Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benedictus
"
ABSTRAK
Kedalaman pembubutan setelah quenching dibatasi oleh dalamnya lapisan dengan kekerasan yang tetap sama dengan permukaan sebelum pembubutan. Untuk pembubutan dengan diameter bahan baku dan diameter produk yang cukup jauh urutan proses yang biasa dilakukan adalah pemesinan kasar, perlakuan panas, lalu dilanjutkan dengan pemesinan halus.
Akan tetapi untuk lapisan yang dekat dengan permukaan ada dua macam altematif, yaitu:
1. Pemesinan kasar > Perlakuan panas > Pemesinan halus.
2. Perlakuan panas > Pemesinan sampai dengan selesai.
Dalam slcripsi ini alcan dilihat sejauh mana pengguuaan altematif 11 lebih ekonomis dibandingkan dengan altematif I pads. penggunaan mesin bubut untuk pemakanan kasar dan halus yang sama. Metode yang digunakan adalah dengan pencarian besarnya biaya masing-masing proses. Kemudian untuk beberapa macam diameter produk dari tiga diameter benda kerja akan dihitung besarnya biaya yang dikeluarkan. Juga dibuat sebuah pengujian untuk melihat pada kedalaman berapa kekerasan yang dihasilkan mulai berbeda dari permukaan quenching.
Dari perhitungan didapatkan bahwa altematif II mempunyai biaya yang lebih rendah dari altematif I dengan kondisi di mana mesin bubut untuk pemesinan kasar dan halus adalah sama. Dan dari pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa. kekerasan benda setelah quenching paling tinggi terletak pada kedua ujung silinder dan semakin ke tengah akan semakin lunak dan kekerasan untuk diameter 50 dan 25,4 mm masih dapat bertahan sampai perubahan diameter 1 mm dan untuk diameter 12,7 mm sebesar 3 mm dari permukaan quenching. Sehingga kesimpulan yang didapat adalah untuk pembubutan di dekat permukaan quenching, sebaiknya digunakan alternatif urutan proses II.
"
1997
S36190
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresnodrianto
"Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh nanofluida sebagai salah satu media pendinginan cepat dalam proses perlakuan panas dari baja S45C. Pembuatan nanofluida dilakukan dengan mencampurkan nano partikel karbon yang dilakukan proses penggilingan dengan 500 rpm selama 15 jam dengan fluida dasar air distilasi menggunakan metode Ultrasonic.Partikel karbon yang digunakan dalam pembuatan nanofluida adalah sebesar 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 w/v. Sampel karbon dikarakterisasi dengan menggunakan SEM-EDS dan pengujian XRD. Nanofluida dikarakterisasi menggunakan PSA dan Pengujian Konduktivitas Termal. Sampel baja S45C dikarakterisasi menggunakan OES, serta uji kekerasan Vickers dan pengamatan mikrostruktur sebelum dan sesudah proses pendinginan cepat dlakukan.Hasil yang didapatkan secara umum menunjukkan peningkatan tingkat kekerasan dan konduktivitas termal dengan penambahan nanofluida. Namun, penggunaan nanofluida dengan jumlah partikel berlebih dapat menurunkan hasil yang didapat.

This research is conducted to know the effet of Nanofluids as a quench medium in the heat treatment process of S45C steel. Nanofluids are created by mixing carbon nano particles that had been milled in 500 rpm for 15 hours with distilled water as the base fluid using Ultrasonic. Carbon particles of 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, and 0.5 w v were used in creating the nanofluid. Carbon sample are characterized with SEM EDS and XRD testing. Nanofluid are characterized with PSA and thermal conductivity test. S45C steel are characterized with OES, and also Vickers hardness testing and metallographic observation before and after the quenching process. Thv results of mentioned testing generally indicate an increase in hardness and thermal conductivity with the use of nanofluid. However, the use of nanofluid with extensive carbon particle can reduce the result in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eifelson
"Piston pada motor adalah komponen dari mesin pembakaran dalam yang berfungsi sebagai penekan udara masuk dan penerima hentakan pembakaran pada ruang bakar silinder liner. Material penyusun piston tersebut adalah AC8H yang sifatnya ringan, kuat, dan tahan aus. Menanggapi tantangan mahalnya sumber energi dunia khususnya bahan bakar minyak, industri-industri harus mengambil langkah-langkah efektif untuk menghadapi permasalahan kenaikan harga minyak dunia yang pada penelitian ini akan dibahas adalah mempersingkat proses perlakuan panas yaitu mengganti proses T6 (artificial ageing) (yang merupakan proses standar dari pembuatan piston) dengan proses T4 (natural ageing).
