Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199571 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, David
"Masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia tidak hanya menyangkut tentang pemahaman masyarakat yang belum memadai, namun juga penegakan hukum yang dirasa masih lemah. Pelanggaran HaKI seperti pembajakan, pemalsuan, peniruan, pengakuan terhadap beragam hasil karya cipta milik orang lain atau institusi lain sering diidentinkkan dengan perilaku kriminal karena adanya kerugian secara ekonomi, padahal pelanggaranpelanggaran tersebut hanyalah sebagian saja dari fenomena HaKI yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan. Skripsi ini membahas mengenai penerapan aspek hukum oleh penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana di bidang merek, dan skripsi ini mengambil suatu studi kasus yaitu kasus Merek Bell 999 dan Prima Bell. Tindak pidana yang dibahas dalam skripsi ini merupakan tindak pidana tanpa hak menggunakan Merek Bell 999 dan Prima Bell 999 yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik Bambang Santoso dengan merek Bell + lukisan dan Super Bell + lukisan untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dengan tersangka : HAJI HERRY DJUWASA, yang dimana telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 91 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Penulisan Skripsi ini menyarankan kepada Pimpinan Polri, hendaknya melakukan kebijakan dalam memberikan petunjuk yang jelas kepada setiap penyidik Polri dalam menerima laporan polisi terutama yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang merek, agar tidak bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara RI, sehingga proses penyidikan tindak pidana merek dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.

Problem of Intellectual Property Rights in Indonesia is not only connected with the lack of people?s understanding, but also the law enforcement. Breaking the rules of Intellectual Property Rights like piracy, counterfeit products, copying and claiming of other people?s or organization?s Property Rights usually identify as a crime because of the financial loss. On the other hand those crimes are only few of Intellectual Property Rights Phenomenon that become a current topic. This Undergraduate Thesis examines about The Law Implementation By POLRI Investigator in Trademark Crime Case Handling capturing the case study : Bell 999 and Prima Bell. The suspect, HAJI HERRY DJUWASA was using the same brand without right - Bell 999 and Prima Bell 999 - while the original brand is Bell + lukisan and Super Bell + lukisan owned by Bambang Santoso. The suspect was breaking the Regulation of Article 91 Law of Republic of Indonesia Number 15 Year 2001 Regarding Marks. This Undergraduate Thesis suggests that The Chief of POLRI to make specific regulation for POLRI Investigator to handle Trademark Crime. Therefore the investigator won't face the wrong way to handle the Trademark Crime having the reality that the Regulation of KAPOLRI Number 12 Year 2009 is not alligned with the Trademarks Regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S271
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Enggarani Laufria
"ABSTRAK
Tesis ini membahas hasil penelitian tentang analisis Penanganan Tindak PidanaPerdagangan Orang Oleh Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri. Penelitian inidilakukan dengan metode analisis deskriptif-kualitatif yang bersumber dari dataprimer dan sekunder melalui teknik wawancara, observasi dan telaahan dokumen.Hasil penelitian menunjukkan saat ini tindak pidana perdagangan orang TPPO telahberkembang menjadi suatu kejahatan kemanusiaan lintas batas negara yangterorganisasi transnational organized crime , sehingga memerlukan kerjasama darinegara-negara di dunia. Keadaan geografis, ekonomi dan sosilogis menjadikanIndonesia berpotensi sebagai negara pencarian korban maupun tujuan TPPO.Keadaan sebagian penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah dan miskinmerupakan penyebab utama penduduk nekat menjadi pekerja migram di luar daerahtinggal ataupun diluar negeri, meskipun dengan cara yang illegal. Kerentanan inidimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang dan calo. Karenanya moduskejahatan perdagangan orang dengan merekrut dan mengirim pekerja migran illegalpaling sering terjadi di Indonesia. Dittipidum Polri selama ini telah melakukanberbagai upaya untuk memberantas TPPO baik melalui upaya preemtif, preventifmaupun represif. Dalam praktiknya, kendala yang dihadapi penyidik Polri antara lainadalah: 1 lokasi kejahatan yang berbeda-beda meliputi dalam dan luar negeri; 2 keterbatasan kewenangan penyidik untuk melakukan pemeriksaan di luar negerisehingga mendapat tantangan dari pihak yang berwenang dan pihak pendukungkejahatan di negara terkait; 3 Keterangan calo yang berbelit-belit tentang pelakuutama, atau bahkan calo tidak kenal sama sekali; 4 korban yang tidak mau bersaksikarena takut atau berada dibawah tekanan baik sosial, ekonomi maupun psikologis.Kendala tersebut menghambat penyidik untuk mendapatkan bukti sehingga kesulitanuntuk menjerat pelaku dan pihak terkait dengan UU TPPO. Karenanya sebagianpenyidik menggunakan KUHP, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan TKI diLuar Negeri, dan tidak dapat mengungkap dan memberantas TPPO secarakomprehensif dan tuntas. Upaya yang dapat dilakukan oleh Dittipidum BareskrimPolri di masa mendatang antara lain adalah dengan cara: 1 meningkatkan saranapendukung, pengetahuan, dan kapasitas penyidik dengan cara berpastisipasi padaberbagai workshop dan pelatihan; 2 terus mendorong penegak hukum melakukankoordinasi dan kerjasama dengan berbagai instansi di dalam negeri, dan juga terusmeningkatkan kerjasama antar negara dan dengan organisasi internasional sepertiAATIP.

