Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119793 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1990
S25868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1997
S25867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Zahra Afifah
"Mega-Konstelasi Satelit di Low Earth Orbit (MegaLEO) merupakan fenomena eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa baru yang didorong oleh kemajuan teknologi. Peluncuran MegaLEO berpotensi menghasilkan space debris yang mengancam lingkungan ruang angkasa. Karakteristik teknis MegaLEO membuat potensi timbulnya space debris yang berada di Orbit Bumi, terutama LEO, menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hukum internasional, negara-negara memiliki kewajiban internasional untuk tidak mencemari lingkungan ruang angkasa. Mitigasi space debris merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk menjamin setiap negara bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan ruang angkasa dari harmful contamination. Beragam organisasi internasional telah mengeluarkan instrumen-instrumen pedoman mitigasi space debris seperti UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines dan IADC Space Debris Mitigation Guidelines dan telah diinkorporasikan di tingkat nasional oleh negara-negara, utamanya spacefaring nations. Penelitian ini bertujuan ini melihat bagaimana mitigasi space debris yang berpotensi dihasilkan oleh MegaLEO diatur dalam hukum internasional. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut adalah yuridis normatif atau doktrinal. Penelitian ini menemukan bahwa upaya mitigasi space debris yang ada saat ini belum cukup untuk menekan pertumbuhan space debris dan belum dapat secara efektif mengatasi masalah space debris yang disebabkan oleh MegaLEO. Hal ini didasari pada peningkatan keberadaan space debris di orbit bumi sejak MegaLEO diluncurkan. Dengan demikian, perlu dilakukannya pengkajian ulang atas guidelines mitigasi space debris yang dan perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait penerapan upaya penanggulangan space debris lainnya seperti upaya remediasi berupa Active Debris Removal.

Mega-Constellation of Satellites in Low Earth Orbit (MegaLEO) is a new phenomenon of space exploration and utilization driven by technological advances. The launch of MegaLEO has the potential to produce space debris that threatens the space environment. The technical characteristics of MegaLEO make the potential creation of space debris in Earth orbit, especially LEO, even higher. Under international law, states have an international obligation not to pollute the space environment. Space debris mitigation is an important thing that can be done to ensure that every country is responsible for protecting the space environment from harmful contamination. Various international organizations have issued space debris mitigation guidance instruments such as the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines and IADC Space Debris Mitigation Guidelines and have been incorporated at the national level by countries, especially by spacefaring nations. The aim of this research is to look at how mitigation of space debris that could potentially be generated by MegaLEO is regulated in international law. The research method used to answer the research objectives is normative juridical or doctrinal. This research found that existing space debris mitigation efforts are not sufficient to suppress the growth of space debris and cannot effectively overcome the space debris problem caused by MegaLEO. This is based on the increase in the presence of space debris in Earth's orbit since MegaLEO was launched. Thus, it is necessary to review the existing space debris mitigation guidelines and further research needs to be carried out regarding the implementation of other space debris management efforts, such as remediation efforts in the form of Active Debris Removal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Budhi Prananto
"Permasalahan space debris merupakan salah satu persoalan yang terus menjadi ancaman bagi kegiatan masyarakat internasional di ruang angkasa. Mengingat space debris sebagai suatu akibat langsung dari kegiatan manusia di ruang angkasa, bertambah banyaknya negara-negara yang berkemampuan teknologi untuk melakukan peluncuran hanya akan terus membuat persoalan debris terus berkembang. Walaupun telah terdapat ancaman yang nyata dari keberadaan space debris, kerangka hukum internasional yang tersedia belumlah secara komprehensif mampu menanggapi persoalan yang ada secara langsung. Terlihatlah bahwa konvensi-konvensi ruang angkasa internasional tidak secara langsung membahas mengenai perlindungan lingkungan ruang angkasa terhadap space debris. Contohnya, misi anti-satelit RRC yang dilaksanakan pada tahun 2007. Walaupun tindakan tersebut telah menambah jumlah space debris yang cukup signifikan, akan tetapi tidaklah jelas apakah hal ini dilarang oleh hukum internasional. Tanpa adanya suatu ketentuan hukum internasional yang mengikat, permasalahan yang ada tidak akan dapat diselesaikan. Di lain pihak, masyarakat internasional telah menaruh perhatian pada masalah tersebut dan telah terdapat beberapa usaha dalam penanggulangannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya resolusi Majelis Umum PBB yang mengadopsi ketentuan UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines. Adopsi yang telah dilakukan merupakan langkah besar dalam menanggapi persoalah space debris. Akan tetapi, perlu diingat bahwa adopsi yang dilakukan tidaklah secara serta merta menciptakan norma internasional yang baru. Dalam hal ini, resolusi Majelis Umum PBB yang bersangkutan hanyalah bertindak sebagai "soft law". Walaupun demikian eesolusi tersebut telah mempengaruhi tindakan negara-negara di dunia pada tingkatan tertentu. Usaha-usaha penanggulangan masyarakat internasional telah ditunjukkan dengan adanya implementasi dalam kerangka nasional. Selain itu, resolusi dapatlah dijadikan sebagai harapan-harapan di masa yang akan datang mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu negara terhadap space debris. Dengan ini, maka dapat saja resolusi tersebut dijadikan sebagai landasan pada munculnya norma hukum yang baru.