Penelitian ini membandingkan sampel T4 (natural ageing) [kondisi: temperature solution treatment 505 ± 5° C selama 2 jam ± 5 menit, proses quenching dengan temperatur air 71 ± 5°C selama 3 ± 1 menit, lalu ageing pada temperatur ruang (25°C)] dengan sampel T6 (artificial ageing) [kondisi: solution treatment dan quenching yang sama seperti sampel T4, tetapi dilakukan ageing buatan dengan temperatur 230 ± 5°C selama 5 jam ± 5 menit]. Pengujian sampel T4 dilakukan mulai 0 jam kondisi as quench sampai 120 jam kondisi as quench dengan pengulangan pengujian setiap 24 jam. Pengujian yang dilakukan adalah uji kekerasan, keausan, dan foto mikrostruktur.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel T4 (natural ageing) mulai 0 jam sampai 120 jam menunjukkan peningkatan kekerasan dan ketahanan aus. Sampel T4 (natural ageing) 120 jam setelah as quench memiliki kekerasan sebesar 65,6 HRB yang artinya telah masuk dalam range standar yaitu 63 ? 70 HRB dan memiliki laju aus (0,005mm³/m) dibawah laju aus sampel T6 (artificial ageing) (0,007mm³/m) yang artinya memiliki ketahanan aus yang lebih baik. Dari segi biaya yang dikeluarkan proses T4 dengan biaya penyimpanan Rp 11.539.500,- lebih hemat dibandingkan dengan proses T6 dengan biaya listrik Rp 70.200.000,-, sehingga melihat data yang ada, maka penggantian proses T6 (artificial ageing) (yang merupakan proses standar dari pembuatan piston) dengan proses T4 (natural ageing) untuk penghematan energi sangat dimungkinkan.

Piston part in motorcycle is a component from burner machine which has a function to pushing in the air and to receive burning shock at combustion room cylinder liner. The material for piston is AC8H which has a mechanical properties such as light in weight, strong, and good at wear. To challenge the expensive of world energy cost, industries have to take effective action to face this condition. This research is to shorten the heat treatment process by changing T6 (artificial ageing) process with T4 (natural ageing) process.
This research is to compare T4 sample (condition: solution treatment temperature 505 ± 5° C during 2 hour ± 5 minutes, quenching process with water temperature 71 ± 5°C during 3 ± 1 minutes, then naturally aged at room temperatur 25 °C) with T6 sample (condition: solution treatment and quenching same with T4, but artificially aged with temperature 230 ± 5°C during 5 hour ± 5 minutes). The experiment test for T4 sample is start from 0 hour as quench condition until 120 hour as quench condition with test repeat every 24 hour. The experiment test are hardness, wear and photo microstructure.
The result from this experiment that T4 sample start at 0 hour until 120 hour showed the increasing of hardness and wear resistant. The 120 hour T4 as quench sample has 65,6 HRB, which mean the hardness is already inside the hardness range that is 63 ? 70 HRB and also has a wear rate (0,005mm3/m) below T6 wear rate sample (0,007mm3/m) which mean T4 sample is more resistance to wear. From cost aspect, T4 need strorage space with cost Rp 11.539.500,- and it is more economic than T6 process with electricity cost Rp 70.200.000,-. Depend on the experiment data, changing T6 process (standard process for piston making) with T4 process for saving the energy cost is posible.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41641
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuaji Narottama Putra
"Material baja masih memiliki peranan yang penting pada berbagai industri modern. Sifat dan karakteristik baja dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan melalui proses metalurgi, misalnya dengan proses perlakuan panas. Proses ini dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja melalui perubahan fasa yang ada di dalamnya. Kecepatan pendinginan cepat ini sangat penting dalam keberhasilan perubahan fasa tersebut. Penambahan partikel padat ke dalam media pendingin dapat mengubah kecepatan pendinginan dari media pendingin tersebut. Dengan mengontrol jumlah partikel padat yang ditambahkan, maka kecepatan media pendingin juga dapat diatur. Penelitian ini berfokus kepada sintesis partikel padat yang berasal dari Printed Circuit Board (PCB), serta karakterisasi media pendingin dengan partikel terdispersi.
