Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96806 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Suyenli
"Sejak pertama kali Wang & Smith memperkenalkan metode minimisasi air buangan dengan menggunakan Anaiisa Pinch pada tahun 1994, hingga saat ini sudah ada beberapa industri proses yang menerapkan analisa ini untuk meningkatkan efzisiensi. Metode minirnisasi ini temyata memberilcan kontribusi yang tidak sedikit dalam mengurangi biaya operasi industri yang bersangkutan [10,6].
Upaya minimisasi pernakaian air dalam suatu industii proses dapat dilakukan dengan memaksimalkan penggunaan air tersebut sampai titik optimumnya, tanpa merubah spesiikasi daxi proses im sendiri. Laju alir minimum dapat diperoleh dengan meninjau masing-masing proses pada tiap-tiap interval secara terintegrasi. Penentuan laju alir minimum dapat menggunakan dua metode [1], yaitu : Metode Minimum Driving Force dan Metode Minimum Number of Wafer Resources.
Penerapan Analisa Pinch dalam minimisasi penggunaan air pada Kilang Minyak UP V Balikpapan, menjadi topik utama dalarn penulisan Pembahsan diarahkan pada empat proses saja yang merepresentasikan keseluruhan proses.
Keempat prosw tersebut adalah Sistem Srnpping Steam dan sistem Desalting Crude pada Crude Distillation Unit, Sistem Steam Ejector pada High Vacuum Unit, serta Sistem Wash Wafer pada Naphra Hicbo Treaterz Komponen yang dipergunakan ada dua yaitu Ion Garam Cl' yang sebagai komponen rujukan dan Kandungan Minyak sebagai komponen non rujukan. Data-data yang digunakan pada penulisan ini, diperoleh langsung dari Kiiang UP V Balikpapan selama penulis melakul-can Keija Praktek.
Dengan menggunakan aigoritma yang diperkenalkan oleh Wang & Smith, diperoleh bahwa penerapan Analisa Pinch dapat digunal-can untuk pengintegrasian penggunaan air sehingga dapat meminimisasi kebutuhan laju alir proses keseluruhan selcitar 24 % hingga 37 % dibanding dengan desain aktual saat ini."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S49111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Novita Umar
"Proses utama pada kilang pengolahan gas adalah pemisahan antara gas, kondensat dan air, pemisahan gas asam (C02 dan H2S), pengeringan gas dan penurunan dew point gas. Untuk menunjang proses utama tersebut, kilang pengolahan gas juga membutuhkan fasilitas pendukung (utilities) berupa fasilitas kelistrikan, pemanasan, pengolahan bahan bakar gas, penghasil nitrogen, pengolahan air, dan pengolahan udara. Yang dibahas pada penelitian ini adalah fasilitas pemanasan. Fasilitas pemanas ini disebut dengan hot oil system. Kilang pengolahan gas X saat ini memiliki 2 (dua) train dengan desain kapasitas gas 310 MMSCFD dan desain kapasitas kondensat 13.500 BPD. Sedangkan kondisi aktual umpan gas saat penelitian ini adalah 352 MMSCFD. Desain pemisahan gas asam C02 sebesar 5 % mol dan H2S 1000 ppm semen tara aktualnya konsentrasi zat as am pada gas umpan lebih rendah yaitu C02 2 % mol dan H2S 700 ppm. Selanjutnya dalam waktu dekat Kilang X akan dikembangkan dengan penambahan produksi gas sebesar 95 MMSCFD yang rencananya akan difasilitasi dengan pembangunan train baru (Train 3). Norrnalnya sebuah train pengolahan gas akan dilengkapi dengan semua fasilitas pendukung nya, namun pada penelitian ini akan diteliti bagaimana optimasi penambahan Train 3 dengan mengoptimalkan pemanfaatan existing hot oil system yang sudah ada dari Train 1 dan Train 2, pertimbangannya karena heat duty dari existing hot oil system ini diperkirakan masih berlebih dan masih bisa memfasilitasi kebutuhan pemanasan pada Train 3. Metoda analisa teknis menggunakan simulasi proses dan analisa keekonomian menggunakan cashjlow. Hasil simulasi menunjukkan dengan umpan gas sebesar 352 MMSCFD existing hot oil system dari Train 1 dan 2 masih memiliki kelebihan panas sebesar 50,3 MMBTUIhr. Sementara hasil simulasi untuk umpan gas sebesar 95 MMSCFD, Train 3 membutuhkan pemanasan sebesar 26,51 MMBTUIhr. Existing hot oil system dari Train 1 dan 2 masih mampu menyediakan panas untuk menunjang proses pemanasan pada Train 3, sehingga pembangunan Train 3 tidak membutuhkan hot oil system yang baru. Investasi Train 3 dengan optimasi pemanfaatan existing hot oil system adalah USD 670.997.789. Dengan harga gas umpan USD 4,8IMMBTU diperoleh IRR 19,33 % NPV USD 339.850.524, Pay Out time pad a tahun ke-5, dan PIR 105,7%. Langkah dengan optimasi pemanfaatan existing hot oil system ini bisa menghemat investasi senilai USD 1.072.731 (0,16% dari total investasi USD 672.070.520) setara dengan Rp 15.018.233.184 (kurs 1 USD = IDR 14.000).

