Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69360 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
365 PAN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hulsman, L.H.C.
Jakarta: Rajawali, 1984
345 Hul s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Nasrul
"Pemasyarakatan sebagai lembaga dan tempat pelaksanaan putusan pengadilan telah mengalami kelebihan penghuni. Jika ditambah lagi pemidanaan yang makin marak maka menjadi pertanyaan dimanakah para pelanggar hukum ini akan ditempatkan. Sementara pemerintah untuk saat ini sndah tidak bisa menunjang seutuhnya kebutuhan Pemasyarakatan sebagai muara sistem peradilan pidana. Berangkat dari latar belakang tersebut ingin diketahui, pertama, upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh Sistem Peradilan Pidana dalam mengatasi over kapasitas. Kadua, Melalui punelitian ini ingin diketahui kendala-kendala apa saja yang ditemui dalam upuya mengatasi over kapasitas di Lapas oleh sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Dengan menggunakan data sekunder dan data-data empiris berupa wawancara dengan beberapa narasumber yang berkaitan langsung dengan sistem puradilan pidana. Upaya dalam hal ini untuk mengatasi over kapasitas telah dilakukan oleh masing masing sub-sub sistem dalam system peradilan pidana namun upnya yang dilakukan dengan menggunakan kewenangannya melalui dlskresi ternyata tidak bisa mengatasi over kapasitas. Dengan dlbentuknya Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkumjakpol) dapat mengatasi lemahnya koordinasi yang selama ini masih menjadi kendala dan melakukan penekanan kembali kepada para penegak hukum untuk mulai menjalankan apa yang telah dibuat dan dituangkan dalam surat keputasan bersama pada forum Mahkumjakpol sehingga permasalah ego sektoral yang menjadi kendala selama ini dapat terkikis melalui forum tersebut.

as an institution and place of execution of court decisions has been experiencing excess occupants. If in addition a more intense punishment then becomes a queation of where these offenders will be placed. While the government currently can not fully support the needs of Corrections as an estuary of the criminal justice system. Departure from this background we want to know, first, what efforts have been made by the Criminal Justice Syatem in addressing over-capacity. Secondly, through this research we want to know what the -obstacles encountered in efforts to overcome the over-capacity in prisons by the sub-sub-systems within the criminal justice system. By using secondary data and empirical data in the form of interviews with several speakers who are directly related to the criminal justice system. Efforts in this regard to overeome the over-capacity has been carried out by each sub-sub-systems within the criminal justice system but the attempt was made to use its authority through the discretion was not able to cope with over-capacity. With the establishment of !he Supreme Court, Ministry of Justice and Human Rights, the Attorney General, and Police (Mahkumjakpol) can overcome the weakness of coordination that still be a constraint and return to their emphasis on law enforcement to begin running what has been made and poured in a joint decree Mahkumjakpol on the forum so thar sectoral ego problems that become obstacles for this can be eroded through the forum."
Lengkap +
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33667
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
"Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut :
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
"ABSTRAK
Proses pada sistem peradilan pidana anak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan ini dapat dikatakan merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang hukum acara peradilan pidana anak dimana terdapat beberapa perbedaan dengan proses peradilan pidana dengan orang dewasa. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya peran Balai Pemasyarakatan untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan. Melalui Penelitian kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan diharapkan mampu melindungi hak asasi anak yang melakukan tindak pidana.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan dalam perlindungan hak asasi manusia pada sistem peradilan pidana anak, dan faktor-faktor penghambat dalam proses tersebut. Pendekatan penelitian yang -dipakai adalah kualitatif dan peneliti menganalisa data yang diperoleh secara induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan pada sistem peradilan pidana anak belum mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana ditetapkan dalam beberapa instrumen hak asasi manusia, yang pada dasamya menyebutkan bahwa proses hukum yang dilalui oleh seorang anak yang melakukan tindak pidana harus didasarkan pada ketentuan hukum dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya faktorfaktor penghambat pada balai pemasyarakatan dalam melaksanakan fungsinya dalam peradilan pidana anak. Hasil penelitian menyarankan bahwa ketentuan yang mengatur tentang fungsi Balai Pemasyarakatan perlu direvisi; meningkatkan sumber daya manusia; dan menjalin komunikasi yang lebih baik diantara aparat penegak hukum.

