Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Suryantoro
"Material yang sesuai dengan penghantar listrik yang baik harus mempunyai sifat konduktifitas dan kuat tarik yang baik. Tembaga merupakan material yang paling poluler untuk material penghantar listrik. Akan tetapi Tembaga mempunyai kuat tarik yang kurang bagus. Untuk memperbaiki kuat tarik Tembaga dilakukan dengan memadukan material yang lain. Sudah diketahui bahwa Tembaga yang mempunyai kuat tarik tinggi dapat diperoleh dengan memadukan Tembaga dengan logam refractory seperti Niobium, Vanadium dan lain - lain. Niobium merupakan material pemadu yang paling cocok karena mempunyai kuat tarik dan konduktifitas yang tinggi. Dari hasil perhitungan regresi linier variabel konduktifitas listrik dan kuat tarik dihasilkan koefisien regresi - 5,1228733 x 10-6 dan perhitungan korelasi - 1 dengan R 100 %.

The suitable materials for electrical conductivity device should have high properties of conductivity and tensile strength. Copper is the very common material for its purpose. However, copper has relatively weak tensile strength. One promising approach to improving the strength of copper is to mix it with an alloying material. It is know that quite high strength copper can be produced by alloying copper with refractory metal such as niobium, vanadium, etc. Niobium is suitable alloying material because it's high strength and good in electrical conductivity. The result from the linear regression calculation of the electrical conductivity and tensile strength variable that coefficient regression is ' 5,1228733 x 10-6 and its correlation is ' 1 by R 100 %."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S51273
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bintoro Siswayanti
"Berbagai variasi pemanasan telah dilakukan terhadap kawat Cu-Nb-Sn Internal Tin Luvata Waterbury untuk menghasilkan kawat superkonduktor dengan kandungan intermetalik A15 Nb3Sn yang memiliki homogenitas mikrokimia dan mikrostruktur. Reaksi pembentukan intermetalik A15 Nb3Sn melalui solid state diffusion couple. Pemanasan dilakukan dalam kondisi terproteksi dari oksigen. Tabung berisi kawat tersebut dipanaskan pada temperatur 450°C, 600°C, 750°C, dan 900°C dengan variasi waktu. Tabung didinginkan dalam tungku baru kemudian dikeluarkan. Identifikasi evolusi fasa tidak bisa menggunakan XRD karena matriks Cu dominan, sehingga penentuan fasa dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder sebagai pembanding. Struktur mikro dan komposisi fasa cuplikan diamati dengan scanning electron microscope (SEM) dan energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Sn merupakan elemen utama yang berdifusi pada proses difusi yang terjadi. Pada pemanasan 450°C/72 jam terbentuk intermetalik Nb3Sn, larutan padat α-Nb dan juga Nb3Sn yang kurang superkonduktif. Sedangkan variasi perlakuan panas yang lain menghasilkan intermetalik Nb3Sn dengan komposisi % atom Sn yang homogen di sepanjang filament yang diamati. Seluruh variasi perlakuan panas didapati menyebabkan interkoneksi filament yang tidak diharapkan. Pemanasan 750°C dan 900°C didapati menyebabkan pelarutan Nb dari filament. Pemanasan 900°C/72 jam didapati menyebabkan kebocoran kawat sehingga terjadi peracunan selongsong Cu. Pada sisi lapisan intermetalik A15 Nb3Sn yang kaya Sn tumbuh kristal equiaxed sedang pada sisi yang kurang Sn tumbuh kristal columnar. Perlakuan panas optimal pada penelitian ini 600°C/72 jam dan diperlukan jarak antar filament yang lebih lebar untuk menghindari interkoneksi filament. Efek Hartley Kirkendal berupa pergeseran batas muka tampak dengan pergeseran yang kecil.

Variations heat treatment have been applied to the wire Cu-Nb-Sn Internal Tin Luvata Waterbury to produce superconducting wire with A15 Nb3Sn intermetallic that has microchemical and microstructural homogeneity. A15 Nb3Sn intermetallic formation reactions via solid state diffusion couple. Heating is carried out in a protected conditions from oxygen. Quartz tube containing the wire is heated at a temperature of 450°C, 600°C, 750°C and 900°C with time variations. Tube cooled in the furnace and then removed. XRD could not identified phase evolution because the dominant Cu matrix, so that the phase determination is done by using secondary data as a comparison. Microstructure and phase composition of the samples was observed by scanning electron microscope (SEM) and energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS).
