Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3416 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djakarta: Fasco, 1955
959.8 PER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku iini berisi tentang riwayat Sultan Hamid II, suasana sebelum peristiwa ; Sultan Hamid II dimuka sidang Mahkamah Agung ; Tuntutan Jaksa Agung ; Pembelaan dari Sultan Hamid II ; Pembelaan dari Mr. Surjadi ; dan Keputusan Mahkamah Agung."
Djakarta: Fasco, 1955
K 959.803 PER p
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Anshari
"Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif pada materi Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia, kemudian delik tersebut dikomparasikan dengan sebuah studi kasus, yang salah satunya adalah kasus tuduhan 'makar' atau 'pemberontakan' terhadap Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953. Tipologi penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif (doktriner), yaitu dengan penelitian melalui studi kepustakaan (Library Research) atau disebut juga sebagai studi dokumen (Documentary Research), bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah data atau dokumen. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) masih mengatur pasal yang bersifat kolonial yang hingga hari ini masih diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah tentang Delik Terhadap Keamanan Negara. Yang dimaksud Delik Terhadap Keamanan Negara tersebut diatur di dalam Bab-I Buku Kedua KUHP. Inti dari perbuatan yang di larang dalam Bab-I Buku Kedua KUHP tersebut adalah Makar (Aanslag) dan Pemberontakan (Opstand), dan lainnya yang bersifat mengganggu kemananan dalam negara. Delik Terhadap Kemanan Negara hampir selalu dilatarbelakangi atau dengan tujuan-tujuan politik, dan di setiap pemerintahan suatu negara mempunyai pengertian serta batasan tersendiri tentang perbuatan yang dikategorikan sebagai delik dengan maksud tujuan politik. Bahkan terdapat perbedaan penafsiran terhadap pengertian 'politik' baik dikalangan sarjana, para hakim, maupun penguasa suatu negara. Dalam praktek maupun sejarah Indonesia, seringkali ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya belum tentu termasuk kategori pelanggaran atas usaha pengkhianatan terhadap negara/kemanan negara/makar. Namun oleh pemerintah selaku penguasa politik, kepada pelanggar pidana seringkali dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal perbuatan makar dan pemberontakan. Hal itu kemudian menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas pengaturan hukum tentang tersebut. Kajian untuk melihat penerapan atas pengaturan tentang makar itu, kemudian dapat dilihat melalui Studi Kasus terhadap kasus kontroversial Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953. Dimana dapat dilihat obyektifitas Negara dalam mengadili sebuah kasus 'makar'.

This research is normative study to crime against state security (Makar) in Indonesia, this criminal act compared with a study to one case, which is accusation about 'makar' or 'rebellion' to Sultan Hamid II during 1950-1953. The type of research which is used in this research is library method with spatially normative juridical (doctriner), with research by library research or be called by documentary research, prime material used in this research is data or document. Criminal Code (KUHP) still arrange article that spatial colonial which are until today still implemented in Indonesia, one of the article is criminal act against state security. The definition from criminal act aginst state security regulated in Section One Book Two Criminal Code (KUHP). Core from this criminal act that forbidden in Section One Book Two Criminal Code (KUHP) is that Makar (Aanslag) and Rebellion (Opstand), and the other things that disturb state security. Criminal act against state security almost always background about politic goal, and in every goverment of a country has definition and restriction itself about act that categorized as criminal act with politic goal. Even there are differences in interpretation about 'politic' in scholars, judges and leader of a country. In practical also in Indonesian history, often found cases about law violation in Indonesia that are actually not neccessarily include violation about attempt against state security. But the goverment as political leader, to criminal offender often charged with articles about criminal act against state security or rebellion. It then incuring various polemical at pro part and contra part about law regulation in criminal act against state security. Study to see the implementation on regulation about makar, then can see by case study to controversial case Sultan Hamid II during 1950-1953. Which is can see country objectivity in judging a makar case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29571
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jumsari Jusuf
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1993
899.221 3 JUM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arsanti Wulandari
Yogyakarta: Museum Negeri Sonobudoyo, 2021
959.8 ARS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Yogyakarta: Banjar Aji, 2008
959.8 MAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Yogyakarta: Banjar Aji, 2008
959.82 DJO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II (HB II) telah menunjukkan pribadinya sebagai bangsawan Yogyakarta yang menjaga integritas dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia menjadi musuh utama Belanda yang dianggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan kraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, ia tetap menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya benturan dengan tuntutan
dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan HB II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai akibat dari sikapnya itu, pemerintah kolonial menggunakan berbagai alasan untuk menurunkan tahtanya. Selama hidupnya, Sultan HB II mengalami dua kali penurunan tahta (tahun 1811 oleh Daendels dan 1812 oleh Raffles), bahkan dibuang sebanyak tiga kali sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825). Pemerintah kolonial akhirnya harus mengakui kewibawaan Sultan HB II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya perang Diponegoro. Ia dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Sultan HB II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda apalagi untuk menangkap Diponegoro atau menghentikan perlawanannya. Hingga kini masih banyak karya peninggalan Sultan HB II yang mengingatkan pada watak dan masa pemerintahannya. Baik karya sastra, karya seni maupun bangunan fisik mengingatkan pada kebijakan, tindakan dan watak Sultan HB II semasa hidupnya.

