Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120768 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dispersi cair-cair sering ditemui dalam berbagai teknologi proses yang melibatkan kontak antara dua fasa cair seperti membran cair emulsi. Dalam operasi tersebut dispersi harus dijaga pada suatu tipe tertentu, yaitu tipe minyak dalam air (o/w) atau air dalam minyak (w/o). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh fraksi volume pelarut organik, kecepatan pengadukan, dan ketinggian impeler terhadap kestabilan dan tipe dispersi yang terbentuk pada sistem toluena-air dengan ekstraktan 0.3 M versaric-6 acid. Selain itu ingin diketahui pula pengaruh penambahan surfaktan span 80 pada sistem tersebut.
Pengadukan dilakukan terhadap sistem. Tipe dispersi yang terbentuk diperoleh dari pengamatan perilaku sedimentasi dan koalesensi, untuk data kestabilan diperoleh dari pencatatan waktu koalesensi. Perubahan parameter meliputi fraksi volume pelarut organik (φ0) 0.4-0.6, kecepatan pengadukan (N) 275-1000 rpm, dan ketinggian impeler (h) -1-1.25 cm. Penambahan surfaktan dilakukan pada φ0 = 0.4 sebesar 0.14~2.83 % berat span 80.
Penelitian menunjukkan ketiga parameter yang divariasikan di atas mempengaruhi tipe dispersi yang terbentuk secara simultan. Pada h < 0 cm selalu dihasilkan dispersi o/w, kecuali pada φ0 = 0.6 dan h = 0 cm dapat terbentuk pula dispersi w/0. Pada h > 0 cm dapat diperoleh baik dispersi o/w maupun w/o. Terdapat kecenderungan karakteristik dispersi yang sama pada φ0 = 0.5 dan 0.6 untuk h > 0.5 cm. Dispersi o/w yang dihasilkan lebih stabil dibandingkan dengan dispersi w/o, sedangkan untuk sistem yang mengandung span 80 berlaku sebaliknya. Surfaktan dapat meningkatkan stabilitas emulsi. Pada h = 1 cm, penambahan surfaktan dari 1.42 % menjadi 2.83 % berat span 80, dapat meningkatkan stabilitas emulsi sekitar 60 kali, dari sekitar 6 menit menjadi 6 jam."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S48933
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Baiti Rahma Maudina
"Pengembangan protokol dalam menentukan nilai koefisien dispersi akibat perbedaan gradien kecepatan dengan menggunakan mobile bed model tank telah diteliti oleh Adhi (2015). Pada penelitian ini, protokol tersebut dikembangkan dengan menggunakan alat permodelan matematis bernama Resources Modelling Associates (RMA) untuk melengkapi penelitian Adhi.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) melakukan pencatatan proses permodelan numerik untuk mendapatkan nilai koefisien dispersi zat pewarna pada suatu saluran dengan menggunakan program RMA dan (2) mengembangkan protokol percobaan dengan melakukan simulasi aliran dua dimensi untuk mendapatkan nilai koefisien dispersi zat pewarna pada saluran. Program RMA dipakai untuk membandingkan visualisasi penyebaran zat pencemar antara permodelan numerik RMA dengan permodelan fisik.
Asumsi aliran yang dipakai adalah aliran dua dimensi dengan kedalaman rata-rata. Zat pewarna yang dipakai Adhi diasumsikan sebagai zat pencemar total suspended solids (TSS). Kondisi batas yang digunakan adalah geometri saluran pada alat mobile bed model tank yang terdiri dari lebar, panjang dan kedalaman saluran, serta material pembentuk dasar saluran yaitu kaca. Proses melengkapi protokol secara umum terdiri dari empat perintah utama yaitu menyiapkan geometri saluran dengan RMA-GEN, mensimulasi aliran hidrodinamis dengan RMA-10, mensimulasi pola penyebaran zat pencemar dengan RMA-11 dan melakukan pengolahan data.
