Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116211 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nimas Gilang Puja Norma
"Tulisan ini hendak berargumen bahwa Amerika Serikat mempunyai pengaruh mendalam dalam konvensi perubahan iklim Protokol Kyoto. Melalui Productive power, Amerika Serikat mampu terlibat dalam setiap keputusan yang dihasilkan dalam konvensi ini. Selain itu productive power Amerika Serikat juga mampu mengkontrol segala bentuk aturan dan mekanisme yang berjalan di dalam onvensi termasuk rezim yang berlangsung. Rezim perubahan iklim yang belangsung dewasa ini mempunyai kekurangan sehingga mengakibatkan ketidakefettifan proses konvensi.

This paper will argue that productive power of United States has deeper influence on the climate changes convention of Kyoto Protocol. Through productive power, United States could insist in every decision of the convention. Besides, productive power of United States also could control every single rules and mechanism which happen on the convention, include the regime which exist. As we know that climate change regime which happens today has its weakness so that it has impact to the infectivity of the convention process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28873
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Pramudinto
"Dalam salah satu skenario yang dikeluarkan oleh IPCC telah diprediksi bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca untuk tahun 2030 akan setara dengan pelipatgandaaan kandungan karbondioksida dalam atmosfer dan tingkat masa pra industri. Dan jumlah itu, setengah dari yang diproyeksikan dalam bentuk karbondioksida dan sisanya merupakan gabungan dari gas rumah kaca yang lain. Hal ini akan berakibat terjadinya peningkatan suhu di tahun 2030 sebesar 1 ° Celcius diatas suhu saat ini (tahun 1990) dan peningkatan keseluruhan sebesar 3 ° Celcius pada akhir abad 21. Kisaran ketidakpastian dinyatakan sebesar 0,5 ° Celcius hingga 1,5 ° Celcius dan untuk akhir abad 21 sebesar 1,5 ° Celcius hingga 4,5 ° Celcius.
Dengan adanya bukti ilmiah ini diperlukan upaya penanganan terhadap fenomena perubahan iklim tersebut. Untuk itu menjelang berakhirnya abad 20, kesibukan para pejabat diplomatik telah meningkatkan intensitasnya terutama dalam perundingan global draft konvensi mengenai perubahan Iklim sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Komitmen ini akhirnya dicapai dengan ditandatanganinya UNFCCC (United Nations Framework on the Convention an Climate Change/UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim 1992 pada KTT Bumi 1992 di Rio De Janerio, Brazil. Indonesia baru meratifikasi 2 tahun kemudian melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Mengenai Perubahan Iklim 1992. Pada tahun 1997 ketika diadakan Konperensi. Para Pihak Ke-3 (Conference of the Parties/COP-3) di Kyoto, Jepang telah ditandatangani Protokol Kyoto 1997 sebagai pelaksanaan dari UNFCCC. Namun hingga sekarang protokol ini belum berlaku penuh (not enter into force yet) dan belum diratifikasi oleh Indonesia.
Suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia tidak langsung diterapkan oleh kalangan stakeholders. Untuk dapat diterapkan harus melalui proses ratifikasi, dan setelah diratifikasi dapat dilakukan upaya-upaya seperti pembentukan kelembagaan serta peraturan pelaksanaan bahkan juga upaya penegakan hukumnya. Namun bagi perjanjian internasional yang belum diterapkan diperlukan juga antisipasi dalam menghadapi proses menuju ratifikasi. Antisipasi itu dapat berupa penyiapan kelembagaan, sumberdaya manusia serta perangkat perundang-undangan. Dengan demikian baik perjanjian internasional yang sudah diratifikasi maupun yang akan diratifikasi tetap memerlukan suatu proses terlebih dahulu.
Salah satu upaya agar perjanjian internasional dalam pelaksanaannya maupun antisipasi pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik maka diperlukan gambaran mengenai pengetahuan serta sikap stakeholders yang menangani perjanjian internasional ini. Adanya gambaran ini sangat penting karena akan diperoleh informasi mengenai hasil ratifikasi dan antisipasi menjelang diratifikasinya suatu perjanjian internasional.
Tujuan penelitian ini adalah menginventarisasi peraturan-peraturan, kelembagaan serta sumberdaya manusia yang berhubungan dengan Konvensi Kerangka Kerja mengenai Perubahan Iklim 1992 dan antisipasi Protokol Kyoto 1997.
