Ditemukan 128760 dokumen yang sesuai dengan query
Sihombing, Merry Christine
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S20853
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2006
S21235
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Romeo Yanto Esyam
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S23226
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Angel Brigitta SR
"
ABSTRAKPerjanjian franchise adalah suatu bentuk kerjasama di bidang bisnis antara dua pihak yaitu franchisor (pihak pemberi hak franchise) dan franchisee (pihak penerima hak franchise). Perjanjian franchise tidak diatur dalam KUHPerdata melainkan timbul dari kebutuhan masyarakat dan praktek kebiasaan. Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap atau optional law yang artinya pasal- pasal dalam hukum perjanjian boleh dikesampingkan apabila para pihak yang membuat perjanjian dan ingin membuat ketentuan sendiri menyimpang dari ketentuan pasal-pasal hukum perjanjian. Mengenai kedudukan pihak franchisee didalam perjanjian franchise adalah tidak dapat disejajarkan dengan kedudukan penerima kuasa dalam suatu perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).
ABSTRACTFranchise agreement is a form of business co-operation between two parties which are franchisor (the party of the franchise right giver) and franchisee (the party of franchise right receiver). Franchise agreement is not regulated on Indonesia civil code, but emerged by society's needs and customs. The 3rd book of Indonesia Civil Code is an optional law that the articles may be excluded if the parties make the provisions personally deviant from the provisions of Law of contract. Concerning the position of franchisee in franchise agreement shall not be compared with the position of the mandate receiver (Articles 1792-1819 Indonesia Civil Code)."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21110
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 1999
S20911
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melvin Purnadi
"Waralaba di Indonesia dilangsungkan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Hal ini diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Secara teoritis, perjanjian didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Tetapi, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa Penerima Waralaba ada di posisi yang lebih lemah dan rawan dirugikan. Salah satunya, adalah keberadaan klausula non-agen yang melepaskan kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012, telah diwajibkan beberapa hal untuk dicantumkan di dalam Perjanjian Waralaba. Pemenuhan kewajiban pencantuman tersebut harus dipastikan dalam Perjanjian Waralaba, guna menjamin Perjanjian Waralaba tetap sesuai dengan hukum Indonesia dan memberikan perlindungan bagi Penerima Waralaba.
In Indonesia, a franchise is based on a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. This is a must, according to Government Regulation No. 42 Year 2007. Theoretically, an agreement is mutually agreed by both side. However, it is well known that in a franchise agreement, the franchisee usually have a weaker position and prone to loss. One of the example is the presence of clausule of non agency, which make the franchisor freed from its liabilities to the franchisee. According to the Minister of Trade Regulations No. 53/M-DAG/PER/8/2012, there is some things required in the franchise agreement, which is obligatory. Fulfilment of this obligation is needed to ensure that the franchise agreement is not violating Indonesian law and giving enough protection to the franchisee."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55714
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melvin Purnadi
"Waralaba di Indonesia dilangsungkan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Hal ini diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Secara teoritis, perjanjian didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Tetapi, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa Penerima Waralaba ada di posisi yang lebih lemah dan rawan dirugikan. Salah satunya, adalah keberadaan klausula non-agen yang melepaskan kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012, telah diwajibkan beberapa hal untuk dicantumkan di dalam Perjanjian Waralaba. Pemenuhan kewajiban pencantuman tersebut harus dipastikan dalam Perjanjian Waralaba, guna menjamin Perjanjian Waralaba tetap sesuai dengan hukum Indonesia dan memberikan perlindungan bagi Penerima Waralaba.
In Indonesia, a franchise is based on a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. This is a must, according to Government Regulation No. 42 Year 2007. Theoretically, an agreement is mutually agreed by both side. However, it is well known that in a franchise agreement, the franchisee usually have a weaker position and prone to loss. One of the example is the presence of clausule of non agency, which make the franchisor freed from its liabilities to the franchisee. According to the Minister of Trade Regulations No. 53/M-DAG/PER/8/2012, there is some things required in the franchise agreement, which is obligatory. Fulfilment of this obligation is needed to ensure that the franchise agreement is not violating Indonesian law and giving enough protection to the franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Juristezar P.L.T.
