Ditemukan 198801 dokumen yang sesuai dengan query
Universitas Indonesia, 1992
S25676
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Patrisia Elissa Putri Ticoalu
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S21467
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Dumanauw, Peter A.L.
"Dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai pemegang hak milik atas kekayaan alam, minyak dan gas bumi yang terkandung dalam bumi dan air wilayah Indonesia, yang merupakan wilayah hukum pertambangan Indonesia memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengatur dan memanfaatkan kekayaan nasional tersebut sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian negara mempunyai hak penguasaan atas kekayaan nasional tersebut dengan menyerahkan penyelenggaraan dan pelaksanaannya kepada perusahaan milik negara, yaitu Pertamina (Perusahaan Tambang Minyak Negara) berupa kuasa pertambangan minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, pemurnian, pengelolahan, pengangkutan dan penjualan. Tetapi pada kenyataannya didalam pelaksanaan pekerjaan penambangan minyak di Indonesia, ada pekerjaan yang dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina dan ada pula yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak dapatnya Pertamina melakukan penambangan sendiri adalah disebabkan semakin tingginya teknologi yang diperlukan untuk melakukan penambangan di Indonesia dikarenakan sulitnya medan penambangan dan untuk memperoleh kualitas dan kuantitas yang semaksimal mungkin. Faktor biaya yang sangat besar dengan resiko yang tinggi juga merupakan faktor diadakannya kerjasama dengan pihak swasta. Pekerjaan penambangan minyak yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina dilakukan melalui kerjasama antara Pertamina dan kontraktor asing, yaitu dalam bentuk Kontrak Production Sharing (Production Sharing Contract). Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut diatas, maka penulis bermaksud membahas Kontrak Production Sharing yang dilakukan oleh Pertamina dan Atlantic Riechfield Indonesia Inc., yang mana penulis mendapatkan hal-hal yang menarik untuk dibahas dalam kontrak ini, seperti diantaranya mengenai 'Apakah kontrak Production Sharing itu, dan apa saja yang diatur didalamnya?' Bagaimana menyelesaikan masalah dalam hal terjadi perselisihan diantara mereka dan juga apakah teori-teori perjanjian yang ada sesuai dengan prakteknya atau terdapat perbedaan-perbedaannya. Atas dasar inilah penulis memberanikan diri untuk menyusunnya dalam sebuah skripsi dengan judul 'Kontrak Production Sharing Antara Pertamina dan Atlantic Richfield Indonesia Inc . Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20432
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Tri Widyastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S22897
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 1995
S25899
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nindya Novianty
"Semenjak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi regulator Pertamina diserahkan kepada BP Migas dan status Pertamina diubah menjadi PT (Persero). Hal ini menyebabkan kedudukan PT Pertamina (Persero) sejajar dengan kontraktor migas lainnya. PT Pertamina (Persero) kemudian membentuk PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) yang kemudian mengadakan kontrak kerjasama dengan BP Migas. Kontrak ini disebut Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina. Berdasarkan uraian tersebut, kemudian timbul pertanyaan mengenai kewenangan para pihak dalam kontrak, mengapa kontrak disebut Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina dan bukan kontrak production sharing saja, apa perbedaan dan persamaan kontrak dengan kontrak production sharing pada umumnya dan bagaimana analisa berbagai kemudahan yang diberikan kepada PT Pertamina EP dalam peraturan perundangan tentang migas dan kontrak.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau buku sebagai bahan penelitian. Kewenangan BP Migas pada dasarnya bersumber dari amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang kemudian ditegaskan dan dijabarkan lagi dalam UU No. 22 Tahun 2001. Kewenangan PT Pertamina EP juga bersumber dari UU No. 22 Tahun 2001 yang mengubah status Pertamina dan PP No. 35 Tahun 2004 yang mengamanatkan pembentukan anak perusahaan untuk setiap wilayah kerja PT Pertamina (Persero). Kontrak antara BP Migas dan PT Pertamina EP ini sebenarnya adalah kontrak production sharing karena ketentuannya sama dengan kontrak production sharing pada umumnya kecuali ketentuan mengenai wilayah kerja kontrak yang luas bekas Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) Pertamina, besaran pembagian hasil yang sama dengan ketentuan yang berlaku pada WKP Pertamina, jangka waktu kontrak yang tidak ditemukan pengaturan masa eksplorasi dan eksploitasi, larangan pengalihan keseluruhan hak dan interest kepada pihak bukan afiliasi dan penyisihan wilayah kerja yang termasuk kecil yaitu minimum 10% pada atau sebelum akhir tahun kontrak kesepuluh. Berdasarkan peraturan perundang-undangan migas dan kontrak tersebut, PT Pertamina EP diberikan beberapa kemudahan yang mengindikasikan bahwa hanya perannya sebagai regulator yang dicabut, sedangkan sebagai player tetap sama seperti dulu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S23908
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cannary Desfira
"Skripsi ini membahas mengenai kesulitan yang hadapi Kontraktor Kontrak Kerja Sama pada sektor Industri Minyak dan Gas dalam menjalankan investasinya di Indonesia. Salah satu hambatan terbesar adalah dengan dikeluarkannya pengaturan mengenai cost recovery di Indonesia. Sejalan dengan disusunnya Revisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi, Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengeluarkan wacana untuk mengganti Kontrak Bagi hasil yang menggunakan sistem cost recovery dengan Konsesi (Royalti). Penelitian ini membuktikan bahwa antara Kontrak Bagi Hasil dengan Royalti sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun pandangan bahwa dengan diterapkannya sistem royalti dan pajak untuk menggantikan Kontrak Bagi Hasil hanya untuk menghindari sistem cost recovery dianggap kurang tepat. Kontrak bagi Hasil masih dianggap kontrak kerja sama yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia, namun diperlukan pembenahan untuk menyelesaikan masalah cost recovery agar tidak menimbulkan disinsentif investasi.