Space debris has been an increasing threat to space activities conducted by nations worldwide. Considering space debris as a direct consequence of mankind's activity in outer spece, it is inevitable tha future increases in space faring nations will only augment the space debris problem. Despite the obvious danger posed by space debris, the current state of international law has not sufficiently tackle the issue head-on. It is indeed quite clear that the major international space law conventions do not specifically regulate the protection of the outer space environment against the prevalence of space debris. For example, a Chinese anti-satellite missile has destroyed a disused weather satellite in 2007. Though the mission has undeniably generated a substantial amount of space debris, it is unclear whether such an act can be regarded as a violation of international law. Without any binding international norm, the problem is expected to worsen. Fortunately, the international community has recognized the problem and made efforts to mitigate its effects. This has been shown by the UN General Assembly adoption of the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines by way of a resolution. The adoption may be regarded as a major step forward on tackling the problem of space debris. However, it needs to be noted that the adoption does not necessarily generate a new norm under international law. The UN General Assembly resolution may only be regarded as "soft law". In spite of this, the resolution has affected the conduct of nations to some extent. The efforts of nations worldwide on the mitigation of space debris have been shown by the implementation of these guidelines into national framework. Furthermore, the resolution can also be regarded as expectations by the international community on how nations should act towards the problem of space debris. It may well be the case that the resolution might then act as the first step of an emerging international norm."
2014
S53774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Mutia Karim
"Skripsi ini membahas mengenai konsep tanggung jawab dalam rezim hukum angkasa. Secara spesifik membahas konsep fault liability yang diatur dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, dan penunjukan tanggung jawab negara dalam hal sebuah benda angkasa diluncurkan oleh badan hukum privatnya sesuai dengan Outer Space Treaty 1967. Analisis dilakukan dengan menggunakan studi kasus tabrakan antara Cosmos 2251 dengan Iridium 33, sebagai kasus tabrakan besar pertama yang terjadi di ruang angkasa. Meskipun klaim atas kasus ini tidak pernah diajukan, namun para ahli hukum ruang angkasa banyak yang mengemukakan pendapat dan berdiskusi mengenai penerapan Liability Convention 1972 dan Outer Space Treaty 1967 terhadap kasus ini. Karenanya, analisis akan didasarkan pada konvensi dan pendapat para ahli atas kasus ini. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menjabarkan unsur kesalahan dari kedua belah pihak dan kontribusinya terhadap terjadinya tabrakan, seolah-olah setiap pihak merupakan negara penggugat dalam kasus ini.

This thesis studies the concept of liability under the regime of space law, specifically the concept of fault liability under Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, and the attribulity of a State in the event where a space object is launched by its private entity under Outer Space Treaty 1967. The analysis will be conducted with regard to the case of Cosmos 2251 - Iridium 33, as it was the first major collision occurred in the outer space. Despite the fact that there is no claim arises in this case, many scholars have discussed about the applicability of Liability Convention 1972 and Outer Space Treaty 1967 in this case. Hence, the analysis is based on the Conventions and scholars? opinion regarding the mentioned case. Qualitative approach is used to gather recourses in writing this thesis. In conclusion, this thesis attempts to elaborate the faults of both States and their contribution to the collision, as if each State would be the Claimant State in this case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Reiza Syeilendra Permana
"Pengalihan kepemilikan satelit di orbit merupakan fenomena yang
kemudian lahir akibat perkembangan komersialisasi antariksa. Satelit yang
ditempatkan di orbit didaftarkan atas nama negara, sehingga adanya pengalihan
kepemilikan menyebabkan isu yurisdiksi atau pengendalian dan tanggung jawab
negara menjadi krusial untuk dibahas, mengingat intrumen hukum internasional
yang mengatur mengenai kegiatan keantariksaan lahir sebelum fenomena
pengalihan kepemilikan satelit di orbit terjadi.
Permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit meliputi: bagaimana persoalan
pengalihan kepemilikan satelit di orbit diatur dalam hukum internasional;
bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengalihan
kepemilikan satelit di orbit; dan masalah-masalah hukum yang timbul berkenaan
dengan pengalihan kepemilikan satelit di orbit dan bagaimana cara
penyelesaiannya.
Guna mencari jawaban terhadap permasalahan tersebut maka dilakukan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan,
yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan
Konseptual (Conseptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
pengalihan kepemilikan satelit di orbit dimungkinkan berdasarkan ketentuan
Pasal II Registration Convention 1975; Kedua, penerapan tanggung jawab Negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit didasarkan pada Outer Space Treaty
1967, Liability Convention 1972, dan Registration Convention 1975; dan terakhir,
masalah hukum yang timbul terutama masalah pendaftaran objek antariksa dan
tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan khususnya jika terjadi
kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa yang dialihkan.
Terhadap permasalahan tersebut disarankan agar Negara yang menerima
pengalihan kepemilikan setidaknya mencatat satelit tersebut dalam sistem
registrasi nasionalnya untuk dapat memperoleh status sebagai Negara
pendaftaran. Khusus untuk pengalihan kepada bukan Negara peluncur yang asli,
maka diperlukan suatu perjanjian khusus yang mengatur tentang pengalihan
yurisdiksi dan hak pengendalian serta kewajiban atas objek antariksa.

ABSTRACT
Transfer of ownership of the satellite in orbit is a phenomenon that is born
due to the development of space commercialization. Satellites which placed in
orbit, registered in the name of the State so that the transfer of ownership leading
to issues of jurisdiction, or control and responsibility of the State, becomes crucial
to be discussed, considering the international legal instruments governing outer
space activities published before the phenomenon of transfer of ownership of the
satellite in orbit occur.
Legal issues relating to state responsibility in the transfer of ownership of
the satellite in orbit include: how issues of ownership satellites in orbit governed
by international law, how the application of the principle of state responsibility in
the transfer of ownership of the satellite in orbit, and the legal issues which arise
in regard to transfer of ownership of the satellite in orbit and how to solve it.
In order to find answers to these problems normative research is
conducted using three kinds of approaches, i.e. Statute Approach, Conceptual
Approach, and Case Approach.
Based on the results of this study concluded that: First, the transfer of
ownership of the satellite in orbit is possible under the provisions of Article II of
the Registration Convention 1975; Second, the implementation of State
responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit based on the
Outer Space Treaty of 1967, the Liability Convention 1972 and the Registration
Convention 1975; and finally, the legal issues which arise mainly space object
registration problem and state responsibility in the transfer of ownership
especially if there is damage caused by space objects which transferred.
Of these issues it is recommended that the State receiving the transfer of
ownership, at least recorded the satellite in the national registration system, in
order to obtain status as a State registration. Specifically for transfer to the State
instead of the original launcher, it would require a special agreement governing
the transfer of jurisdiction and the rights and obligations of control over the object
space."
Jakarta: 2013
T35096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Wyasa Putra
Bandung: Refika Aditama, 2001
341.46 IDA t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Sofyan
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S25582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yohanes Suhardi S.
"Tanggung jawab pelaku usaha adalah kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Bentuk tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Konsumen dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha apabila konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Konsumen dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum Perlindungan Konsumen seperti, tanggung jawab kontraktual (contractual liability), tanggung jawab produk (produet liabiiity), tanggung jawab profesional (professional liability), serta tanggung jawab mutlak (sirict liability).
Penulisan ini dibuat dengan menggunakan metode Deskriptif Analitis dengan menggunakan pendekatan yang bersifat Yuridis Normatif yang dititikberatkan pada penggunaan data sekunder, yaitu berupa asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang berlaku, dalam hal ini asas-asas dan kaidah hukum yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha dan tentang perlindungan konsumen.
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UUPK diatur khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan kerugian yang diderita konsumen. Sesuai dengan UUPK Bab VI tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha, konsumen mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang telah merugikannya berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha, yaitu berdasarkan prinsip tanggung jawab kontraktual (contractual liability), tanggung jawab produk (produet liability), tanggung jawab profesional (professional liability) dan tanggung jawab langsung (strict liability).
Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dilakukan melalui peradilan umum dengan pengajuan gugatan melalui gugatan individual dan gugatan kelompok/c/av.v aetion. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan prosedur mediasi/konsiliasi dan arbitrase. Pembalikan beban pembuktian diatur dalam Pasal 28 UUPK sehingga unsur pembuktian kesalahan bukan merupakan beban konsumen, tetapi menjadi beban produsen untuk membuktikan tidak bersalah (shifting burden ofproof)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>