ABSTRACT
This thesis discusses the results of research on the analysis of Crime Handling ofTrafficking in Persons by Dittipidum Bareskrim Polri Investigators This research isdone by descriptive qualitative analysis method that comes from primary andsecondary data through interview technique, observation and document review. Theresults show that the current crime of trafficking in persons TPPO has evolved intoan organized transnational organized crime, thus requiring cooperation fromcountries in the world. Geographic, economic and socio political conditions makeIndonesia a potential as a search for victims and the destination of TPPO. Thecondition of some poor and poorly educated Indonesians is the main cause of thereckless population to become migrant workers outside of residence or abroad, albeitin an illegal manner. This vulnerability is used by traffickers and brokers. Hence thecrime mode of trafficking in persons by recruiting and sending illegal migrantworkers is most common in Indonesia. Dittipidum Polri has been doing variousefforts to eradicate TPPO either through preemptive, preventive or repressive efforts.In practice, the obstacles faced by Police investigators include 1 different crimelocations within and outside the country 2 the limitations of the investigator 39 sauthority to conduct an overseas examination so as to be challenged by theauthorities and the crime supporting parties in the country concerned 3 Theintricately scaled up scalper 39 s notes about the main perpetrator, or even the brokersdo not know the main prepertrators at all 4 victims who do not want to testify forfear or are under social, economic and psychological pressure. These obstaclesprevent the investigators from obtaining evidence so that it is difficult to trap theperpetrators and parties related under TPPO Law. Therefore, some investigators usethe Criminal Code, Child Protection Law and Protection Act for Overseas Workers,and can not disclose and combat TPPO comprehensively and thoroughly. Efforts thatcan be undertaken by the Dittipidum Baerskrim Polri in the future are among others 1 increasing the supporting facilities, knowledge, and investigator capacity byparticipating in various workshops and trainings 2 continue to encourage lawenforcement to coordinate and cooperate with various agencies in the country, andalso to improve cooperation between countries and with international organizationssuch as AATIP"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2018
T52192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksamana Andriansyah Nugroho
"Penelitian ini membahas tentang mekanisme Badan Reserse Kriminal KepolisianRepublik Indonesia Bareskrim Polri dalam penanganan korban tindak pidana,yang menggunakan studi kasus penanganan para korban tindak pidana penipuaninvestasi Dream for Freedom D4F . Penelitian mendeskripsikan bagaimanaBareskrim tidak hanya bertindak sebagai penegak hukum yaitu melakukanpenegakan terhadap pelaku tindak pidana tetapi juga mengurusi korban dari tindakpidana tersebut. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korbankejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, makadasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori yaituteori utilitas, teori tanggung jawab, dan teori ganti kerugian. Secara teoretis, bentukperlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara,bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contohuntuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentukmateri/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihanmental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderia kerugian secaramateriil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Bentukperlindungan diberikan melalui pemberian restitusi, konseling, pelayanan/bantuanmedis, bantuan hukum, dan pemberian informasi. Dalam upaya penanganan korbantindak pidana, kepolisian, yang dalam hal ini adalah Bareskrim Polri, membukaPosko Pengaduan. Sejauh ini, Bareskrim Polri hanya bisa sesuai dengankewenangan Polri. Padahal, yang diharapkan oleh korban lebih dari sekadarinformasi tentang perkaranya. Oleh karenanya penelitian ini menjadi awal untukpembenahan administrasi kepolisian tentang penanganan korban tindak pidana.