Abstract
Since his younger age, Sultan Hamengku Buwono II indicated that he always refused the Dutch intervention in the sultanate?s palace of Yogyakarta. He became rival of the Dutch governments because of his opinion that the Dutch had intervented too much in the cultural and noble life?s sultanate of Yogyakarta. After his coronation as a sultan in Yogyakarta in 1792, he kept his mind to guard the Java?s glorious tradition and the traditional power of the Sultan. This condition caused a great conflict between the Sultan and the Dutch government. Sultan HB II tried to refuse all the intervention of Dutch Government. As consequences of his character, the colonial government proposed to replace the Sultan with the crown prince. During his life, he accepted twice decoronation (in 1811 by Gouvernor General Daendels and in 1812 by Leutnant General Raflles) and he was exiled three times (Penang in 1812, Ambon in 1817 and Surabaya in 1825). Finally, the Dutch Government recalled him to be a sultan in Yogyakarta to persuade all princes who supported Prince Diponegoro?s revolt. Unfortunately, till his death, he still refused to cooperate with the colonial government. To the present, there are many works of this sultan as: literary works, philosophy, arts dan physical buildings, which describes his characters toward the colonial government."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia], 2008
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II (HB II) telah menunjukkan pribadinya sebagai bangsawan Yogyakarta yang menjaga integritas dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia menjadi musuh utama Belanda yang dianggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan kraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, ia tetap menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya benturan dengan tuntutan dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan HB II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai akibat dari sikapnya itu, pemerintah kolonial menggunakan berbagai alasan untuk menurunkan tahtanya. Selama hidupnya, Sultan HB II mengalami dua kali penurunan tahta (tahun 1811 oleh Daendels dan 1812 oleh Raffles), bahkan dibuang sebanyak tiga kali sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825). Pemerintah kolonial akhirnya harus mengakui kewibawaan Sultan HB II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya perang Diponegoro. Ia dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Sultan HB II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda apalagi untuk menangkap Diponegoro atau menghentikan perlawanannya. Hingga kini masih banyak karya peninggalan Sultan HB II yang mengingatkan pada watak dan masa pemerintahannya. Baik karya sastra, karya seni maupun bangunan fisik mengingatkan pada kebijakan, tindakan dan watak Sultan HB II semasa hidupnya.

Since his younger age, Sultan Hamengku Buwono II indicated that he always refused the Dutch intervention in the sultanate?s palace of Yogyakarta. He became rival of the Dutch governments because of his opinion that the Dutch had intervented too much in the cultural and noble life?s sultanate of Yogyakarta. After his coronation as a sultan in Yogyakarta in 1792, he kept his mind to guard the Java?s glorious tradition and the traditional power of the Sultan. This condition caused a great conflict between the Sultan and the Dutch government. Sultan HB II tried to refuse all the intervention of Dutch Government. As consequences of his character, the colonial government proposed to replace the Sultan with the crownprince. During his life, he accepted twice decoronation (in 1811 by Gouvernor General Daendels and in 1812 by Leutnant General Raflles) and he was exiled three times (Penang in 1812, Ambon in 1817 and Surabaya in 1825). Finally, the Dutch Government recalled him to be a sultan in Yogyakarta to persuade all princes who supported Prince Diponegoro?s revolt. Unfortunately, till his death, he still refused to cooperate with the colonial government. To the present, there are many works of this sultan as: literary works, philosophy, arts dan physical buildings, which describes his characters toward the colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Broeck, W. van den
Antwerpen-Baarn: Houtekiet, 1990
BLD 839.36 BRO pr
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>