The results showed that Sn play as main diffusant. The heating 450°C/72 hours generate intermetallic Nb3Sn, α-Nb solid solution and also less Nb3Sn superconductive. While the other heat treatment variations produced intermetallic Nb3Sn with % Sn atom in homogeneous along the filament was observed. All the various heat treatment interconnecting filaments found to cause unexpected. Heating 750°C and 900°C were found causing dissolution of the Nb filaments. 900°C/72 hour heating wire found to cause leakage resulting in the poisoning of the Cu shell. On the side of the A15 Nb3Sn intermetallic layer rich Sn grows equiaxed crystals, whether on the side of less Sn columnar crystals grow. Optimal heat treatment in this study 600°C/72 hours required distance between the filament and wider to avoid interconnecting filaments. Effects Hartley Kirkendal be a shifting boundary face seemed to shift a little.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T43437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Nabila
"Serat jute merupakan salah satu serat alam yang ramah lingkungan dengan harga relatif murah dan volume produksi relatif tinggi. Polipropilena dipilih sebagai matriks karena sifat unggul yang dimiliki dan dapat didaur ulang. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh fraksi berat serat jute sebagai penguat pada matriks polipropilena untuk mendapatkan nilai optimum fraksi berat serat jute pada komposit. Serat jute mendapat perlakuan awal dengan alkalisasi. Fabrikasi komposit polipropilena diperkuat serat jute diawali dengan metoda ekstruksi untuk polipropilena dan kemudian menyusun matriks polipropilena dan serat jute menjadi lamina menggunakan metode hot-press.
Hasil uji tarik dan uji Heat Deflection Temperature memperlihatkan bahwa penambahan 40 wt% serat jute pada komposit polipropilena menaikkan kuat tarik sebesar 6% menjadi (38,2±4,9)MPa, modulus Young sebesar 50,2% menjadi (3,20±0,26)GPa dan suhu defleksi sebesar 143% menjadi (143,3±1,14)°C dibandingkan dengan PP murni. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscopy pada permukaan patahan diketahui bahwa mode kegagalan pada komposit adalah fiber pull-out. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa komposit polipropilena diperkuat serat jute memiliki sifat mekanik yang tidak terlalu baik karena ikatan antarmuka serat-matriks yang tidak terlalu kuat "moda kegagalan fiber pull-out" menunjukan bahwa proses transfer beban dari matriks ke serat tidak terjadi dengan baik.

Jute is one of eco-friendly natural fiber with relatively low cost and high volume production. Polypropylene was selected as a matrix due to good specific properties and recyclable. This study aimed to determine the effect of weight fractions of jute fiber as an reinforcement in the polypropylene matrix to obtain an optimum weight fraction of jute fiber on composites. Jute fiber was pre-treated through alkalization. The polypropylene based reinforced jute fiber composite was initially produced by extrusion process for the polypropylene, followed by fabricated the composites by compiling a polypropylene matrix and jute fiber into lamina using a hot-press methods.
The results of tensile test and heat deflection Temperature test showed that the addition of 40 wt% jute fiber to polypropylene composites increased the tensile strength about 6% up to (38.2±4.9)MPa, the Young modulus about 50.2% up to (3.20±0.26)Gpa, and the deflection temperature about 143% up to (143.3±1.14)°C compared to pure PP. Based on the observation on the fracture surfaces by Scanning Electron Microscopy, it was shown that the mode of failure on the composites failure surfaces are "fiber pull-out". It was found that the tensile properties of the jute fiber reinforced polypropylene composites were not very good due to the weak interface bond between the fiber and the matrix, the "fiber pull-out" failure, indicated that the load from matrix to fiber was not well transfered.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S63069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Ilham Sipala
"Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kuat tarik belah dan kuat tarik lentur dari beton yang menggunakan semen putih (sebagai bahan baku utama) akibat pengaruh nilai faktor air semen (FAS). Variasi FAS yang digunakan pada campuran beton adalah 0,4; 0,45; 0,5; dan 0,55. Selanjutnya, penelitian ini akan membandingan nilai kuat tarik belah dan kuat tarik lentur antara beton yang menggunakan semen portland putih (WPC) dengan beton yang menggunakan semen PCC di masing-masing nilai faktor air semen (FAS). Metode dan prosedur pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM dan dilakukan di Laboratorium Bahan dan Struktur Departemen Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa beton WPC memiliki kuat tarik belah dan kuat tarik lentur yang lebih tinggi dibanding dengan beton PCC di masing-masing variasi FAS. Semakin besar kenaikan FAS, maka kuat tarik belah dan kuat tarik lentur yang dihasilkan akan semakin kecil, baik pada beton WPC maupun beton PCC. Perbedaan nilai terbesar pada kuat tarik belah yang terjadi antara beton PCC dengan beton WPC adalah pada variasi FAS 0,55 yaitu sebesar 17,83 %. Sedangkan untuk perbedaan nilai terbesar kuat tarik lentur antara beton PCC dengan beton WPC adalah pada variasi FAS 0,4 yaitu sebesar 35,28 %.