This study discusses the mechanism of Criminal Investigation Police PoliceCriminal Investigation Police in the handling of victims criminal offense, whichuses case studies of the handling of victims of theinvestment fraud crime Dreamfor Freedom D4F . The study describes how Bareskrim not only acts as a lawenforcement that enforces the perpetrators of criminal acts but also takes care of thevictims of the crime. With reference to the application of the protection of the rightsof victims of crime as a result of violation of the human rights concerned, the basisof the protection of victims of crime can be seen from several theories of utilitytheory, theory of responsibility, and compensation theory. Theoretically, the formof protection against crime victims can be given in various ways, depending on thesuffering loss suffered by the victim. For example, for mental psychologicallosses, surely the form of compensation in the form of material money is notsufficient if not accompanied by mental recovery efforts of the victim. Conversely,if the victim only experience material loss, the service of a psychic nature seem tooexcessive. Forms of protection are provided through the provision of restitution,counseling, medical services assistance, legal assistance, and informationprovision. In the effort to handle victims of criminal acts, the police, in this case thePolice Bareskrim, opened a Complaint Post. So far, Criminal Investigation Policecan only be in accordance with the authority of the Police.. Therefore, this researchbecomes the beginning for revamping the police administration about the handlingof victims of crime.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T52184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yullya Andina
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan peran penyidik polisi yang ditinjau sebelum dan sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan (1) Bagaimana perbedaan peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh Notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012?; (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012? (3) Bagaimana konsep tentang peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh notaris yang dapat memberikan perlindungan terhadap notaris dalam menjalankan tugasnya?. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus notaris X (Notaris Jakarta Timur) yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 ayat 1 KUHP).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peran penyidik Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan tindak pidana oleh notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, yaitu meliputi pertama, pemanggilan terhadap notaris yang diduga melakukan tindak pidana, tidak perlu lagi mendapatkan ijin dan MPD melainkan ijin dari MKN. Kedua, tidak berlakunya lagi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT. 0310.TH 2007 yang mengatur tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris. Ketiga, Hak Istimewa Notaris yaitu hak ingkar tetap dapat digunakan notaris dalam penyidikan atau dalam memberikan keterangan kepada polisi. Notaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus bersifat profesional. Untuk memberikan perlindungan terhadap notaris pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara penyidik Subdit Harda dengan notaris agar proses penyidikan dapat berjalan dengan cepat, efektif dan efisien.

This research was based on the back ground that there were differences about the role of police investigator between UUJN 2004, UUJN 2014 and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012. The researcher focused on how the best of the concept about notary protection by police investigator who faced the law especially in criminal act viewed by Constitutional Court No. 49/PUU-X/2012 and UUJN 2004. Some problem that proposed in this research are (1) How differences of the police investigator role in criminal act by notary in dispute resolution after Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012?; (2) What the impact of the police investigator role changing in handling of criminal act by notary against notary protection?; (3) How the concept about the role in handling the criminal act by notary which able to give a protection on notary in conducting the duty? Socio-legal approach was used in this research. So, there were two aspect in this research those are doctrinal aspect, i.e. UUJN and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012 and the practice of investigating in criminal act by notary.
This research was conducted in Metro Jaya Police District. The role of the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police in the handling of criminal acts by the notary after the Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012, which includes the first, calling to the notary who allegedly committed the crime, do not need to get permission from the MPD. Secondly, are no longer effective in the provision of Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. M.03HT.0310.TH 2007 regarding the same thing. Third, the abolition of privilege Notaries in providing information to the police, who feared future public as well as other law enforcement officer can easily "calling out" notary for cases that are not material and do not need to involve a notary as a witness. Cooperation between the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police with INI and PPAT in order to increase as an preventive action to protect a notary by police in handling criminal act by notary. This procedure must be accorded with Article 66 (1) UUJN 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Kristian
"Tesis ini membahas tentang penanganan kasus tindak pidana jaringan narkoba internasional yang dilakukan oleh Mabes Polri terhadap Kelompok Boncel mantan Warga Negara Indonesia pemasok jaringan narkoba pada tanggal 11 Maret 2013. Penelitian ini merupakan penelitian hukum non doktrinal atau jenis penelitian sosio legal research dengan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus dengan menggunakan data skunder sebagai data awal untuk kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kelompok Boncel merupakan salah satu kelompok pemasok narkoba ke kota-kota besar di Indonesia terutama kota Jakarta; (2) Kronologis kasus tindak pidana narkoba jaringan internasional Belanda- Jakarta yang dilakukan oleh kelompok Boncel dimulai pada awal bulan Nopember tahun 2012, yakni adanya penawaran ecstasy yang dilakukan oleh Laosan (WN Hongkong) kepada Fredi sebanyak 400.000 butir dengan harga Rp. 14.300 (empat belas ribu tiga ratus rupiah) per butir yang dikirim langsung dari Amsterdam, Belanda; (3) Penanganan terhadap kasus tindak pidana narkoba jaringan internasional Belanda-Jakarta yang dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri terhadap Kelompok Boncel Pada tanggal 11 Maret 2013, adalah sebagai berikut: (a) Pemanggilan kepada saksi mahkota, saksi anggota Polisi dan saksi masyarakat; (b) Penangkapan; (c) Penahanan; (d) Penggeledahan badan pakaian, mobil dan rumah; (e) Penyitaan; (f) Pemeriksaan barang bukti secara laboratoris; dan (g) Pemusnahan barang bukti narkotika; (4) Kajian hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok Boncel adalah: (a) Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; (b) Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; (c) Pasal 113 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; dan (d) Pasal 112 ayat (2) jo. pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

