Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daru Tutuko
"Polimer-clay nanokomposit menjadi konsep terdepan dalam polimer komposit karena sifat sinergi dari hybrid OLS dengan polimer mampu meningkatkan berbagai sifat material yang signifikan pada konsentrasi filler yang rendah (5 % OLS). Pada sistem PPCN, dispersi OLS di dalam polimer sulit tercapai karena tingkat kepolarannya yang berbeda. Selain itu tingkat afinitas compatibilizer terhadap PP maupun clay dan juga berbagai kondisi proses yang spesifik menyebabkan proses pembuatannya sangat kompleks dan mahal.
Penelitian ini menerapkan "Cascade Engineering Principle" pada fabrikasinya. Proses simultan (serempak) dari sintesis PP-g-MA guna tercapainya interkelasi dan/atau eksfoliasi dari PPCN membuat metode ini menjadi singkat sehingga biayanya rendah. Masterbatch menjadi fokus utama dimana pada awalnya PP, Peroksida dan Anhidrida Maleat dicampur untuk membuat PP-g-MA dan kemudian ditambahkan clay dengan menggunakan metoda melt compounding. Waktu 1 menit, 3 menit dan 6 menit menjadi variabel pembuatan masterbatch. Penambahan PP selanjutnya akan menghasilkan sistem PPCN.
Pengujian kuat tarik dilakukan untuk melihat peningkatan sifat mekanisnya dan karakterisasi XRD akan menunjukkan kestabilan nanomorfologi yang terbentuk. Pada penerapannya, metode fabrikasi yang digunakan belum memberikan hasil maksimal. Compatibilizer PP-g-MA memberikan interaksi yang buruk dilihat dari ketidakmampuannya memberi pilar yang kokoh untuk mempertahankan struktur nanomorfologi dalam galeri silikat. Analisa XRD menunjukkan adanya interkelasi di sebagian sistem PPCN, terdapat pula deinterkelasi di sebagian lainnya. Pengujian Kuat Tarik membuktikan bahwa adanya deinterkelasi akan menurunkan sifat kuat tariknya (tensile strength). Variabel waktu dari ketiga PPCN tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada nilai kuat tarik dan difaktogram XRD.

Recently, polymer-clay nanocomposite has become advanced concept in polymer matrix composites due to the fusion of hybrid between OLS and polymer promising to have significantly improved performance over traditionally filled polymers. Dispersion of OLS to polymer is difficult to be achieved in that the difference in polarity grade. Compatibilizer affinity to PP and clay and suitable process conditions make this process complex and expensive.
The research applying Cascade Engineering Principle during fabrication. A simultaneous process of polymer functionalization (synthesis of PP-g-MA) to achieve intercalated and/or exfoliated PP-clay nanocomposite makes such proposed method is a shortcut and a low cost processing. Masterbatch being the main focus on preparation of PPCN. PP, Peroxide and Maleic Anhydride mixed to be PP-g-MA using melt compounding method with three variabels (1, 3 and 6 minutes) and then clay inserted with the same method. Next, PP added to masterbatch to produce PPCN system.