Penelitian ini menggunakan penelitian non-eksperimental atau penelitian deskriptif-analitik dengan analisis kuantitatif dan kualitatif. Jenis penelitian termasuk penelitian eksploratif dan pengembangannya. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah kalangan stakeholders yang menangani masalah perubahan iklim yang berada di wilayah DKI Jakarta yaitu dari kalangan pemerintah, Iembaga swadaya masyarakat, dunia usaha atau asosiasi usaha dan pakar atau ahli.
Dalam penelitian ini peneliti ingin mencari hubungan antara pengetahuan perjanjian internasional perubahan iklim dengan sikap perjanjian internasional perubahan iklim. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan mengenai UNFCCC 1992 dan Protokol Kyoto 1997. Sedangkan yang dimaksud sikap dalam penelitian ini adalah sikap mengenai pelaksanaan UNFCCC 1992 dan antisipasi Protokol Kyoto 1997.
Survey pada responden mengenai pengetahuannya tentang UNFCCC memperlihatkan dari 35 responden penelitian yang menjawab tahu adanya UNFCCC sebesar 85,7 %, sedangkan 14,3 % tidak tahu adanya UNFCCC. Jawaban 35 responden mengenai Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan lklim 1992/UNFCCC adalah sebanyak 42,9 % tahu. Sisanya 57,1 % responden tidak mengetahui ratifikasi ini. Sedangkan pengetahuan mengenai Undang-undang No. 6 tahun 1994 sebagai hasil ratifikasi hanya diketahui oleh responden sebesar 48,6 % dan 51,4 % tidak mengetahui adanya undang-undang ini.
Untuk Protokol Kyoto 1997 responden penelitian menjawab tahu adanya protokol ini 94,3 % sedangkan yang tidak tahu 5,7 %. Dari responden yang mengetahui protokol ini, sikap responden 88,6 % sangat setuju jika Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto 1997 dan setuju 5,7 %. Sedangkan yang tidak mengetahui protokol ini menjawab ragu-ragu 5,7 %. Dalam wawancara selanjutnya yang menjawab ragu-ragu menyatakan bahwa untuk meratifikasi diperlukan studi lebih dalam lagi mengenal segala konsekuensi yang terjadi.
Sedangkan waktu ratifikasi, dari 35 responden penelitian yang menjawab bersikap sangat setuju jika Protokol Kyoto 1997 segera diratifikasi adalah 42,9 %. Sedangkan 45,7 % setuju dan 11,4 % ragu-ragu. Yang menjawab ragu-ragu menyatakan harus melihat situasi dan perkembangan nasional dan internasional.
Dari hasil penelitian ini telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengetahuan dengan sikap stakeholders sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perubahan iklim. Selain itu pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perubahan iklim belum berjalan dengan baik dikarenakan keterbatasan peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan sumberdaya manusia khususnya pengetahuan dengan sikap stakeholders.
Dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a. Pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang iklim.
b. Sudah ada beberapa lembaga yang telah menangani pelaksanaan perjanjian internasional dibidang perubahan iklim.
c. Sumber daya manusia terutama para pelaksana dikalangan stakeholders yang melaksanakan perjanjian internasional mengenai perubahan iklim umumnya sangat terbatas jumlahnya.
Saran untuk rekomendasi adalah :
a. Perlu dibuat peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim. Selain ltu perlu didukung rencana ratifikasi Protokol Kyoto 1997.
b. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap Konvensi Perubahan Iklim 1992 dan Protokol Kyoto 1997.
c. Perlu adanya koordinasi yang kuat antar stakeholders dalam melaksanakan perjanjian internasional dibidang perubahan iklim.
d. Perlu ditingkatkan sumberdaya manusia dan kelembagaan yang menangani pelaksanaan perjanjian perubahan iklim.
e. Perlu mengetahui isu-isu baru dan memanfaatkan mekanisme baru.
f. Perlu dilakukan langkah-Iangkah konkrit dalam upaya menurunkan gas-gas rumah kaca (GRK).

In one scenario of Intergovernmental Panel on Climate Change or IPCC, it has been predicted that concentration of green house gases in 2030 will equal to the multiplication of carbon dioxide concentration in the atmosphere from pre-industrial era level. From that amount, half of it was projected to be carbon dioxide and the remainder would be combination of other green house gases. This condition will cause an increase in the air temperature in 2030 by 1°C higher from the temperature in 1990 and the total increase is estimated to be 3°C by the end of the century. The range of uncertainty was noted on 0,5 to 1,5°C and for the temperature at the end of the century it was ranged from 1,5°C to 4,5°C.
