Ditemukan 161611 dokumen yang sesuai dengan query
Purnama Wulandari
"Tesis ini membahas mengenai pemanfaatan sumberdaya hayati Indonesia oleh pihak asing dimana ada beberapa tanaman tradisional Indonesia yang dipatenkan oleh negara maju tanpa memberikan kompensasi kepada Indonesia. Negara maju menggunakan pengetahuan tradisional yang terkait dengan temulawak, brotowali, gambir, pasak bumi dan kunyit sehingga menghasilkan produk yang bernilai jual tinggi seperti obat-obatan, kosmetik, dan pangan. Hal ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena bahan dasar produk-produk tersebut berasal dari Indonesia. Produk yang telah dipatenkan pun memiliki hak eksklusif/monopoli sehingga jika Indonesia membuat, menggunakan, atau menjual hal yang sama maka Indonesia harus membayar royalti kepada pemegang hak paten. Padahal apa yang telah dipatenkan oleh pihak asing tersebut disinyalir merupakan pengembangan dari pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia yang sudah bertahun-tahun menggunakan tanaman obat tersebut untuk berbagai macam manfaat terutama obat-obatan. Sesuai dengan konvensi keanekaragaman hayati seharusnya Indonesia mendapatkan pembagian keuntungan yang adil dari hasil pemanfaatan bahan hayati tersebut. Dengan menggunakan teori strukturalis, penelitian ini melihat bagaimana hak paten merupakan alat dari para kapitalis di negara maju untuk tetap mempertahankan kekuasaannya terhadap negara berkembang (Indonesia) dan justifikasi atas eksploitasi sumberdaya hayati milik Indonesia. Struktur sistem internasional yang ada menyebabkan tidak terjadinya benefit sharing atas pemanfaatan dan komersialisasi sumberdaya hayati Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemanfaatan dan komersialisasi sumberdaya hayati Indonesia oleh pihak asing tanpa disertai benefit sharing disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kepentingan negara maju dalam TRIPs, adanya ketidaksinkronan TRIPs dan CBD, serta permasalahan internal di dalam negeri Indonesia sendiri.
This thesis discusses the use of Indonesia's biological resources by foreign parties, where there are several traditional Indonesian plants are patented by develop countries without giving compensation to Indonesia. Developed countries using traditional knowledge related to ginger, brotowali, gambier, pasak bumi and turmeric to produce high value products such as pharmaceutivals, cosmetics, and food. It is not beneficial for Indonesia, because the basic ingredients of such products from Indonesia. The products have been patented also has exclusive rights/monopoly so that if Indonesia is making, using, or selling the same thing then Indonesia has to pay royalties to patent holders. Whereas what has been patented by a foreign party is alleged is a development of traditional knowledge of Indonesian people who have been using herbs for years for a variety of benefits, especially medication. In accordance with the convention of biodiversity, Indonesia should get a fair sharing of benefits from the utilization of these biological materials. With the use of structuralism theory, the study looks at how a patent is a tool of the capitalists in developed countries to retain power over developing countries (Indonesia) and the justification of the exploitation of Indonesia's biological resources. The structure of the existing international system led to the absence of benefit sharing of biological resources, utilization and commercialization of Indonesia. The results prove that the utilization and commercialization of Indonesia's biological resources by a foreign party without benefit sharing is caused by several factors, including the interests of developed countries in TRIPS, inappropriate of the TRIPS and CBD, and as well as internal problems within Indonesia itself."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T28888
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Tarihoran, Masrin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S25765
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mustahdi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36170
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ricky Santoso
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S26142
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rusnadi
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
T36193
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ahmad Fajri Wibowo
"Pelindungan desain industri atas tekstil merupakan merupakan sesuatu yang diatur secara khusus dalam Article 25 Paragraph 2 Agreement On Trade-Related Aspects Of Intelectual Property Rights (TRIPS) karena dalam peraturan tersebut negara anggota dibebaskan untuk memilih pelindungan atas tekstil melalui ketentuan desain industri ataupun ketentuan hak cipta, pengaturan tersebut didasarkan pada sifat dari produk tekstil itu sendiri yang mana memiliki siklus hidup singkat serta banyaknya desain-desain baru pada produk tekstil. Tekstil merupakan suatu kerajinan tangan berbahan dasar benang atau kain, yang memiliki aspek estetis dan fungsi pada seluruh atau sebagian dari produk tersebut. Sebagai sesuatu yang memiliki aspek estitsi dan fungsi maka objek tekstil sendiri dapat diakomodir melalui ketentuan hak cipta dan desain industri. Namun kedua ketentuan tersebut dirasa kurang mengakomodir seluruh kepentingan pendesain khususnya pelaku industri tekstil. Di negara inggris, pelindungan terhadap desain khususnya pada tekstil dapat dilakukan melalui 3 (tiga) opsi pelindungan yaitu registered design, unregistered design, dan artistic works. Oleh karena itu, diperlukan adanya ketentuan yang dapat melindungi pelaku indsutri tekstil melalui peraturan perundang-undangan yang tepat untuk mengakomodir sifat dari produk tekstil itu sendiri yaitu memiliki siklus hidup singkat.