Tensile Strength testing indicating the improvement of mechanical properties and XRD examination showing the stability of nanomorphology structure. This fabrication method did not offer ideal result yet. As compatibilizer, PP-g-MA gave poor interaction referred to the collapse on nanomorphology structure between silicate galleries. XRD diffractogram showed that some intercalation formed in PPCN system while some deintercalation detected on the contrary. Tensile Strength testing proved that deintercalation had its tensile strength lower. As variabels, three of PPCN products had no significant differences of data series.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S41768
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topaz Patria Teguh Pratomo
"Baru-baru ini polymer-clay nanocomposite telah menjadi sebuah konsep yang berkembang di dlam pemanfaatan komposit matriks polImer hal ini dikarenakan penggabungan antara OLS dengan polymer memiliki kesempatan yang menjanjikan untuk meningkatkan performa yang lebih baik dari pada filled polymers pada umumnya. Dispersi dari OLS sulit untuk dicapai karena perbedaan polaritas antara keduanya. Kebutuhan akan compatibilizer yang memiliki kecocokan dengan PP dan clay juga kondisi proses yang sesuai menjadikan proses ini kompleks dan relatif mahal. Peneliatian menjalankan aplikasi Cascade Engineering Principle selama proses fabrikasi. Proses yang stimultan untuk menghasilkan polimer fungsional (sintesis dari PP-g-MA) untuk mencapai struktur PP-clay nanokomposit dengan interkelasi dan atau eksfoliasi menjadikan sebuah metode jalan pintas yang memiliki biaya proses relatif rendah. Untuk awal dibuat terlebih dahulu Masterbatch untuk kemudian dilanjutkan dengan membuat PPCN. PP, Peroxide dan Maleat Anhidrida dicampur menghasilkan PP-g-MA menggunakan metode melt compounding dengan tiga variabel watu pencampuran (1, 3 dan 6 menit) kemudian clay OLS dengan gugus OH (2-Hydroxyethyl(hexadecyl)- dimethylammonium iodide) dimasukkan dengan metode yang sama. Lalu, PP ditambahkan ke dalam masterbatch untuk menghasilkan PPCN. Pengujian Kekuatan Tarik (Tensile Strength Test) dilakukan untuk mengidentifikasi adanya peningkatan terhadap sifat mekanik dan pemeriksaan dengan XRD untuk menunjukan stabilitas struktur nanomorfologi. Metode fabrikasi ini belum memberikan hasil yang ideal. Sebagai compatibilizer, PP-g-MA yang dihasilkan memberikan interaksi yang kurang baik, mengacu pada runtuhnya/collapse dari struktur nanomorfologi-nya diantara gallery silikat. XRD difractogram menunjukan bahwa terbentuk interkelasi pada PPCN dan beberapa deinterkelasi juga terdeteksi. Pengujian Kekuatan Tarik (Tensile Strength Test) membuktikan penurunan pada kekuatan tarik dari PPCN.

Recently, polymer-clay nanocomposite has become advanced concept in polymer matrix composites due to the fusion of hybrid between OLS and polymer promising to have significantly improved performance over traditionally filled polymers. Dispersion of OLS to polymer is difficult to be achieved in that the difference in polarity grade. Compatibilizer affinity to PP and clay and suitable process conditions make this process complex and expensive. The research applying Cascade Engineering Principle during fabrication. A simultaneous process of polymer functionalization (synthesis of PP-g-MA) to achieve intercalated and/or exfoliated PP-clay nanocomposite makes such proposed method is a shortcut and a low cost processing. Masterbatch being the main focus on preparation of PPCN. PP, Peroxide and Maleic Anhydride mixed to be PP-g-MA using melt compounding method with three variabels (1, 3 and 6 minutes) and then clay OLS with OH functional group (2-Hydroxyethyl(hexadecyl)-dimethylammonium iodide) inserted with the same method. Next, PP added to masterbatch to produce PPCN system. Tensile Strength testing indicating the improvement of mechanical properties and XRD examination showing the stability of nanomorphology structure. This fabrication method didn?t offer ideal result yet. Although there is an imrovement in the modulus of elasticity.As compatibilizer, PP-g-MA gave poor interaction referred to the collapse on nanomorphology structure between silicate galleries. XRD difractogram showed that some intercalation formed in PPCN system while some deintercalation detected on the contrary. Tensile Strength testing proved that deintercalation had its tensile strength lower. As variabels, three of PPCN products had no significant differences of data series."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S41737
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Lanang Kinasih
"Untuk mendapatkan kemasan makanan dengan sifat yang superior, trend saat ini ialah pengembangan teknologi nanokomposit. Salah satu permasalahan yang ada ialah pembuatan nanokomposit ini terbilang rumit dan mahal. Penelitian ini bertujuan membuat polipropilena clay nanokomposit (red. PPCN) yang berbiaya rendah dengan menerapkan prinsip pembuatan singkat cascade engineering. Prinsip cascade engineering pada pembuatan PPCN ini, ditunjukkan melalui pembuatan compatibilizer (untuk memungkinkan pencampuran PP dengan clay), masterbatch, dan PPCN secara berkelanjutan dalam satu alat melt mixing. Kemudian untuk mengamati kinerja dari PPCN yang dihasilkan dilakukan karakterisasi mekanis dan XRD. Namun karena adanya permasalahan gelembung pada slab pengujian, maka penelitian ini lebih difokuskan pada pengujian stabilitas termal PPCN berdasarkan studi annealing.