This research aims to study the characteristics of the splitting tensile strength and flexural tensile strength of concrete using white cement (as the main raw material) due to the influence of water-cement ratio (W/C). Variations in water-cement ratio that are used in the concrete mixture are 0.4, 0.45, 0.5 and 0.55. Furthermore, this study will compare the value of splitting tensile strength and flexural tensile strength of concrete using white Portland cement (WPC) with the use of concrete using PCC in each of the water-cement ratio (W/C). The method and procedure of this study was conducted with reference to ASTM standards and conducted in Materials and Structures Laboratory Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, University of Indonesia. From the research results obtained that the WPC concrete had splitting tensile strength and flexural tensile strength is higher than with ordinary cement concrete in each variation of W/C. The greater increase of W/C, the splitting tensile strength and flexural tensile strength produced would be smaller, both WPC concrete and PCC concrete. Differences of greatest value in splitting tensile strength between PCC concrete with WPC concrete is the variation of W/C of 0.55 for 17.83%. As for the biggest value differences flexural tensile strength of PCC concrete with WPC concrete is the variation of water cement ratio of 0.4 for 35.28%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50491
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bastian Okto Bangkit Sentosa
"Semen Portland Pozzolan (SPP) adalah suatu bahan perekat hidrolis yang dibuat dengan menggiling halus klinker semen Portland dengan pozzolan, atau suatu campuran yang merata antara bubuk semen Portland dan bubuk pozzolan selama penggilingan atau pencampuran. SPP untuk mencapai kekuatannya membutuhkan waktu relatif lebih lambat dibandingkan dengan semen Portland lainnya meskipun ultimate strenght yang dicapai SPP mungkin sama atau lebih besar dari yang terbuat dari semen Portland. Dalam penelitian ini, faktor air semen (FAS) yang digunakan bervariasi diantara 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; dan 0,8 serta diamati pengaruhnya terhadap kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur pada beton menggunakan SPP. Pengujian kuat tekan, kuat tarik belah, dan kuat lentur dilakukan pada umur 7, 14 dan 28 hari.
Hasil pengujian diolah dengan dua metode yaitu metode rata-rata dan chi-square untuk membandingkan metode mana yang paling akurat. Kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur bertambah seiring dengan pertambahan umur beton pada semua FAS. Namun kenaikan FAS berbanding terbalik dengan kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur beton. Kenaikan kuat tekan akan diikuti dengan kenaikan kuat tarik belah dan kuat lenturnya sehingga kenaikan kuat tarik belah akan mengikuti kenaikan kuat lentur dan sebaliknya.

Pozzolan Portland Cement (PPC) is an hydraulic adhesive which made by grinding Portland cement clinker with Pozzolan, or an equal mixture of Portland cement powder and powder Pozzolan during milling or mixing. PPC to achieve the strength it took relatively more slowly than other portland cement, although the ultimate PPC strenght achieved equal or perhaps greater than that made from portland cement. In this research, water cement ratio which is used variation from 0,30 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; and 0,8 also observed the influent of compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength concrete using SPP. Compressive strength, splitting tensile strength and flexural strength test is done on 7, 14, and 28 days.