Partikel PCB disintesis secara top-down menggunakan Planetary ball mill. Beberapa durasi milling dilakukan sebagai variasi yaitu 10, 15, dan 20 jam. Partikel tersebut kemudian ditambahkan ke dalam media pendingin air. Penambahan surfaktan dilakukan untuk meningkatkan kestabilan partikel dan menghindari aglomerasi. Beberapa jenis surfaktan dibandingkan pada penelitian ini antara lain Sodium Dodecylbenzene Sulfonate (SDBS), Polyethylene Glycol (PEG), dan Cetyl Trimethylammonium Bromide (CTAB). Media pendingin dengan partikel terdispersi ini kemudian digunakan untuk pendinginan cepat sampel baja. Kecepatan pendinginan diukur dengan menggunakan temperatur logger. Masing – masing variasi media pendingin menghasilkan kecepatan pendinginan yang berbeda pula. Setelah pendinginan cepat, kemudian dilakukan pengukuran kekerasan pada baja. Kekerasan baja akan dipengaruhi oleh kecepatan pendinginan yang dihasilkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses planetary ball mill akan menghasilkan ukuran partikel terkecil hingga 240,7 nano meter setelah proses selama 20 jam. Hal ini berarti reduksi ukuran partikel yang didapatkan adalah sebesar 77,65%. Partikel ini kemudian dimasukkan ke dalam air dan ditambahkan masing – masing surfaktan. Kestabilan yang didapat adalah 57,37 mV, -35,27 mV, dan -13,84 mV secara berurutan untuk CTAB, SDBS, dan PEG. Kondisi peningkatan konduktifitas panas, laju pendinginan, dan kekerasan optimum didapat dari penambahan partikel PCB sebesar 0,5% w/v, dan SDBS sebesar 3%. Pada variasi ini, konduktifitas panas meningkat sebesar 17,5%, laju pendinginan sebesar 16,93%, dan kekerasan baja sebesar 32,5%.

Steel materials continue to play a crucial role in various modern industries. The properties and characteristics of steel can be adjusted to meet specific needs through metallurgical processes, such as heat treatment. This process enhances the strength and hardness of steel by inducing phase transformations. The rapid cooling rate is critical for the success of these phase changes. Adding solid particles to the cooling medium can alter its cooling rate. By controlling the amount of solid particles added, the cooling rate of the medium can also be regulated. This study focuses on the synthesis of solid particles derived from Printed Circuit Board (PCB) waste and the characterization of cooling media with dispersed particles.
PCB particles were synthesized using a top-down approach with a planetary ball mill. Milling durations of 10, 15, and 20 hours were used as variations. These particles were then added to water as the cooling medium. Surfactants were used to improve particle stability and prevent agglomeration. The surfactants compared in this study included Sodium Dodecylbenzene Sulfonate (SDBS), Polyethylene Glycol (PEG), and Cetyl Trimethylammonium Bromide (CTAB). The cooling media with dispersed particles were subsequently used for rapid cooling of steel samples. Cooling rates were measured using a temperature logger. Each variation of the cooling medium produced different cooling rates. After rapid cooling, hardness measurements of the steel samples were performed. The hardness of the steel was influenced by the cooling rate achieved.