Dari hasil XRD yang dilakukan, terlihat bahwa morfologi yang dihasilkan sistem ini ialah berupa mikrokomposit. Dan secara umum, terlihat tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel waktu pembuatan masterbatch yang digunakan (1, 3, dan 6 menit). Setelah dilakukan pengujian XRD pasca anil, terlihat bahwa stabilitas termal sistem yang dihasilkan kurang baik. Hal ini terlihat dari adanya penurunan ukuran galeri MMT (deinterkelasi). Diperkirakan hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya ikatan yang terbentuk antara compatibilizer PP-g-MA dengan clay dan juga kurang baik kompatibilitas PP-g-MA.

For getting superior properties of food packaging, today?s people try to use nanocomposite technology. One of nanocomposite problems is the fabrication of this materials were complex and expensive. This research aim is to make a low cost polypropylene clay nanocomposite (red. PPCN) which processed by a short-cut method well-known as cascade engineering principle. Cascade engineering principle in this PPCN fabrication is shown by making compatibilizer (to enable the mixing of PP and clay), masterbatch, and PPCN in one pot process using melt mixing. After making PPCN, to examine the performance of this system, the intended characterizations were mechanical and XRD testing. Due to the presence of voids in slabs produced for the testing, the investigation was focused on the thermal stability of PPCN based on annealing study.
The initial result of XRD showed that the morphology of the system were microcomposite. The XRD data showed that time, as the investigated parameter (1, 3, and 6 minutes), did not make any significant change on the PPCN morphology. After doing the annealing process, the XRD data showed that the thermal stability of this system was poor. This conclusion obtained from the reduction of MMT gallery?s height (deintercalation). These phenomenons are cause by the weak bonding and the lack of compatibility of PP-g-MA.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S41780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Suparman
"Nanokomposit polimer-clay merupakan bahan dengan matrik polimer yang diperkuat dengan nanofiller seperti lapisan silika. Pada penelitian ini pembuatan nanokomposit diawali dengan pembuatan masterbatch organo clay dengan penggunaan pelarut kemudian dicampur dengan polimer. Masterbatch dalam penelitian ini dihasilkan dari pencampuran Organo Layered Silicate (OLS), Ethylene Glycol, dan Polypropylene grafted maleic An hydride (PP-g-MA). Pembuatan nanokomposit polipropilen clay dilakukan di dalam mesin Rheomex (twin screw extruder) dengan mencampur masterbatch dan PP. Pengujian material yang dilakukan adalah pengujian XRD, TEM, HDT, dan uji tarik. Hasil yang diperoleh pada pengukuran HDT menunjukkan kenaikan sebesar 22 % pada komposit OLS Nanomer I.44PT dibanding dengan nilai HDT PP murni. Modulus elastisitas menunjukkan kenaikan sebesar 36 % pada komposit OLS DTDA dibanding dengan PP murni.

