Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mahdi Jufri
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2003
T39585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Niosomes are non ionic surfactant vesicles that have potential application in the delivery of hydrophobic or amphilic drugs. We developed proniosomes, a dry formulation using a maltodextrin as a carrier coated with non ionic surfactant, which can be used to produce niosomes within a minutes by addition of hot water
followed by agitation. A novel method is reported here for rapid preparation of proniosomes with wide range of surfactant loading. Maltodextrin DE 5-10 was hidrolyzed from tapioca starch using Thermamyl L 120 da Novo at 85o C. The result from SEM analyses shown that proniosomes appear very similar to the maltodextrin, but the surface was more smooth. Niosome suspensions which was observed under the optical microscopy and particle size analyzer were evaluated as
drug carrier using ibuprofen as a model. The result provide an indication of maltodextrin DE 5-10 from tapioca starch are potentialy carrier in the proniosome preparation which can be used for producing niosomes. "
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Effionora Anwar
"Niosom adalah salah satu vesikel surfaktan nonionik yang dapat membawa obat yang sekarang ini sedang dikembangkan. Salah satu eksipien yang digunakan dalam niosom adalah maltodektrin. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan penjerapan obat oleh niosom yang menggunakan maltodekstrin DE 5-10 dart pati singkong sebagai bahan pembawa. Maltodekstrin dengan ukuran 60 mesh (250 um) ditambah surfaktan non ionik menghasilkan proniosom. Proniosom tersebut bila dihidrasi akan menghasilkan niosom. Proniosom dan niosom yang dihasilkan dievaluasi secara mikroskopik dan analisis kuantiatatif terhadap obat yang dijerap, sebagai bahan obat digunakan klorfeniramin maleat (CTM) sebagai model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa maltodekstrin DE 5-10 dari pati singkong dapat digunakan sebagai pembawa dalam pembuatan proniosom dan proniosom yang dihasilkan tersebut dapat digunakan untuk membuat niosom, dan dapat menjerap obat sebesar 45,54% pada konsentrasis urfaktan lOmMdanCTM ImM.

Niosomes are nonionic surfactant vesicles as carrier for drug, that developed by researcher. One of the exipient can be used in niosom is maltodextrin. The aim of this research was to study entrapment ability of drug by niosom that used maltodextrin DE 5-10 from tapioca starch as carrier substance. The maltodextrin DE 5-10 with particle size 60 mesh (250 um) was added non ionic surfactant for proniosomes preparation. The proniosomes when hydrated could be produced niosomes. Both proniosom and niosomes had been evaluated by microscopic and quantity entrapment drug method, and was used chlorpheniramin maleat as a drug model. Results of this research show that maltodextrin DE 5-10 from tapioca starch can be used as the carrier in the proniosome preparations and can be used for producing niosomes, and could entrapped drug 45,54% at 10 mM surfactant concentration and 1 mM CTM."
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2004
SAIN-9-3-2004-18
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rizqi Ramadhan Afif
"Obat ini sangat penting bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat membantu mengurangi rasa sakit dan menyembuhkan penyakit. Namun konsumsi obat harus mengikuti peraturan yang ada. Pelepasan obat dapat dimanipulasi melalui model obat Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model yang valid obat terdiri dari parasetamol dan kitosan matriks. Sebuah model yang valid dapat dicapai jika hasil dari percobaan dan simulasi menunjukkan nilai perbedaan sedikit Juga konsentrasi profil parasetamol dalam bentuk padat cair dan parasetamol dalam air akan mengamati dan menganalisa secara benar Hasil dari penelitian ini adalah profil pelepasan parasetamol selama 25 menit. Dan itu menunjukkan pelepasan persen parasetamol selama 25 menit Matriks membutuhkan sekitar 7 jam untuk melepaskan parasetamol dalam matriks dengan parameter adalah koefisien pembubaran obat adalah 1x10 9 ml2 mol2 h dan koefisien difusi paraetamol dalam cairan adalah 5 x 10 8 m2 s Dari percobaan parasetamol loading 2,66%, 5,65% and 7,45%.. The pelepasan obat akan terjadi dalam larutan penyangga yaitu air dengan pH 7, 4. Diasumsikan bahwa parasetamol hanya dilepaskan ke air chitosan diasumsikan tidak melepaskan ke air sehingga air harus memiliki pH 7,4 Setelah 25 menit dari rilis persen sampel adalah 14 6 untuk sampel B adalah 13,6 % dan untuk sampel C adalah 21,7%.