Nilai koefisien dispersi larutan konservatif dianalisis dengan menggunakan metode Sum of Squared Error (SSE). Nilai SSE terkecil adalah 3,354 untuk koefisien dispersi arah X 610 cm2/s dan koefisien dispersi arah Y 80 cm2/s. Hasil dari penelitian ini adalah protokol untuk menentukan nilai koefisien dispersi larutan konservatif pada percobaan mobile bed model tank dengan menggunakan program RMA.

Protocol development on predicting dispersion coefficient caused by velocity gradient using mobile bed model tank on straight channel has been investigated by Adhi (2015). This study develops a protocol, which uses mathematic modelling tool Resources Modelling Associates (RMA) as a continuation from Adhi?s physical modelling.
Objectives of the study are (1) record the numerical modelling process to determine dye tracer dispersion coefficient in a straight channel using RMA program, and (2) develop experiment protocol in simulating two dimension flow to determine dye tracer dispersion coefficient in a traight channel. The RMA program is used to compare the dispersion visualization of dye tracer between numerical modelling and experimental modelling.
The flow is assumed two dimension flow in the depth average. The dye tracer is assumed to be total suspended solids (TSS) constituent. Boundary condition is straight channel's geometry at the mobile bed model tank consisting of the width, length, depth and bed material. The protocol complementing process generally consists of four main components: straight channel?s geometry preparation using RMA-GEN, hydrodynamic flow simulation using RMA-10, constituent dispersion simulation using RMA-11 and data interpretation.
The conservative solution's dispersion coefficient values are analyzed using the Sum of Squared Error (SSE). The least SSE value is 3,354 for dispersion coefficient in X direction 610 cm2/s and dispersion coefficient in Y direction 80 cm2/s. The result of the study is a protocol to determine dispersion coefficient of conservative solution in mobile bed model tank experiment using RMA program.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The research to accelerate furosemide dissolution rate has been done through physical property modification by solid dispersion forming polyvinylpyrolidone (PVP) carrier with solvent method. Pure furosemide posses property of being practically insoluble in water and has low bioavailability. In current research, six weight ratio
of furosemide to PVP being used are 1:1; 1:3; 1:5; 1:9 and 1:15. Physical mixtures are made in equivalent weight ratio. The dissolution rate was examined by paddle method in phosphat buffer pH 5,8. Solid dispersion caracterised with in vitro dissolution
study, X-ray diffraction, infra red spectrophotometer and differential scanning calorimetric. The result shows that solid dispersion of furosemide with PVP carrier is higher compare to physical mixture dissolution rate and pure furosemide.
The ratio furosemide to PVP who has the highest dissolution rate is 1:15. The analyzing shows the existing of altering crystalline to amorphous state."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Lisa
"Karbamazepin merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical Classification System kelas dua dengan kelarutan yang rendah dan permeabilitas yang tinggi, sehingga disolusi menjadi lambat yang akan mempengaruhi absorpsi obat. Penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan laju disolusi karbamazepin melalui pembentukan dispersi padat menggunakan polivinil pirolidon (PVP) dan kemudian dispersi padat diaplikasikan untuk pembuatan tablet cepat hancur. Dispersi padat dibuat dengan 3 perbandingan 1:2, 1:1, 2:1. Hasil karakterisasi dispersi padat dengan FTIR menunjukkan adanya interaksi berupa ikatan hidrogen antara karbamazepin dan PVP, dan hasil uji dengan DSC serta XRD menunjukkan terjadi perubahan bentuk kristal menjadi amorf. Peningkatan laju disolusi masingmasing dispersi padat 1:2 sebesar 5,87 kali, 1:1 sebesar 5,21 kali dan 2:1 sebesar 2,73 kali dari karbamazepin standar. Evaluasi tablet cepat hancur menunjukkan bahwa formula 1, 2 dan 3 yang mengandung dispersi padat dengan konsentrasi crospovidone 10,15, dan 20 mg masing –masing memiliki kekerasan 6,67 kP; 6,69 kP; 6,44 kP, keregasan 0,37 %; 0,54%; 0,96%, waktu hancur 923,5; 792; 610,5 detik, dan waktu pembasahan 827,67; 735; 544,33 detik. Dan formulasi yang menggunakan metode dispersi padat belum memenuhi persyaratan waktu hancur dan pembasahan tablet cepat hancur.