Polimer - clay nanocomposite is a material with a polimer matrix which is toughened by nanofiller such as silica particles. In this research,, nanocomposite was prepared from the production of organoclay masterbatch through a mixture of a solvent and a polymer. The masterbatch were produced from a mixture of organo layered silicate (OLS), Ethylene Glycol, and Polypropylene grafted maleic An hydride (PP-g-MA). The production of PP clay nanocomposite was done in Rheomex machine (twin screw extruder) by mixing the masterbatch and PP. The materials evaluated were using XRD, TEM, HDT, and tensile test. The results of HDT measurement showed that the OLS Nanomer composites were 22 % higher compared to the pristine PP. The modulus of elasticity of OLS ? DTDA composites increased 36 % compared to the pristine PP."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
T21309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sudia Abdurrahman
"Polimer clay nanokomposit tengah marak dikembangkan di berbagai negara karena keunggulannya yang dapat meningkatkan berbagai properties material dengan hanya penambahan sedikit OLS (5%) saja. PPCN dapat dihasilkan dengan adanya interaksi (ikatan) yang kuat antara OLS sebagai nano filler, PP-g-MA sebagai compatibilizer dan polimer sebagai matriksnya. Dispersi OLS di dalam polimer sulit tercapai karena tingkat kepolarannya yang berbeda, tingkat afinitas compatibilizer terhadap PP maupun clay dan juga kondisi proses yang harus spesifik. Sehingga pada eksperimen ini, tahap pre eksfoliasi dilakukan dalam pelarut nonpolar agar memudahkan terjadinya eksfoliasi pada tahap berikutnya yang lebih kompleks. Komposisi optimal diperoleh dengan melakukan eksperimen berbagai komposisi antara OLS dengan pelarutnya. Besarnya persentase OLS diarahkan pada hasil akhir yakni pembuatan masterbatch untuk aplikasi industri dan komersil. Pada komposisi OLS 15%, didapatkan kondisi optimum yang ditandai dengan adanya kesetimbangan termodinamika antara OLS dengan pelarut. Difraktogram hasil XRD 15% OLS + EG dan 15% OLS + PG menunjukkan kurva dengan struktur interkalasi dan/atau eksfoliasi yang ditandai dengan menghilangnya puncak (peak) kurva kedua sampel tersebut di bandingkan dengan puncak kurva OLS. Namun, interaksi yang lebih baik terjadi antara OLS dengan propilen glikol. Hal ini dikuatkan dari nilai parameter kelarutan OLS (surfaktannya) (16,92 MPa1/2), etilen glikol (30,37 MPa1/2), propilen glikol (27,61 MPa1/2) dan air (47,9 MPa1/2) yang menandakan bahwa nilai OLS (surfaktan) dengan propilen glikol lebih berdekatan. Excess yang terdapat pada pengamatan visual sampel 15% OLS + EG menunjukkan bahwa pelarut etilen glikol yang masuk ke dalam galeri layer silikat berikatan tidak sebanyak dan sebaik propilen glikol.

Polymer clay nanocomposite has been widely developed in many countries because of its special quality which can increase several material properties with the addition of only few amounts of OLS (5%). PPCN can be produced from interaction/ bonding between OLS as nano filler, PP-g-MA as compatibilizer and polymer as matrix. The OLS dispersion inside polymer is difficult to be achieved because of the difference in polarity grade, compatibilizer affinity to PP and clay, and also suitable process conditions. Therefore in this experiment, preexfoliation stage was done inside the nonpolar solvent to make the exfoliation easier in the next stage which was more complex. Optimum composition was gained from experimenting several compositions between OLS and its solvent. The percentage value of OLS used was based on the production of masterbatch for industrial and commercial application. On 15% OLS composition, optimum condition was gained, indicated by thermodynamic equilibrium between OLS and its solvent. Diffractograms produced from XRD results, which are 15% OLS + EG and 15% OLS + PG, showed curves with intercalation structure and/or exfoliation which indicated by missing curve peaks of those two samples compared with OLS curve peak. However, better interaction occurred between OLS and propylene glycol. This event is supported by solubility parameter value of OLS surfactant (16.92 MPa1/2), ethylene glycol (30.37 MPa1/2), propylene glycol (27.61 MPa1/2) and water (47.9 MPa1/2) which showed that the value between OLS surfactant and propylene glycol are close to each other. Excess, which had been shown in visual examination of 15% OLS + EG sample, indicated that ethylene glycol solvent which entered into and bonded onto silicate layers gallery was not as many and as good as propylene glycol."