Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4221 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rieke Diah Pitaloka I.P.
""Penelitian ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan bagaimana berbagai tindakan kekerasan berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Kedua hat tersebut terjadi akibat para pelaku terkondisikan menganggap kekerasan, termasuk kejahatan, sebagai hal yang bisa, wajar, atau lumrah. Hannah Arendt menyebut sikap tersebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan). Manusia yang menjadi pelaku banalitas kejahatan tidak memiliki kesadaran dan mengalami ketumpulan nurani. la hanya bersandar pada otoritas di luar dirinya. Ia tidak pemall,.melakukan pengujian dalam dirinya, pengujian antara Aku dan Diriku, tidak berani bertatapan dengan ""kediriannya"". Hal ini yang menyebabkan manusia yang bersangkutan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang bik dengan yang jahat, yang indah dengan yang buruk. Selanjutnya ia akan menganggap kekerasan dan kejahatan sebagai hal yang biasa. Tanpa paksaan ia akan terlibat banalitas kejahatan. Sikap banal bukan sesuatu yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan modernitas, kekuasaan, dan kekerasan negara. Fenomena banalitas kejahatan menunjukkan adanya interaksi antara aktor (pelaku) dan sistem. Sistem yang tidak menerapkan aksi komunikatif dalam kekuasaan membuat pikiran masyarakat menjadi dangkal. Sementara itu, dalam diri aktor juga ada disposisi yang membuat sistem dapat diberlakukan. Dengan demikian, banlaitas kejahatan lahir karena di satu pihak system politik yang berjalan mengkondisikan masyarakat untuk mengadaptasi kekerasan. Di lain pihak pada masyarakat sudah ada disposisi terhadap kekerasan, dalam dua bentuk masyarakat yang muncul akibat modernitas, yaitu masyarakat apatis yang apolitis dan masyarakat pragmatis yang cenderung enggan memikul tanggung jawab sebagai warga negara.""
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T37534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia, translator
"Konsep pengampunan dimulai dari pemikiran Yesus dari Nazareth, pengampunan ini disebut sebagai pengampunan murni. Dari konsep pengampunan murni ini dikembangkan lagi menjadi pengampunan tanpa logika bersyarat model Jacques Derrida dan pengampunan dengan logika bersyarat model Hannah Arendt. Pengampunan tanpa logika bersyarat berusaha menghilangkan Tuhan dalam konsep pengampunannya dan melandaskan diri pada hak korban. Pengampunan dengan logika bersyarat yang berdasarkan pada kesalahan yang terampuni yang bersumber pada hukum. Teori pengampunan Arendt dilandaskan pada lima konsep penting yakni konsep tentang waktu, cinta, kesalahan, penyesalan, dan pembalasan. Fenomenologi pengampunan Arendt dielaborasi dari kelima konsep tersebut, yakni pembahasan tentang peranan beban masa lalu, kemampuan manusia untuk memaafkan, konflik internal dalam proses pengampunan, penghalang proses pengampunan, dan apakah pengampunan itu hak korban atau hukum. Teori pengampunan Arendt merupakan wujud dari tindakan memaafkan yang berarti suatu tindakan melupakan efek buruk dari kesalahan yang wajar dapat diperbuat manusia dalam kesehariannya. Dalam pengampunan Arendt, relasi yang mutlak ada adalah relasi penyesalan, pengampunan, dan pembalasan. Suatu relasi yang harus ada agar pengampunan itu dapat terjadi, dan tidak mutlak ada dalam pengampunan tanpa logika bersyarat. Pengampunan Arendt terjebak dalam perang antara pikiran dan perasaan, karena ia mencoba menggeneralisasikan persoalan pengampunan dari sesuatu yang bersifat universal absolut ke dalam bentuk yang partikural plural. Konsep pengampunan dengan menggunakan logika bersyarat tidak akan pernah tuntas menyelesaikan persoalan pengampunan, karena mengurangi makna pengampunan itu sendiri. Tindakan memaafkan hanya bisa dilakukan jika sejumlah syarat-syarat yang ada di dalamnya terpenuhi. Bila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka pengampunan itu tidak bisa dijalankan. Ini yang menjadi persoalan yang tidak terselesaikan sewaktu menggunakan logika bersyarat dalam pengampunan. Pengampunan harus dilepaskan dari otoritas Tuhan, dogma agama, ataupun hukum yang berlaku. Pengampunan adalah hubungan personal antara pelaku dan korban. Orang-orang yang berada di luar itu tidak bisa turut campur. Memberikan dan menerima pengampunan bukan merupakan perkara mudah. Baik memberi dan menerima, keduanya memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Karena itulah, pengampunan harus dikembalikan pada domain privat masing-masing orang. Dengan begitu, pengampunan tadi dapat dilaksanakan dengan lebih baik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fine, Robert