The test result is processed by two methods which are average method and chi square method for comparing the best accuracy method. Compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength increase following concrete age on all water cement ratio. However, increasing water cement ratio is inversely with compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength. Increasing compressive strength will be followed by splitting tensile strength and flexural strength so that increasing splitting tensile strength will follow increasing flexural strength."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50594
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Anggorowati
"Mortar yang terbuat dari semen dan agregat halus dengan perbandingan 1:4, dimodifikasi dengan menambahkan abu sekam padi sebagai material subtitusi parsial yang menggantikan sejumlah proporsi agregat halus sebesar 10%, 20%, 30% dan 40% dari berat agregat halus. Serangkaian uji coba di laboratorium dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap kuat tarik lentur, kuat tarik langsung dan susut mortar.
Hasil evaluasi data hingga saat ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Penggunaan abu sekam padi dalam campuran mortar mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan mortar. Semakin banyak penggunaan abu sekam padi semakin besar penurunan kekuatan mortar.
2. Penggunaan abu sekam padi pada campuran mortar menaikan susut kering mortar. Semakin banyak penggunaan abu sekam padi semakin besar penyusutan mortar.

The mortar used consists of 1 part cement and 4 parts of fine agreggate (sand) is modificated by rice husk ash as material subtitution partial of fine agreggate, with increasing of rice husk ash 10%, 20%, 30% and 40% of fine agreggate. Some trial mixes of mortar in laboratory were to find the influence about flexural strength, direct tensile strength and shrinkage of mortar.
The conclusions are:
1. The increase of rice husk ash in mortar can decrease the strength of mortar.
2. The increase of rice husk ash in mortar can increase the shrinkage of mortar.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50662
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Edenbert Dormantua
"Pada industri bangunan kapal, pengelasan merupakan metode yang sangat umum dipakai untuk melakukan penyambungan pelat-pelat baja. Di galangan, juru las menggunakan besar arus dan kecepatan pengelasan yang bervariasi. Seringkali alasan yang sering dipakai adalah untuk mengejar deadline pengerjaan kapal sehingga sesuai dengan timeline yang telah direncanakan. Ada juga dengan motivasi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu agar pekerjaan cepat selesai. Fenomena yang biasa terjadi adalah kuat arus dinaikkan dari standar galangan atau kecepatan pengelasan ditingkatkan menjadi lebih tinggi. Hal ini mempengaruhi kualitas sambungan akhir, seperti perbedaan struktur makro dan mikro hasil las yang selanjutnya berimplikasi pada sifat-sifat mekanis material.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara parameter proses MMAW terhadap struktur makro hasil las serta hubungannya dengan sifat mekanis material baja berkekuatan tarik tinggi setelah proses pengelasan. Parameter pengelasan yang dipakai adalah kuat arus dan kecepatan pengelasan. Arus las yang dipakai dalam penelitian ini adalah 110 A yang merupakan standar galangan, 120 A, dan 130 A sedangkan kecepatan pengelasan divariasikan berdasarkan kecepatan pengelasan normal (yang biasa dipakai juru las), dipercepat, dan diperlambat dari kecepatan pengelasan normal.
Hasil pengelasan tersebut diuji di laboratorium untuk memperoleh foto struktur makro sambungan material setelah melalui proses pengelasan. Dari foto struktur makro, akan diperoleh analisis perubahan struktur makro pada material yang selanjutnya akan dihubungkan terhadap sifat-sifat mekanis akhir material. Penelitian ini nantinya akan memperlihatkan parameter pengelasan optimum yang akan digunakan pada industri bangunan kapal (galangan) untuk membangun kapal.

In ship building industry, welding is a very common method used to establish joining plates of steel. In the shipyard, welder often use vary large current and travel speed. Frequently, the reason often used is to pursue the construction deadline so that the vessel in accordance with the timeline. There is also lack of motivation that can be accounted for, such as speedy completion. A common phenomenon is welding currents of shipyard standard raised or welding speed increased becomes higher than the normal. This affects the quality of the final joining, such as differences in the macro-structur and micro-structur of welds which would have implications for the mechanical properties of the material.
This study aimed to explore the relationship between process parameters MMAW against the macro-structure of welds and its relationship with the mechanical properties of high tensile strength steel material after the welding process. Welding parameters used are welding currents and welding speed. Welding currents used in this study was 110 A which is a standard of shipyard, 120 A, and 130 A while welding speed was varied by normal welding speed (which is usually used by welder), accelerated and slowed from the normal welding speed.