Carbamazepine is a drug that belongs to the Biopharmaceutical Classification System class II with low solubility and high permeability, so that to decrease the dissolution which effects drug absorption. This research is intended to improve dissolution rate of carbamazepine by forming solid dispersion with polyvinyl pyrolidone (PVP) and then solid dispersion to be applied in creating fast disintegrating tablet (FDT). Solid dispersion were made with 3 ratio are 1:2, 1:1, 2:1. The characterization result of solid dispersion using FTIR showed hydrogen bonding interaction between carbamazepine and PVP, and the test result using DSC and XRD showed that there is a deformation of crystal to amorphous state. The enhancement dissolution rate each of solid dispersion 1:2 as bing as 5,87 times, 1:1 as bing as 5.21 times and 2:1 as bing as 2.73 times from carbamazepine standard. The FDT’s evaluation showed that formula 1, 2, 3 contains solid dispersion with crospovidone concentrations 10, 15, 20 mg each has 6.67kP; 6.69kP; 6.44kP of rigidity, 0.37%; 0.54%; 0.96% of friability, 923.5; 792; 610.5 seconds of in vitro disintegration time and 827.67; 735; 544.33 seconds of wetting time. And formulation that uses solid dispersion technique does not meet requirements of disintegration time and wetting time of FDT yet.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46230
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The aim of this research is to estimate dioxin/furan emission and concentration that can be used to present an altermative policy for emission reduction...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Supriatna
"Sumber daya alam gambut banyak tersebar di daerah-daerah rawa di Indonesia. Jumlahnya mencapai 17 juta hektar atau sekitar 50 persen dari total sebaran gambut di dunia. Karena potensinya yang cukup besar para pakar menilai gambut dapat dijadikan salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi permasalahan berbagai sektor yang menghadapi kendala karena keterbatasan sumber daya. Namun penelitian yang dilakukan oleh para pakarpada umumnya terfokus kepada upaya pemanfaatan dan peningkatan produktivitas usaha di lahan gambut dan sedikit sekali perhatiannya terhadap segi pelestariannya. Dengan berbagai teknik tertentu usaha pemanfaatan gambut terus berkembang ke berbagai bidang usaha seperti pertanian, perkebunan, energi, dsb, sehingga makin mengancam ketestariannya. Di lain pihak, gambut memiliki fungsi konservasi terutama kaitannya sebagai penambat air. Sebagai kawasan yang terletak pada daerah dengan curah hujan yang sangat tinggi, lahan gambut merupakan kawasan tampung hujan yang sangat efektif. Dengan fungsi tersebut, gambut dapat mengendalikan siklus hidrologi pada wilayah yang bersangkutan.
Penelitian untuk menyusun model perilaku hidrologi lahan gambut ini dilakukan dengan menganalisis data unsur-unsur meteorologi dan daerah aliran sungai pada suatu DAS. Lokasi penelitian terletak di DAS Silaut, Sumatra Barat yang memiliki sebaran gambut seluas 17.500 hektar yang sebagian sudah direkiamasi. Data mengenai curah hujan dan klimatologi diperoleh dari stasiun Lunang dan Tapan yang berjarak sekitar 5 km dan 30 km dari lokasi penelitian. Sedangkan untuk analisis DAS dilakukan pengumpulan data dan peta-peta dari berbagai instansi sehingga dapat dibuat peta Daerah Aliran Sungai dan sebaran gambut berdasarkan ketebalan dan tingkat dekomposisinya. Untuk mengetahui besarnya daya tambat gambut terhadap air, maka diambil sejumlah sampel gambut di lapangan untuk dianalisis di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 3 buah untuk masing-masing tingkat dekomposisi, yaitu saprik (matang), hemik (sedang), dan fibrik (mentah). Pengambilan sampel mewakili lahan gambut yang sudah maupun yang belum direklamasi.