London: Routledge, 2001
320.101 FIN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pojman, Louis P.
New York: McGraw-Hill , 2003
320.01 POJ g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Thita Moralitea Mazya
"Konsep kebebasan merupakan istilah kunci dalam konsep negara-bangsa modern, khususnya terkait dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Asumsi ini berangkat dari pemikiran Locke yang menegaskan bahwa seluruh individu dikaruniai oleh alam hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan dan dicabut oleh negara (Scott Davidson, 1994:3). Namun demikian, dalam perkembangannya terjadi kerumitan konseptual khususnya dalam hal keharusan menyelaraskan antara konsep kebebasan individu dan otoritas negara. Di satu sisi, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya masyarakat non dominasi, sementara di sisi lain konsep otoritas kelembagaan berarti memberi hak kepada negara untuk menerapkan kekuasaan terhadap individu-individu dan membuat keputusan yang mengikat mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut, seorang filsuf Australia, Philip Noel Pettit mencoba memformulasikan teorinya mengenai kebebasan negatif yang ia sebut kebebasan Non Dominasi sebagai altenatif. Sebagai pokok permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana konsep republikanisme ideal menurut Philip Pettit? Bagaimana konsepsi kebebasan non dominasi menjadi solusi alternatif diantara konsep-konsep kebebasan yang ada sebelumnya. Dan, Bagaimana konteks pemikiran republikanisme Pettit dalam wacana demokrasi modern. Untuk itu kerangka teori yang digunakan tentu menggunakan teori kebebasan kebebasan positif dan negatif Isaiah Berlin , konsep kebebasan Non Interferensi Skinner serta teori pemerintahahan Locke. Menurut Pettit, kebebasan Non Dominasi itu harus bisa melepaskan individu dari segala bentuk interferensi yang semena-mena, termasuk kapasitas seseorang yang hendak melakukakannya.
