Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asti Harkeni
"Telah dilakukan rekonstruksi panjang obyek dan posisinya (x,y,z) secara manual menggunakan radiografi ortogonal pada pencitraan anterior/posterior dan lateral pada kasus brakiterapi intrakaviter. Pengukuran dilakukan menggunakan fantom akrilik brakiterapi berdimensi 34 x 34 x 34 cm3. yang disisipi oleh lempeng Pb dengan panjang dan posisi bervariasi. Diperoleh hasil rekonstruksi 70% dari semua titik pengamatan yang berada 10 cm dari titik pusat lapangan menghasilkan deviasi posisi sampai 20%. Untuk rekonstruksi panjang obyek kurang dari 6 cm dari titik isocenter, 56% data menghasilkan deviasi dari panjang real sampai 15%. Disimpulkan bahwa radiografi ortogonal untuk kegunaan rekonstruksi panjang obyek dan koordinat masih menghasilkan deviasi yang cukup besar.

Manual image reconstruction of object length and position by orthogonal radiography has been performed for anterior/posterior and lateral cases in intracavitary brachytherpy treatment planning. Measurement were done on self made acrylic brachytherapy phantom with 34x34x34 cm3 dimension where several lead slabs with different lengths were inserted at different positions. It has been obtained that 70% from all points which were located 10 cm from field center showed significant deviations reaching 20% from real positions. For reconstruction of object length positioned at less than 6 cm from isocenter also showed general deviations of up to 15% to real values.. It was therefore concluded that orthogonal radiography performed poorly in reconstructing object length and positions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Suharlim
"Latar belakang: Pemeriksaan radiografi secara bedside sering dilakukan pada pasien non-transportable. Literatur dahulu menyatakan jarak 2 meter merupakan jarak yang aman, dimana radiasi sekunder teratenuasikan sesuai radiasi latar. Namun pada observasi dan studi didapatkan petugas medis cenderung meninggalkan ruangan, yang dapat mengganggu pelayanan pada pasien dan menyebabkan terhentinya prosedur yang sedang berjalan. Sejauh penelusuran data tidak ditemukan data yang mengukur dosis radiasi sekunder di ruang perawatan intensif, yang dilakukan pada jarak 2 meter di RSUPD Cipto Mangunkusumo maupun Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer berupa 42 radiografi toraks, dilakukan di ruang perawatan intensif (ICU) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli 2019 hingga April 2021. Diperoleh juga data sekunder berupa jumlah pemeriksaan radiografi pada sistem Picture archiving and communication system (PACS) dengan lokasi di ruang perawatan intensif selama tahun 2017 hingga 2019.
Hasil: Rerata dosis radiasi sekunder untuk pemeriksaan radiografi toraks pada jarak 2 meter di ICU adalah 0,323 (± 0,192) μSv, dengan estimasi radiasi sekunder kumulatif selama 3 tahun dalam rentang 0,40 – 0,44 mSv per tahun. Status gizi, kVp, mAs, dan ketebalan tubuh memiliki hubungan bermakna pada uji bivariat terhadap dosis radiasi sekunder (p < 0,05), dengan variabel akhir setelah uji multivariat adalah mAs (p < 0,001).
Simpulan: Estimasi dosis radiasi sekunder kumulatif untuk petugas medis di ICU lebih kecil dibandingkan nilai batas dosis masyarakat umum. Faktor yang paling menentukan dosis radiasi sekunder pada jarak 2 meter adalah faktor eksposi yaitu mAs yang ditentukan oleh radiografer.