This thesis discussed the difficulties faced by the Contractor in Oil and Gas Industry sectors in carrying out its investment in Indonesia. One of the biggest obstacles is the implementation of Cost Recovery regulation in Indonesia itself. Pursuant to the revised formulation of the Law of Oil and Gas, Oil and Gas Governance Reform Team issued a statement to replace Production Sharing Contract with Cost Recovery within, with the Royalty and Tax. Author concluded that the Production Sharing Contract and Concession Agreement (Royalties) both have advantages and disadvantages. However, replacing the Production Sharing Contract in order to avoid the cost recovery is not precise. Production Sharing Contract is still considered as the most appropriate contract to be applied in Indonesia, but improvements is still greatly needed in governance regulations to resolve the issue of cost recovery in order not to cause disincentives to invest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62513
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2001
S25934
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ahmad Balya
"Sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi merupakan somber kekayaan alam Indonesia yang yang sangat strategis dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). BP MIGAS merupakan kepanjangan tangan Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi pada Wilayah Kerja yang ditentukan. Dalam pelaksanaannya, BP MIGAS melakukan ikatan kerjasama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap ("Kontraktor") dalam suatu kontrak yang disebut Production Sharing Contract (Kontrak Production Sharing). Konsep yang dianut oleh Kontrak Production Sharing adalah bahwa Kontraktor bertanggung jawab untuk menyediakan permodalan dan pendanaan atas biaya operasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Apabila Kontraktor berhasil memasuki Fase produksi komersial maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dikembalikan (cost recovery) oleh Pemerintah melalui BP MIGAS. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang minyak dan gas bumi dan Kontrak Production Sharing memberikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab Kontraktor. Pemerintah juga telah membuat Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang mengatur mengenai tata cara penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang antara lain mengatur mengenai kriteria calon Kontraktor yang dapat ditunjuk untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Kontraktor yang telah menandatangani Kontrak Production Sharing dengan BP MIGAS memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sendiri oleh Kontraktor. Namur dalam pelaksanaannya seringkali timbul permasalahan hukum berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab Kontraktor. Kontraktor seringkali menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya yang pada akhirnya banyak menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Kontraktor. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana sebenarnya hambatan-hambatan yang sering dihadapi Kontraktor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dan apa solusi atau jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Kontraktor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19899
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Indira Ryandhita
"Tulisan ini mengomparasikan dua skema Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi yang berlaku di Indonesia, yakni Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery dan Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split. Tulisan ini juga menganalisis bagaimana penerapan asas keseimbangan serta aspek-aspek dalam hukum perjanjian terpenuhi di dalam Kontrak Bagi Hasil dengan Skema Gross Split. Tulisan ini disusun dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif. Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Skema ini hadir sebagai upaya Pemerintah untuk terus mengoptimalkan pengurusan kekayaan alam minyak dan gas bumi di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi sehingga menarik minat para investor untuk berinvestasi dalam kegiatan usaha hulu migas. Dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split, tidak ada lagi komponen pengembalian biaya operasi yang dibayarkan pemerintah kepada kontraktor. Padahal, hal tersebut kerap dianggap sebagai pemenuhan asas keseimbangan dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery. Dalam skema Gross Split, Pemerintah berupaya melakukan pemenuhan asas keseimbangan melalui pemotongan birokrasi, persentase split yang lebih menguntungkan bagi kontraktor jika dibandingkan dengan skema Cost Recovery, ketentuan mengenai komponen variabel dan progresif, tambahan split dalam hal komersialisasi lapangan tidak mencapai nilai keekonomian tertentu, serta pemberian insentif pajak untuk menarik minat investor.
This writing compares two schemes of Production Sharing Contracts for Oil and Gas in Indonesia, namely the Contract with Cost Recovery scheme and the Contract with Gross Split scheme. It also analyzes how the principle of balance and aspects of contract law are fulfilled within the Contract with Gross Split scheme. This writing is structured using a normative juridical research approach. The Gross Split Production Sharing Contract is an agreement in Upstream Oil and Gas Business activities based on the principle of sharing gross production without an operational cost recovery mechanism. This scheme is a governmental effort aimed at continuously optimizing the management of the natural resources of oil and gas in Indonesia, with the goal of enhancing efficiency to attract investor interest in investing in upstream oil and gas activities. In the Contract with Gross Split scheme, there is no longer a component of operational cost recovery paid by the government to the contractors. However, this component is often considered a fulfillment of the balance principle in the Contract with Cost Recovery scheme. In the Gross Split scheme, the government seeks to achieve balance through bureaucracy cutting, a more favorable percentage split for the contractors compared to the Cost Recovery scheme, provisions regarding variable and progressive components, additional splits in the event of field commercialization not reaching a certain economic value, and providing tax incentives to attract investor interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library