Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34909 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 1999
323 JAL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Chandra Anggiat L.
"Pelanggaran HAM Berat Timor Timur yang terjadi dalam kurun waktu Januari-September 1999 pada saat pra dan pasca jajak pendapat menurut KPP HAM TIMTIM, berdasarkan fakta dokumen, keterangan dan kesaksian, dari berbagai pihak, pelanggaran tersebut tak hanya merupakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia atau gross violation of human rights yang menjadi tanggung jawab negara (states responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat HAM tersebut dapat digolongkan sebagai universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi, terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (the rights to life), hak atas intregrasi jasmani (the rights to personal integrity), hak akan kebebasan (the rights to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (the rights of movement and to residence), serta hak milik (the rights to property).
Pemerintah atas desakan internasional akhirnya mengadakan persidangan terhadap pelaku melalui Pengadilan HAM Ad Hoc TIMTIM di Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi kekecewaan dalam vonis pengadilan tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kerancuan definisi-definisi mengenai pelaku pelanggar HAM, tindakan pidana dan tanggung jawab komando dalam pasal-pasal di UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta ketidakmampuan para penegak hukum dalam membuktikan dakwaan yang dimaksudkan. Dunia Internasional kecewa terhadap vonis yang telah dikeluarkan dan melalui Komisi Ahli PBB direkomendasikan agar dilakukan pengadilan ulang atau dilakukan pengadilan tribunal. Untuk itu Indonesia harus menyikapi secara serius hal-hal tersebut dan sesegera mungkin mengubah cara pandang pespektif HAM sesuai dengan Hukum Internasional dan melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap perundangundangannya sehingga tidak terulang kembali pelanggaran HAM yang serupa. Dan hendaknya di kawasan Asia Tenggara di bentuk Pengadilan HAM agar HAM dapat ditegakkan, karena pada hakekatnya Penegakan HAM adalah tugas negara dan jika negara gagal melakukannya maka negara yang harus diadili sebagai bentuk tanggung jawab di dunia internasional melalui pengadilan yang tidak dibentuk oleh negara yang bersangkutan tapi merupakan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Aftarini
"Penyidikan sebagai proses awal hukum dalam penegakkan hukum materiil melalui hukum formil yang memungkinkan adanya upaya paksa yang notabene membatasi kemerdekaan dari tersangka pelaku tindak pidana. Tindakan penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (penyidik) terhadap seseorang tersangka pelaku tindak pidana maka akan menimbulkan asosiasi di kalangan masyarakat dan menghubungkan dengan perbuatan pelanggaran hukum atau perbuatan pidana yang tercela oleh masyarakat. Proses labeling sebagai seseorang yang melakukan tindak pidana seketika disandang tersangka begitu penyidik menetapkan penahanan atas dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Proses kehidupan sebagai tahananpun dimulai. Sebagai seorang tahanan tentunya hak asasi tersangka yaitu kemerdekaan atau kebebasannya terampas. Hak-haknya sebagai tersangka yang ditahan seketika rentan dari berbagai tindakan yang sewenang-wenang atau penyalahgunaan kewenanga dari aparat penegak hukum. Baik pada saat ditahan maupun pada saat menjalani masa tahanan.
Oleh karena itu, guna menyelamatkan manusia dari perampasan dan pembatasan terhadap hak-hak asasinya dari tindakan penahanan yang tidak disertai surat perintah penahanan maka pembuat undang-undang membuat suatu rumusan ketentuan-ketentuan hukum secara limitatif dan terperinci yang membatas penggunaan kewenangan menahan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Akan tetapi walaupun secara normatif sudah dibatasi penggunaan wewenang untuk menahan tersangka namun, dalam pelaksanaannya masih ditemuinya adanya pelanggaran atau pengabaian terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka). Hal ini disebabkan karena tindakan penahanan selalu merupakan tindakan yang menimbulkan persoalan baru bagi tersangka/keluarganya dan persoalan tersebut timbul karena pelaksanaan penahanan memiliki wilayah yang abu-abu (grey area)dan sangat kompleks jika dikaitkan dengan hak asasi manusia.
Hak asasi manusia sebagai hak yang diakui secara universal. Hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dilaksanakan secara proporsional tanpa mengorbankan hak masyarakat demi membela hak-hak individu yang berlebihan.
Pemeriksaan perkara pidana diawali dengan kegiatan penyidikan, penyidik untuk kepentingan penyidikan dapat melakukan penahanan berdasarkan norma-norma hukum yang diatur dalam Pasal 20 sampai dengan 31 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hasil penyidikan inilah yang akan menjadi dasar untuk dilakukan penuntutan dan pemeriksaan perkara pidana oleh majelis hakim sehingga diperoleh putusan pemidanaan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hasil penyidikan yang tidak baik akan menghasilkan putusan pemidanaan yang tidak balk. Jangan sampai orang yang tidak bersalah yang dijatuhi hukuman.