Background: Bedside radiography often done to non-transportable patients. Previous studies has shown that 2 meter is a safe distance, at which secondary radiation would be attenuated to background level. Yet from observation and studies, medical personel tend to leave the room, which could disrupt care to patients and cause disturb ongoing procedure. Data tracing done by the researcher has shown no other study which measure secondary dose radiation in intensive care unit, at a distance of 2 meters, in RSUPN Cipto Mangunkusumo or Indonesia.
Method: This study collected primary data of 42 chest radiograph, done in intensive care unit of RSUPN Cipto Mangunkusumo from July 2019 to April 2021. Secondary data was also collected in form of number or radiograph from Picture archiving and communication system with location of intensive care unit from year 2017 to 2019.
Result: Mean secondary radiation dose for chest radiograph at a distance of 2 meters is 0,323 (± 0,192) μSv, with cumulative secondary radiation dose estimation of 3 years in range of 0,40 – 0,44 mSv per annum. Nutritional status, kVp, mAs, and chest thickness have statistically significant correlation in bivariate analysis to secondary radiation dose (p < 0,05), with final variable after multivariate analysis of mAs (p < 0,001).
Conclusion: Cumulative secondary radiation dose for medical personel in ICU is less than dose limit for public exposure. The most significant variable to determine secondary radiation dose in 2 meters distance is exposure factor which is mAs that is determined by operator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Transport radiasi Monte Carlo adalah teknik paling sempurna dalam perhitungan dosis radioterapi. Tapi, karena lamanya waktu simulasi, implementasi klinik simulasi Monte Carlo masih sangat terbatas. Menjalankan beberapa job secara serentak pada beberapa prosessor mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam menjalanksan simulasi. Lebih lanjut mengenai ketertarikan pada komputasi cluser, kami mulai melangkah ke komputasi grid, yang dapat memanfaatkan sumber daya yang idle. Paper ini menjelaskan usaha untuk menjalankan aplikasi BEAMnrc/DOSXYZnrc pada SGE pool testbed GRID Laboratorium Komputer Departemen Fisika UI, dan menjelaskan metode untuk men-tuning SGE pool."
Universitas Indonesia, 2007
S28901
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Gideon
"ABSTRAK
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) merupakan citra hasil rekonstruksi
data set citra CT simulator yang digunakan untuk verifikasi dalam perencanaan
radioterapi eksternal. Penelitian ini mencoba untuk mengimplementasikan
algoritma ray casting dan hardware texture mapping sehingga dapat
menghasilkan citra DRR. Akuisisi citra CT simulator dilakukan terhadap fantom
modifikasi, fantom Catphan, dan fantom RANDO. Citra CT simulator kemudian
dikomputasi dengan menggunakan algoritma yang digunakan serta algoritma di
dalam treatment planning system (TPS). Evaluasi hasil citra DRR dilakukan
secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi kuantitatif meliputi evaluasi keakurasian
geometri, evaluasi kontras tinggi, evaluasi kontras rendah, evaluasi uniformitas,
dan evaluasi running time. Evaluasi kualitatif berupa kuesioner yang berisi
pendapat praktisi radioterapi mengenai kualitas citra DRR dalam hal kontras,
resolusi, dan uniformitas. Hasil evaluasi kuantitatif menunjukkan kualitas citra
DRR dari algoritma dalam penelitian ini hampir sama dengan algoritma di dalam
TPS dan hasil tersebut didukung oleh hasil evaluasi kualitatif.

ABSTRACT
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) are the CT simulator image
reconstruction that used for verification in external radiotherapy planning. This
thesis aims to implementation of ray casting and hardware texture mapping
algorithm to produce DRR images. CT image acquisition is made to modification
phantom, Catphan phantom, and RANDO phantom. These images then computed
become DRR images using ray casting and hardware texture mapping algorithm,
as well as the algorithm used in the treatment planning system (TPS) . Evaluation
of the DRR images conducted quantitatively and qualitatively. Quantitative
evaluation includes evaluation of geometric accuracy, high contrast, low contrast,
grey scale uniformity running time. Qualitative evaluations are questionnaires
which contain the opinion of radiotherapy practitioners regarding DRR image
quality in terms of contrast, resolution, and grey scale uniformity. Quantitative
evaluation shows that there are some similarities of DRR image quality between
algorithm used in this thesis study is similar to the algorithm in the TPS. This also
supported by the results of a qualitative evaluation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T39015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wahyu Praptiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dimensi kualitas yang berhubungan dengan kepuasan dokter spesialis radiologi terhadap pemanfaatan teleradiologi di Provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teleradiologi dimanfaatkan oleh 58,7% dokter spesialis radiologi (n=155) dan kebutuhan merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan pemanfaatan teleradiologi. Dokter spesialis radiologi yang puas terhadap teleradiologi sebanyak 78% (n=91) dan tangibility merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan kepuasan dokter spesialis radiologi. Kelengkapan dan kerahasiaan data pasien serta evaluasi oleh pimpinan unit radiologi merupakan prioritas utama untuk meningkatkan kepuasan dokter spesialis radiologi.