Drug is very important for human being. It can help reduce pain and cure diseases. However consumption of drug must follow its existing regulations. The release of a drug can be manipulated through a model of the drug. The main objective of this research is to obtain a valid model of a drug consist of paracetamol and chitosan matrix. A valid model can be achieve if the result from experiment and simulation show a slightly difference values. Also, the profile concentration of paracetamol in solid, paracetamol in liquid and water will be observe and analyze correctly. The result of the research is profile release of paracetamol for 25 minutes. And it shows the percent release of paracetamol for 25 minutes. The matrix needs approximately 7 hours to release paracetamol inside the matrix, with parameters are: the coefficient of drug dissolution is 1x10-9 ml2/mol2 h and diffusion coefficient of paraetamol in liquid is 5 x 10-8 m2/s. From the experiment, paracetamol loading are 2,66%, 5,65% and 7,45%. The drug release will occurred in buffer solution, which is water with pH 7,4. It was assumed that only paracetamol is released to the water, chitosan is assumed not release to the water, therefore the water must have pH 7,4. After 25 minutes percent release of sample A is 14,6 %, for sample B is 13,6 % and for sample C is 21,7 %."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sediaan mengapung dirancang untuk meningkatkan bioavailabilitas
obat melalui perpanjangan waktu tinggal sediaan di lambung (dekat dengan
loka absorpsi) dan memperpanjang pelepasan obat dengan mengendalikan
laju pelepasannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh formula
tablet mengapung dengan menggunakan kombinasi pragelatinisasi pati
singkong propionat (PPSP) dan hidroksipropil metilselulosa (HPMC) sebagai
matriks. Penelitian ini menerapkan granulasi basah sebagai metode
pembuatan tablet dengan teofilin sebagai model obat. Semua formula, yang
dibuat dengan memvariasikan komposisi polimer penyusun matriks,
menunjukkan periode mengapung diatas 8 jam pada asam klorida 0,1N 370C.
Uji keterapungan, daya mengembang, dan kinetika pelepasan obat
merupakan parameter penting tablet mengapung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula dengan matriks PPSP:HPMC=1:1 merupakan
formula terbaik yang paling mendekati formula pembanding dengan matriks
HPMC 100% dengan kinetika pelepasan mengikuti persamaan Higuchi dan
mekanisme difusi non-Fickian."
Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Niosom adalah sistem pembawa obat vesikular yang terbentuk secara spontan dari surfaktan non-ionik sintetik. Sistem ini telah diteliti untuk menjerap berbagai tipe obat, hidrofilik, hidrofobik, maupun ampifilik. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kolesterol, span 60, dan disetil fosfat (DCP) dengan perbandingan molar 47,5 : 47,5 : 5 untuk membentuk vesikel, maltodekstrin dari pati singkong (Manihot utilissima) yang digunakan sebagai carrier, dan ketoprofen sebagai obat model lipofilik. Maltodekstrin digunakan untuk mengganti sorbitol yang lebih umum digunakan sebagai carrier dalam formulasi konvensional. Dalam penelitian ini diteliti pengaruh nilai DE maltodekstrin terhadap laju disolusi obat lipofilik dari sediaan niosom, nilai DE yang digunakan adalah DE 1 – 5 dan DE 10 – 15. Hasil penelitian menunjukan walaupun laju disolusi ketoprofen dalam formula niosom maltodekstrin DE 10 – 15 lebih besar daripada sediaan niosom dari maltodekstrin DE 1 – 5, perbedaan diantara keduanya tidak signifikan, hal ini karena maltodekstrin dalam formulasi tidak mengalami kontak langsung dengan obat model. Obat lipofilik dalam sediaan niosom terjerap diantara lapisan lipid bilayer."