"
ABSTRAKWaralaba maupun distributor sama-sama suatu usaha/bisnis dengan investasi ‘kecil’ resiko dengan peluang mendapatkan profit besar yang sangat baik. Waralaba merupakan perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa, sedangkan Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Dalam distributor pihak kedua yang menjual barang milik pihak pertama hanya mendapatkan fee atau pembayaran dari jumlah barang yang dibelinya, harga barang ditentukan oleh pihak pertama sebagai pemilik barang. Tugas pihak kedua hanya menjual saja, tidak terlibat manajemen, secara tidak langsung distibutor agreement hanya merupakan perpanjangan tangan pihak pertama saja. Jelas yang diterima pihak kedua sebagai penyalur hanya berupa fee yang telah ditetapkan oleh pihak pertama. Bila dilihat dari segi keuntungan maka jelas lebih menguntungkan franchise, karena baik franchisor maupun franchisee dapat ikut andil dalam manajemen, franchisee hanya perlu membayar lisensi yang telah dimiliki oleh pemilik atau pihak pertama. Namun begitu, dipercaya usaha distributor juga memiliki kelebihan-kelebihan sendiri yang berbeda dari waralaba.
"
2006
S21241
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alfani Gunawan
"Dalam era pesaingan pedagangan global diperlukan adanya suatu sistem pemasaran yang efektif dan efisien salah satunya adalah waralaba. Apabila di bandingkan dengan sistem pemasaran yang sudah ada sebelumnya, bisnis waralaba memiliki beberapa keuntungan, salah satunya adalah penerima waralaba dapat langsung menggunakan popularitas produk dari pemberi waralaba. Bentuk perjanjian waralaba biasanya menggunakan bentuk perjanjian baku, yang kemudian menimbulkan permasalahan apakah bentuk perjanjian waralaba ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba ini. Bedasarkan peraturan perundangan-undangan maka perjanjian ini bisa disebut sebagai perjajian waralaba karena memenuhi unsur-unsur sebagai waralaba yaitu adanya penggunaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas dengan suatu imbalan dalam rangka penjualan barang atau jasa. Kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba ini adalah tidak seimbang karena perjanjian dibuat sepihak oleh pemberi waralaba yang merupakan kontrak baku. Ketika keseimbangan ini dikarenakan karena pemberi waralaba ingin melindungi kepentingannya sebagai pemilik merek dagang. Masalah lain yang mungkin timbul dari perjanjian waralaba ini adalah masalah penyelesaian sengketa antara para pihak, pembagian wilayah pemasaran dan jangka waktu waralaba. Menurut penulis dalam menyelesaikan sengketa sebaiknya menggunakan cara arbitrase. Pembagian wilayah juga harus disebutkan secara tegas agar tidak terjadi kesalahpahaman antara cabang-cabang waralaba mengenai wilayah pemasaran. Mengenai jangka waktu perjanjian waralaba antara PT X. dengan PT Y. adalah 5 tahun, tetapi dapat ditinjau ulang menjadi 10 tahun berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12 Tahun 2006."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21294
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yuni Karyanti S.
"Arus globalisasi dalam perekonomian, terutama di bidang kerjasama perdagangan barang dan jasa yang tengah melanda dunia saat ini, turut pula merebak di Indonesia. Dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat dan kompleks, berbagai bentuk kerjasama dalam bidang perdagangan masuk ke Indonesia, dimana salah satu bentuknya adalah perjanjian franchise. Franchise merupakan suatu bentuk usaha yang telah lama dikenal di Indonesia dan diakui berdasarkan asas kebebasan berkontrak serta sistem terbuka buku III KUH Perdata. Perjanjian franchise antara PT.X dengan PT. Y merupakan perjanjian yang dibuat pada tahun 1993 berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dalam Perjanjian tersebut para pihak rnelakukan pilihan hukum dengan memberlakukan hukum Ohio bagi perjanjian yang bersangkutan, dan hingga saat ini perjanjian tersebut belum didaftarkan sesuai peraturan yang berlaku. Perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang memperlihatkan ketidakseimbangan kedudukan para pihak, dan dalam hal ini pihak franchisee banyak dirugikan, terutama karena adanya pilihan hukum tersebut. Berlakunya PP No. 16 tahun 1997 beserta peraturan pelaksananya yang mensyaratkan berlakunya hukum Indonesia bagi perjanjian franchise serta menentukan adanya kewajiban pendaftaran bagi perjanjian franchise yang dibuat sebelum berlakunya peraturan tersebut dalam hal ini tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terutama bagi pihak franchisee, karena kedudukannya yang lebih rendah daripada KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak dalam perjanjian tetapa dapat melakukan pilihan hukum dalam perjanjian, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, terdapat pembatasan yang cukup berarti terhadap kebebasan para pihak dalam suatu perjanjian franchise, terutama dalam hal terdapatnya klausula no agency yang dapat menghilangkan tanggung jawab franchisor atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21053
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library