This study aims to determine the quality dimension factors related to the radiologist satisfaction toward the use of teleradiology in Jakarta in 2013. The research design is a descriptive quantitative study with cross sectional approach. The results showed that teleradiology utilized by 58,7% of radiologists (n=155) and the need is the most strongly factor related to the use of teleradiology. Radiologists were satisfied with the teleradiology as much as 78% (n=91) and tangibility is the most strongly factor related to the radiologist satisfaction. Completeness and confidentiality of patient data and the evaluation of the radiology leader are priorities to improve radiologist satisfaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat.
Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%.
Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.

ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment.
Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity.
Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively
Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Nugraha Indriawan Djuhana
"Telah dilakukan penelitian penggunaan faktor eksposi untuk pemeriksaan radiografi kepala proyeksi lateral, digunakan tiga pilihan faktor eksposi (FE), yaitu FE 1 : 66 kV, 8 mAs, FFD = 90 cm, tanpa tambahan filter ; FE 2 : 66 kV, 10 mAs, FFD = 90 cm, dengan tambahan filter 2 mmAl ; serta FE 3 : 70 kV, 10 mAs, FFD = 115 cm, dengan tambahan filter 2 mmAl. FE 1 merupakan kondisi yang biasa dilakukan di instalasi tersebut, FE 2 adalah modifikasi dari FE 1 dengan menambahkan filter tambahan dan nilai beban tabung (mAs) yang lebih tinggi, sedangkan FE 3 merupakan kondisi yang direkomendasikan oleh European Commission : European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic Radiographic Images. (1996).
Dari hasil evaluasi citra oleh Radiolog, diketahui bahwa semua FE menghasilkan citra yang dapat digunakan untuk kepentingan diagnosa, sedangkan evaluasi citra fantom leeds mendapatkan nilai kontras terbaik pada pengukuran sensitifitas kontras-rendah dari FE 3 dengan nilai kontras 0.0135. Sedangkan ESD yang dihasilkan pada masing-masing FE sebesar 0,80 mGy; 0,54 mGy & 0,34 mGy untuk FE 1, FE 2, dan FE 3. Tetapi ESD yang dihasilkan dari ketiga faktor eksposi tersebut masih berada dibawah ESD yang direkomendasikan oleh European Commission, sebesar 3 mGy.
Dari penelitian ini, maka faktor eksposi yang paling baik untuk digunakan pada pemeriksaan radiografi kepala proyeksi lateral adalah FE 3. Didapatkan penurunan ESD pada kondisi dengan menggunakan filter tambahan 2 mmAl dari kondisi yang tidak menggunakan filter tambahan 2 mmAl, sebesar 0,15 mGy - 0,75 mGy, atau sebesar 29,82 % - 74,77 %.

Has been studied using exposure factor for radiographic examination of the skull on lateral projection, used three options exposure factor (FE), namely FE 1: 66 kV, 8 mAs, FFD = 90 cm, with no additional filters; FE 2: 66 kV, 10 mAs, FFD = 90 cm, with 2 additional filter mmAl; and FE 3: 70 kV, 10 mAs, FFD = 115 cm, with 2 additional filter mmAl. FE 1 is the usual condition in the installation, FE 2 is a modification of one by adding additional filters and tube load value (mAs) is higher, while the FE 3 is a condition recommended by the European Commission: European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic radiographic Images. (1996).
From the results of image evaluation by the Radiologist, it is known that all FE, producing images that can be used for diagnosis, while the image evaluation using phantom leeds get the best contrast on the low-contrast sensitivity measurements of FE-3 with a value 0.0135. While the ESD generated at each FE of 0.80 mGy; 0.54 mGy to 0.34 mGy & FE 1, FE 2 and FE 3. But the ESD generated from these three exposure factors still under ESD valu that recommended by the European Commission, at 3 mGy.
From this research, the best exposure factor to use on the skull radiographic lateral projection is FE 3. ESD reduction obtained by using the filters on the condition of 2 mmAl additional of conditions that do not use the filter additional 2 mmAl, are 0.15 mGy - 0.75 mGy, or equal to 29.82% - 74.77%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S199
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iovah, Brent Ryan
"Latar belakang: Kulit buah manggis diketahui memiliki banyak khasiat seperti antioksidan, antiinflamasi, antitumor, antivirus, antibakteri, antifungi, antihistamin, antimalaria dan lainnya. Dalam menjalankan perannya, banyak zat aktif yang ,menghambat penyembuhan fraktur sehingga diperlukan peran antioksidan.
Tujuan: Mengetahui efek ekstrak kulit buah manggis terhadap penyembuhan tulang.
Metode dan Bahan: Penelitian ini menggunakan model fraktur yaitu defek femur kiri-kanan pada 6 ekor mencit (12 femur). Kemudian diaplikasikan ekstrak kulit buah manggis dosis 20 mg/kg BB (3 femur kiri) dan 40 mg/kg BB (3 femur kiri) serta saline water sebagai kontrol (6 femur kanan) pada hari ke 2, 4 dan 6. Pada hari ke 7, semua mencit dikorbankan. Selanjutnya ukuran diameter defek dievaluasi dengan dental digital radiography.
Hasil: Terdapat penurunan ukuran diameter defek pada femur mencit yang diaplikasikan ekstrak kulit buah manggis dosis 40 mg/kg BB namun tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kontrol (saline water).
Kesimpulan: Aplikasi ekstrak kulit buah manggis dosis 40 mg/kg BB dapat menurunkan ukuran diameter defek pada tulang.