Universitas Indonesia, 2006
S32518
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Ruslina Yanita Dewi
"Sistem pengantaran obat merupakan hal yang harus terus dikembangkan dalam upaya mengatasi penyakit kanker dan untuk membuat obat yang lebih aman untuk tubuh. Asetogenin merupakan salah satu senyawa bioaktif yang terbukti dapat mengobati penyakit kanker. Kitosan merupakan salah satu polimer alam yang memiliki sifat biodegradabel dan biokompatibilitas yang baik serta dapat membentuk polikation sehingga dapat digunakan sebagai mikrosfer penyalut obat. Sedangkan etil selulosa merupakan polimer alami yang memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dan tahan terhadap pH asam lambung sehingga dapat melindungi obat dan mikrosfer agar lepas pada sasarannya. Preparasi mikrosfer dilakukan dengan metode emulsi taut silang dengan menggunakan emulsifier span 80 dan agen penaut silang tripolifosfat (TPP) dengan variasi perbandingan kitosan dan etil selulosa. Dari hasil pengamatan profil pelepasan obat diketahui bahwa etil selulosa dapat menghambat laju pelepasan asetogenin dan preparasi dengan menggunakan rasio kitosan dengan etil selulosa sebanyak 2:5 lebih efektif dan stabil dalam pelepasan obat maupun emulsinya.

Drug delivery system is developed in order to overcome cancer and also to make drugs safer for the body. Acetogenin is one of the bioactive compounds that is proven to treat cancer. Chitosan is a natural polymer that has biodegradability and biocompatibility properties and can make polycation that can be used as drug coating microspheres. While ethyl cellulose is a natural polymer which has good biocompatibility and resistant to pH of gastric acid so that can protect the drug and microsphere to release in its target. Preparation of microsphere is made by emulsion crosslinking method using span 80 as emulsifier and tripolifosfat (TPP) as crosslinking agent with ratio of chitosan and ethyl cellulose variation. From the observation of release profile is known that erhyl cellulose can retard release rate of acetogenin and preparation using ratio of chitosan and ethyl cellulose of 2:5 is a more effective and stable in the release and emulsion."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47234
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karenna
"Nanoemulsi donepezil yang dihantarkan dari hidung ke otak dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak dan menghindari efek samping di saluran cerna. Namun, penelitian sebelumnya masih menggunakan konsentrasi surfaktan yang dapat menimbulkan sitotoksisitas. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanoemulsi donepezil dengan droplet berukuran di bawah 200 nm, nilai potensial zeta lebih besar dari 30 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH mendekati pH fisiologis nasal, serta fluks permeasi in vitro yang lebih tinggi dari kontrol. Nanoemulsi m/a yang mengandung donepezil, asam oleat, Tween 80, PEG 400, BHT, dan air demineralisata dibentuk dengan metode homogenisasi kecepatan tinggi dan ultrasonikasi. Parameter organoleptis, ukuran, indeks polidispersitas, potensial zeta, pH, permeasi in vitro melalui mukosa nasal kambing, dan stabilitas tiga formula nanoemulsi yang mengandung 3%, 4%, dan 5% surfaktan dinilai dan dibandingkan. Ketiga nanoemulsi memiliki ukuran droplet di bawah 110 nm, potensial zeta mencapai -29,77 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH masih ditoleransi mukosa nasal, dan stabil dalam penyimpanan pada suhu 30 ± 2 °C maupun 5 ± 2 °C selama sebulan. Melalui studi ini disimpulkan bahwa nanoemulsi F2 memiliki karakteristik fisik yang baik dan fluks permeasi terbaik (9,51 ± 2,64¼g/cm2.jam) sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak.

Donepezil nanoemulsion delivered via the nose to brain route can be an alternative to increase donepezil accumulation in the brain and avoid gastrointestinal side effects. However, previous study still used high surfactant concentrations which can cause cytotoxicity. This study aims to produce donepezil nanoemulsions with droplet sizes below 200 nm, zeta potential values greater than 30 mV, polydispersity index less than 0.3, pH nearing nasal physiological pH, and higher in vitro permeation compared to control. An o/w nanoemulsion comprising of donepezil base, oleic acid, Tween 80, PEG 400, BHT, and demineralized water was formed by high-speed homogenization and ultrasonication. Organoleptic, size, polydispersity index, zeta potential, pH, in vitro permeation through goat nasal mucosa, and the stability of three formulas containing 3%, 4%, and 5% surfactant were compared. All three nanoemulsions had droplet sizes below 110 nm, zeta potential up to -29.77 mV, polydispersity index less than 0.3, pH tolerated by nasal mucosa, and stable in storage at 30 ± 2 °C and 5 ± 2 °C for a month. This study concludes that the F2 nanoemulsion had good physical characteristics and the best permeation flux (9,51 ± 2,64¼g/cm2.hour), thus having potential to increase donepezil accumulation in the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnawilis
"Biaya belanja obat pada tahun 2000 di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru sebesar Rp 2.784.442.315,00 atau 31,29% dari seluruh biaya operasional rumah sakit (Rp 8.894.418.879,00). Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk pembelanjaan obat tersebut sudah cukup besar tetapi masih ditemukan masalah berupa belanja obat ke apotek luar sebesar Rp 325.687.400,00 atau 11,69%, dari biaya belanja obat. .Obat yang dibeli secara kontrak menumpuk sebesar Rp 249.059.000,00 atau 49,18% dari nilai obat yang dibeli secara kontrak yaitu sebesar Rp 600.000.000,00. Sejumlah obat deadstock sebesar Rp. 22.603.827,00 atau 0,8% dari biaya belanja obat. Penulis berasumsi masalah tersebut terjadi karena belum memadainya perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mendapatkan gambaran perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru pada Januari 2000 sampai dengan Desember 2000.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam yang mencakup informasi dari informan yang terkait, observasi dengan menelusuri data yang terdokumentasi. Penelitian ini dilaksanakan dari awal Mei sampai akhir Juni 2001.