Analisis terhadap data dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan air dalam suatu DAS dengan menggunakan modifikasi dan beberapa asumsi sesuai dengan kondisi dan sifat-sifat khususyang dimiliki oleh lahan gambut. Dari analisis tersebut dapat diketahui sisa air yang tidak tertambat dan kelebihan daya tambat gambut dalam periode waktu tertentu. Dengan membandingkan keseimbangan air sebelum dan sesudah reklamasi dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada sifat-sifat gambut kaitannya sebagai penambat air.
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan, diketahui bahwa jumlah air yang tidak tertambat pada lahan gambut sesudah reklamasi lebih kecil dibandingkan sebelum relkamasi. Sedangkan sisa daya tambatnya menjadi lebih besar. Di samping itu terdapat kecendrungan bahwa sisa daya tambat semakin besar dengan semakin mentahnya tingkat dekomposisi. Hal ini berarti reklamasi dapat mengendalikan jumlah air liar (berupa genangan dari limpasan) sehingga lahan dapat diusahakan untuk pertanian. Namun dengan bertambahnya sisa daya tambat berarti terjadi penurunan kelengasan lahan gambut. Penurunan kelengasan yang paling besar dialami oleh gambut dengan tingkat dekomposisi yang mentah (fibrik). Terjadinya peningkatan periode penurunan kelengasan lahan gambut disebabkan oleh penurunan muka air tanah akibat dilakukannya drainase. Karena itu periode penurunan kelengasan lahan gambut akibat reklamasi dapat dikendalikan dengan pengaturan penurunan muka air tanah.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa untuk dapat mempertahankan kelestariannya, reklamasi (penurunan muka air) pada gambut saprik maksimum dapat dilakukan sampai kedalaman 40 cm. Pada kondisi ini akan terjadi periode penurunan kelengasan selama 8 bulan. Hal ini berarti dalam satu tahun masih terdapat periode kelengasan yang lebih tinggi selama 4 bulan. Dengan kondisi yang demikian diharapkan sifat-sifat fisik tidak akan terganggu. Jika dikaitkan dengan periode tanam, maka selama periode 8 bulan tersebut lahan gambut dapat diusahakan untuk budi daya 2 musim tanam palawija dan 4 bulan untuk tanaman padi. Sedangkan untuk gambut hemik dan fibrik, untuk mencapai periode penurunan kelengasan selama 8 bulan, muka air maksimum dapat diturunkan masing-masing sedalam 30 cm dan 25 cm. Pada penurunan muka air yang lebih dalam akan menyebabkan terjadinya periode penurunan kelengasan yang lebih panjang, sehingga diperkirakan gambut akan mengalami hidrofobi atau peristiwa kering tak terbalikan yang menyebabkan terjadinya kerusakan sifat fisik gambut sehingga sulit menambat air. Karena itu upaya pemanfaatan gambut melalui reklamasi rawa hendaknya hanya terbatas pada gambut dengan tingkat dekomposisi saprik. Sedangkan gambut dengan tingkat dekomposisi yang belum matang (hemik dan fibrik), sesuai batas maksimum penurunan muka airnya, pengusahaannya hanya terbatas untuk tanaman padi sawah. Namun mengingat kedua jenis gambut ini pada umumnya adalah berupa gambut tebal (> 3 meter) dan produktivitasnya sangat rendah, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai daerah konservasi.
Hasil pengujian model di lapangan menunjukkan bahwa model inidinilai cukup baik karena telah sesuai dengan pola dan jadwal tanam yang biasa dilakukan para petani setempat selama lebih dari 10 tahun dengan produktivitas pertanian yang cukup baik.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pendugaan perilaku hidrologi lahan gambut yang menggunakan pendekatan daya tambat gambut terhadap air dapat diketahui pengaruh reklamasi lahan gambut terhadap sifat-sifat fisik gambut sehingga reklamasi yang dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan kelentingan lingkungannya. Dengan demikian model ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif kebijaksanaan pemanfaatan lahan gambut dari aspek lingkungan.