Hasil penelitian menunjukkan dominasi alasan yuridis subjektif atas alasan yuridis objektif dari penahanan, sehingga urgensi penahanan hanya sekedar menjalankan perintah undang-undang dan merupakan bagian dari menjalankan tugas negara. Jadi terbukti atau tidak bersalahnya tersangka yang ditahan tersebut itu urusan pengadilan. Penderitaan tersangka yang ditahan atas penahanan yang tidak sah bukanlah menjadi tanggung jawab penyidik dan itu hanya dipandang sebagai pelanggaran kode etika profesi.
Berdasarkan latar belakang kewenangan dan tujuan penahanan maka penulis mengkaji apa yang menjadi urgensi dari penyidik untuk memutuskan menahan atau tidak menahan seseorang pelaku tindak pidana dan bagaimana batasan normatif dapat menjamin perlindungan hak asasi tersangka yang di tahan dari tindakan yang sewenang-wenang dari penyidik."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Yulialdina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S26035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cassesse, Antonio
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1994
323 CAS h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
King, M. L.
[Place of publication not identified]: YBM Si-sa, [date of publication not identified]
323.4 KIN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kadri Husin
"Hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka/terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka/terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka/terdakwa dapat terjadi baik secara normatif maupun secara empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak tersebut. Oleh karena itu masalah penelitian adalah :
1. Apkah terdapat kesenjangan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP?.
2. Bagaimana kesenjangan hukum secara empiris hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana di Propinsi Lampung?.
3. Pada tingkat proses peradilan manakah kesenjangan hak tersangka/terdakwa paling banyak terjadi.
Penelitian normatif dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hakhak tersangka/terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana di wilayah Pengadilan Tinggi Propinsi Lampung, menghasilkan data bahwa secara normatif dan empiris terdapat kesenjangan mengenai hak tersangka/terdakwa baik dalam KUHAP maupun dalam pelaksanaan penerapan hak tersebut.
Kesimpulan kesenjangan hak tersangka/terdakwa secara normatif, karena tidak konsisten perumusan hak yang ada dalam KUHAP. Hal lain adalah disebabkan penggunaan bahasa yang tidak jelas dalam rumusan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP menyebabkan perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum maupun dari pencari keadilan terhadap hak tersangka/terdakwa. Kesenjangan hak-hak tersangka terdakwa secara empiris terjadi dalam seluruh tahap pemeriksaan peradilan pidana baik pemeriksaan penyidikan, pemeriksaan penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Kesenjangan yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan penerapan hak-hak tersangka/terdakwa terjadi pada proses praadyudikasi.
Saran yang diajukan adalah :
1. Mengurangi atau menghilangkan kesenjangan secara normatif mengenai hak tersangka/terdakwa dengan mengadakan peninjauan kembali KUHAP.
2. Meningkatkan kemampuan profesional para penegak hukum, maupun kesadaran hukum masyarakat pencari keadilan secara memadai.
3. Mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dalam proses peradilan pidana dengan menumbuhkembangkan sikap batin antara penegak hukum untuk menghargai dan melaksanakan secara benar hak-hak tersangka/terdakwa sebagai komitmen terhadap negara hukum dan negara demokrasi.

It is understood that the rights of the suspect/ accused in the KUHAP are parallel with the declaration/acknowledgement of human right. Based on that a suspect/accused should not be considered guilty before it is officially decided as a final verdict. Protection of the suspect/accused from law enforcement officials cruelty in conduction their duties and authorities should be established in criminal justice. However, discrepancy between rights of the suspect/accused could occur bath normatively as well as empirially due to unclear formulation of law or perception differences on that right between law enforcement officials and justice seekers.
Therefore, the problems of this research are :
1. Is there any discrepancy within the rights of the suspect/accused in the KUHAP?.
2. How is law discrepancy of the rights of the suspect/ accused within the process of criminal law in Lampung empirically?.
3. In what level of law process is the discrepancy of right of the suspect/accused mostly occured?.
Research is carried out normativelly toward regulation of laws concerning rights of the suspect/accused, law enforcement officials, as well as justice seekers within the process of criminal law in Lampung Provincial. High Court shows that both normatively and empirically there are discrepancies concerning the rights both in the KUHAP and in the implementation of the establishment of rights. It can be concluded that normatively the discrepancy of the rights in the KUHAP. The unclarity of the language used in the formulation of the rights in the KUHAP also causes various perceptions among law enforcement officials and justice seekers concerning the rights.
Discrepancies of rights of the suspect/accused emprically occures within all the stages of crimial justice investigations, in spot/close investigations, prosecutions, and hearings. The greatest number of discrepancies concerning the implementation of the establishment of rights of the suspect/accused occur during the prejudiciary process.
To overcome the situation some suggestions are recommended, namely :
1. Decreasing or eliminating the discrepancies concerning rights of the suspect/accused normatively by reevaluating the KUHAP.
2. Increasing the professional skills of the law enforcement officials, and the law awareness of the justice seekers' society appropriately.
3. Establishing integrated criminal justice system within the criminal justice process by developing a certain inner attitude among the law enforcement officials which respects and is willing to establish correctly rights of the suspect/accused as a commitment toward a lawful and democratic country.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D96
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>