The main processes at the gas processing plant are separation between gas, condensate and water, separation of acid gas (C02 and H2S), drying of gas and decreasing of Dew point gas. To support the main process, gas processing plants also need utilities such as electricity, heating, gas fuel processing, nitrogen production, water treatment and air treatment. What is discussed in this research is the heating facility for reboiler. This heating facility is called hot oil system. The gas processing plant X currently has 2 trains with a design capacity of 310 MMSCFD gas capacity and a condensate capacity design of 13,500 BPD while actual feed gas is higher 352 MMSCFD. The design of the separation of C02 acid gas is 5% mol and H2S 1000 ppm while the actual concentration of acid in the feed gas is lower, C02 2% mol and H2S 700 ppm and. Furthermore, in the near future field X will be developed with the addition of gas production of 95 MMSCFD which is planned to be facilitated by the construction of a new train (Train 3). Normally a gas processing train will be equipped with all its supporting facilities, but this research will examine how to optimize the addition of Train 3 by optimizing the utilization of the heating system by existing hot oil system from Train 1 and Train 2, due to the heat duty capacity of the existing hot oil system is estimated to be excessive and can still facilitate the heating needs of Train 3. The technical analysis method uses process simulation and economic analysis using cash flow. Simulation results show that with a gas feed of 352 MMSCFD the existing hot oil system from Train 1 and 2 still has excess heat of 50.3 MMBTU / day. While the simulation results for the gas feed are 95 MMSCFD, Train 3 requires heating of26.51 MMBTU / hr. Existing hot oil systems from Train 1 and 2 are still able to provide heat to support the heating process in Train 3, so that the construction of Train 3 does not require a new hot oil system. Train 3 investment with the optimization of the utilization of the existing hot oil system is USD 670,997,789. With the feed gas price ofUSD 4.8 / MMBTU obtained an IRR of 19.33% NPV of USD 339,850,524, Pay Out time in the 5th year, and PIR of 105.7%. This step by optimizing the utilization of the existing hot oil system could save an investment of USD 1,072,731 (0.16% of the total investment of USD 672,070,520) equivalent to Rp 15,018,233,184 (kurs 1 USD = lOR 14.000)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1992
S48674
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Victor
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1990
S48755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyarman
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1990
S48758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anizar Burlian
"Sejak 1997 Indonesia menganut sistem kurs mengambang (float) dari semula kurs tetap (fixed) akibatnya kurs rupiah menjadi lebih fluktuatif dibanding periode sebelumnya. Kemudian sejak 23 November 2001, terbit UU no 22/2001 tentang minyak dan gas bumi yang mengubah tata niaga migas dalam negeri disektor hulu dan sektor hilir. Salah satu inti perubahan dimaksud adalah. mengalihkan kuasa usaha pertambangan di sektor hulu dari Pertamina ke BP MIGAS. Akibatnya Pertamina tidak lagi menerima dana retensi pertambangan migas. Struktur pasar BBM dalam negeri diubah dari struktur monopoli ke arah pasar babas (free market competition). Sehingga dijadwalkan tahun 2005 harga BBM domestik mengikuti harga pasar dunia. Selain daripada itu akibat lain dari UU Migas adalah perubahan status BUMN Pertamina menjadi PT (Perseroan terbatas) sejak 17 September 2003, hal mana mengisyaratkan agar Pertamina lebih berorientasi kepada laba dalam menjalankan usahanya.