Welds are tested in the laboratory to obtain macro-structure photo of the joining after the welding process. From the photo, it will be obtained the analysis of changes macro-structure of the material which would be linked to the mechanical properties of the final material then. This study will show the optimum welding parameters to be used in the ship building industry (shipyard) to build the ship.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Susanti
"Magnesium merupakan logam yang cocok dijadikan biomaterial implant mampu luruh karena memiliki sifat biodegradabel. Namun mg sangat mudah terkorosi pada PH fisilogis karena unsur mg mudah tergradasi sehingga  sifat mekanik akan turun sebelum terjadinya penyembuhan dan pertumbuhan jaringan baru. Untuk meningkatkan sifat mampu bentuk dan ketahanan korosi dapat dilakukan penambahan paduan dengan unsur litium dan Seng. Selain itu dapat dilakukan perlakuan persen reduksi sehingga membuat terjadinya regangan pada mikrostruktur dan dengan waktu tahan anil dapat membuat penyempurnaan butir pada rekristalisasi. Penelitian diawali dengan melakukan pencanaian dingin LZ141 pada persen reduksi sebesar 60,70 dan 80% kemudian dilanjutkan dengan waktu tahan anil selama 1 dan 3 jam pada suhu 250°C. Secara menyeluruh penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh persen reduksi dan waktu tahan terhadap Mikrostruktur, Sifat Mekanik dan Sifat Korosi paduan LZ141 dalam Larutan Simulated Body Fluid (SBF) Sebagai Material Implan Mampu Luruh. Hasil pengujian OM menunjukkan mikrostruktur terdiri atas fasa α -Mg dan fasa β -Li serta endapan MgLi2Zn dan MgLiZn. Pada hasil pengujian tarik dan kekerasan mikro nilai elongasi yang lebih tinggi dan kekuatan yang lebih tinggi pada sampel setelah perlakuan anil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan persen reduksi dan waktu tahan anil dapat meningkatkan ketahanan korosi paduan LZ141.

Magnesium is a suitable metal to be used as an implant biomaterial because it is biodegradable. However, it is highly susceptible to corrosion in physiological pH due to the degradation of magnesium. To improve the formability and corrosion resistance. Alloying with lithium and Zinc is necessary. Additionally, cold working can be performed to induce strain in the microstructure, and holding  time can contribute to grain refinement during recrystallization. The experiment was started by cold rolling LZ141 at reduction percentages of 60,70, and 80% and then continued with annealing holding times of 1 and 3 hours at 250°C. This comprehensive research aims to investigate the influence of reduction percentage and holding time on the microstructure, mechanical properties, and corrosion behavior of LZ141 alloy in Simulated Body Fluid (SBF) as a biodegradable implant material. Optical microscopy (OM) testing reveals that the microstructure consists of α-Mg phase, β-Li phase, and precipitates of MgLi2Zn and MgLiZn. Tensile and microhardness testing results show higher elongation and strength values in samples after annealing. The research findings indicate that increasing the reduction percentage and annealing time can enhance the corrosion resistance of LZ141 alloy."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudia Widaryanto
"Portland Composite Cement (PCC) merupakan campuran clinker dan bahan mineral tambahan seperti fly ash, pozzolan, dll. Produksi semen PCC yang lebih sedikit mengandung clinker ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap clinker yang produksinya semakin berkurang. Seiring beredarnya semen PCC di pasaran, beton dengan semen PCC perlu diuji kekuatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai-nilai kuat tekan, kuat tarik belah, dan kuat lentur beton menggunakan semen PCC. Beton didesain dengan menggunakan faktor air semen 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; dan 0,8. Pengujian dilakukan pada umur 7, 14 dan 28 hari.
Hasil pengujian diolah dengan metode rata-rata dan metode chisquare. Hasil pengolahan data menunjukkan metode chi-square menghasilkan data yang lebih akurat dengan jumlah error yang lebih sedikit. Grafik yang dihasilkan menunjukkan hubungan antara kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur dengan umur adalah berbanding lurus. Sedangkan hubungan antara kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur dengan FAS adalah berbanding terbalik. Dengan membandingkan kuat tekan, kuat tarik belah dan kuat lentur didapatkan hubungan kuat tekan dan kuat lentur adalah fr = 0,623 _ fc?, hubungan kuat tekan dan kuat tarik belah adalah ft = 0,656 _ fc?, dan hubungan kuat tarik belah dan kuat lentur adalah fr = 0,948 _ ft.

