Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132961 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurlisa loebby
"ABSTRAK
Dengan telah diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah ditetapkan pula bahwa kita menganut sistim Peradilan Pidana yang terpadu, sehingga di dalam pelaksanaan Peradilan Pidana merupakan suatu kesatuan pendapat maupun proses dalam mencari keadilan. Maka diperlukannya suatu keterpaduan dalam pelaksanaan Peradilan Pidana terutama untuk tercapainya efektifitas dari pencegahan, pemberantasan kejahatan maupun pembinaan narapidana, karena dalam sistim peradilan Pidana terdapat beberapa unsur yang saling ber hubungan satu dengan yang lain didalam memaksanakan tugas-tugas dalam rangka pelaksanaan Peradilan Pidana. Unsur-unsur tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Permasyarakatan yang belum mempunyai Undang-Undang tersendiri maka Kepolisian mempunyai Undang-Undang Pokok Kepolisian, kejaksaan mempunyai Undang-Undang Pokok Kejaksaan dan Kehakiman mempunyai Undang-Undang Pokok Kehakiman. Di samping Undang-Undang Pokok masing-masing lembaga tersebut, masih ada suatu undang-undang yang mengatur pula perihal peradi lan pidana yakni Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga haruslah dicari bagaimana hubungan antara undang-undang pokok masing-masing lembaga tersebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut disamping itu juga menjadi permasalahan sejauh mana Fungsi dan wewenang masing-masing lembaga didalam melaksanakan Peradilan Pidana. Ternyata bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diintrodusir lembaga Pra Peradilan dan Lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat, sehingga dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah memberikan fungsi dan wewenang yang lebih kepada Hakim di banding dengan masa Reglemen Indonesia yang diperbaharui, sehingga amat menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian tentang sejauh mana wewenang serta fungsi Kehakiman yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Luhut M.P.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
345.05 PAN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lilik Mulyadi, 1961-, author
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007
345.05 LIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Bina Aksara, 1987
345.05 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budijanto Santoso
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S21798
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1992
S21870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam Pasal 85 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
disebutkan bahwa apabila keadaan suatu daerah tidak
mengizinkan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu
perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung
mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau
menunjuk Pengadilan Negeri lain untuk mengadili perkara
tersebut. Namun dalam KUHAP tidak disebutkan dengan jelas
apakah yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak
megizinkan” yang dijadikan dasar oleh Menteri Kehakiman
untuk mengalihkan wewenang mengadili suatu perkara pidana
kepada Pengadilan Negeri lain. Karena dalam Penjelasan
Pasal 85 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana hanya
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak
mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau
adanya bencana alam. Akan tetapi pada prakteknya, aparat
penegak hukum terkadang dalam menunjuk Pengadilan Negeri
lain dalam hal terjadinya pengalihan wewenang memeriksa dan
mengadili suatu perkara pidana tidak mempertimbangkan
faktor tempat tinggal sebagian besar saksi-saksi sebagai
bahan pertimbangan, padahal faktor jauh dekatnya tempat
tinggal sebagian besar saksi-saksi dengan tempat
persidangan juga mempengaruhi kemudahan dan kelancaran
jalannya persidangan. Demikian juga dengan dasar aturan
yang digunakan, tidak ada satupun peraturan perundangundangan
atau surat penetapan di Indonesia yang mengatur
masalah dasar pertimbangan yang dipakai untuk menentukan
Pengadilan Negeri mana yang akan ditunjuk untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara pidana dalam hal terjadi
pengalihan wewenang memeriksa dan mengadili suatu perkara
pidana. Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman maka ketentuan
Pasal 85 KUHAP sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang ini."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S22139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yusnoni
"Perilaku sopan santun menjadi hal mendasar yang dibutuhkan dalam aktivitas sosial masyarakat, termasuk di dalam persidangan. Mengenai pemaknaan kesopanan di persidangan sendiri tidak ada pemaknaan yang sama. Meskipun tidak ada pemaknaan yang sama mengenai definisi dari kesopanan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan keadaan yang meringankan. Namun secara umum, sikap sopan terdakwa di persidangan lebih menekankan pada penghargaan terhadap tata tertib persidangan. Beberapa putusan pengadilan ada yang menggunakan sikap sopan terdakwa sebagai faktor yang meringankan pidana. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara khusus menyebutkan bahwa sikap sopan dapat menjadi dasar pertimbangan yang meringankan, beberapa putusan pengadilan telah menganggap sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai keadaan yang meringankan pidana. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, karena ada anggapan bahwa hanya dengan bersikap sopan di persidangan dapat memperingan hukuman, hal tersebut dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. Peraturan mengenai keharusan untuk bersikap sopan di persidangan diatur oleh Mahkamah Agung melalui protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan. Dimana setiap orang yang berada di ruang sidang diwajibkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap peradilan, yang didalamnya termasuk untuk bersikap. Namun, mengenai apakah kesopanan terdakwa di persidangan dapat dipertimbangkan sebagai hal yang akan memperingan hukuman secara khusus tidak ada aturan yang mengatur bahwa sikap sopan terdakwa di persidangan dapat memperingan hukuman. Penentuan mengenai lamanya pidana penjara tidak diatur dengan kalkulasi yang baku, tetapi didalamnya hakim memiliki kebebasan untuk menentukan lamanya penghukuman. Pertimbangan hakim dalam menentukan penghukuman dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya sikap terdakwa di persidangan. Namun, penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai faktor yang meringankan pidana dapat bervariasi antara putusan yang satu dengan putusan yang lain. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan dalam penjatuhan hukuman.

Polite behavior is a fundamental requirement in social activities within the community, including in the judicial process. However, there is no universal interpretation of courtroom decorum. Although there is no consensus on the precise definition of defendant's courtesy in court as mitigating circumstances, generally the behavior of defendants' courtesies emphasizes respect for courtroom decorum. Several court decisions have used the polite behavior of the defendant as a mitigating factor in sentencing. Even though there is no specific provision stating that politeness can be used as a basis for mitigating sentences, several court decisions considered the polite behavior of the defendant in court as a mitigating measure. However, this remains a matter of debate in society, as some people believe that simply behaving politely in court does not necessarily lead to a reduced sentence, which they consider unfair. The obligation of individuals to show respectful behavior in court is regulated by the Supreme Court through courtroom and security protocols. However, as to whether the modesty of the defendant in court can be specifically considered as a mitigating factor, there is no rule that the courtesy of the defendant in court can reduce the sentence. Determination of the length of imprisonment is not regulated by a fixed calculation, but at the discretion of the judge. The judge's consideration in determining the sentence is influenced by various factors, including the behavior of the accused in court. However, the use of the defendant's polite behavior in court as a mitigating measure may vary between decisions of different courts. In this study, the authors analyze the use of the defendant's polite behavior in court as a consideration in sentencing. Although there are no normative rules governing this, courtroom practice shows that the polite behavior of the accused in court can be considered a mitigating factor in sentencing. However, based on the findings of this study, the researcher concludes that "polite behavior of the accused in court" is not treated as a condition that automatically reduces criminal penalties, considering that behaving politely in court is an obligation for everyone present in the courtroom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>