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S41666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annie Wulandari
"Perkembangan teknologi engineering tidak lagi hanya berupa analisa dan evaluasi yang didasarkan dari aspek teknis saja, namun mulai diperhatikan latar belakang akan akibatnya pada kondisi lingkungan. Permasalahan kerusakan alam yang diakibatkan oleh penambangan batuan yang berlebihan dan pembuangan limbah beton tersebut dapat dikurangi dengan cara memanfaatkan atau mendaur ulang limbah beton sebagai agregat alternatif. Namun, pemanfaatan limbah sebagai agregat daur ulang tersebut perlu dikaji lebih mendalam, dengan melakukan pengujian eksperimental dan analisis terhadap karakteristik yang dimiliki, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap material daur ulang dan dibandingkan dengan penelitian terhadap agregat alam sehingga dapat diperkirakan sejauh mana agregat daur ulang ini dapat digunakan sebagai bahan pembuat beton. Selanjutnya dilakukan pembuatan sampel beton dengan delapan komposisi agregat daur ulang agregat alam, dengan target strength yang direncanakan adalah 25MPa. Kemudian dilakukan penelitian terhadap kuat tekan dan kuat tarik belahnya. Metode dan prosedur pelaksanaan pengujian tersebut dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM.
Berdasarkan hasil pengujian agregat halus daur ulang, terdapat kandungan semen yang cukup tinggi, yang apabila dilihat dari analisa saringan, terdapat 6,27% partikel yang lolos hingga pan dimana partikel ini merupakan sisa pasta semen. Sedangkan hasil pengujian agregat kasar daur ulang menunjukkan tingkat absorpsi yang mencapai 13,67% dan tingkat keausan yang mencapai 41,22%. Beberapa perbedaan kualitas serta sifat-sifat fisik dari agregat daur ulang tersebut menyebabkan perbedaan sifat-sifat material beton yang dihasilkan. Dari hasil pengujian terhadap beton yang telah mengeras, perbedaan yang terjadi diantaranya adalah menurunnya kuat tekan, kuat tarik belah, dan modulus elastisitasnya seiring dengan penambahan rasio agregat daur ulangnya, baik agregat kasar daur ulang maupun agregat halus daur ulang. Besarnya persentase agregat kasar daur ulang yang dapat menghasilkan beton dengan kuat tekan memenuhi target strength adalah 25%. Sedangkan besarnya persentase agregat halus daur ulang yang dapat menghasilkan beton dengan kuat tekan memenuhi target strength juga 25%.

Nowadays, the development of engineering technology is not just based on the analysis and evaluation from technical aspects only, but also concerning the impact to the environment. Concrete, as the main material on building construction, are produced using many kinds of material taken from the natural site, so on years after, this production will lead into an environmental crisis. The environmental problem caused by the quarry of aggregate and the dumping of concrete waste could be reduced by using and recycling the concrete waste to be an alternative aggregate. But then, the using of concrete waste as a recycled aggregate should be evaluated more with experimental and analytical study which is to do research on recycled material and then compare it with the natural one so that it could estimate on how much this recycled aggregate could be useful as a material for producing concrete. Next step is to make samples with eight compositions of recycled-natural aggregate with the target strength of 25MPa. After that is doing the test on its compressive strength and splitting tensile strength. Method and procedure of the research are based on ASTM standards.