The results of the study showed that the planetary ball milling process produced the smallest particle size of 240.7 nanometers after 20 hours of milling. This corresponds to a particle size reduction of 77.65%. These particles were then incorporated into water and combined with different surfactants. The resulting stability was 57.37 mV, -35.27 mV, and -13.84 mV for CTAB, SDBS, and PEG, respectively. The optimum conditions for thermal conductivity enhancement, cooling rate, and steel hardness were obtained with the addition of 0.5% w/v PCB particles and 3% SDBS. Under these conditions, thermal conductivity increased by 17.5%, cooling rate by 16.93%, and steel hardness by 32.5%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuaji Narottama Putra
"Material baja masih memiliki peranan yang penting pada berbagai industri modern. Sifat dan karakteristik baja dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan melalui proses metalurgi, misalnya dengan proses perlakuan panas. Proses ini dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja melalui perubahan fasa yang ada di dalamnya. Kecepatan pendinginan cepat ini sangat penting dalam keberhasilan perubahan fasa tersebut. Penambahan partikel padat ke dalam media pendingin dapat mengubah kecepatan pendinginan dari media pendingin tersebut. Dengan mengontrol jumlah partikel padat yang ditambahkan, maka kecepatan media pendingin juga dapat diatur. Penelitian ini berfokus kepada sintesis partikel padat yang berasal dari Printed Circuit Board (PCB), serta karakterisasi media pendingin dengan partikel terdispersi.
Partikel PCB disintesis secara top-down menggunakan Planetary ball mill. Beberapa durasi milling dilakukan sebagai variasi yaitu 10, 15, dan 20 jam. Partikel tersebut kemudian ditambahkan ke dalam media pendingin air. Penambahan surfaktan dilakukan untuk meningkatkan kestabilan partikel dan menghindari aglomerasi. Beberapa jenis surfaktan dibandingkan pada penelitian ini antara lain Sodium Dodecylbenzene Sulfonate (SDBS), Polyethylene Glycol (PEG), dan Cetyl Trimethylammonium Bromide (CTAB). Media pendingin dengan partikel terdispersi ini kemudian digunakan untuk pendinginan cepat sampel baja. Kecepatan pendinginan diukur dengan menggunakan temperatur logger. Masing – masing variasi media pendingin menghasilkan kecepatan pendinginan yang berbeda pula. Setelah pendinginan cepat, kemudian dilakukan pengukuran kekerasan pada baja. Kekerasan baja akan dipengaruhi oleh kecepatan pendinginan yang dihasilkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses planetary ball mill akan menghasilkan ukuran partikel terkecil hingga 240,7 nano meter setelah proses selama 20 jam. Hal ini berarti reduksi ukuran partikel yang didapatkan adalah sebesar 77,65%. Partikel ini kemudian dimasukkan ke dalam air dan ditambahkan masing – masing surfaktan. Kestabilan yang didapat adalah 57,37 mV, -35,27 mV, dan -13,84 mV secara berurutan untuk CTAB, SDBS, dan PEG. Kondisi peningkatan konduktifitas panas, laju pendinginan, dan kekerasan optimum didapat dari penambahan partikel PCB sebesar 0,5% w/v, dan SDBS sebesar 3%. Pada variasi ini, konduktifitas panas meningkat sebesar 17,5%, laju pendinginan sebesar 16,93%, dan kekerasan baja sebesar 32,5%.

Steel materials continue to play a crucial role in various modern industries. The properties and characteristics of steel can be adjusted to meet specific needs through metallurgical processes, such as heat treatment. This process enhances the strength and hardness of steel by inducing phase transformations. The rapid cooling rate is critical for the success of these phase changes. Adding solid particles to the cooling medium can alter its cooling rate. By controlling the amount of solid particles added, the cooling rate of the medium can also be regulated. This study focuses on the synthesis of solid particles derived from Printed Circuit Board (PCB) waste and the characterization of cooling media with dispersed particles.
PCB particles were synthesized using a top-down approach with a planetary ball mill. Milling durations of 10, 15, and 20 hours were used as variations. These particles were then added to water as the cooling medium. Surfactants were used to improve particle stability and prevent agglomeration. The surfactants compared in this study included Sodium Dodecylbenzene Sulfonate (SDBS), Polyethylene Glycol (PEG), and Cetyl Trimethylammonium Bromide (CTAB). The cooling media with dispersed particles were subsequently used for rapid cooling of steel samples. Cooling rates were measured using a temperature logger. Each variation of the cooling medium produced different cooling rates. After rapid cooling, hardness measurements of the steel samples were performed. The hardness of the steel was influenced by the cooling rate achieved.