Kedua kebijakan tersebut langsung mengimbas pada pola usaha Pertamina termasuk pada bidang usaha kilang minyak. Fluktuasi kurs berpengaruh pada harga bahan baku dan harga output kilang baik ekspor maupun domestik. UU migas berpengaruh pada liberalisasi pasar BBM domestik. Secara umum perubahan tersebut akan membawa paradigma baru dalam pola usaha kilang minyak Pertamina. Paradigma baru dimaksud berkaitan dengan perubahan hal-hal sbb. :
- dari penugasan pemerintah menjadi usaha bisnis
- dari pengolah menjadi producer) trader
- dari motif mendapat fee menjadi motif profrtlloss
- dari harga jual (P) = biaya pokok plus fee menjadi harga juai (P) = market price
Kilang minyak adalah salah satu usaha pokok Pertamina di sektor hilir. Industri ini sebetulnya tidak menarik bagi dunia bisnis karena tingkat labanya relatif rendah dibanding modal yang ditanam. Pendirian kilang pada masa lalu lebih didominasi oleh kebijakan pengamanan pasokan BBM dalam.. negeri sesuai tugas pokok Pertamina yang diamanatkan negara yaitu - menjamin pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri (security of supply). Namun bagi Pertamina bidang ini telah terlanjur ditekuni selama puluhan tahun dengan investasi relatif besar sehingga sulit untuk exit meskipun bisnis kilang minyak Pertamina tergolong bisnis yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu cukup beralasan apabila Pertamina berupaya keras meningkatkan laba kilang nya, baik melalui peningkatan kinerja maupun - melalui upaya lainnya. Dan oleh karena itu pula untuk perumusan strategis bisnis Pertamina kedepan khususnya dibidang usaha kilang minyak perlu diteliti elastisitas labs kilang terhadap berbagai aspek salah satu diantaranya adalah aspek moneter yaitu perubahan kurs dalam hal ini kurs rupiah terhadap dollar Amerika.
Terlepas dari dimensi sebab dan akibat secara luas, dalam fluktuasi rupiah yang dialami Indonesia sekarang ini apalagi ditengah tekanan arus globalisasi dan liberalisasi pasar pasti akan memberikan pengaruh terhadap potensi laba/rugi usaha Pertamina, termasuk pada unit usaha kilang minyak. Karena kurs merupakan salah satu parameter pokok dalam penyusunan RKPL (Rencana Kerja dan Perolehan Laba) Pertamina disamping dua parameter pokok lainnya yaitu harga minyak dan jumlah produksi (out-put).
Berangkat dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan, sbb.:
1. Bagaimana hubungan pengaruh kurs dengan laba kilang Balongan ?
2. Seberapa besar signifikansi hubungan tersebut ?
3. Bagaimana rumusan kebijakan akuntansi perusahaan guna melindungi perolehan laba kilang Pertamina dari gejolak kurs ?
Tujuan penelitian. dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selain daripada itu juga untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain : pembuat keputusan, pihak penentu kebijakan moneter, managemen Pertamina, unit usaha kilang minyak, organisasi profesi, lembaga pemerintah dan non pemerintah serta masyarakat pengamat yang mempunyai kepentingan. Dengan demikian paradigma pengelolaan usaha kilang minyak Pertamina khususnya kilang Balongan dapat lebih dipahami secara komprehensif terutama berkaitan dengan fakta bahwa laba Pertamina bukan semata-mata ditentukan kinerja internal namun dipengaruhi juga oleh kinerja eksternal yaitu kinerja pasar (kurs dan harga minyak). Kemudian dari pada itu dampak negatif fluktuasi kurs terhadap perolehan laba kilang dapat ditekan sekecil mungkin.