Protection of industrial designs for textiles is something that is specifically regulated in Article 25 Paragraph 2 Agreement On Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) because in this regulation member countries are free to choose protection for textiles through industrial design or copyright, the provision is based on the nature of the textile product itself which has a short life cycle and many new designs on textile products. Textile is a handicraft made from yarn or cloth, which has aesthetic and functional aspects in all or part of the product. As something that has aspects of aesthetic and function, the textile object itself can be accommodated through copyright provisions and industrial designs. However, the two provisions are deemed insufficient to accommodate all the interests of designers, especially textile industry players. In the UK, protection of designs, especially in textiles, can be done through 3 (three) protection options, namely registered design, unregistered design, and artistic works. Therefore, it is necessary to have provisions that can protect textile industry players through appropriate legislation to accommodate the nature of the textile product itself, namely having a short life cycle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ari Kanthi Sutomo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S24136
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Helena Primandianti
"HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang menjadi permasalahan adalah Apa makna Prinsip Perlakukan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dan relevansinya dengan upaya perlindungan paten milik orang asing di Indonesia, Bagaimana sinkronisasi Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dengan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum terhadap paten milik orang asing di Indonesia. Makna Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment0 yaitu suatu prinsip mengharuskan negara-begara anggota memberikan perlindungan HKI yang sama dalam hal perlakuan antar warga negara dari negara-negara anggota WTO lainnya. Relevansi Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects Od Intellectual Property Rights (TRIPs) ini dengan upaya perlindungan paten milik orang asing di Indonesia yaitu sebagai dasar dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik paten asing yang telah didaftarkannya di Indonesia. "
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 9 (1) 2011
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Krislestyo Atsianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S23072
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Daniel Nicholas Putra
"Komitmen-komitmen WTO, khususnya terkait hak atas kekayaan intelektual dalam Perjanjian TRIPS, berpotensi menghambat peningkatan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dalam situasi pandemi Covid-19. Dalam keadaan darurat, komitmen-komitmen tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul security exceptions WTO. Penelitian ini menjelaskan (i) bagaimana pengaturan security exceptions WTO dibandingkan dengan general exceptions di Pasal XX GATT 1994 dan non-precluded measures di BIT Argentina-AS, BIT India-Jerman, dan BIT India-Mauritius; serta (ii) apakah pandemi Covid-19 merupakan alasan yang sah untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS menggunakan klausul security exceptions. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, klausul security exceptions WTO memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan general exceptions dan non-precluded measures; klausul security exceptions WTO memberi ruang gerak yang lebih luas bagi negara dalam mengambil tindakan keamanan yang berpotensi melanggar kewajiban WTO asal dilakukan untuk meresponi sebuah “emergency in international relations”. Kedua, pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS, sebab pandemi ini telah mengakibatkan sebuah “emergency in international relations” dan pengesampingan kewajiban-kewajiban dalam Perjanjian TRIPS bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat memenuhi syarat sebagai “essential security interests”.
WTO commitments, particularly related to intellectual property rights in the TRIPS Agreement, could potentially hinder efforts to increase access to medicines and vaccines during the Covid-19 pandemic. In time of emergency, these commitments can be overridden using the WTO security exceptions clause. This study explains (i) how the WTO security exceptions are compared to general exceptions in Article XX of the GATT 1994 and non-precluded measures in the Argentina-US BIT, India-Germany BIT, and India-Mauritius BIT; and (ii) whether the Covid-19 pandemic is a valid reason to waive the obligations under the TRIPS Agreement using the security exceptions clause. Through research using normative juridical methods and qualitative approach, it can be concluded that: First, the WTO security exceptions clause has several similarities and differences with general exceptions and non-precluded measures clauses; the WTO's security exceptions clause provides wider latitude for countries to take security actions that otherwise would have violated WTO obligations as long as they are carried out in response to an “emergency in international relations”. Second, the Covid-19 pandemic can be used as an excuse to waive obligations under the TRIPS Agreement, because this pandemic has resulted in an “emergency in international relations” and the waiver of obligations in the TRIPS Agreement for public health and safety qualify as “essential security interests”."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library