Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Said, Edward W.
Bandung : Mizan , 1995
306.2 SAI ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irhash A. Shamad
"Gejolak tuntutan otonomi daerah yang muncul di era Reformasi, mengindikasikan mandegnya pembangunan politik dan proses demokratisasi di Indonesia selama ini. Sejak lebih kurang empat dasawarsa yang lalu, rezim Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya, telah memperlihatkan hegemoni yang berlebihan bahkan cendrung mendominasi terhadap kehidupan berbangsa. Pluralisme kultural dalam negara bangsa semakin tidak dihargai, ketika sistem politik itu memaksakan homogenitas struktural dan kultural melalui jalur birokrasi yang sentralistis. Pembangunan ekonomi yang diwarnai intervensi politik dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin menusuk ke unit sosial terbawah, telah menggerogoti kemandirian etnik di banyak daerah.
Pemberlakuan UUPD tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan, ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan di tingkat pedesaan. Pemberlakuan UU ini di Sumatera Barat telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural secara mendasar pada sistem sosial yang sudah mapan dan nyaris tidak pernah terusik semenjak masa kolonial. Pemecahan Nagari menjadi Desa telah menimbulkan berbagai akses negatif tidak hanya terhadap struktur kepemimpinan tradisional, juga berimplikasi pada perubahan-perubahan kultural dalam masyarakat Sumatera Barat. Berbagai anomi dan anomali dalam kehidupan masyarakat pedesaan terjadi akibat perubahan ini, pola kultur tradisional komunitas yang demokratik dan egaliter semakin terserabut di akarnya Namun demikian, ketika struktur baru "dipaksakan", ternyata tidak menimbulkan konflik eksternal yang berarti pada komunitas yang dulunya punya elit kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pusat ini. Signifkansi penulisan ini justru ditempatkan pada persoalan bagaimana komunitas Minangkabau beserta elitnya -pada waktu ini- menanggapi sebuah perubahan.
Bila ditelusuri secara teoritis, terdapat dua kelompok kepentingan, yaitu : di tingkat subordinasi adalah komunitas Minangkabau dan di tingkat superordinasi (kelompok dominan) adalah Pemerintah Pusat. Sementara Pemerintah Daerah sebagai kelompok menengah berada di antara keduanya, setidaknya begitu menurut konsepsi formalnya. Benturan kepentingan antara kelompok dominan dan kelompok subordinasi telah menempatkan kelompok menengah pada posisi "ketegangan". Dari sisi inilah peran elit kepemimpinan daerah telusuri. Metodologi strukturisme sejarah digunakan dalam melihat faktor-faktor penyebab (causal factors) dari perubahan struktural yang terjadi di daerah ini.
Tiga priode pemerintahan di Sumatera Barat selama Orde Baru yang dijadikan subyek penelitian untuk pembahasan ini adalah : Priode Kepemimpinan Harlin Zain (1966-1977), Anwar Anas (1977-1987), dan Hasan Basri Darin (1987-1997). Ketiga priode ini masing-masing memiliki karakteristik yang tidak lama dan dalam kondisi politik yang berbeda pula Harlin Zain yang tampil di awal pemerintahan Orde Baru adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini. Sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI, sangat memerlukan penanganan yang tepat. Program-program yang dijalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini, ternyata berhasil meletakkan fondasi-fondasi sebagai landasan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi selanjutnya. Faktor keberhasilan ini, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungun simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini. Namun demikian prioritas yang diberikan terhadap aspek ekonomi telah gagal dalam mengembangkan kesadaran subyektif kelompok semu (elit tradisional) kepada kesadaran komunitas mereka, sehingga resistensi kultural komunitas ini tidak makin menguat dalam progam pemulihan yang dijalankannya.
Azwar Anas yang teknokrat dan militer kemudian melanjutkan kepemimpinan Harun Zain. Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi ketergantungan pada pemerintahan pusat tidak makin menurun. Otoritas kekuasaan pusat mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979. Pemerintahan Nagari yang telah dikukuhkan kembali di masa Harun Zain, dimentahkan lagi justru juga oleh pemerintah Daerah sendiri, yaitu dengan menetapkan Jorang -yang dulu merupakan bagian dari Nagari- menjadi Desa sebagai unit pemerintahan terbawah. Pertimbangan ekonomi serta peluang mobilitas lebih mempengaruhi elit daerah dalam mengambil keputusan ini. Di sini, terlihat kecenderungan kelompok menengah terseret ke kepentingan kelompok dominan. Kondisi teknis seperti ini tidak cukup untuk memunculkan pemimpin yang berorientasi pada pembentukan kesadaran ideologi kelompok subordinasi, apalagi sentralisme birokrasi pemerintah pusat makin mewarnai perkembangan politik saat itu, sehingga tidak terpenuhi prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik.