The results of the study showed that the planetary ball milling process produced the smallest particle size of 240.7 nanometers after 20 hours of milling. This corresponds to a particle size reduction of 77.65%. These particles were then incorporated into water and combined with different surfactants. The resulting stability was 57.37 mV, -35.27 mV, and -13.84 mV for CTAB, SDBS, and PEG, respectively. The optimum conditions for thermal conductivity enhancement, cooling rate, and steel hardness were obtained with the addition of 0.5% w/v PCB particles and 3% SDBS. Under these conditions, thermal conductivity increased by 17.5%, cooling rate by 16.93%, and steel hardness by 32.5%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintoro Siswayanti
"[Berbagai variasi pemanasan telah dilakukan terhadap kawat Cu-Nb-Sn Internal Tin Luvata Waterbury untuk menghasilkan kawat superkonduktor dengan kandungan intermetalik A15 Nb3Sn yang memiliki homogenitas mikrokimia dan mikrostruktur. Reaksi pembentukan intermetalik A15 Nb3Sn melalui solid state diffusion couple. Pemanasan dilakukan dalam kondisi terproteksi dari oksigen. Tabung berisi kawat tersebut dipanaskan pada temperatur 450oC, 600oC, 750oC, dan 900oC dengan variasi waktu. Tabung didinginkan dalam tungku baru kemudian dikeluarkan. Identifikasi evolusi fasa tidak bisa menggunakan XRD karena matriks Cu dominan, sehingga penentuan fasa dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder sebagai pembanding. Struktur mikro dan komposisi
fasa cuplikan diamati dengan scanning electron microscope (SEM) dan energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Sn merupakan elemen utama yang berdifusi pada proses difusi yang terjadi. Pada pemanasan 450oC/72 jam terbentuk intermetalik Nb3Sn, larutan padat α-Nb dan juga Nb3Sn yang kurang superkonduktif. Sedangkan variasi perlakuan panas yang lain menghasilkan intermetalik Nb3Sn dengan komposisi % atom Sn yang homogen di sepanjang filament yang diamati. Seluruh variasi perlakuan panas didapati menyebabkan interkoneksi filament yang tidak diharapkan. Pemanasan 750oC dan 900oC didapati menyebabkan pelarutan Nb dari filament. Pemanasan
900oC/72 jam didapati menyebabkan kebocoran kawat sehingga terjadi peracunan selongsong Cu. Pada sisi lapisan intermetalik A15 Nb3Sn yang kaya Sn tumbuh kristal equiaxed sedang pada sisi yang kurang Sn tumbuh kristal columnar. Perlakuan panas optimal pada penelitian ini 600oC/72 jam dan diperlukan jarak antar filament yang lebih lebar untuk menghindari interkoneksi filament. Efek Hartley Kirkendal berupa pergeseran batas muka tampak dengan pergeseran yang kecil.

Variations heat treatment have been applied to the wire Cu-Nb-Sn Internal Tin Luvata Waterbury to produce superconducting wire with A15 Nb3Sn intermetallic that has microchemical and microstructural homogeneity. A15 Nb3Sn
intermetallic formation reactions via solid state diffusion couple. Heating is carried out in a protected conditions from oxygen. Quartz tube containing the wire is heated at a temperature of 450oC, 600oC, 750oC and 900oC with time variations. Tube cooled in the furnace and then removed. XRD could not identified phase evolution because the dominant Cu matrix, so that the phase determination is done by using secondary data as a comparison. Microstructure and phase composition of the samples was observed by scanning electron
microscope (SEM) and energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS). The results showed that Sn play as main diffusant. The heating 450oC/72 hours generate intermetallic Nb3Sn, α-Nb solid solution and also less Nb3Sn superconductive. While the other heat treatment variations produced intermetallic Nb3Sn with % Sn atom in homogeneous along the filament was observed. All the various heat treatment interconnecting filaments found to cause unexpected. Heating 750oC and 900oC were found causing dissolution of the Nb filaments. 900oC/72 hour heating wire found to cause leakage resulting in the poisoning of the Cu shell. On the side of the A15 Nb3Sn intermetallic layer rich Sn grows equiaxed crystals, whether on the side of less Sn columnar crystals grow. Optimal heat treatment in this study 600oC/72 hours required distance between the filament and wider to avoid interconnecting filaments. Effects Hartley Kirkendal be a shifting boundary face seemed to shift a little., Variations heat treatment have been applied to the wire Cu-Nb-Sn Internal Tin
Luvata Waterbury to produce superconducting wire with A15 Nb3Sn intermetallic
that has microchemical and microstructural homogeneity. A15 Nb3Sn
intermetallic formation reactions via solid state diffusion couple. Heating is
carried out in a protected conditions from oxygen. Quartz tube containing the
wire is heated at a temperature of 450oC, 600oC, 750oC and 900oC with time
variations. Tube cooled in the furnace and then removed. XRD could not
identified phase evolution because the dominant Cu matrix, so that the phase
determination is done by using secondary data as a comparison. Microstructure
and phase composition of the samples was observed by scanning electron
microscope (SEM) and energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS). The results
showed that Sn play as main diffusant. The heating 450oC/72 hours generate
intermetallic Nb3Sn, α-Nb solid solution and also less Nb3Sn superconductive.