Peat natural resources was spread over on lowland areas in Indonesia. The total amount reaches about 17 million hectares or about 50 percent of the total existing peat land in the world. Then, the potency is big enough the experts have evaluate it as one of the alternative to solve problems of many sectors which faces lack of resources. Survey made by the experts has, however, generally focus on the efforts to utilize and enhance productivity of peat without or the little bit attention on the preservation. Through many particular techniques the effort to utilize peat have been ever expanding into several activities including agriculture, plantation, energy, etc., making its preservation more in crisis condition. On the other side, peat land has a conservation function in connection with the water retention. As an area with in an extremely high rainfall, peat land became the most effective cistern site, and thereby, peat land is able to control hydrological circle in the connecting area. investigation on peat land hydrological behavior model is made by analyzing data of meteorological elements and catchments river area. The research location is Silaut catchment area, West Sumatera, owning peat spread of 17,500 hectares which partially has been reclameted. Rainfall and climatological data are gained from Lunang and Tapan stations which are about 5 km and 30 km far away from research location. While catchments area analysis is done by several agencies is enable to make catchments area and peat spreading map based on the depth and decomposition degree. In order to recognize peat water retention capacity, a number of field peat samples should be taken to analyze in the Centre of Soil Research Laboratory and Agroclimate, Bogor. Three samples should be taken of each decomposition degree, namely, saprik (mature), hemik (sufficient), and fibrik (raw). The samples taken should be representing peat land both has already and has not ready in reclamation condition.
Data analysis is taken by applying principles of water balance in a Catchments Area and used modifications and a variety of assumption according peat conditions and specific characteristic. According the analysis the rest of the water which are not retent and the exceding tide capacity is known. Comparing water balancing before and after a reclamation, are known the changes which occur on the peat characteristics concerning with the peat water retention character.
Based on analysis and calculation result it is known that total untied-up water in peat lot after reclamation is smaller than before reclamation. While the rest capacity of becomes bigger. Besides, there is a tendency that the rest tether capacity becoming bigger due to the raw of decomposition degree. It means the reclamation is able to control wild water (puddle and run off) making the lot may be used for agriculture. However, the increasing capacity of tether will increase the degree and period of draught of peat lot. The most biggest draught faced by peat lot with a raw decomposition degree. The increasing degree and period of draught in peat lot is caused by the surface of ground water down turning resulted from drainage. It is, therefore, a draught of peat lot result from reclamation can be controlled by keeping down the ground water surface.
The simulation results model indicate that preservation is sustainable, reclamation (keeping down the water surface) of a saprik peat could be done at a maximum depth of 40 cm. in such condition a draught period will take place about 8 months. That mean yearly there are draught period of 4 months. Within this period a peat lot can be utilized for second crop cultivation. While for hemik and fibrik peat to reach 8 months draught period, water surface can be dropped at maximum 30 cm and 25 cm depth respectively. If deeper would cause longer draught period and hence will damage peat physical character. That's why utilization of peat by swamp reclamation should be confined for peat with saprik decomposition degree. While for hemik and fibrik degree, according to a maximum limit of the decrease of water surface, can only be used for paddy. But considering both types of peat are generally peat in (> 3 meters) and very low productivity, to sustain it as a conservation area is highly appreciated.
The result of the test in the field show that model is good enough, when it is already fit with the normal cultivation pattern and schedule which implemented by the local farmer for over 10 years with agood farm productivity.
The result of the investigation conclude, implementing prediction model of peat hydrological attitude with a peat water retention approach on water can prove that there are influence of peat reclamation on the peat physical character. So that the reclamation fit with the environmental carrying capacity and density. Then this model can be used as one of the alternatives policy in utilizing peat land from the environment aspect.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Erlangga, 1986
551.48 Lin h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Subarkah
Bandung: Idea Dharma, 1980
551.48 Sub h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Subarkah
Bandung: Idea Dharma, 1980
551.48 Sub h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>