This thesis analysis the handling of the international drug network criminal by the Indonesian Police Headquarter against Boncel group, a former Indonesian Citizen who supplied drug last 11 March, 2013. This research is a non doctrinal legal research or socio legal research by using secondary and primary data. The result show that: (1) Boncel group supplied drugs to big cities in Indonesia, especially to Jakarta; (2) The supply of drugs through international network Holland-Jakarta by Boncel group has been started in early Nopember 2012, namely that Mr. Laosan (Hongkong Citizen) sent to Mr. Fredy 400.000 grams drugs at the price of Rp. 14.300 per gram sent directly from Amsterdam; (3) The handling of the international drug criminal acts, Police headquarter against Boncel group on 11 March, 2013 as follows: (a) invitation to all relevant writnesses; (b) arrests; (c) Detention; (d) The search for clothes, cars and homes; (e) The seizure; (f) Examination of the evidence by laboratories; (g) The destruction of the evidence, and (g) The destruction of the evidence of narcotics; (4) The study of the law against criminal acts committed by Boncel group are: (a) Article 114, paragraph (2) jo. Article 132, paragraph (2) of Act No. 35 of 2009 about Narcotics; (b) of article 132, paragraph (2) of Act No. 35 of 2009 about Narcotics; (c) Article 113, paragraph (2) jo. Article 132, paragraph (2) of Act No. 35 of 2009 about Narcotics; and (d) of article 112, paragraph (2) jo. Article 132, paragraph (2) of Act No. 35 of 2009 about narcotics."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Fiandri
"Seiring dengan semakin canggihnya teknik tindak pidana di bidang pasar modal, maka tantangan yang dihadapi oleh Polri, khususnya penyidik Polri sebagai aparat penegak hukum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pasar modal akan semakin berat. Oleh karena itu, diperlukan profesionalisme penyidik Polri yang mempunyai kompetensi tinggi karena kompetensi akan dapat mendukung peningkatan kinerja penyidik Polri. Kompetensi penyidik Polri dapat ditingkatkan melalui program pelatihan khusus tentang tindak pidana pasar modal. Penelitian ini berupaya mengidentifikasi implementasi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal dan juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal. Penulis menggunakan empat teori untuk menganalisis implementasi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal. Teori-teori tersebut adalah teori implementasi dari George C. Edwards III, teori penegakan hukum dari Soerjono Soekanto, teori pelatihan dari Robert L. Mathis dan John H. Jackson, serta teori kerjasama dari Ann Marie Thomson dan James L. Perry. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif. Penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui hasil wawancara dan observasi. Sedangkan, data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Guna memperoleh keabsahan data, maka dalam analisa digunakan teknik triangulasi data. Selanjutnya, analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal sudah terlaksana dengan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal meliputi faktor pengetahuan atau knowledge, faktor kerjasama, faktor teknologi, faktor kewenangan, serta faktor dari kualitas dan kuantitas personil itu sendiri. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana pasar modal adalah penerapan sanksi dan hukuman (berupa sanksi pidana dan administrasi), masih adanya multi persepsi antara OJK, Polri dan Kejaksaan, serta Undang-Undang Pasar Modal sebagai landasan hukum pelaksanaan pasar modal di Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan zaman karena tidak pernah mengalami pembaharuan.

The more sophisticated the technique of criminal offenses in the field of capital markets, the challenges faced by the police, especially police investigators as law enforcement officers who are given the authority to investigate capital market criminal acts will be even more severe. Therefore, professionalism of police investigators who have high competence is needed, because competence will be able to support the improvement of the performance of police investigators. The competence of police investigators can be increased through special training programs on capital market crime. This study aims to identify the implementation of law enforcement in handling capital market crime and also identify factors that influence law enforcement in handling capital market crime. The author uses four theories to analyze the implementation of law enforcement in handling capital market crime. These theories are the theory of implementation of George C. Edwards III, law enforcement theory from Soerjono Soekanto, training theories from Robert L. Mathis and John H. Jackson, as well as the theory of collaboration from Ann Marie Thomson and James L. Perry. The type of research chosen is qualitative research. The author uses three data collection techniques, namely interviews, observation, and documentation. Primary data in this study were collected through interviews and observations. Meanwhile, secondary data is obtained through documentation studies. To obtain the validity of the data, the data triangulation technique is used in the analysis. Furthermore, data analysis in qualitative research is carried out through several stages, namely data reduction, data display, and conclusion drawing/verification. The results of the study show that the implementation of law enforcement in handling capital market crime has been well implemented. Factors that influence law enforcement in handling capital market crime include knowledge factors, cooperation factors, technological factors, authority factors, and factors of the quality and quantity of the personnel themselves. In addition, other factors that influence law enforcement in handling capital market criminal acts are the application of sanctions and penalties (criminal and administrative sanctions), multi-perceptions between OJK, Police and Prosecutors, and the Capital Market Law as the legal basis for capital market implementation in Indonesia it has not been able to keep up with the times because it has never experienced renewal."