Dalam priode kepemimpinan Hasan Basri Durin muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Manunggal Sakato don Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah (dalam nilai tradisional) yang diupayakan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam pembangunan, telah "menjawab" tuntutan masyarakat untuk kembali ke format pemerintahan nagari. Meskipun dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok semu (komunitas).

Hegemony of Central Politics and Local Ethnics Autonomy: Leadership of West Sumatera in New Order Indonesia The turbulence of regional autonomy demand that arise during Reformation era indicates slowing political and democratization development process in Indonesia so far. Since the past approximately four decades, the New Order regime in running its government has shown excessive hegemonic power - even trend to dominate-towards the nation life. Cultural pluralism in the nation state is no longer appreciated, when the political system forced structural and cultural homogeneity through centralized by political intervention and exploitation of natural resources that penetrated the lowest social unit, have undermined ethnic self-reliance in many region.
Enactment of WPD 1979 (Villages Government Laws 1979) as an act of homogenization of the government system, is intended to make more effective development implementation in village level. Enactment of this law in West Sumatera has caused fundamental structural changes in the established social system which is almost unchanged since the colonial period Splitting of Nagari into Desa have caused various negative excess, but also it has implication towards cultural changes in the people of West Sumatera . Various anomie(discrepancies) and anomalies in the life of village community occurred due to this changes, democratic and egalitarian as traditional cultural pattern of this community has become more uproot. However, when the new structure is "forced", it turned that it not caused significantly external conflict in this community which previously has aitical elites towards the policies of the central government one. The significance of this writing is the problem how the Minangkabau community and its elites -presently- respond a change.
If we trace it theoretically, there are two interest groups, namely: in subordination level is the Minangkabau community and in super ordination level (dominant group) is the central government. While the regional government as medium group that exists between them, at least according its formal conception. Clash of interest between the dominant group and subordinate group has placed the medium group in "strain" position. From there, the role of regional elite leadership will trace. The historical structures methodology is used in considering the causal factors of structural change in the established social system in this region.
The three government periods in the West Sumatera during the New Order that become the subject of this research to be discussed is : Harlan Zain leadership period (1966-1977), Azwar Anas (1977-19871 and Hasan Basri Durin (1987-1997). The three periods have dissimilar characteristics and it was also exist within different political condition. Harun Zain that emerged dining the beginning of New Order government is a civil economist that do not have social basis in this region. While the condition of the region that was in crisis due to PRRI badly, needed a proper handling. It turned out the programs that he made in order to recover the social and political of the community in this region have become foundation needed in the next economic development. This successful factor, only determined by proper strategy and approach towards the people, but also favored by existence of mutual Symbiosis relationship between the region and the central government at the beginning of this regime. However, the priority given to economic aspect has failed in developing subjective quasi group awareness (traditional elite) to their community awareness that this community cultural resistant was not growing within the recovery program that he performed.
Azwar Anas who was a technocrat and military then continued the leadership of Harlin Zain. The economic development that has been initiated since the period of Harlin Zain has made economic structure of this community established. However, the dependency on the central government was not decreased. The authority of the central government started to undermine the social rights of the community in the region with the enactment of UUPD 1979. The Nagari government that has been reestablished during Harun Zain period, failed even in the hands of the regional government itself, namely by deciding that Jorang -which was formerly part of the Nagari-become Desa as the lowest government unit. Economic consideration and opportunity for mobility affects the regional elite in making this decision. At this point, there is tendency that the medium group to be drifted to the interest of the dominant group.Such technical condition is not sufficed to bringing up a leader that oriented to formation of ideological awareness of the subordinate group, even more with centralism of central government bureaucracy that characterized the political development at that time, not sufficed the pre conditions for formation of conflict interest group
During the leadership of Hasan Basri Durin give a rise to awareness towards the community group interest It seems that this awareness is more affected by various imperfect development programs rather than the decreasing central government authority in this region. The apathy attitude of the people towards implementation and maintenance of the development result itself and the growing internal conflicts have encouraged the regional government to find out new solution in old format. Manunggal Sakato and Musyawarah Pembangunan Nagari as application of cooperation and consensus (in the traditional values) to mobilize people participation in the development, have "responded" the people demand to return to Nagari government format. Even though in its implementation it is still framed with formalism of New Order, however, the efforts done by the regional government at this time, at least have shifted the policy of the regional government from dominant group interest to quasi group interest (community).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T7594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wouden, F.A.E. van
Jakarta: Grafiti, 1985
572 Wou k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Garaudy, Roger
Jakarta: Gema Insani Press, 2000
320.956 GAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zeffry Alkatiri
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1998
291.13 ZEF m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eom, Hye-Sook
Gyeonggido: Yeoweonmidio, 2010
KOR 398.205 EOM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Salsabela
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh kebudayaan Islam dan Arab yang berkembang di Cina Barat. Agama Islam yang berkembang di Cina dibawa oleh para saudagar langsung dari Timur Tengah ketika di Timur Tengah tepatnya di Arab, Islam sedang mengalami perkembangan yang pesat sekitar tahun 651 M. Para penyebar Islam dari Arab membawa nilai-nilai kebudayaan Arab-Islam dan berbagai macam seni sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam di Cina. Kebudayaan Islam dan Arab di Cina menghasilkan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Berkembangnya kebudayaan Islam dan Arab di Cina bertujuan agar agama Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Cina. Pengaruh kebudayaan Islam dan Arab di Cina Barat antara lain berupa arsitektur bangunan, kaligrafi, masakan halal, beladiri Islam, makam, pakaian, pengaruh porselen, suku muslim, obat-obatan, dan penanggalan.