Hasil wawancara mendalam dari observasi yang dilakukan terhadap variabel-variabel terkait dengan perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000, didapatkan hal-hal yang sudah dipertimbangkan, yaitu pemakaian obat periode sebelumnya, stok akhir, masa tenggang (lead time), kapasitas gudang, stok pengaman, usulan dokter, usulan kepala kamar operasi, dan anggaran. Dengan catatan belum adanya data yang mendukung perhitungan terhadap hal-hal yang dipertimbangkan tersebut. Didapatkan juga hal-hal yang seharusnya sudah dipertimbangkan, tetapi pada kenyataannya belum dipertimbangkan, yaitu usulan komite medik, usulan panitia farmasi dan terapi, usulan kepala IGD, usulan kepala ruangan perhitungan analisis ABC pemakaian, perhitungan analisis ABC investasi, perhitungan indeks kritis ABC, perhitungan Economic Order Quantity (EOQ), pertimbangan Length of Slay, pola penyakit, formularium, dan standar terapi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000 belum efektif, mengingat hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan obat belum sepenuhnya dipertimbangkan, dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat belum dilibatkan.
Agar perencanaan obat lebih efektif dan efisien, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen dalam membuat perencanaan kebutuhan obat sebaiknya mempertimbangkan hal-hal yang semestinya dipertimbangkan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Selain itu, perlu dibuat prosedur tetap dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perencanaan obat.

The Process of Planning for Medical Supplies at IBNU SINA Moslem Hospital, Yarsi Riau - Pekanbaru, 2000.The medicine expenditure in the year 2000 at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru was Rp 2,784,442,315.00 or 31.29% from the whole operational costs (Rp 8,894,418,879.00). Although the medicine expenditure is quite large, there still are prescriptions filled to other pharmacies amounting to Rp 325,687,4000.00 or 11.69% from the total medicine expenditure. Unused medication bought through contracts reached Rp 249,059,000.00 or 49.18% from the Rp 600,000,000.00 spent on medicine. The amount of dead stock medicine was Rp 22,603,827.00 or 0.8% from the total medicine expenditure. The author assumes that inadequate medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, caused it. Based on those facts, the author aims to achieve an illustration of the medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru in January 2000 to December 2000.
This study was a case study that applies a qualitative approach. The data obtained through in-depth interviews that comprised of the information from related informants, observation by tracing documenting data, and Discussion Group Focus (FGD). This study began in early May to the end of June 2001.
The in-depth interviews, Discussion Group Focus, and observations on related variables against medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, these aspects were already being considered: the use of medical supplies during the previous period, final stocks, lead time, warehouse capacity, safety stock, doctor recommendations, recommendations from the head of the surgery room, and budget. However, there is no data that supports the calculations on the aspects above. There were also several items that should be considered, but were not, such as the recommendations from the medical committee, pharmacy and therapy committee, the head of the IGD, the head of the room, calculations analysis of the ABC use, calculations analysis of the ABC investing, calculations on the ABC critical index, the Economic Order Quantity (ECQ), the Length of stay, disease pattern, Hospital drug standard, and therapy standard.
The study indicated that the medical supplies planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, was ineffective, since the aspects that should be considered had not been considered, and the parties that should be involved were not involved.
To make the planning more effective and efficient, the author suggests the management to take into consideration the aspects above and involve the related parties. In addition to that, create a standard procedure and policies that is related to the planning.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>