Metodologi yang digunakan adalah metode exploratif yaitu studi pustaka dengan membaca dan mempelajari berbagai buku serta majalah atau publikasi ilmiah lainnya termasuk web-site yang. terkait dengan topik yang diteliti. Lokasi penelitian dipusatkan di Kantor PT Pertamina (persero) UP-Vl Balongan yang terletak di desa Majakerta, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari hasil pencatatan produksi dan laporan resmi keuangan PT Pertamina (persero) UP-VI Balongan selama tahun 2000 sld 2003. Variabel yang diteliti adalah selisih kurs dan laba, untuk menganalisa korelasi antara kedua variabel tersebut digunakan alat statistik regresi. Hipotesis penelitian terdiri dari Ho (Hipotesis nol) yang menyatakan perubahan kurs tidak berpengaruh terhadap laba kilang Balongan dan Ha (Hipotesis alternatif) yang menyatakan perubahan kurs berpengaruh terhadap laba kilang Balongan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t-test.
Landasan teori yang digunakan adalah teori kurs dan teori laba serta teori statistik. Teori kurs berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kurs serta mekanisme terjadinya apresiasi dan depresiasi kurs rupiah terhadap dollar. Teori laba berkaitan dengan konsep produksi, biaya produksi dan pendapatan baik melalui pendekatan total, pendekatan rata-rata maupun pendekatan marginal. Sedangkan teori statistik berkaitan dengan teknik analisa regresi dan teknik uji hipotesis.
Berdasarkan landasan teori tersebut dan data yang dikumpulkan dari aktual objek penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa hubungan antara selisih kurs dan laba kilang Balongan ternyata tidak signifikan sehingga tidak dapat digeneralisasikan. Hai ini disebabkan variabel selisih kurs yang diteliti yaitu selisih kurs yang tercatat dalam laporan keuangan hanya memasukkan unsur selisih kurs bahan pembantu dan tidak memasukkan unsur selisih kurs pembelian bahan baku dan penjualan ouput kilang. Oleh karena itu mungkin diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data selisih kurs yang sebenarnya.
Meskipun demikian mengingat peranan strategis kilang minyak Pertamina dalam pemenuhan kebutuhan BBM domestik dan semakin dekatnya liberalisasi pasar BBM dalam negeri yang dijadwalkan pada tahun 2005, maka direkomendasikan agar unit usaha kilang minyak Pertamina dapat mewaspadai dan mengantisipasi pergerakan kurs terhadap perolehan labanya, karena kilang Pertamina banyak mempunyai liabilities dalam mata uang asing, khususnya dollar Amerika, baik dalam bentuk hutang-piutang jangka panjang, jangka pendek, maupun pembelian bahan baku dan bahan pembantu, sehingga dapat diambil langkah-langkah antisipasi yang tepat untuk mengamankan keuntungan kilang dari pengaruh negatif gejolak kurs.

The Impact of Exchange Rates to the Profit of Refinery at PT. Pertamina (Persero) UP-Vi BalonganSince 1997 Indonesia has changed the exchange rate system from fixed to float system, that implied rupiah to be more fluctuating compare to former periods. Then, November 23rd, 2001, Indonesian Government conducted an act: UU no 22/2001, regarding oil & gas that changed the domestic's oil and gas business regulation on upstream and downstream as well. One of the most rigorous changes is to shift government mandates for oil exploration in Indonesia region from Pertamina to BP M1GAS. Therefore, Pertamina would not receive oil & gas mining retention fee anymore. And this new regulation also change domestic fuel market from monopoly to free market competition scheduled at 2005. Therefore at that time domestic fuel price will follow the market price . Another impact of the new 1 oil & gas act is the status change of Pertamina from special state-owned enterprise to more common private corporation (Perseroan terbatas/PT) since September 17th, 2003, which forced Pertamina to be a more profit oriented in running its business.