Background: Peel of mangosteen has many benefits such as antioxidant, anti-inflammatory, antitumor, antiviral, antibacterial, antifungal, antihistamine, antimalarial and others. It has a lot of active substances contained therein as xanthones, anthocyanins, phenols, tannins and others. In bone fractures, an increase of free radicals that are supposed to inhibit the bone fractures healing that required the antioxidants.
Objective: To examine the effect of mangosteen peel extract on bone healing.
Methods and Materials: This study uses fracture model that defects on left-right femur in 6 mice (12 femur). Then applied mangosteen peel extract doseges of 20 mg/kg (3 left femur), 40 mg/kg (3 left femur) and saline water as a control (6 right femur) on days 2, 4 and 6. On day 7, all mice were sacrificed. Furthermore, the diameter size of the defect was evaluated with dental digital radiography.
Results: There was a decrease in the diameter of the femoral defect in mice that are applied mangosteen peel extract dose of 40 mg/kg, but not significantly different when compared with saline water.
Conclusion: The application of mangosteen peel extract 40 mg/kg BW dosage can reduce the diameter size of the bone defect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S44141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranggi Sahmura Ramadhan
"Pipa kalor telah terbukti efektif dalam memindahkan sejumlah besar kalor secara pasif, dan telah diujikan untuk berbagai aplikasi. Untuk dapat memahami fenomena aliran fluida, peristiwa penguapan-pendidihan, serta perpindahan kalor pada pipa kalor, dibutuhkan suatu pengujian yang komperhensif meliputi pengambilan data temperatur, tekanan dan visualisasi aliran fluida. Pada studi ini, pipa kalor berbahan dasar aluminium, bersumbu kapiler serbuk aluminium disinter dan berfluida kerja air dengan rasio pengisian fluida 10-90% diujikan, dengan parameter pengujian temperatur dan tekanan. Visualisasi aliran fluida pada pipa kalor juga dilakukan dengan metode radiografi neutron, menggunakan fasilitas radiografi neutron RN1 milik Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PSTBM-BATAN) Serpong.
Hasil pengujian menunjukan terdapat nilai optimum rasio pengisian fluida kerja terkait ketersediaan ruang uap dan tekanan dalam pipa kalor, dimana nilai optimum untuk desain pipa kalor pada pengujian ini berada pada rentang 50-70%. Sementara visualisasi aliran fluida dalam pipa kalor dengan radiografi neutron menghasilkan pencitraan yang dapat menggambarkan fenomena penguapan-pendidihan serta kondensasi pada bagian dalam pipa kalor.
Hasil pencitraan menghasilkan gambar yang dapat diolah lebih lanjut untuk mendapatkan besaran kuantitatif. Visualisasi dengan radiografi neutron menunjukan fenomena menarik pembentukan gelembung pada pipa kalor, serta membuktikan fungsi sumbu kapiler pada pipa kalor. Dari studi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa radiografi neutron merupakan metode yang baik untuk digunakan sebagai metode.