Melalui kerangka teori tersebut akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan non dominasi Pettit sebenarnya sangat kaya akan cita-cita politik, terutama dalam mewujudkan suatu instutitusi yang berimplementasikan non dominasi di wilayah republik. Pettit mencoba menempatkan non dominasi sebagai sebuah nilai moralitas. Jika moralitas tersebut menjadi bagian dari cara berfikir, berperilaku dan bertindak atau menjadi norma, dalam tubuh institusi akan menghasilkan kebijakan yang menempatkan warganya sebagai manusia yang berkualitas, defensif, dan memiliki pencitraan diri yang kuat terhadap sesamanya. Akan tetapi, persoalan pada konsepsi kebebasan positif negatif sebelumnya tidak jauh berbeda dari persoalan yang diungkapkan Pettit, bisa jadi justru menjadikannya lebih komplikasi lagi. Pettit tidak memiliki kontradiksi yang mencolok dengan kebebasan negatif klasik. Dalam arti ia tidak membedakan interferensi dengan sesuatu yang lebih berbeda, sehingga tidak dirasa perlu menghadirkan sebuah teori baru. Induksi dari kesimpulan ini akhirnya memperlihatkan jika sesungguhnya konsep non dominasi Pettit belum bisa menggantikan kebebasan negatif klasik dan ini berarti konsepnya belum sepenuhnya layak dijadikan solusi alternatif Namun setidaknya, teorinya ini dapat menjadi suplemen bagi wacana kebebasan diantara teori teori kebebasan yang sudah ada. Konsepsinya jugs bisa menjadi ajang perdebatan secara filosofis dan memberikan pengetahuan baru bagi lingkungan pendidikan filsafat khususnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Nurtjahjo
"Hal yang dipertaruhkan dalam tulisan ini adalah pernyataan penulis bahwa konsep teoritis demokrasi bukanlah teori politik yang langsung dapat dikatakan etis. Pengertian teoritis 'demokrasi' dihipotesakan sebagai teori politik yang, dalam pemahaman konvensional, memiliki kelemahan atau kerapuhan (vulnerabilitas) yang inheren di dalam tatanan prinsip-prinsipnya, khususnya hal yang berkenaan dengan 'metodologi' dari demokrasi itu sendiri.
Penelitian ini hendak menunjukkan bahwa teori politik demokrasi tidak selalu langsung dapat dikatakan sebagai teori yang memiliki klaim etis. Bahwa Klaim mayoritas sosiologis itu sendiri tidak mencukupi nilai legitimasi etis untuk sampai kepada suatu keputusan atau tindakan yang baik, benar, atau adil. Tentu saja semua ini dalam sudut pandang etika-filsafat yang menyeluruh. Karena kelemahan inheren tersebut, maka teori demokrasi tidak memiliki legitimasi etis yang utuh, melainkan hanya legitimasi sosiologis saja yang utuh terpenuhi.
Kalau dituangkan dalam bentuk hipotesa, maka apa yang dijadikan soal dalam pembahasan ini adalah "jika demokrasi secara teoritis memiliki kelemahan etis yang jelas (flagrant) dalam prinsip-prinsip esensial yang membentuknya, maka demokrasi tidak dapat dinyatakan sebagai teori politik yang etis sesungguhnya atau dengan kata lain tidak mentadai dalam perspektif etika-filsafat".
Namun demikian, agar tulisan ini tidak hanya berhenti pada kritik tanpa upaya untuk masuk ke dalam pemahaman lebih komprehensif kita dapat menyatakan hipotesa selanjutnya, yaitu : "jika teori politik demokrasi dapat memenuhi syarat-syarat filosofis (prinsip-prinsip etika), maka akan dapat diwujudkan teori politik demokrasi yang etis sesungguhnya". Artinya, ada pengaruh dari prinsip-prinsip etika fundamental sebagai prasyarat terhadap suatu teori demokiasi untuk sampai dapat dikatakan sebagai teori politik yang etis sesungguhnya.
Pembuktian teoritis yang akan menunjukkan kerapuhan teori politik demokrasi ini merupakan hal yang fundamental agar kita tidak terjebak dalam kancah demokrasi yang tidak jelas. Jika seluruh bangsa dan negara-negara yang ada di dunia ini mengarahkan dirinya pada konsep politik demokrasi yang menjadi sasaran ideal, maka sudah semestinya kita mewaspadai demokrasi yang bagaimana yang akan dicapai nantinya. Jika semua bangsa dan negara terjebak dalam konsep politik demokrasi yang hanya memberikan jalan kebebasan yang tidak menyelesaikan hakikat penyelamatan tujuan politik maupun hukum yang sesungguhnya, yaitu...""
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paine, Thomas
London: David Campbell Publishers, 1994
R 320.011 PAI r
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Rousseau, Jean-Jacques, 1712-1778
London: David Campbell Publishers, 1993
R 320.01 ROU s
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tannenbaum, Donald G.
Belmont: Wadsworth/Thomson learning, 2004
320.01 TAN i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>