Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179596 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Andi Danty Patabai W.
"Berdasarkan ketentuan dalam hukum perkawinan Indonesia, asas monogami tidak berlaku secara mutlak. Dalam hal ini, terhadap asas monogami masih dimungkinkan adanya pengecualian. Poligami sebagai penyimpangan asas monogami diakui oleh undang-undang perkawinan. Dalam kaitannya dengan poligami kemudian muncul dua permasalahan kesimpulan bahwa Undang-Undang Perkawinan beserta peraturan pelaksanannya telah memberikan perlindungan hukum terhadap seorang Isteri dalam kaitannya dengan Poligami Yang Dilakukan Oleh Suami. Poligami hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin pengadilan agama. Dalam memberikan izin, pengadilan agama akan mendengar keterangan dari isteri pertama dan juga mendapat persetujuan dari isteri pertama tersebut. Pemberian izin pengadilan yang didasarkan pada persetujuan istri merupakan wujud perlindungan nyata, dimana suami hanya boleh berpoligami jika isterinya menyetujuinya. Pemberian persetujuan isteri tersebut merupakan wujud perlindungan hukum bagi isteri. Dalam hal seorang isteri, khususnya isteri Pegawai Negeri Sipil mengalami Poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka Isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan terhadap pernikahan kedua suaminya. Disamping pembatalan perkawinan, Isteri juga dapat meminta dijatuhkan sanksi administratif terhadap suaminya yang berstatus sebagai Pegawai Negeri sipil untuk dipecat dari jabatannya. Bahkan dari aspek pidana dapat melaporkan suaminya ke pihak yang berwajib untuk diproses secara Pidana karena melanggar Pasal 279 KUHP.

According to Indonesian law of Marriage, monogamy is not absolute. In this matter, there still exception according monogamy. Polygamy is the exception of monogamy which ruled by the act of marriage. So, there are two problems reveal to be discussed in this paper. First, how is the law protection to a wife concerning to polygamy. Second, what kind of law effort that can be taken by the government employee first wife's if his husband polygamy not accordance with the act of marriage and government regulation number: 10 in the year 1983 as revised by government regulation number: 45 in the year 1990 concerning marriage consent and divorce to the government employee. This research is a normative law research, by using case study to the court decision. This research use secondary data by primary law sources, secondary law sources and also tertiary law sources. This is a descriptive evaluative by using qualitative analysis. According to that research we can make a conclusion for polygamy, that is: the act of marriage and it government regulation has given law protection towards a wife related to polygamy. Polygamy must be done after acquire a consent from the religion court. Before that, the court of religion will hear opinion and also permission from his first wife. The court consent based on agreement from his first wife and this is aimed to give law protection for a wife. If polygamy done by the government employee and it is not accordance with the act of marriage and it government regulation, so that his wife can claim for abortion of his second marriage, besides that his wife can also claim for administrative sanction that can cause fired from his occupation. Even from crime aspect, she can claim his husband to proceed in criminal way according article 279 KUHP.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kencanawati
"Perkawinan berbeda warganegara atau biasa disebut Perkawinan Campur sudah sedemikian banyak terjadi di Indonesia, dan sebagai catatan sebagai pelaku mayoritas kawin campur adalah wanita WNI. Berdasarkan hasil survei online yang dilakukan Indonesian Mixed Couple Club (Indo- MC), yaitu suatu organisasi yang para anggotanya adalah istri-istri yang menikah dengan suami yang berbeda kewarganegaraan pada tahun 2002, dari 574 responden yang terjaring, 95,19 persen adalah wanita WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, dilain pihak, Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta mencatat 878 perkawinan selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4 persennya adalah wanita WNI yang menikah dengan pria WNA (829 pernikahan). Namun hukum di Indonesia yang berkaitan dengan Perkawinan Campuran justru tidak memihak wanita. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah menempatkan wanita sebagai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan bagi anaknya.