Effort is required in deal with this scientific evidence concerning the phenomenon of climate change. Hence towards the end of 20th century, the activity of the diplomatic staff has been increasing in intensity particularly in global discussion on convention draft about the climate change in an effort to minimize the impact of climate change. This commitment was finally achieved by the signing of United Nations Framework Convention on Climate Change in the 1992 Earth Summit at Rio De Janeiro Brazil. Indonesia has ratified it 2 years after that through the issue of Act Number 6 year of 1994. In the year 1997 at the conference of parties in Kyotso (Japan), signed the Kyoto Protocol 1999 as implementation of UNFCCC. However until today this protocol neither been enforced yet nor has it been ratified by the Indonesian Government.
An lnternational agreement that was signed by the government of Indonesia, has not been implemented directly as it has to pass a ratification process. After being ratified some effort would taken to implement it by the establishment of implementing institution as well as law enforcement of the regulations.
However some international agreement which has not been implemented are still anticipating time process of ratification. That anticipation could be a preparation of institution, human resources and regulations hence the two aspects still need the preparations process.
In effort to make the international agreement implementation and anticipation for ratification work better, It needs a description of knowledge and attitude of the stakeholders with authority to implement this lnternational agreement. This description is very important because it gives information about the ratification achievement and the before ratification of an international agreement. Therefore this research is aimed to enlist the regulations, institutions and human resources with United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 and Anticipation of Kyoto Protocol 1997.
This research is a non-experimental research in which both quantitative and qualitative method is used analytical description. According to this research type, it is considered as an explorative research and its development. The respondents are from some stakeholders groups that deal with climate change problem in DKI Jakarta. The respondents were chosen from the government institution, NGO, businessmen or business association and expert in climate change problems.
Aim of this research is to find out the relationship between stakeholders knowledge on climate change convention and stakeholders attitude toward climate change convention. Knowledge on climate change convention in this research are UNFCCC 1992 and Kyoto Protocol 1997. The attitude that was examined are attitude toward implementation of UNFCCC 1992 and anticipation of Kyoto protocol 1997.
Survey in respondents knowledge about UNFCCC showed that 85,7 % of the thirty five respondents know about the existence of UNFCCC, while 14,3 % did not. From the 35 respondent only 42,9 % of them know that Indonesia has ratified it, while 57,1 % of them did not know about this ratification. The Act No. 6 in the year 1994 was issued as a result of the ratification UNFCCC only know by 48,6 % of respondents, while more than a half or 51,4 % did not know about this regulation.
For the Kyoto Protocol 1997 knowledge, most of respondents (94,3 %) know about Kyoto Protocol, while 5,7 % did not. The respondents attitude survey from 94,3 % of respondent who know Kyoto Protocol showed that 88,6 % strongly agree if Indonesia ratified the Kyoto Protocol 1997, the remaining 5,7 % of respondent agree. The respondents attitude survey from 5,7 % respondents who did know Kyoto Protocol were not sure about ratification of respondents who was not sure argued that we should consider the situation and its development in national and international conditions.
This research also revealed that there is a relationship between knowledge and attitude of the stakeholders concerning to the implementation of lnternational agreement in climate change sector. The implementation of international agreement would not proceed well due to factors like lack of regulations, institution and human resources, the knowledge and attitude of the stakeholders are equally important points to consider.
From the results obtained it can be concluded that :
a. The Indonesian government has already has some regulations concerning the implementation of lnternational agreement on climate change.
b. There are some stakeholders to deal with the implementation of international agreement on climate change.
c. The human resources especially the administrator of stakeholders that implement international agreement are very limited number.