Based on the research of fine recycled aggregate, there is a quite high amount of cement, which could be seen from the Sieve Analysis, there is 6,27% constituent part that passed until pan, which this passing constituent is the cement. From the research on coarse recycled aggregate, the amount of absorption is 13,67% and from abrasion test with Los Angeles Machine, the aggregate abraded until 41,22%. These differences in quality and physic properties produce different kind of concrete. This difference could be seen from its degradation in compressive strength, splitting tensile strength, and modulus of elasticity. The amount percentage of recycled coarse aggregate that could be used to gain compressive strength fulfills the target strength is 25%. Also, the amount of recycled fine aggregate that could perform as the target strength is 25%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S35326
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
H. Ilham Sipala
"Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kuat tarik belah dan kuat tarik lentur dari beton yang menggunakan semen putih (sebagai bahan baku utama) akibat pengaruh nilai faktor air semen (FAS). Variasi FAS yang digunakan pada campuran beton adalah 0,4; 0,45; 0,5; dan 0,55. Selanjutnya, penelitian ini akan membandingan nilai kuat tarik belah dan kuat tarik lentur antara beton yang menggunakan semen portland putih (WPC) dengan beton yang menggunakan semen PCC di masing-masing nilai faktor air semen (FAS). Metode dan prosedur pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM dan dilakukan di Laboratorium Bahan dan Struktur Departemen Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa beton WPC memiliki kuat tarik belah dan kuat tarik lentur yang lebih tinggi dibanding dengan beton PCC di masing-masing variasi FAS. Semakin besar kenaikan FAS, maka kuat tarik belah dan kuat tarik lentur yang dihasilkan akan semakin kecil, baik pada beton WPC maupun beton PCC. Perbedaan nilai terbesar pada kuat tarik belah yang terjadi antara beton PCC dengan beton WPC adalah pada variasi FAS 0,55 yaitu sebesar 17,83 %. Sedangkan untuk perbedaan nilai terbesar kuat tarik lentur antara beton PCC dengan beton WPC adalah pada variasi FAS 0,4 yaitu sebesar 35,28 %.

This research aims to study the characteristics of the splitting tensile strength and flexural tensile strength of concrete using white cement (as the main raw material) due to the influence of water-cement ratio (W/C). Variations in water-cement ratio that are used in the concrete mixture are 0.4, 0.45, 0.5 and 0.55. Furthermore, this study will compare the value of splitting tensile strength and flexural tensile strength of concrete using white Portland cement (WPC) with the use of concrete using PCC in each of the water-cement ratio (W/C). The method and procedure of this study was conducted with reference to ASTM standards and conducted in Materials and Structures Laboratory Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, University of Indonesia. From the research results obtained that the WPC concrete had splitting tensile strength and flexural tensile strength is higher than with ordinary cement concrete in each variation of W/C. The greater increase of W/C, the splitting tensile strength and flexural tensile strength produced would be smaller, both WPC concrete and PCC concrete. Differences of greatest value in splitting tensile strength between PCC concrete with WPC concrete is the variation of W/C of 0.55 for 17.83%. As for the biggest value differences flexural tensile strength of PCC concrete with WPC concrete is the variation of water cement ratio of 0.4 for 35.28%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50491
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Anggorowati
"Mortar yang terbuat dari semen dan agregat halus dengan perbandingan 1:4, dimodifikasi dengan menambahkan abu sekam padi sebagai material subtitusi parsial yang menggantikan sejumlah proporsi agregat halus sebesar 10%, 20%, 30% dan 40% dari berat agregat halus. Serangkaian uji coba di laboratorium dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap kuat tarik lentur, kuat tarik langsung dan susut mortar.
Hasil evaluasi data hingga saat ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Penggunaan abu sekam padi dalam campuran mortar mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan mortar. Semakin banyak penggunaan abu sekam padi semakin besar penurunan kekuatan mortar.
2. Penggunaan abu sekam padi pada campuran mortar menaikan susut kering mortar. Semakin banyak penggunaan abu sekam padi semakin besar penyusutan mortar.

The mortar used consists of 1 part cement and 4 parts of fine agreggate (sand) is modificated by rice husk ash as material subtitution partial of fine agreggate, with increasing of rice husk ash 10%, 20%, 30% and 40% of fine agreggate. Some trial mixes of mortar in laboratory were to find the influence about flexural strength, direct tensile strength and shrinkage of mortar.