Jakarta: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2018
T55466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Paramaswara
"Persoalan korupsi di Indonesia ini juga menjadi salah satu jenis kejahatan yang sangat sulit dideteksi karena melibatkan kerjasama dengan pihak lain dan sudah mengakar yang tertuang dalam praktik obstruction of justice. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peran penyidik Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap obstruction of justice sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teori yang dipergunakan adalah teori kriminalisasi, teori kesengajaan, teori penegakan hukum, dan teori peran. Metode penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kulitatif. Data yang dipergunakan adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, dan data sekunder yang diproleh melalui studi dokumen. Teknik analisis data mempergunakan metode triangulasi data yang
ditindaklanjuti dengan reduksi data, sajian data dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan alasan delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena adanya pertentangan terhadap asas yang fundamental dalam hukum pidana, yang mana berbagai bentuk pertentangan ini berupa segala upaya yang dilakukan dalam bentuk pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara dalam proses peradilan yang sering terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi, sehingga keberadaan peraturan obstruction of justice secara jelas tertuang di dalam penjelasan lebih lanjut di dalam pengarutan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Peran penyidik Polri dalam penanganan obstruction of justice pada tindak pidana korupsi selama ini kurang maksimal karena selama ini penyidik cenderung mengesampingkan adanya tindak pidana lain (obstruction of justice) yang menyertai penyidikan kasus korupsi tersebut, penyebabnya adalah karena mereka merasa cukup kelelahan di dalam penyidikan tindak pidana korupsi sehingga mereka dengan tidak sengaja mengesampingkan adanya tindaka obsruction of justice yang ada disekelilingnya.

The problem of corruption in Indonesia has also become a type of crime that is very difficult to detect because it involves cooperation with other parties and is deeply rooted in the practice of obstruction of justice. Therefore, an in-depth analysis is needed on this matter. The purpose of this study is to analyze the offense of obstruction of justice as a crime regulated in the Corruption Act and the role of Polri investigators in enforcing the law against obstruction of justice as referred to in Article 21 of the Corruption Crime Eradication Act.
The theories used are criminalization theory, intentional theory, law enforcement theory, and role theory. This research method was carried out through a qualitative approach. The data used are primary data obtained through observation and interviews, and secondary data obtained through document studies. The data analysis technique used the data triangulation method which was followed up with data reduction, data presentation and data verification.
The results of the study show that the reason for the offense of obstruction of justice to become a crime regulated in the Corruption Crime Act is due to the conflict with the fundamental principles of criminal law, in which various forms of conflict are in the form of all efforts made in the form of defiance of the function of the instrumentation principle. legality because it is considered to delay, obstruct, or intervene in law enforcement officials who are processing witnesses, suspects, or defendants in a case in the judicial process which often occurs in corruption trials, so that the existence of obstruction of justice regulations is clearly contained in a further explanation in drafting the Corruption Crime Act. The role of Polri investigators in handling obstruction of justice in corruption crimes has so far not been optimal because investigators have tended to rule out the existence of other crimes (obstruction of justice) accompanying the investigation of these corruption cases, the reason is because they feel quite exhausted in investigating criminal acts. corruption so that they unintentionally rule out the obstruction of justice that surrounds them.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Binsar Daniel H.
"Tesis ini membahas tentang penyidikan tindak pidana kehutanan oleh Polri terhadap pelanggaran hukum pidana di bidang kehutanan yang dilalukan oleh perusahaan-perusahaan penebangan kayu. Dari hasil penelitian ditemukan datadata yang menunjukkan bahwa telah terjadi hambatan dalam proses penegakan hukum pidana korporasi di bidang kehutanan, dimana dalam proses penegakan hukum oleh Polri, tidak menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi kepada perusahaan-perusahaan pelaku tindak pidana.
Di sisi lain, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh polri, pada dasarnya bukanlah untuk kepentingan polri semata, namun untuk kepentingan yang lebih luas lagi. Disamping itu, upaya penegakan hukum oleh polri selama ini tidak menciptakan efek jera kepada korporasi pelanggar tindak pidana di bidang kehutanan, dan oleh karena itu perlu dilakukan upaya penyidikan secara lebih progresif terhadap tindak pidana kehutanan dengan mulai menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi pada setiap proses penyidikan tindak pidana korporasi di bidang kehutanan.
Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam proses penyidikan oleh polri sebenarnya membawa dampak positif lainnya yaitu koporasi juga dapat dibebankan sanksi administratif lainnya seperti denda dan pencabutan izin usaha, sehingga meniadakan keuntungan ekonomis yang dapat diraih korporasi atas pelanggarannya tersebut.

This thesis discusses the investigation of criminal offenses by police to forestry violations of criminal law in the field of forestry that is passed by the logging companies. From the results of the study it is found data that indicate there has been a bottleneck in the process of corporate criminal law enforcement in forestry, which is in the process of Law enforcement by the police, do not apply the concept of corporate criminal liability to the companies.
On the other hand, the law enforcement process conducted by the national police, are basically not merely for the sake of national police, but for the wider interests to serve and protect the comunity. In addition, law enforcement efforts by the national police has not created a deterrent effect on corporate crime violators in the field of forestry, and therefore needs to be done in a more progressive investigative efforts against crime forestry with begin to apply the concept of corporate criminal liability in any process of investigation of criminal criminal corporations in the field of forestry.