Recommendation for the implementation of international agreement on climate change are:
a. The necessity to constitute the regulation of lmplementation according to 1994 Act Number 6 on Ratification of UN Framework Convention on Climate Change. It also need to be supported by the ratification plan of Kyoto Protocol
b. The necessity to socialize the climate change convention 1992 and Kyoto Protocol 1997. It also need to develop good information and communication related to some new problems that can emerge from the convention and its protocol.
c. The need for strong coordination between stakeholders in implementation of international agreements on climate change.
d. The necessity to increase capacity building including institution and human resources.
e. The need for learning of new issues and mechanism in UNFCCC and Kyoto Protocol.
f. The need of action no mitigate of green house gasses."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Hamonangan
"Tesis ini membahas relasi antara Pemerintah Prancis sebagai aktor negara dan organisasi non-pemerintah sebagai aktor non-negara, dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Prancis terhadap isu perubahan iklim global pasca Protokol Kyoto. Penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri melalui pendekatan sosial untuk menjelaskan peran organisasi non-pemerintah di dalam dinamika struktrur domestik mengenai kebijakan iklim Prancis. Hasil kajian tesis ini menunjukkan bahwa di dalam sistem yang demokratis, organisasi non-pemerintah memiliki ruang untuk mempengaruhi pemerintah Prancis terkait kebijakannya terhadap perubahan iklim. Dalam konteks isu perubahan iklim di Prancis, organisasi non-pemerintah memiliki sebagai penyedia informasi dan kelompok lobi. Selain itu, organisasi non-pemerintah juga berupaya membuat perubahan normatif dengan membangun jejaring sesama organisasi non-pemerintah dan dengan pemerintah di tingkat lokal. Organisasi non-pemerintah juga menikmati hubungan kerjasama secara langsung bersama Pemerintah Prancis. Hal tersebut ditujukan guna menciptakan keselarasan antara tindakan negara dan masyarakat sipil di tingkat domestik Prancis dan juga kebijakan di tingkat internasionalnya. Penulis berpendapat bahwa kebijakan luar negeri Prancis dalam merespon isu perubahan iklim pasca Protokol Kyoto merupakan hasil pertemuan dari upaya pengambilan posisi kepemimpinan dalam negosiasi iklim internasional dan tujuan nasionalnya, di mana organisasi non-pemerintah memiliki peran sebagai aktor non-negara yang mendesak negara untuk dapat bertindak lebih maju dan selaras sesuai dengan kebijakan luar negeri yang responsif terhadap isu perubahan iklim, namun juga dengan tetap memperhatikan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi masyarakat Prancis.

This thesis analyzes the relationship between French Government as a state actor and non-governmental organizations as non-state actors, in the process foreign policy making process on the issue of global climate change after the Kyoto Protocol. The author uses foreign policy theory through a social approach to explain the role of non-governmental organizations in the dynamics of domestic structures regarding French climate policy. The results of this thesis study show that in a democratic system, non-governmental organizations have room to influence the French government regarding their policies on climate change. In the context of climate change issues in France, non-governmental organizations have information providers and lobby groups. In addition, non-governmental organizations also try to make normative changes by building relationships between networks of non-governmental organizations and the government at the local level. Non-governmental organizations also enjoy direct cooperative relations with French government. It is intended to create harmony between the actions of the state and civil society at the French domestic level and also at the international level. The author argues that France's foreign policy in responding to the issue of climate change after the Kyoto Protocol is the result of a meeting of the interplay between taking leadership positions in international climate negotiations and its national goals, in which non-governmental organizations have a role as non-state actors who urge countries to act more advanced and aligned in accordance with foreign policies that are responsive to the issue of climate change, while continuing to pay attention to social and economic justice for the French citizen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Dania Kardi
"Tesis ini membahas mengenai peran Barack Obama memimpin Amerika Serikat untuk perundingan perubahan iklim global. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana Obama membawa gagasan Amerika Serikat untuk mengatasi perubahan iklim akibat pemanasan global. Presiden Obama tidak memungkiri fakta perubahan iklim yang sedang terjadi sebagai sebuah tragedy of the commons. Di sisi lain, Presiden Obama tidak bisa terlepas dari kepentingan nasional Amerika dengan memotong emisi sesuai target mengikat Protokol Kyoto. Obama memiliki target penurunan emisi sendiri untuk diterapkan Amerika Serikat, untuk itu Obama mendorong perundingan iklim global menerapkan pemotongan emisi sukarela. Hasil penelitian menunjukkan Presiden Obama berperan sebagai pemimpin AS yang Aktif-Positif.