The conclusions are:
1. The increase of rice husk ash in mortar can decrease the strength of mortar.
2. The increase of rice husk ash in mortar can increase the shrinkage of mortar.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50662
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuri
"Unjuk kerja dari blade kaskade sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan pemisahan boundary layer pada permukaan blade dan end wall (casing dan hub). Aliran sekunder yang terjadi dekat casing dan hub tersebut merupakan fenomena separasi aliran 3D yang mengakibatkan adanya secondary losses, blockage effect, dan turning angle distribution (deflection) sepanjang span yang akan merugikan kinerja dari kompresor aksial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pembebanan yang semakin besar maka terlihat adanya garis-garis tekanan konstan menjadi semakin melengkung ke arah upstream atau memperlihatkan terjadinya kenaikan tekanan statis sepanjang span akibat curl flow yang semakin kuat. Garis separasi juga semakin kuat dan membentang diantara dua sudu. Akibatnya daerah separasi 3D di sudut juga bertambah besar.

Secondary Flow Experimental Study for Axial Compressor Cascade Strong Stagger With and Without Tip-Clearance: Static Pressure Distribution on Blade Surface. The performance of blade cascade is influenced by the growth and boundary layer?s separation along blade surface and endwall (casing and hub). The secondary flow which happens near hub and casing compressors is three dimentional flow separation phenomenon comes from interaction blade boundary layer with casing and hub boundary layers in the compressor. The secondary flow causes secondary losses, blockage effect, and turning angle (deflection) distribution along blade span. The result of the research shows that the increase of the angle of attack reveals lines of constan pressure to be curved forward (upstream) or pressure gives rise to spanwise caused by a strong curl flow. Separation is also increase and cross between two blades. Hence, three dimentional separation region in corner also increase."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bastian Okto Bangkit Sentosa
"Semen Portland Pozzolan (SPP) adalah suatu bahan perekat hidrolis yang dibuat dengan menggiling halus klinker semen Portland dengan pozzolan, atau suatu campuran yang merata antara bubuk semen Portland dan bubuk pozzolan selama penggilingan atau pencampuran. SPP untuk mencapai kekuatannya membutuhkan waktu relatif lebih lambat dibandingkan dengan semen Portland lainnya meskipun ultimate strenght yang dicapai SPP mungkin sama atau lebih besar dari yang terbuat dari semen Portland. Dalam penelitian ini, faktor air semen (FAS) yang digunakan bervariasi diantara 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; dan 0,8 serta diamati pengaruhnya terhadap kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur pada beton menggunakan SPP. Pengujian kuat tekan, kuat tarik belah, dan kuat lentur dilakukan pada umur 7, 14 dan 28 hari.
Hasil pengujian diolah dengan dua metode yaitu metode rata-rata dan chi-square untuk membandingkan metode mana yang paling akurat. Kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur bertambah seiring dengan pertambahan umur beton pada semua FAS. Namun kenaikan FAS berbanding terbalik dengan kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur beton. Kenaikan kuat tekan akan diikuti dengan kenaikan kuat tarik belah dan kuat lenturnya sehingga kenaikan kuat tarik belah akan mengikuti kenaikan kuat lentur dan sebaliknya.

Pozzolan Portland Cement (PPC) is an hydraulic adhesive which made by grinding Portland cement clinker with Pozzolan, or an equal mixture of Portland cement powder and powder Pozzolan during milling or mixing. PPC to achieve the strength it took relatively more slowly than other portland cement, although the ultimate PPC strenght achieved equal or perhaps greater than that made from portland cement. In this research, water cement ratio which is used variation from 0,30 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; and 0,8 also observed the influent of compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength concrete using SPP. Compressive strength, splitting tensile strength and flexural strength test is done on 7, 14, and 28 days.
The test result is processed by two methods which are average method and chi square method for comparing the best accuracy method. Compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength increase following concrete age on all water cement ratio. However, increasing water cement ratio is inversely with compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength. Increasing compressive strength will be followed by splitting tensile strength and flexural strength so that increasing splitting tensile strength will follow increasing flexural strength."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50594
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>