The application of corporate criminal liability in the process of investigation by the national police actually bring other positive effects which can also be charged corporation for other administrative sanctions such as fines and revocation of business licenses, thus negating the economic benefits that can be achieved by the corporation for the infraction."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29640
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Loemau, Alfons
"Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua di antara 70 perusahaan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup.
Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya.
Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektivitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimalisir unsur subyektivitas.
Tujuan penelitian ini adalah menetapkan model untuk menentukan prioritas teknik penyelidikan, menentukan terjadi tidaknya pencemaran, menentukan pencemaran disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian dan mengidentifikasikan kendala penyidikan.
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam upaya penegakan hukum sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Criminal Justice System (CJS) dan lebih memberikan kepastian hukum (jaminan perlindungan hak) pihak yang terlanggar (korban pencemaran) maupun pihak yang melanggar. Sifat dari penelitian ini adalah Studi Kasus, yakni kasus pencemaran kali Surabaya oleh PT Sidomulyo dan PT Sidomakmur. Penentuan kasus ini didasarkan pada pertimbangan bahwa adanya dua putusan yang berbeda, pada tingkat Pengadilan Negeri Sidoarjo dan pada tingkat Kasasi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, Data primer diperlukan berkaitan dengan aplikasi Proses Hirarki Analitik(AHP)dan kendala penyidikan, sedangkan data sekunder diperlukan untuk mempertajam pembahasan hasil penelitian data primer.
Pengumpulan data dalam aplikasi AHP dilakukan terhadap populasi, yakni sebanyak 6 anggota POLRI (sebagai aparat penyidik pada kasus tersebut) dan 14 orang responden dari 9 instansi yang terlibat. Sedangkan untuk mengidentifikasi kendala penyidikan, di samping dilakukan pada 6 anggota POLRl (sebagai aparat penyidik) juga dilakukan pada 5 orang pemerhati di bidang hukum dan lingkungan.. Pengambilan data terhadap pemerhati di bidang Hukum dan Lingkungan dilakukan dengan metode non random sampling.
Metode analisis data yang dipakai adalah menggunakan Model AHP, proses ini dimulai dengan mendefinisikan situasi dengan seksama, memasukkan atau melengkapi dengan sebanyak mungkin detail yang relevan yang akan digunakan sebagai faktor yang memberikan kontribusi. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka Model AHP dirumuskan dalam 3 kelompok hirarkis, hirarkis pertama adalah menentukan prioritas teknik penyelidikan, hirarkis kedua adalah menentukan terjadi tidaknya pencemaran dan hirarkis ketiga adalah menentukan pencemaran tersebut karena lalai atau sengaja. Sedangkan untuk mengidentifikasikan kendala penyidikan digunakan metode deskriptif analitis.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prioritas pertama (sesuai dengan derajat pentingnya) penggunaan teknik penyelidikan dalam mendapatkan data/informasi awal dalam upaya menentukan tindak pidana pencemaran lingkungan kali Surabaya adalah "teknik Surveillance" dengan nilai 0,344, disusul oleh teknik pemeriksaan dokumen (0,329). Berdasarkan proses AHP menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh PT Sidomulyo dan PT Sidomakmur telah nyata mencemari lingkungan dengan nilai 0,763, dan pencemaran tersebut telah nyata memenuhi unsur sengaja denga nilai 0,815. Kendala utama dalam pelaksanaan penyidikan kasus tersebut adalah pasifnya petugas penyidik lapangan, peran BKKLH dan Advokasi LSM belum efektif, ruang gerak penegak hukum yang terbatas, ketidaksederhanaan perangkat hukum yang ada, kemampuan penguasaan hukum aparat yang belum memadai.

Development activities carried out by Indonesia has not produced positive impact only, but negative impact as well (pollution for instance). The producer has not included externalities as cost element in its activities, so that another party has to bear the burden. This is a constraint in the "take off era", because it is related with the protection towards the right to enjoy a good and healthy environment. This pollution problem, if it is not overcome instantly, it will threaten the everlasting living environmental function.
There are about 70 industries that have their respective shares in disposing waste into the river body along the Surabaya river. This issue has received ever increasing attention with the establishment of the Drinking Water Management Installation (PAM) in the Karang Pilang area, The project is to increase the drinking water management capacity to satisfy the need for drinking water in Surabaya with the aid of the World Bank. In 1988, two out of the 70 enterprises/industries that were suspected of polluting the Surabaya river, were sent to court. They were PT Sidomakmur, which produced tofu and PT Sidomulyo, a pig raising enterprise. The wastes Of the two enterprises were disposed of into the Surabaya river and suspected to have polluted the living environment.
To prove that an act has caused pollution, an investigation need to be carried out. This investigation was undertaken by the police (POLRI). For that purpose, besides the ability and tenacity of each and every officer, a model is also needed that can be used to determine whether or not an act has complied with the provision of an article of law (article 22 Act No 4 year 1982) as was the case of the Surabaya river.