This thesis discusses the role of Barack Obama as United States leader during the global climate change negotiations. The focus of this research is how President Obama imposes ideas for solution to the challenge of climate change due to global warming. President Obama does not deny the fact that climate change has been happening as a tragedy of the commons, but he couldn't abandon the national interests of America to reduce emission as arranged through the legally binding agreement of The Kyoto Protocol. President Obama has his own emission reduction targets for United States. So, he encourages non-legally binding protocol to cut emission. The result also shows that President Obama has a role as Positive-Active United States leader.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Elsam (Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat), 2007
341.48 PRO t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jani Mediawati Sasanti
"Tesis ini membahas diplomasi lingkungan AS dalam Konvensi Perubahan Iklim pada periode 1992-2002 yang terbagi atas periode sampai dengan terbentuknya Protokol Kyoto dan paska Protokol Kyoto, dengan memfokuskan pada diplomasi lingkungan yang dijalankan AS pada periode tersebut dan bagaimana AS mengatasi berbagai permasalahan perubahan iklim global. Dalam perkembangannya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi diplomasi lingkungan AS yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Tesis ini memiliki relevansi yang sangat erat dengan ilmu hubungan internasional, mengingat unit yang dianalisa tidak hanya negara (dalam hal ini AS dan negara berkembang), tetapi juga aktor non negara (NGO dan kelompok industri). Selain itu tesis ini juga memperlihatkan tarik menarik kepentingan yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang dalam memandang masalah lingkungan tersebut serta diplomasi AS dalam pembuatan protokol Kyoto sebagai implementasi dari United Nation Framework Convention on Climate Change yang menjadi payung perjanjian perubahan ikiim global. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah diplomasi lingkungan AS sebagai negara besar di dunia terhadap isu lingkungan yang merupakan agenda baru yang mengemuka dalam hubungan internasional setelah berakhirnya Perang Dingin.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan berbagai pemikiran yang ada seperti pemikiran Donald E. Nuechterlein akan dijadikan sebagai rujukan mengenai kepentingan nasional, pemikiran Coloumbis mengenai tujuan dari politik luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri, teori Kegley dan Wittkopf mengenai komponen kebijakan luar negeri, pemikiran Robert L Paarlberg mengenai tipe kebijakan luar negeri AS di bidang lingkungan, pemikiran Diamond dan Donald mengenai multi-track diplomacy, pemikiran Suskind dan Thomas mengenai peran non-state actor, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang dikemukakan, ditemukan bahwa diplomasi lingkungan AS dalam menghadapi perubahan iklim dalam dua babakan periode mengalami perubahan signifikan yaitu dari tips kebijakan committed ke arah convenient. Selain itu ditemukan banyak faktor yang mempengaruhi diplomasi lingkungan AS, namun dapat diidentifikasi bahwa dari kesemua faktor tersebut, terdapat 4 faktor yang paling banyak memberikan pengaruh/tekanan yaitu kepentingan nasional AS, peranan, tekanan dari pihak industri dan isi dari Protokol Kyoto itu sendiri. Keempat faktor tersebut dalam perkembangannya juga mempengaruhi ketidakmauan AS untuk memenuhi komitmennya dalam mengurangi emisi pada tingkat seperti yang telah ditetapkan dalam Protokol Kyoto. Sedangkan peran yang dimainkan AS dalam tiap perundingan perubahan iklim bergerak dari lead country menuju veto country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Aryani
"Tulisan ini hendak berargumen bahwa kekhawatiran Amerika Serikat atas SWFs, khususnya SWFs Cina didorong oleh distribusi power SWFs dan juga iliberalisme Amerika Serikat. Dengan menggunakan Cina sebagai studi kasus, tulisan ini berusaha untuk mengidentifikasi distribusi power melalui perpindahan SWFs Cina agar diperoleh pemahaman mengenai munculnya kekhawatiran Amerika Serikat atas SWFs, khususnya SWFs Cina. Namun dalam perjalanannya, ternyata juga ditemukan bahwa iliberalisme yang terkandung dalam liberalisme Amerika Serikat juga berperan penting dalam pembentukan kekhawatiran itu sendiri.

This paper will argue that U.S. concerns over SWFs, especially China's SWFs are driven by the distribution of power of SWFs and also U.S. illiberalism. By using China as a case study, this paper attempts to identify the distribution of power of SWFs from the China's SWFs movement in order to obtain an understanding about the rise of U.S. concerns over SWFs, especially China's SWFs. But in the middle of the process, it was also found that illiberalism contained in U.S. liberalism also play an important role in the formation of that concerns."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28931
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>