This paper discusses the influence of Islam and Arabic culture that developed in Western China. Islam is growing in China brought by merchants directly from the Middle East as in the Middle East precisely in Arabic, Islam is experiencing rapid growth around the year 651 AD The propagator of Islam from the Arabs brought the values of the Arab-Islamic culture and the various arts as a means to spread Islam in China. Islam and Arab culture in China produce acculturation with the local culture. The development of Islam and Arab culture in China aims to Islam were well received by Chinese society. The influence of Islam and Arab culture in western China, among others, in the form of architecture, calligraphy, food halal, the Islamic martial arts, cemeteries, clothing, porcelain effect, Muslim tribes, medicine, and calendar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S19
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
301 SOE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
303.482 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Syahrir Alkindi
"Kaum intelektual sebagai subyek politik selalu memiliki keberpihakan dan ideologi pada sesuatu hal yang ia atau mereka perjuangkan. Subyek-subyek politik ini berdisensus untuk mendukung atau menentang ideologi dari kekuatan politik lainnya. Konsensus subyek-subyek politik ini terjadi akibat sebuah konstruksi budaya dan bahasa di dalam ruang publik. Konstruksi ini membentuk sebuah sistem produksi, reproduksi, dan distribusi bagi sebuah ideologi. Sistem yang terkonstruksikan ini mengharuskan sebuah identitas dan asal-usul bagi sebuah kekuatan politik. Subyek politik tidak bisa mengemban ideologinya secara mandiri tanpa ada kesamaan kepentingan dan irisan tujuan yang sama. Ideologi yang terkonsentrasi dalam satu kesatuan sistem produksi ini menciptakan plot atau alur yang stabil dalam pergesekan kepentingan dan tujuan politik dalam ranah kebudayaan dan keseharian. Distribusi sebuah ideologi menentukan ideologi mana yang akan di konsumsi dalam tindakan politik kebudayaan ruang publik. Distribusi ideologi ini dimanifestasikan dalam bentuk hegemoni yang mengkonstruksi sistem politik tersebut melalui praktik-praktik kebudayaan dan berkesenian. Akses sebuah kekuasaan memudahkan hegemoni itu sendiri mendistribusikan ideologi dari kekuatan politik penguasa. Hegemoni terjadi melalui institusi-institusi kebudayaan yang dimiliki kekuatan politik tertentu. Polemik kebudayaan LEKRA-MANIKEBU menjadi contoh konkrit hegemoni kebudayaan dan konstruksi bahasa.

The Intelectuals as political subject always taking side on current ideological struggling. These political subjects involved in dissensus to support or confront ideologies from other political group. These subject politic's consensus occurred from culture and language construction in public sphere. These constructions formed production, reproduction, and distribution system for ideology. These contructed system indicated identity and origin for political strength. Political subjects could not bear its ideology independently without identical purpose and mission from the other political groups. This concentrated ideology in current production system creating a stable plot on dissensus in our culture reality. Ideology distribution determine which ideology consummed on political culture action in public sphere. These ideological distribution manifestated in hegemonical form which constructed political system through culture and art practice and exhibition. Access to power ease hegemony itself to distributing ideology from ruling political power. Hegemony happen through cultural institution owned by specific political group. LEKRA MANIKEBU's cultural polemic is a concrete cultural hegemony and language construction example. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S68134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>