Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Ricar Soroinda
"Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu hak dan kewajiban oleh karena itu Pemerintah bersama-sama dengan DPR RI mensahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang bertujuan mengadakan unifikasi di bidang hukum Perkawinan dan menjamin adanya suatu kepastian hukum dengan menggantikan ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya yang beraneka ragam. Namun, ternyata keaneka ragaman tersebut masih terlihat sebaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu disebutkan bahwa sahnya suatu perkawinan didasarkan kepada hukum menurut agama dan kepercayaannya itu bagi masing-masing pemeluknya. Kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 hal tersebut lebih tegas lagi dengan diakuinya keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Buddha. Akibat adanya kebebasan beragama tersebut tidak mustahil terjadi perkawinan di antara pemeluk agama yang berbeda dan mereka tetap bertahan pada agamanya masing-masing dalam menempuh bahtera rumah tangga. Dengan nenganut Pendapat bahwa perkawinan merupakan hak asasi seseorang maka timbul pertanyaan : 1. bagaimana keberadaan (eksistensi) lembaga perkawinan antar agama sekarang di Indonesia ? 2. dalam menghadapi perkawinan antar agama sebagai suatu kenyataan bagaimana pandangan Hakim ? 3. adakah landasan yuridis perkawinan antar agama ? Terhadap hal-hal tersebut penulis berkesimpulan bahwa dilihat secara materil perkawinan antar agama diakui dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan walaupun secara terbatas yaitu sepanjang ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing calon suami isteri membolehkan sehingga secara materil ketentuan Peraturan. Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 (Regaling op de Gemengde Huwelijken/GHR) sudah tidak berlaku lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taihuttu, Glorius Frits
"Pela Gandong merupakan hubungan persaudaraan antara dua atau lebih desa sebagai hubungan kakak adik kandung karena kedua masyarakat desa mengakui bahwa mereka berasal dari satu keturunan atau datuk yang sama. Namun terkadang ada masyarakat dari kedua desa yang memiliki hubungan pela gandong ini melanggar hukum adat dengan melakukan perkawinan. Perkawinan seperti ini dikenal dalam hukum adat Maluku Tengah sebagai perkawinan sedarah. Sedangkan jika melihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 8 butir (a) dan (b) menyebutkan bahwa larangan perkawinan bagi mereka yang masih berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau keatas, serta berhubungan darah dalam garis keturunan menyarnping. Untuk itu timbul pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimanakah aturan-aturan adat yang mengatur tentang perkawinan pada masyarakat Maluku Tengah terkait hubungan Pela Gandong, serta bagaimana konsep perkawinan sedarah dan penerapan sanksinya menurut adat Maluku Tengah dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan)? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen melalui data sekunder di bidang hukum berupa bahan hukum primer seperti Undang-Undang Perkawinan dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, artikel-artikel, laporan penelitian dan wawancara. Bagi masyarakat Maluku Tengah, perkawinan diluar fam (marga) adalah perkawinan ideal, selain itu perkawinan diluar desa diperbolehkan asalkan antar desa tidak memiliki hubungan pela gandong. Menurut Adat Maluku Tengah, perkawinan sedarah adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah menurut konsep Pela Gandong, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan sedarah adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dekat dalam garis keturunan lurus ke bawah/keatas serta garis keturunan menyamping. Untuk penerapan sanksi, adat Maluku Tengah menerapkan sanksi berupa bailele (pasangan yang melanggar hukum adat yang di arak keliling desa dengan memakai daun janur kelapa), sedangkan sanksi menurut Undang-Undang Perkawinan menerapkan sanksi berupa pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena
"Perkawinan beda agama sekarang merupakan sesuatu yang menjadi hal yang dianggap biasa bagi penganut agama Islam. Hal itu sebenarnya bertentangan dengan aturan agama Islam seperti yang telah ditetapkan dalam al-Quran. Dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa perkawinan beda agama dilarang, dalam peraturan Negara juga tidak dibenarkan karena peraturan Negara mengenai perkawinan yang diatur dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga harus mengacu pada peraturan agama para penganutnya. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama dalam aturan hukum Islam. Upaya apa yang bisa ditempuh oleh pasangan beda agama yang tetap akan melaksanakan perkawinan mereka. Dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apa dimungkinkan untuk melaksanakan perkawinan bagi pasangan beda agama. Bagaimana pandangan hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 terhadap pasangan beda agama yang menikah diluar negeri.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Hasil dari analisa data bersifat kualitatif. Dan kesimpulan dari analisa bersifat evaluatif.
Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perkawinan beda agama adalah haram hukumnya baik itu bagi wanita Muslim dengan pria non muslim maupun antara pria muslim dengan non muslim. Secara hukum Negara dapat dilakukan suatu penyeludupan hukum tapi secara hukum agama tetap adalah haram hukumnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pemahasan masalah usia dewasa dalam Undang_undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkwinan, dimaksudkan sebagai suatu penelitian awal, yang masih perlu ditindaklanjuti. Dan ternyata penulis artikel ini menjumpai bahwa UU No. 1 /1974 tidak mengatur batasan pengertian tentang usia dewasa dan pengertian dewasa. Istilah dewasa memang dijumpai dalam pasal 46 ayat (2) dan pasal 49 ayat (1), tetapi tidak dijumpai penjelasan tentang arti dewasa. Penulis menyarankan agar batas usia dewasa dipatok pada usia 21 tahun sebagaimana diusulkan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH."
Hukum dan Pembangunan Vol. 26 No. 4 Agustus 1996 : 300-312, 1996
HUPE-26-4-Agt1996-300
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sofyan Ridwan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S21323
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Dian Pratiwi
"Khonghucu sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan keimanan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia memeluknya. Dalam perkembangannya, Khonghucu mengalami berbagai hambatan. Di masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang membatasi perkembangan kebudayaan, kepercayaan dan agama yang dianut golonqan etnis Tionghoa serta berusaha mensosialisas ikan bahwa hanya ada lima agama (Islam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindu) yang dianut dan diakui sehingga Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Pengakuan suatu agama erat kaitannya dengan hukum perkawinan yang berlaku. Dalam hal ini timbul masalah mengenai dasar keabsahan perkawinan agama Khonghucu dan bagaimana prakteknya di Kantor Catatan Sipil. Untuk menjawab masalah tersebut, skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan lapangan, dimana data yang diperoleh berasal dari bahan-bahan pustaka dan hasil wawancara. Status Khonghucu sebagai agama yang diakui sebenarnya telah jelas tercantum dalam UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan Khonghucu adalah salah satu agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan pada ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, bila perkawinan oleh pasangan beragama Khonghucu telah di lakukan sesuai ketentuan dan tata cara yang ditetapkan dalam agama Khonghucu serta telah dianggap sah, maka perkawinan tersebut harus pula diakui keabsahannya oleh negara dan dapat dicatat sesuai peraturan yang berlaku. Tetapi dalam prakteknya di Kantor Catatan Sipil, perkawinan agama Khonghucu di tolak untuk dicatat dengan alasan agama Khonghucu tidak diakui dan dibina oleh Departemen Agama. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jaminan kemerdekaan beragama dari negara bagi tiap-tiap penduduk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adina Nurhayatun
"Perkawinan antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing banyak terjadi di Indonesia. Pada asasnya perkawinan haruslah berlangsung kekal dan bahagia, namun bagaimana jika terjadi perceraian dalam perkawinan campuran terutama pada saat anak masih di bawah umur, apakah peraturan perundang-undangan yang ada telah melindungi anak dan bagaimana kedudukan anak akibat perceraian dalam perkawinan campuran? Anak sebagai generasi penerus dan tunas harapan bangsa perlu mendapatkan jaminan perlindungan yang merupakan haknya tanpa ada perbedaan status sosial, politik dan agama. Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya baik jasmani maupun rohani, maka diperlukan peraturan yg dapat melindungi mereka dari segala kemungkinan yang berakibat buruk. Perlindungan yang diberikan berlaku juga bagi anak dari perkawinan campuran. Adanya perbedaan kewarganegaraan dari orang tuanya (ibunya) menimbulkan persoalan tersendiri bagi kedudukan anak mengingat perbedaan hukum dari orang tuanya. Sebagai contoh kasus perkawinan campuran dalam skripsi ini dimana pengasuhan dan pemeliharan anak diberikan kepada ibunya. Walaupun anak dalam pemeliharaan ibunya tapi ayahnya tetap bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Untuk kewarganegaraannya Undang-Undang Perlindungan Anak juga sudah mengatur yaitu demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya maka kewarganegaraan Indonesia bisa diperoleh anak, dengan demikian perlindungan terhadap anak dan kedudukan anak tetap terjamin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wowor, Antonius Hendrikus
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20667
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>