Perkawinan Campuran di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dari definisi Pasal 57 Undang-undang Perkawinan tersebut dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut: (1)perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;(2)di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;(3)karena perbedaan kewarganegaraan;(4) salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan penelitian normatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan kewarganegaraan terutama adanya pembedaan perlakuan hukum antara laki-laki dan wanita dalam perkawinan antar warganegara yang ditimbulkan dari berbagai Undang-undang dan peraturan yang berdampak langsung pada keluarga perkawinan campur antara lain; hanya Bapak yang dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak-anaknya; Negara Indonesia tidak memperbolehkan warganegara Indonesia mempunyai dwi kewarganegaraan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, 2006
S21251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Olviani Shahnara
"Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat adat yang memiliki kepercayaan asli dari nenek moyang. Hingga dewasa ini, masih banyak masyarakat yang tetap memegang teguh kepercayaan asli tersebut dan mereka disebut Penghayat Kepercayaan. Namun, kepercayaan yang mereka yakini masih dipandang sebelah mata karena dianggap bukanlah suatu agama. Oleh karena itu, banyak kendala yang dihadapi oleh para Penghayat Kepercayaan terkait kedudukan status hukum mereka di mata negara, terutama mengenai masalah pencatatan perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan Penghayat Kepercayaan. Akibatnya, pada saat itu para Penghayat Kepercayaan kerap mendapatkan penolakan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil setempat. Demi memenuhi rasa keadilan dan hak asasi setiap manusia, pemerintah Negara Republik Indonesia pada tahun 2006 kemudian memberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang Administrasi Kependudukan tersebut yang kemudian dapat dijadikan landasan hukum mengenai pencatatan perkawinan Penghayat Kepercayaan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Penghayat Kepercayaan kini telah dapat mencatatkan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Indonesian society comprises of a traditional society (with adat cultures and values) who preserves their ancestors? beliefs. Until recently, few people still maintain to deem these traditional beliefs and classified as 'Penghayat Kepercayaan'. Their beliefs, however, are still underestimated since these beliefs are not classified as religions. Obstacles are familiar to the people of "Penghayat Kepercayaan", in regards to the legal status according to Indonesian Law, especially relating to issues of marriage's registration. Indonesian Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage does not regulate the marriage of "Penghayat Kepercayaan" people. As a result, people of "Penghayat Kepercayaan" received several rejections of marriage records from the local Civil Registry Office. In order to fulfill values of justice and human rights of the people, Government of Republic of Indonesia enacted Law No. 23 Year 2006 regarding Population Administration. That law could be used as the legal basis in regards to the marriage records for the 'Penghayat Kepercayaan 'people where they are able to file their marriage in the Civil Registry Office. As for the methodology used in conducting this study is a normative juridical research through literature materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1189
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Poerwanto
"Penulisan bertujuan untuk mengetahui pengaruh UU No 1 Tahun 1974 terharap Peraturan Perkawinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara karena bagi anggota militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) terikat dengan peraturan khusus yang terhimpun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) dan Kitab Undang-Undang Disiplin Tentara (KUHDT). Dengan adanya Peraturan Perkawinan yang hanya berlaku bagi anggota TNI-AU, maka menimbulkan kasus-kasus yang penyelesaiannya kadang-kadang kurang adil bagi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan sedemikian ketatnya peraturan tersebut, namun dalam berbagai hal kehadiran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 masih tetap diperlukan."
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Juni Andriati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21083
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enno Soebardjo
"Untuk menuju pembangunan manusia seutuhnya, pembaharuan Undang-Undang diutamakan guna melestarikan ketertiban dan kedamaian dimasyarakat. Setiap manusia memiliki sesuatu yang dihargai, masing masing dalam jumlah yang relatif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Pancasila, sepanjang belum ada atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan perkawinan lainnya masih berlaku. Penelitian dilakukan melalui buku-buku bacaan dan instansi yang terkait. Arti perkawinan di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa. Syarat-syarat perkawinan mengikuti keadaan masyarakat yaitu menurut agama dan kepercayaannya, akibat perkawinan terhadap harta hendak terjadi pemisahan harta tanpa ada perjanjian perkawinan, alasan perceraian untuk pegawai negeri berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 serta peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Harta benda perkawinan peraturannya sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sejak perkawinan berlangsung ada harta yang ter pisah dan harta bersama. Kitab Undang-undang Hukum Perdata bukan warisan budaya bangsa Indonesia. Perjanjian perkawinan tidak banyak digunakan oleh bangsa Indonesia padahal calon suami isteri mendapat kebebasan mengatur harta benda nya, kalaupun itu ada biasanya terjadi antara calon suami atau isteri karena adanya perbedaan yang besar mengenai harta yang dimilikinya. Memuat perjanjian perkawinan berarti mereka akan menentukan harta bendanya atas persetujuannya, dengan memisahkan selain harta yang dibawa, warisan atau hadiah juga harta yang didapat selama perkawinan, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan harta bersama adalah harta yang di peroleh selama waktu perkawinan, dimiliki secara bersama tidak masing - masing, kecuali dari warisan atau hadiah. Perjanjian dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, waktu perkawinan akte perjanjian disyahkan oleh pegawai pencatat. Perjanjian perkawinan ini disaksikan oleh dua orang saksi, ditanda tangani oleh calon suami-isteri Notaris dan saksi- saksi. Selama perkawinan, perubahan perjanjian perkawinan tidak bisa walaupun dengan persetujuannya, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Mengenai hukum perkawinan pada umumnya dan harta benda calon suami-isteri termasuk perjanjian perkawinannya, sebagai warga negara Indonesia berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab I-XIV, pasal 1-67, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Bab I-X, pasal 1-49 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, pasal 1-23. Calon suami-isteri, penghayatan hukum perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya adalah perlu diperhatikan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam beberapa pasalnya menunjuk ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Kimono
"Poligami dan perceraian sering menimbulkan perbedaan pendapat
dalam Masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahkan dalam era setelah adanya unifikasi hukum perkawinan, hukum dan agama yang bersangkutan masih menentukan kebolehan untuk berpoligami dan melakukan perceraian. Undang-undang kebolehan untuk berpoligami dan melakukan perceraian. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia, menganut asas monogami tidak mutlak sehingga poligami sebagai pengecualian diperbolehkan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif. Sedangkan, mengenai perceraian undang-undang No. 1 tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif. Dua prinsip tersebut tetap dipertahankan dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun 1983 dan peraturan pemerintah no. 45 tahun 1990, yang juga mengatur poligami dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, karena kedudukannya sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat sehingga pegawai negeri sipil harus memperoleh izin sebelum melakukan perkawinan atau bercerai."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20517
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>