The police (investigator) concluded that pollution did occur intentionally so that the case was brought to the Sidoardjo Court of law. However, the Judge decided that no pollution took place. Whereas the Supreme Court considered that the Sidoardjo Court of Law has mis-applied the Law. Hence, the Supreme Court decided that the act was proven beyond the reasonable doubt that the living environment was polluted due to negligence. This difference showed that living environment is a complex issue, intricate in providing proofs as well as application of the articles of Law. In addition, the subjectivity of the decision maker is reasonably high, so that a medium needs to be invented to simplify, facilitate and minimize the element of subjectivity.
The objective of this study is to formulate a model to determine investigation technique priority, to determine the occurrence or non-occurrence of pollution to determine the pollution was caused intentionally or due to negligence and to identify the constraints of investigation. This study is hoped to provide input towards endeavours of Law Enforcement as part of the Criminal Justice System. What is more, it is hoped to provide a more definite legal certainty (guaranteeing rights protection) to both the affected party (pollution victim) as well as the offender.
The nature of this study is a case study, namely the Surabaya river pollution by PT Sidomulyo and PT Sidomakmur. The determination of this case was based on the consideration that there were two different decisions made, namely at the Sidoardjo Court of Law and at the level of the Supreme Court. The data needed in this study were both, primary data and secondary data. The primary data needed were related to the application of Analytical Hierarchy Process (AHP) and investigation constraints. Whereas, the secondary data needed was to focus the discussion on the results of the primary data. Data collection in the AHP application was carried out towards the population, namely 6 Police Officers (as investigators of the case in question) and 14 respondents of 9 related institutions. Whereas, to identify the investigation constraints, besides the 6 Police Officers, 5 observers in the legal and environmental fields were also included. Data collection of the latter were carried out by using the non-random sampling method.
The method of data analysis used was the Analysis Hierarchy Process (AHP) model. In this process, strict situational definition was the initial step, thence additions or supplementing with as many relevant details as possible to be used as factors that provide contributions. In accordance to the objective of the study, the Alf? model was formulated into 3 hierarchical groups. The first hierarchy is to decide the investigation technique priority, the second hierarchy is to decide the occurrence or non-occurrence of pollution and the third hierarchy is to decide whether the pollution was caused by negligence or intentionally_ Whereas, to identify the investigation constraints, the descriptive analysis method was used.
This study concluded that the first priority (according to the degree of data/information in efforts to determine environmental pollution criminal act of Surabaya river was the "Surveillance Technique" with a value of 0.34-4, followed by documents investigation technique (0.329). Based on the AHP process, it was disclosed that the activities conducted by PT Sidomulyo and PT Sidomakmur were obviously polluting the environment with a value of 0.763. The pollution in question was in fact complying with the intentionally element with a value of 0.815. The main obstacle in the implementation of the case investigation was the passivity of the field investigating officer, the role of BKKLH and NGO advocacy that were not yet effective, the limited law enforcement space to move, the presence of non-simplified legal system, the inadequate and inability of the legal apparatus in the mastery of the trade.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engkesman R. Hillep
"Tesis ini merupakan hasil penelitian menggunakan metoda kualitatif dalam bentuk studi kasus, dengan pendekatan manajemen, yuridis dan psikologis dalam membahas proses pengambilan keputusan para agen yaitu Pimpinan dan para Penyidik Bareskrim Polri, yang memiliki kapasitas bertindak kreatif, sebagai respon terhadap aturan dan sumber daya organisasi (struktur) dalam penyidikan terhadap para Tersangka Perwira Tinggi Polri.
Permasalahan pokok dan tesis ini adalah mempertanyakan apakah para agen mampu menerapkan kapasitas bertindak kreatif yang mereka miliki sehingga dapat mempertahankan jati diri sebagai penegak hukum yang jujur, adil dan tidak diskriminatif, sertal tidak menyalah gunakan wewenangnya ketika menyidik sesama anggota Polri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami proses, bentuk, pola, kemungkinan penyebab dan pengaruh dari keputusan para agen khususnya para Penyidik dalam mengunakan kapasitas bertindak kreatif ketika menyidik sesama anggota Polri, dalam hal ini para Perwira Tinggi Polri.
Secara umum penelitian menunjukan bahwa, kapasitas bertindak kreatif yang mendasari keputusan penyidik untuk memberiakukan atau tidak memberiakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan undangundang atau ketentuan lainnya yang berlaku dalam organisasi kepolisian, terhadap tersangka yang adalah atasan atau senior mereka, dipengaruhi oleh persepsi Penyidik yang lahir dari budaya kepolisian yang mereka anut. Kadar rasa hormat dan loyalitas kepada atasan maupun senior memegang peranan dominan terhadap penilaian subyektif penyidik dalam bertindak sehingga aspek etika dalam bentuk sikap yang penuh sopan santun, manusiawi, dan empati sangat ditonjolkan, Iebih-lebih kepada para Tersangka yang dinilai sebagai senior yang memiliki kepribadian yang balk oleh para penyidik.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip dan kebijaksanaan yang telah digariskan pimpinan untuk menuntaskan kasusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap tugas dan byalitas kepada institusi tetap dipertahankan, sehingga seluruh prosedur dan tahapan penyidikan sesuai ketentuan dapat dipenuhi dan kasusnya dapat diteruskan sampai pada tingkat peradilan dan penjatuhan hukuman.
