Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4550 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Sofyan Husein
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997
333.73 ALI k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eko Resmono
"Upaya pembangunan nasional berkelanjutan senantiasa menghasilkan konflikkonflik sebagai efek sampingnya. Konflik-konflik ini jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat. Salah satu upaya penanganan konflik adalah dengan mengidentifikasi sedini mungkin potensi-potensi konflik yang dapat terjadi di masa datang. Dewasa ini jumlah konflik dalam bidang perkebunan cenderung meningkat dan persentasenya paling tinggi di antara sektor lainnya. Konflik penggunaan tanah dalam bidang perkebunan dapat mengganggu tujuan pembangunan nasional. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan menyebabkan meningkatnya kebutuhan tanah yang menjadi faktor penyebab timbulnya konflik penggunaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan, wilayah yang berpotensi konflik tinggi terletak di bagian tengah sebelah barat, sedangkan wilayah berpotensi konflik sedang terletak di bagian utara dan tengah sebelah timur, sedangkan wilayah berpotensi konflik rendah terletak di bagian selatan daerah penelitian. Karakteristik spasial yang mempengaruhi adanya potensi konflik penggunaan tanah perkebunan adalah pengelolaan perkebunan, kepadatan penduduk, jumlah keluarga miskin, lahan belum digarap dan rasio penguasaan tanah pertanian. Karakterteristik spasial pengelolaan perkebunan dan jangka waktu berakhirnya HGU perkebunan mempengaruhi tingkat potensi konflik pada masing-masing perkebunan.

Sustainable national development efforts continue to generate conflicts as a side effect. These conflicts if not handled properly will cause harm to the parties involved. One of conflict resolution is to identify as early as possible the potential conflicts that may occur in the future. Today the number of conflicts in the plantation sector is likely to increase and the highest percentage among other sectors. Land use conflicts in the plantation sector can interfere with national development objectives. On the other hand, population growth and poverty lead to increased soil needs to be a factor causing land use conflicts.
Results showed, a high potential conflict region located in the central west, while a medium potential conflict region located in the northern and central east, while the lower potential conflict region located in the southern of the study area. Spatial characteristics that influence the potential conflicts of land use is plantation estates management, population density, the number of poor families, the land has not been farmed and the ratio of agricultural land ownership. Characteristics of spatial management of plantation and plantation HGU expiration affects the level of potential conflicts in their respective plantation.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T44289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Mirza
"Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam masyarakat agraris disamping sebagai faktor produksi, juga memiliki fungsi sosial dan politik. Oleh karenanya. setiap kelompok masyarakat mempunyal mekanisme masing-masing dalam mengatur hubungan antar manusia berkaitan dengan tanah. Implikasi dari masalah hubungan tersebut adalah adanya aturan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Oleh karena itu pula hukum positif atau perundang-undangan formal mengatur hubungan antar manusia dalam hal pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah untuk menghindari terjadinya konflik dalam masyarakat.
Atas dasar pemikiran diatas, penulis mencoba mempelajari masalah konflik yang berkaitan dengan kepemilikan lahan/tanah dalam tesis yang berjudul: Konflik Kepemilikan atas Lahan Perkebunan Antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan.
Secara umum munculnya masalah kepemilikan tanah di daerah Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan berawal dari perbedaan persepsi dalam menafsirkan hak kepemilikan atas tanah oleh pemerintah dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat setempat. Hal ini sangat dimungkinkan karena pada satu pihak persepsi hak kepemilikan atas tanah atau lahan didasarkan atas persepsi dari ketentuan pokok agraria sementara pada pihak yang lain, masyarakat melihat masalah hak kepemilikan atas tanah atau lahan menggunakan acuan hukum adat yang secara turun temurun ada dan telah menjadi tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kompleksitas persoalan diatas ditambah lagi dengan tidak berfungsinya lembaga adat sebagai institusi masyarakat yang legitimet dan muncul dari tata nilai masyarakat setempat. Ketidak berfungsian lembaga adat yang ada justru disebabkan karena pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan pemerintah desa.
Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan, upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh birokrasi setempat justru tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya. Persoalan ganti rugi seringkali teridentiftkasi sebagai penyebab munculnya konflik, sehingga upaya penyelesaian yang dilakukan hanya sebatas pemberian ganti rugi atas lahan masyarakat yang terpakai. Sementara substansi persoalan adalah pada persepsi kepemilikan tanah yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah maupun perusahaan perkebunan, disamping persoalan hilangnya sumber penghidupan masyarakat Kikim yang disebabkan karena tidak tersubtitusi sumber penghidupan masyarakat dengan pilihan-pilihan lain yang semestinya diberikan oleh pihak perusahaan perkebunan.