visualisasi aliran fluida pada pipa kalor;Heat pipe is proven to be effective in transferring great amount of heat passively, and has been tested for many applications. To get better understanding about the fluid flow phenomenon, the evaporation-boiling occurrence and the heat transfer inside heat pipe, a more comprehensive testing including the acquisition of temperature and pressure data as well as the fluid visualization is needed. In this study, an aluminium-based heat pipe using sintered aluminium powder as wick and water as working fluid with 10-90% filling ratio is tested, with testing parameter of temperature and pressure. Visualization of fluid flow inside heat pipe was conducted using neutron radiography method, at neutron radiography facility RN1 owned by PSTBM-BATAN, Serpong.
The result shows that there is an optimum value of filling ratio, where the value for the design used in this study laid between 50-70%. Meanwhile the visualization of fluid flow inside the heat pipe producing images that could briefly explained the evaporation-boiling and condensation inside the heat pipe. The images could be further processed to give quantitative values.
The visualization shows the interesting phenomenon of bubble generation inside the heat pipe and proving the function of wick for heat pipe. From this study, it can be inferred that neutron radiography is a powerful visualization method especially for fluid visualization inside heat pipe."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T46949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Palupi
"Dalam lima tahun terakhir banyak rumah sakit telah menggantikan film screen radiografi (FSR) dengan radiografi komputer (CR) di layanan radiologi. Berbeda dengan FSR, sistem CR memiliki respon dinamis yang dapat membentuk citra dari dosis rendah hingga dosis tinggi. Dalam penelitian ini telah dilakukan optimisasi pembentukan citra dengan CR Kodak. Optimisasi tersebut merupakan kompromi antara ESD dengan kondisi eksposi kVp. Pengukuran ESD dilakukan menggunakan fantom rando laki-laki untuk pemeriksaan kepala, thorax dan pelvis. Evaluasi citra berdasarkan European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic Radiographic Images oleh dokter spesialis radiologi.
Hasil penelitian dari rumah sakit A menunjukkan kondisi optimum penyinaran kepala AP terjadi pada 70 kVp dengan ESD 3,02 mGy dan nilai ESD/mAs 0,12 mGy/mAs. Nilai kontras tinggi dan rendah untuk pemeriksaan ini adalah 80 dan 32, dengan EI 1609. Untuk thorax PA, kondisi optimum terjadi pada kVp 70 dengan ESD 2,3 mGy dan 0,14 mGy/mAs. Kontras tinggi dan rendah pada kondisi ini adalah 99 dan 62, dengan EI 1455.
Adapun kondisi optimum pemeriksaan pelvis AP terjadi pada 70 kVp diperoleh ESD 4,46 mGy dan 0,16 mGy/mAs. Kontras tinggi dan rendah pada pemeriksaan ini adalah 200 dan 120 dengan nilai EI 1434. Selain itu hubungan kenaikan dosis dua kali lipat karena kenaikan EI 300 hanya berlaku untuk kVp yang konstan. Dengan kVp yang berubah-ubah seperti pada penelitian ini, kenaikan EI 300 hanya akan meningkatkan dosis 7 - 30%.

In the last five years many hospitals have replaced film screen radiography (FSR) with computed radiography (CR) in the radiology service. Unlike the FSR, the CR system has a dynamic response that can form the image of a low dose to high dose. In the present study has been carried out optimization of image formation with Kodak CR. Optimization is a compromise between ESD with conditions eksposi kVp. ESD measurements performed using a male phantom rando for examination of the skull, thorax and pelvis. The evaluation of the image is based on the European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic by a radiologist.
The results from the hospital A showed the optimum conditions of the head AP irradiation occurred in 70 kVp with 3.02 mGy ESD and the value of ESD/mAs 0.12 mGy/mAs. High and low contrast for this examination is 80 and 32, with EI 1609. For PA thorax, the optimum conditions occurred at 70 kVp with ESD 2.3 mGy and 0.14 mGy/mAs. High and low contrast in this condition were 99 and 62, with EI 1455.
The optimum conditions for the AP pelvic examination occurred at 70 kVp obtained ESD 4.46 mGy and 0.16 mGy/mAs. High and low contrast in this examination is 200 and 120 with a value of EI 1434. In addition, the relationship of the increase of the dose doubled because of the increase EI 300 only applies to the constant kVp. By changing kVp as in this study, the increase in EI 300 will only increase the dosage from 7 to 30%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T23279
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>