Kesimpulan dan hasil penelitian memperlihatkan, pertama, para agen sesuai dengan tingkat kekuasaan dan wewenang mereka di dalam organisasi dengan kreasi dan kapasitas bertindak atas penilaian sendiri itu memberi kontribusi pencapaian tujuan penyidikan tanpa menimbulkan konflik yang berarti. Kedua, pada level pengambil keputusan, melalui tindakan kreatifnya mampu mengeliminir tekanan struktur yang lebih tinggi dan berskala strategis, bahkan berhasil mereproduksi struktur Baru dalam bentuk Keputusan Menkumham RI yang menetapkan rumah tahanan Polri sebagai Lapas bagi Terpidana Polri. Dan ketiga, hasii dari tindakan-tindakan kreatif pada level pelaksana, temyata memperlihatkan diskriminasi perlakuan yang dapat dikiasifrkasikan sebagai penyimpangan ringan namun dapat memberi implikasi yuridis bila terekspos ke depan publik hukum.
Wujud dari tindakan kreatif para agen yang diskriminatif menunjukan pola sebagai berikut :Terdapat perlakuan yang berbeda yang ditampilkan Penyidik (agen) dalam penyidikan terhadap Tersangka sipil dan tersangka anggota Polri. Perlakuan terhadap Tersangka Pain umumnya lebih longgar dan semakin tinggi tingkat kepangkatan Tersangka Polri yang disidik, semakin tinggi pula tingkat kelonggaran yang diberikan. Perlakuan yang sangat khusus diberikan pada Tersangka berpangkat Perwira Tinggi Polri.
Sesuai dengan tujuan tesis, rekomendasi yang diajukan adalah perlunya menetapkan dan merumuskan secara lebih jelas dan tepat konsep diskresi untuk Polri agar keragaman pemahaman dapat dicegah; penyusunan petunjuk yang jelas tentang prosedur pemenksaan pelanggaran disiplin, kode etik Polri dan pelanggaran pidana oleh anggota Polri berikut sistem pengawasannya; Berta penyusunan prosedur tetap penyidikan terhadap anggota Polri yang diproses karena pelanggaran pidana.

The thesis is a result of a research employing qualitative method in a form of a case study. The thesis also employs management, juridical and physiological approach in discussing the process of making decision made by some agents; that is, the administrators and investigators of Criminal Investigation Department (CID) of Indonesian National Police (INP) who have the capability to act creatively as a response to regulations and the organization's human resources in investigating high-rank police officers.
The capability to act creatively as the base of the investigators' decision as the agents of enforcing or not enforcing regulations stated in laws or other rules that prevail in police organization to the suspects who are actually the investigators' superiors or seniors, is influenced by the investigators' perception which comes from the police culture. The degree of respect and loyalty of the investigators to their superiors or seniors plays dominant roles in their subjective assessment so that ethical aspects in the forms of respect, humanity, and empathy strongly dominate such assessment. This is especially true in investigating suspects who are their senior that are regarded by the investigators to have good personality. Nevertheless, principles and policies that are underscored by their chief as a form of responsibility to the duties and loyalty to the institution are still maintained so that all procedures and steps of investigation can be fulfilled. In addition, the case can be forwarded to the level of trial and punishment.
The result of the research reveal some points: First, the agents, in accordance with their level of authority in their organizations and with their capability and creativity have given contribution in order to achieve the goals of investigation without causing significant conflict; Second, at the level of decision maker the investigators, using their creative action, are able to eliminate higher structural pressure as well as strategic pressure and they even succeeded to struggle for a new structure in a form of a decree of the Minister of Law and Human Rights which determines the prison of INP members as the penitentiary for convicted from INP members; and Third, the results of creative action at the level of implementation, in fact, show that discriminative treatment that can be classified as minor deviances but such deviances can give juridical implication if they are exposed to the public.
The shape of creative action of the discriminative agents shows the following patterns: there are different treatments done by the agents (investigators) in investigating civilian suspects and suspects belong to INP. Treatments to suspects belong to INP are generally laxer and the higher of the rank of the suspect the laxer of the treatment given. There are even extremely specific treatments given to suspects who are high-rank police officers.
In accordance with the aim of the thesis, the author recommends that it is necessary to determine and to formula a clearer and more precise concept of police discretion so that various and ambiguous understanding can be avoided. In addition, the author suggests formulating a clearer direction on the procedure of investigating discipline violation, Polri code of ethic and criminal act as well as the supervision of the implementation. Finally, the author also suggests formulating a fixed procedure about the investigation of Polri members who are processed because of criminal violation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>