Dari hasil analisa mendalam terhadap fenomena-fenomena sosial yang muncul serta persoalan yang dihadapi masyarakat Kikim berkaitan dengan konflik kepemilikan atas lahan perkebunan, maka penulis mencoba menawarkan beberapa rekomendasi penelitian sebagai upaya menjembatani persoalan yang berkembang secara taktis dan strategis dan berorientasi jangka panjang. Beberapa rekomendasi guna penyelesaian konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan Model hubungan antar elemen masyarakat yang terlibat secara langsung dalam proses pembangunan pada umumnya dan khususnya masalah konflik lahan/tanah.
2. Penguatan Kelembagaan Lokal di tingkat masyarakat, dengan menempatkan Lembaga adat sebagai buffer bagi kepentingan pembangunan masyarakat lokal dengan mengembalikan fungsi dan peran lembaga adat dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat.
Beberapa persoalan dan model penyelesaian yang penulis tampilkan tentunya masih perlu pengujian pada tataran implementasinya. Namun demikian, penelitian ini paling tidak mencoba membedah secara mendalam dan subtantif terhadap persoalan-persoalan yang melatar belakangi terjadi konflik, sehingga upaya-upaya penyelesaian yang ditempuh dapat efektif dan tepat sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Musthofa Hadi
"ABSTRAK
Konflik agraria di Indonesia masih menjadi salah satu masalah yang cukup pelik. Kajian-kajian sebelumnya menjelaskan bahwa motif yang melatarbelakangi konflik agraria dapat dikelompokan menjadi dua: dominasi dari korporasi dan pemerintah terhadap masyarakat lokal; serta motif ekonomi dan kerusakan lingkungan yang terjadi pada lahan masyarakat. Namun kedua jenis kajian tersebut kurang menggali lebih jauh terkait pemaknaan masyarakat lokal atas lahan mereka yang menjadi penyebab munculnya konflik agraria. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali perubahan makna terhadap tanah tersebut lewat penjelasan struktur kognitif. Penulis berargumen bahwa makna tersebut adalah salah satu penyebab dari resistensi masyarakat dan munculnya konflik. Selain itu, artikel ini juga menjelaskan perlawanan simbolik oleh masyarakat lokal akibat dari realisasi makna tersebut dalam konflik. Artikel ini merupakan tulisan dari penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus pada konflik pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta
ABSTRACT
Agrarian conflict is one of the quite complicated problem in Indonesia. Previous studies found that the motives behind the agrarian conflict can be catagorized into two major groups: corporations and governments domination against local communities; and economic motives and environmental damage. However, both major studies haven rsquo;t further exploring about the meaning of the land for local communities which causes the emergence of agrarian conflicts. Therefore, this article is intended to explore about the change of meaning to the land through the explanation of cognitive structure formation. The author argues that the meaning is one of the causes of community resistance and conflict. In addition, this article also explains the symbolic opposition by local community as a result of the realization of their meaning in the conflict. This article is written based on a study that uses a qualitative approach with case studies on the development conflict of Kulon Yogyakarta International Airport"
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Latif Nur Khafidz
"Skripsi ini menjelaskan bagaimana konflik perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara Sekolah Master dengan koalisi Pemerintah Kota Depok dan PT Andyka Investa. Adanya perubahan penggunaan lahan yang yang ditempati Sekolah Master dari fungsi penunjang pendidikan untuk menunjang kepentingan ekonomi menjadi penyebab munculnya konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan konflik tersebut. Penelitian ini menggunakan teori growth machine untuk menganalisa konflik yang terjadi antara Sekolah Master dengan koalisi Pemerintah Kota Depok dan PT Andyka Investa. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kepentingan antara Sekolah Master dengan koalisi Pemeintah Kota Depok dan PT Andyka Investa dalam penggunaan lahan Terminal Depok.

This thesis explains how the change land-use conflict that occur between the Master School against coalition's of Depok City Government and Andyka Investa Ltd. in revitalition of Depok City's terminal. The conflict is caused by the change of the land-use of Master School from education support's function to economic interest's function. This study uses qualitative method to resolve the conflict. This study uses growth machine theory to analyze conflict between Master School and coalition's of Government Depok City and Andyka Investa Ltd. The results of this thesis shows that there are a different interest between Master School, the coalitions's of Depok City Government, and Andyka Investa Ltd regarding the usage of Depok Terminal area."
