notaris, akan tetapi dapat berbentuk perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pejabat Pencatatan Perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
K. Dibia Wigena Usada
"Perkawinan nyeburin yang di kenal dalam masyarakat adat di Bali oleh sebagian masyarakatnya ternyata dikatakan merupakan bentuk perkawinan yang menyimpang dari sistem kekerabatan patrilinial masyarakat Hindu di Bali yang memiliki sistem kewarisan mayorat laki-laki. Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua metode penelitian yaitu metode penelitian lapangan dan metode penelitian kepustakaan. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apa latar belakang dilakukannya perkawinan nyeburin, aspek-aspek hukum apa yang harus diperhatikan dalam perkawinan nyeburin, bilamana perkawinan nyeburin dikatakan sah menurut hu kum agama dan hukum ada t di Bali, dan apa pengaruh berlakunya uu No. 1 Tahun 1974 terhadap perkawinan nyeburin yang ada di Bali. Alasan utama di lakukannya perkawinan nyeburin adalah untuk mencegah agar sebuah keluarga tidak menjadi camput atau putung (tidak ada penerus keturunan) serta untuk mempertahankan sistem kewarisan mayorat laki-laki maka dalam keluarga yang hanya memiliki anak wanita dan tidak ada anak laki-laki, anak wanita dalam keluarga tersebut diubah statusnya secara adat menjadi sentana rajeg dan melakukan perkawinan nyeburin. Perkawinan adat nyeburin dikatakan sah menurut Agama Hindu dan hukum adat bila sudah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana ditetapkan dalam Agama Hindu dan awig-awig desa adat. Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), meskipun mengalami sedikit penyesuaian terutama dalam hal pencatatan perkawinan, lembaga perkawinan adat nyeburin tetap terbuka dan dilaksanakan hingga kini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S20477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiati Usadaningsih
"Tujuan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. UU No. 1 Tahun 1974 mengandung prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, mengisyaratkan seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah mencapai 19 tahun sedangkan wanita telah berumur 16 tahun. Walaupun batasan umur telah tegas -tegas diatur, dalam kenyataannya banyak terjadi perkawinan di bawah umur. Pengadilan dapat memberikan Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin melalui Penetapan Pengadilan bila memenuhi prosedur dan syarat yang ditentukan. Permasalahan yang ada yaitu faktor-faktor apa yang menjadi penyebab perkawinan di bawah umur di daerah Kampung Bandan, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan Jakarta Utara? Apakah pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim berkaitan dengan dikabulkannya permohonan dispensasi perkawinan pada penetapan No. 0001/Pdt.P/1996/PADS sudah tepat? Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Alat pengumpul datanya studi dokumen dan wawancara. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Faktor¬faktor yang menjadi penyebab perkawinan di bawah umur di daerah Kampung Bandan, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara adalah faktor lingkungan, psikologi, ekonomi, pergaulan bebas, faktor kepercayaan dan adat istiadat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim berkaitan dengan dikabulkannya permohonan penetapan dispensasi perkawinan pada penetapan No. 0001/Pdt.P/1996/PADS sudah tepat. Karena menurut penglihatan Majelis Hakim Indun fisiknya telah cukup dan sudah baliq, calon suaminya Wawan Efendi telah mempunyai penghasilan tetap dan bebar-benar mencintai Indun, dari sesuai hadist riwayat Buhori.

The aim of a marriage according to the LAW No.1 year 1974 is an effort to build a happy and everlasting family (a household) based upon the Divinity of Almighty God. The Law No.l year 1974 contains a principle which explains that both candidates for husband and a wife herein should have already had a maturity of both his and her and soul as well, in order they could bring about their marriage to create a good and everlasting marriage and free from any unavailable divorce to obtain a good and healthy offsprings thereof . Paragraph 7 article 1 of the Law No,1 year 1974 stipulated that a man had a right to get marriage if he has been 19 years old and 16 years old for a woman. Even though this time limit of age herein had been stipulated briefly and clearly, but in it happen frequently that there are still many underages marriage to take place. The court could give a permit to get married and a marriage age dispensation herein through a court decision if he/she had fulfilled a prerequisited procedure and requirement as well. The existing problem herein is what kind of factors which had caused the occurrence of an underage marriage at Kampung Bandan, village of Ancol, District of Pademangan North Jakarta ? How about the judgments which had been given by the judge concerning the issuance of a marriage dispensation permit based upon the stipulation No. 0001/Pdt.P/1996 /PAJS , is it correct ? A research method which has been used herein is an analytical descriptive method.The types of research which has been used are a normative research and an empirical research as well. The tools which have been used to collect datas are to study the documents and to implement interviews. Data analysis has been done by using a qualitative method. Factors which had caused an underage marriage occurrence at Kampung Bandan Village of Ancol District of Pademangan North Jakarta are environmental factor, psychological economical,free social association and faithful and custom factors as well . the legal judgments which had been given by the judge herein were related to the issuance of a marriage dispensation permit based upon the provision No. 00011Pdt.P119961PAJS is a correct one.It is because that due to the view of the court of justice that the physical condition had been reached, enough and mature for Indun and Wawan Efendi as a candidate for her husband has earned a regular income and he loves Indun body and soul and, had matched narrative of hadist of Buhori as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>