Portland Composite Cement (PCC) is a mixture of clinker and mineral additions such as fly ash, pozzolan, etc.. PCC's production which contain fewer clinker, can reduce the dependence on clinker, whose the production has decreased. Along the spread of PCC in the market, concrete using PCC need to be tested. This study aimed to obtain the values of compressive strength, splitting tensile, and flexural strength of concrete using PCC. Concrete is designed with water cement ratio 0,3; 0,35; 0,45; 0,55; 0,65; 0,75; dan 0,8. Tests are performed at the age of 7, 14 and 28 days.
The test results are processed by average method and chi-square method. Data processing results show chi-square method produces more accurate data with a smaller number of errors. The resulting graphs show the relationship between compressive strength, splitting tensile and flexural strength is directly proportional to the age. While the relationship between compressive strength, splitting tensile and flexural strength is inversely proportional to the water cement ratio. By comparing the compressive strength, splitting tensile and flexural strength, we can also obtain the relationship between compressive and flexural strength is fr = 0,623 _ fc?, the relationship between compressive and splitting tensile strength is ft = 0,656 _ fc?, and the relationship between splitting tensile and flexural strength is fr = 0,948 _ ft.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50641
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raina S. Dryana
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh faktor air semen (FAS) terhadap kekuatan tekan, tarik belah, dan tarik lentur beton normal yang dibuat menggunakan semen tipe Ordinary Portland Cement (OPC). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan adanya gambaran hubungan antara kekuatan, umur dan FAS beton dengan semen portland tipe I yang digunakan untuk berbagai tujuan namun keberadaannya mulai tergantikan dengan semen tipe baru. Penelitian dilakukan melalui pengujian di laboratorium dengan membuat benda uji silinder beton diameter 100 mm dan tinggi 200 mm untuk uji kuat tekan sebanyak 105 buah, silinder beton diameter 150 mm dan tinggi 300 mm untuk uji kuat tarik belah sebanyak 105 buah, dan balok untuk uji kuat lentur dengan ukuran 150 mm x150 mm x 600 mm sebanyak 63 buah.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin besar nilai FAS maka kekuatan beton yang diperoleh baik kuat tekan, kuat tarik belah, dan kuat lentur akan semakin menurun karena jumlah semen sebagai sumber kekuatan beton juga berkurang. Pengolahan data menggunakan dua metode statistik yaitu metode nilai rata - rata dan metode chi square yang menghasilkan hubungan untuk beton umur 28 hari: kuat tekan (fc - ) dengan kuat lentur (fr) adalah : fr=0.656?fc - kuat tarik belah (ft) dengan kuat lentur (fr) adalah : fr=0.967ft kuat tekan ((fc - ) dengan kuat tarik belah (ft) adalah : ft=0.666?fc - .

The focus of this study is about the effect of water cement ratio (FAS) on the compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength of normal concrete made using Ordinary Portland Cement (OPC). The background of this research is the need for illustrating the correlation between concrete strength, age and FAS with OPC which is used for many purposes but its existence began to be replaced with other Portland cement. This research through attempt in laboratory by making 105 samples concrete cylinder with diameter of 100 mm and 200 mm height for compressive strength test, 105 samples cylinder with diameter of 150 mm and 300 mm height for splitting tensile strength test and 63 samples beam for flexural strength test with size 150 mm x 150 mm x 600 mm.
The result shows that the greater value of FAS, the concrete strength obtained compressive strength, splitting tensile strength, and flexural strength will also decrease because the amount of cement concrete as a source of strength is also reduced. Processing data was using two statistical methods which is average value method and chi square method, produced the relationship for 28 days of concrete age : compressive strength (fc') and flexural strength (fr) : fr=0.656?fc' splitting tensile strength (ft) and flexural strength (fr) : fr=0.967ft compressive strength ((fc') and splitting tensile strength (ft) : ft=0.666?fc'.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50642
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>