2016
S61755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Eliyasari
"ABSTRAK
Konflik kehutanan umumnya dikarenakan adanya ketimpangan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam, tumpang tindih, administrasi penggunaan tanah yang kurang baik, dan penegakan hukum yang lemah.
Konflik penggunaan tanah dapat mengganggu tujuan pembangunan nasional. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan menyebabkan meningkatnya kebutuhan tanah yang menjadi faktor penyebab timbulnya konflik penggunaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan HTI Register 45 yang buruk sebagai aspek yang paling berpengaruh terhadap adanya potensi konflik. Buruknya pengelolaan akan mendorong masyarakat untuk menggunakan tanah-tanah perkebunan yang tidak digarap untuk kepentingan pribadinya. Ditinjau dari aspek sosial, HTI yang berpotensi konflik tinggi adalah masyarakat dengan kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat kemiskinan yang tinggi dan penguasaan lahan pertanian yang sempit. Ditinjau dari aspek fisik, Kawasan yang berpotensi konflik adalah kawasan yang memiliki tanah yang belum digarap, memiliki aksesibilitas yang baik dan memiliki harga tanah yang tinggi.

ABSTRACT
Forestry conflict are generally due to the inequality of control over land and natural resources, overlapping, chaotic administration of land use, and weak law enforcement.
Land use conflicts in the plantation sector can interfere with development goals national. On the other hand, population growth and poverty lead to increased land requirements that become factors causing land use conflicts.
The results showed HTI management register 45 bad as the most influential aspects against any potential conflict. Poor management will encourage people to use the estate lands are not cultivated for personal use. Judging from the social aspect, HTI high conflict potential is communities with a high population density, high levels of poverty and narrow agricultural land tenure. Judging from the physical aspect, which potentially conflict area is the area that has not been tilled land, has good accessibility and has a high land prices.
"
2015
T44939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amien Ru`ati
"Dampak kerusuhan dan konflik di Kota Ambon mengakibatkan penguasaan tanah yang di tinggalkan pemiliknya untuk mengungsi ke daerah yang dianggap aman. Tanah dan bangunan di tinggalkan akhirnya dikuasai oleh pihak lain. Pokok permasalahan yang terjadi, bagaimana kedudukan penyelesaian status kepemilikan tanah yang ditinggalkan oleh pengungsi. Bagaimana penyelesaian di Bengadilan Negeri terhadap sengketa tanah pasca konflik. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang dirugikan. Metode penelitian, yuridis, sosiologis, penelitian lokasi, dan meresponden yang terdapat di kota Ambon, dan Studi kepustakaan yang bersifat yuridis, dan membaca buku-buku yang berhubungan dengan status penguasaan tanah. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Kedudukan dan penyelesaian status kepemilikan tanah yang di tinggalkan mengungsi di kota Ambon, banyaknya tanah yang dikuasai bukan miliknya harus mendapat ijin dari yang punya tanah. Penyelesaian di Pengadilan Negeri terhadap sengketa tanah pasca konflik dengan cara penegakan hukum atas penguasaan canah yang bukan miliknya. Pengadilan Negeri menyelesaikan perkara sengketa penguasaan tanah secara jujur dan profesional cidak memihak kepada Salah satu pihak yang berkonflik. Perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan, pemerintah Maluku telah nmngeluarkan peranuran lembaran daerah untuk melarang pendirian bangunan di atas tanah hak orang lain tanpa ijin. Pemerintah menjamin keamanan masyarakat untuk merelokasi dan mentrasmigrasikan ke tempat lain yang dianggap aman. Pemerintah agar menegakkan peraturan-peraturan dibidang pertanahan mengenai status penguasaan hak atas tanah yang di tinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Penguasaan tanah agar mendapatkan ijin dari yang punya tanah di dukung oleh pemerintah. Pemerintah dan Pengadilan Negeri agar menegakkan hukum dan proaktif terhadap sengketa tanah pasca konflik. Dalam penyelesaian penguasaan tanah di Pengadilan Negeri agar hakim jujur dan profesional tidak memihak pada Salah satu pihak yang berkonflik. Pemerintah agar memberikan perlindungan dan keamanan masyarakat untuk relokasi, transmigrasi yang dianggap aman."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>