While the other heat treatment variations produced intermetallic Nb3Sn with %
Sn atom in homogeneous along the filament was observed. All the various heat
treatment interconnecting filaments found to cause unexpected. Heating 750oC
and 900oC were found causing dissolution of the Nb filaments. 900oC/72 hour
heating wire found to cause leakage resulting in the poisoning of the Cu shell. On
the side of the A15 Nb3Sn intermetallic layer rich Sn grows equiaxed crystals,
whether on the side of less Sn columnar crystals grow. Optimal heat treatment in
this study 600oC/72 hours required distance between the filament and wider to
avoid interconnecting filaments. Effects Hartley Kirkendal be a shifting boundary
face seemed to shift a little.]
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T43437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrur Rozi
"ABSTRAK
Baja tahan karat dua fasa SAF 2205 pipa kelas 65 diberikan perlakuan cold pilgering menyebabkan kelasnya meningkat menjadi kelas 140 dan kekuatan luluhnya juga meningkat. Meningkatnya kekuatan luluh ternyata menurunkan ketangguhan material. Diberikan perlakuan panas untuk meningkatkan ketangguhan tersebut dan diharapkan sifat mekanisnya mendekati kelas 125 atau 110. Diberikan perlakuan panas dengan suhu 350 ̊C, 450 ̊C dan 550 ̊C dengan waktu tahan 30 dan 40 menit. Setelah diberikan perlakuan, diperiksa sifat mekanisnya dengan pengujian tarik, impak, keras dan metalografi. Didapatkan parameter optimum untuk mendapatkan ketangguhan yang optimum pada suhu 550 ̊C dengan waktu tahan 30 menit.

ABSTRACT
Duplex stainless steel SAF 2205 grade 65 given cold pilgering treatment that increase their grade to grade 140 and increase the yield strength. Increasing yield strength, lowering the toughness of material. Heat treatment given to material to increase the toughness and make the mechanical properties closer to grade 125 or 110. Heat treatment parameter that been used are 350 ̊C, 450 ̊C, and 550 ̊C with holding time 30 and 40 minutes. After heat treatment, the mechanical properties checked with tensile test, impact test, hardness test and metallography. The optimum parameter for the optimum toughness is reached in temperature 550 ̊C with holding time 30 minute."