ABSTRACT
The process of juvenile justice system based on Law Number 3 of the year 1997 on Juvenile Justice. This rule is special regulation about juvenile justice procedures which has differences with adults. One of the differences is the existence of Balai Pemasyarakatan to make social inquiry reports. Trough this report, the functional officer at Balai Pemasyarakatan suppose to make efforts to protect the juveniles.
The focus of the research is to find out the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system, and the obstacles of that process. The method used in this research is qualitative and the data analyze is inductive.
The results of the research show that the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system have not implemented the principles of human rights which state that all the process at juvenile justice should based on the regulations and only applied as the last resort. This condition caused that Balai Pemasyarakatan meets the obstacles in the implementation of its functions. The research makes suggestions to improve the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system. That are making revision of the regulations on function of Balai Pemasyarakatan; developing the human resources; and having better communication between the law enforcement officials.
"
Lengkap +
2007
T20831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadri Husin
"Hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka/terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka/terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka/terdakwa dapat terjadi baik secara normatif maupun secara empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak tersebut. Oleh karena itu masalah penelitian adalah :
1. Apkah terdapat kesenjangan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP?.
2. Bagaimana kesenjangan hukum secara empiris hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana di Propinsi Lampung?.
3. Pada tingkat proses peradilan manakah kesenjangan hak tersangka/terdakwa paling banyak terjadi.
Penelitian normatif dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hakhak tersangka/terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana di wilayah Pengadilan Tinggi Propinsi Lampung, menghasilkan data bahwa secara normatif dan empiris terdapat kesenjangan mengenai hak tersangka/terdakwa baik dalam KUHAP maupun dalam pelaksanaan penerapan hak tersebut.
Kesimpulan kesenjangan hak tersangka/terdakwa secara normatif, karena tidak konsisten perumusan hak yang ada dalam KUHAP. Hal lain adalah disebabkan penggunaan bahasa yang tidak jelas dalam rumusan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP menyebabkan perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum maupun dari pencari keadilan terhadap hak tersangka/terdakwa. Kesenjangan hak-hak tersangka terdakwa secara empiris terjadi dalam seluruh tahap pemeriksaan peradilan pidana baik pemeriksaan penyidikan, pemeriksaan penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Kesenjangan yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan penerapan hak-hak tersangka/terdakwa terjadi pada proses praadyudikasi.
Saran yang diajukan adalah :
1. Mengurangi atau menghilangkan kesenjangan secara normatif mengenai hak tersangka/terdakwa dengan mengadakan peninjauan kembali KUHAP.
2. Meningkatkan kemampuan profesional para penegak hukum, maupun kesadaran hukum masyarakat pencari keadilan secara memadai.
3. Mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dalam proses peradilan pidana dengan menumbuhkembangkan sikap batin antara penegak hukum untuk menghargai dan melaksanakan secara benar hak-hak tersangka/terdakwa sebagai komitmen terhadap negara hukum dan negara demokrasi.

It is understood that the rights of the suspect/ accused in the KUHAP are parallel with the declaration/acknowledgement of human right. Based on that a suspect/accused should not be considered guilty before it is officially decided as a final verdict. Protection of the suspect/accused from law enforcement officials cruelty in conduction their duties and authorities should be established in criminal justice. However, discrepancy between rights of the suspect/accused could occur bath normatively as well as empirially due to unclear formulation of law or perception differences on that right between law enforcement officials and justice seekers.
Therefore, the problems of this research are :
1. Is there any discrepancy within the rights of the suspect/accused in the KUHAP?.
2. How is law discrepancy of the rights of the suspect/ accused within the process of criminal law in Lampung empirically?.
3. In what level of law process is the discrepancy of right of the suspect/accused mostly occured?.
Research is carried out normativelly toward regulation of laws concerning rights of the suspect/accused, law enforcement officials, as well as justice seekers within the process of criminal law in Lampung Provincial. High Court shows that both normatively and empirically there are discrepancies concerning the rights both in the KUHAP and in the implementation of the establishment of rights. It can be concluded that normatively the discrepancy of the rights in the KUHAP. The unclarity of the language used in the formulation of the rights in the KUHAP also causes various perceptions among law enforcement officials and justice seekers concerning the rights.
Discrepancies of rights of the suspect/accused emprically occures within all the stages of crimial justice investigations, in spot/close investigations, prosecutions, and hearings. The greatest number of discrepancies concerning the implementation of the establishment of rights of the suspect/accused occur during the prejudiciary process.
To overcome the situation some suggestions are recommended, namely :
1. Decreasing or eliminating the discrepancies concerning rights of the suspect/accused normatively by reevaluating the KUHAP.
2. Increasing the professional skills of the law enforcement officials, and the law awareness of the justice seekers' society appropriately.
3. Establishing integrated criminal justice system within the criminal justice process by developing a certain inner attitude among the law enforcement officials which respects and is willing to establish correctly rights of the suspect/accused as a commitment toward a lawful and democratic country.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D96
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romli Atmasasmita
Bandung: Binacipta, 1996
345 ROM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Di Indonesia, sejak tanggal 27 April 1964,
pelaksanaan putusan pengadilan secara teknis operasional
atau pola pemidanaan, telah menerapkan sistem
pemasyarakatan melalui pembinaan dan bimbingan. Dengan
terbitnya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang isinya mengatur tentang fungsi dan
tujuan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan atau
narapidana dalam sistem pemasyarakatan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 2 dan 3 Undang-undang ini yaitu
“membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana serta menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”. Pembinaan
terhadap narapidana diatur lebih lanjut dalam Kepmen
Kehakiman no: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana dan Tahanan yaitu pembinaan
kepribadian dan pembinaan kemandirian. Sistem
pemasyarakatan tidak lepas daripada sistem peradilan pidana
terpadu, karena dalam pelaksanaan pembinaan terhadap warga
binaan pemasyarakatan memperoleh pengawasan serta
pengamatan dari pihak pengadilan yang memutus perkara
pidana tersebut. Pengawas dan pengamat terhadap jalannya
proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dilakukan oleh
seorang hakim yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat sebagai
diatur dalam KUHAP Pasal 277 – 283 serta SE.MA. No 7 Tahun
1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Hakim Pengawas dan
Pengamat. Maka jelas bahwa sistem pemasyarakatan sebagai
pola pemidanaan di Indonesia tidak lagi merupakan
pembalasan dan penjeraan tetapi lebih kepada resosialisasi
dan reintegrasi yaitu mengembalikan narapidana ketengah
masyarakat sebagai manusia yang baru sebagaimana yang
diinginkan oleh DR. Sahardjo, SH. Dengan konsepsinya
tentang hukum nasional yang digambarkan sebagai Pohon
Beringin yang melambangkan Pengayoman dan sekaligus sebagai
pencetus ide sistem pemasyarakatan di Indonesia."
Lengkap +
[, Universitas Indonesia], 2006
S22296
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>