Both policies have direct impact to Pertamina business scheme including refinery business. The Fluctuation of exchange rates will affect the oil price in term of domestic currency (rupiah) both for crude and refinery product (export and domestic). The new national oil & gas law will changes the domestic fuel market become more liberal. In general that changes will take new paradigm on Pertamina refinery business. The new paradigm involving the following matters :
- From Government task-force become common bussines
- From refinery operator become fuel producer/trader
- From taking-fee motive (captive market) become profit/loss risk
- From price (P) = cost plus fee become price (P) = market price
Refinery is one of leading sector in Pertamina's downstream business. Actually, refinery is not an attractive business for investment because of the low of profit compare to investment value. Pertamina's refinery developments in the past dominated much more by government policy which forced Pertamina to secure the national fuel supply (security of supply) in order to meet the domestic fuel demand. However Pertamina has invested a large amount of money for refinery that makes difficult for Pertamina to exit from this business, even though the refinery give a less ROI (Return on Investment). This is the reason why Pertamina has been trying very hard to increase its refinery profit achievement through increasing productivity and other effort. Hence, in order to formulate a better strategic business for Pertamina in the future especially in refinery business it is important to review some research on refinery profit elasticity due to various aspect for instances due to monetary aspect as such as exchange rates which is present in this thesis (exchange rates rupiah against US dollar).
Regardless of causalities of the exchange rates fluctuation in a broad senses, the rupiah exchange rates fluctuation against foreign exchanges nowadays, more over due to globalization and liberalization issue would have impact to profit/loss of Pertamina's refinery. As exchange rates is used as basic parameter in setting the work program and budget besides oil price and output quantity.
Based on the above facts, there are some question :
1. Is there any correlation between exchange rates and Balongan Refinery profit ?
2. How significant the correlation ?
3. How to formulate the corporate accounting policy to protect Pertamina's refinery profit against exchange rates fluctuation effect ?
The objective of this thesis is to answer those question and to give some input for any relevant party, as susch as, decision maker, monetary policy maker, Pertamina's management, refinery business, professional organization, government institution, NGO and public analyst, that was interested in refinery business. Therefore, the paradigm of Pertamina's refinery business especially for Balongan refinery could be well-understood comprehensively due to the fact that profit of Pertamina not only determinate by internal productivity but also by external factor, i.e. market performance as such as exchange rates and oil prices. Furthermore the negative impact of exchange rate fluctuation could be minimized as much as possible.
The methodology used in this thesis is explorative method i.e. reviewing literature and studying other scientific publication including relevant website. The research took-place in PT. Pertamina (persero) UP-Vi Balongan refinery. The thesis used the secondary data that collected from production record and officially financial report of PT. Pertamina (persero) UP VI Balongan during 2000-2003 periods. The researched variables are value of exchange rates difference and profit. The correlation between those two variables is analyzed by regression techniques. The researched hypothesis are Ho (Hypothesis zero) states that there is no correlation between exchange rates and Balongan refinery profi and Ha (Hypothesis alternative) states that there is correlation between exchange rates and Balongan refinery profi. Hypothetic test used t-test.
The Basic conceptual theories considered in this thesis are exchange rates theory, profit theory and statistical theory. Exchange rates theory cover some factor that affect the fluctuation of exchange rates and mechanism of rupiah appreciation and depreciation against US dollar. Profit theory consist of production concept, production cost and revenue, in term of totality, average and marginal approach. While statistical theory cover the analysis of regression and hypothesis test.
Based on the above theories and the collected data, it is concluded that the correlation between exchange rates and Balongan refinery profit is not quiet significant so the correlation can not be generalized. The exchange rates variable that used in thesis (as indicated in financial report) only cover the procurement of chemical import material not include procurement of crude and product revenue yet. So, may be some research that ensures the comprehensive exchange rates variable (include procurement of crude and product revenue) is needed.
Due to Pertamina strategic function in fulfilling domestic fuel demand and anticipating liberalization in fuel market that schedules on 2005, it is recommended for Pertamina refinery to secure its profit against exchange rates fluctuation effect, because the refinery has many forex liabilities, both for long term and short term debt and loan, so an advantage anticipation effort could be conducted immediately.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1992
S36034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>