2014
S65713
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syeila Yusuf
"Penelitian komposit Mg-Al-Ti-B dilakukan untuk mencari alternatif material selain aluminium dan diaplikasikan sebagai kerangka kendaraan dan komponen otomotif. Komposit magnesium cocok digunakan karena memiliki nilai densitas rendah sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan memiliki sifat mekanis yang baik. Pada penelitian ini, Mg-Al-Ti-B bertindak sebagai matriks komposit yang diberi 0,20 vf% penguat nano-Al2O3. Komposit difabrikasi dengan metode pengecoran aduk, kemudian perlakuan panas T6 diterapkan pada sampel, diawali dengan solution treatment pada 420 oC selama satu jam dan dilanjutkan dengan artificial agingdengan variasi temperatur 170 oC, 200 oC, 230 oC dan 260 oC selama 6 jam. Pengaruh dari perlakuan panas T6 terhadap struktur mikro menunjukkan perbedaan morfologi fasa Mg17Al12 dimana terjadi pembulatan dan muncul presipitat Al3Ti dan TiB2 hasil proses aging untuk meningkatkan sifat mekanis pada sampel. Pada penelitian ini juga dilakukan karakterisasi kimia OES, EDS dan XRD, densitas dan porositas dan pengujian merusak. Hasil pengujian mekanis menunjukkan peningkatan sifat mekanis pada sampel yang telah diberikan perlakuan panas. Nilai kekuatan tarik (UTS) tertinggi pada sampel dengan temperature aging 170 oC yakni 65,31 MPa. Nilai kekerasan, harga impak dan laju aus paling optimum dicapai oleh sampel dengan temperatur aging200 oC yakni 92,4 HRH, 0,07 J/mm2, dan 0,00254mm3/m berturut-turut.

A study of Mg-Al-Ti-B composite is conducted to replace aluminium for vehicle body structure and automotive components application. Magnesium composite is a suitable material to be applicated due to its lightweight and its low density. Thus, the vehicle body structure with lightweight, high efficiency, and good mechanical properties can be achieved. Mg-Al-Ti-B acts as the matrix, reinforced with 0.20 vf% nano-Al2O3. Magnesium composite was fabricated by the stir casting method. Furthermore, T6 heat treatment was applied with aging temperature 170oC, 200 oC, 230 oC dan 260 oC for 6 hours, following the prior 1 hour 420 oC solution treatment. The effect of T6 heat treatment on microstructure shows difference in morphology of primary Mg17Al12in which spheroidization takes place, also Al3Ti and TiB2precipitates from aging appears. In this research, characterizations were conducted using OM, OES, EDS XRD, density and porosity measurements, and destructive test. Mechanical properties of T6 heat treated sampel is improved compared to non-heat treated ones. The highest ultimate tensile strength is achieved with 170 oC aging temperature that is 65.31 MPa. The optimum hardness, impact value and wear rate are seen on 200 oC aging temperature, the numbers are 92,4 HRH, 0,07 J/mm2, dan 0,00254mm3/m respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anrinal
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media quenching oil alternatif, temperatur tempering yang sesuai dengan media quenching alternatif, dan menciptakan Elastic rail fastening yang baru.
Penelitian dilakukan dengan variasi temperatur pemanasan 950°C, dan 1050°C, media quenching oil dengan viscositas SAE 20, 30, 40, 50, 90, dan 140, Temperatur temper 250, 350 dan 450°C, dan pengembangan produk dibatasi sampai pembuatan Model dari disain produk awal.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa media quenching oil alternatif adalah dengan Viscositas SAE50, SAE90, dan SAE140. Temperatur tempering yang sesuai dengan media quenching altematif adalah 250°C dengan temperatur pengerasan 1050°C. Penghematan energi dan konsumsi bahan bakar dapat dicapai melalui pemakaian media quenching oil SAE140 yang dapat menghilangkan proses temper, dan oli SAE50 serta SAE90 dapat menurunkan temperatur temper menjadi 250°C. Produk baru yang terpilih adalah Model 1 yang memiliki unjuk kerja lebih baik dari Model-model lainnya.

ABSTRACT
The purpose of this research is to find quenching media oil alternative, the suitable tempering temperature to quenching media oil alternative, and create the new elastic rail fastening.
Research is done in many variations. Heating variety are 950°C, and 1050°C, viscosity of quenching media oil variety are SAE 20, 30, 40, 50, 90, and 140, tempering temperature are 250, 350 and 450°C. And new product development is done until prototype construction of preliminary product design.
The result showed that viscosity of quenching media oil alternative are SAE50, SAE90, and SAE140. Tempering temperature is 2500C at heating 10500C. Energy saving and fuel consumption reached with use oil SAE140 to delete tempering process, oil SAE50 and SAE90 to decrease tempering temperature to 250°C. The new product is Model 1 who has performance is better than other Models.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>