Ditemukan 101196 dokumen yang sesuai dengan query
Yasmin
"Penelitian ini berjudul kuli kontrak di perkebunan tembakau Deli - Sumatera Timur tahun 1880 - 1915, yaitu sejak dikeluarkannya Koeli Ordonantie sampai di cabutnya Koeli Ordonantie itu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kontrak-kontrak tentang konsesi tanah antara Sultan Deli dan pengusaha perkebunan dan mencari hubungan dengan pengusaha perkebunan berdasarkan Koeli Ordonantie. Selain itu juga mendeskripsikan tenaga kerja serta dampak yang muncul dengan diberlakukannya Koeli Ordonantie. Daerah Deli adalah salah satu daerah di Sumatera Timur yang paling banyak memiliki perkebunan tembakau dibandingkan dengan wilayah Sumatera Timur lainnya. Perkebunan tembakau di Deli di usahakan pertama kali oleh Jacobus Nienhuijs dengan mendapat konsesi tanah dari Sultan Deli selama 99 tahun tanpa membayar sewa sepeserpun. Selain masalah tanah adalagi masalah tenaga kerja. Pada mulanya pengusaha perkebunan tembakau mendatangkan tenaga kerja dari Cina via Penang dan Singapura. Akan tetapi karena tenaga kerja Cina semakin sulit didapatkan akhirnya didatangkan tenaga kerja dari Jawa. Demi terlaksananya perusahaan perkebunan dan untuk mengatur tenaga kerja maka di keluarkan peraturan-peraturan tentang kuli (Koeli Ordonantie) yang beberapa kali diubah dan dilengkapi pasal-pasalnya. Dalam peraturan ini tidak hanya mengenai hak dan kewajiban kuli tetapi juga hak dan kewajiban pengusaha. Dampak yang ditimbulkan oleh adanya perkebunan tembakau ini adalah adanya perjudian dan pelacuran. Hal ini memang disengaja yang tujuannya untuk mengikat kuli-kuli itu agar tetap bekerja lebih lama di perkebunan.
The Objective of this study was to describe contracts on land concession between the Sultan of Deli and plantation business owners and as well to find its relations with plantation business owners based on Koeli Ordonantie. Further to these, this study was directed to provide description on works and its impact when Koeli Ordonantie starts to take place. Deli is one of the regions in East Sumatra that owns the most tobacco plantation. The tobacco plantation business in Deli was first started by Jacobus Nienhuijs whom received the privilege of land concession from the Sultan of Deli for 99 years without rental cost. Despite the land problems, there had been workers problem. At first, tobacco plantation owners flew workers from China through Penang and Singapore. However as it was increasingly difficult to get China workers then they landed workers from Java region. The impact caused by tobacco plantation was gambling and prostitution. These were done with the intention to tie the workers so they would work in the plantation longer than required. To enforce the plantation business and ruled the workers, Koeli Ordonantie regulations experienced changes, including the articles. The regulation provided not only articles on workersÂ? rights and responsibilities but also business owners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Razif
"ABSTRAK. Berkolonisasinya petani-petani kecil Jawa untuk menjadi buruh kontrak di perkebunan-perkebunan karet Sumatra Timur semata-mata bukanlah faktor kebetulan belaka. Sedikitnya ada tiga elemen yang mendorong mereka untuk bergerak ke perkebunan-perkebunan Sumatra Timur. Pertama, semenjak Jawa dijadikan konsentrasi penanaman pala lambat-laun tanah-tanah garapan petani-petani kecil di Jawa men_jadi milik perkebunan gula. Kedua, Setelah dihapuskannya pajak bumi pada tahun 1870, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda beralih ke pajak kepala. Pajak ini dikenakan kepada seluruh penduduk Jawa tanpa terkecuali. Ketiga, awal abad ke 20 Hindia Belanda sudah kekurangan beras yang terpaksa harus mengimpor beras dari luar negeri yang menyebabkan harga beras membumbung tinggi. Dengan kon_disi seperti ini perkebunan-perkebunan karet di Sumatra Timur yang telah mempersiapkan modalnya dengan menawarkan uang muka upah sebesar f. 20,- kepada petani-petani kecil di Jawa dan tentunya merupakan tawaran yang menarik bagi mereka. Jadi kemelaratan petani-petani kecil di Jawa yang membuat mereka berangkat secara berbondong-bondong ke perkabunan-perkebinan di Sumatra Timur. Setelah petani-petani kscil tersebut menandatangani kontrak kerja dan bekerja di perkebunan-perkebunan Karet Sumatra Timur, pengusaha perkebunan dan Pemerintah kolonial telah mempersiapkan jaringan untuk menguasai mereka. Jaringan untuk menguasai kuli kontrak menggunakan cara-cara perjudian dan juga paksaan, yang juga sering disebut sebagai Poenale Sanctie. Pihak pengusaha perkebunan dalam menguasai kuli kontrak tidak bekerja sendiri, tetapi mendapat bantuan dari Pemerintah kolonial. Untuk membantu pihak perkebunan dalam menguasai kuli kontrak, Pemerintah Kolonial menciptakan Arbeid Inspectie. Badan pengawas perburuhan ini pada awal berdirinya berfungsi sebagai pengawas hubungan kerja antara kuli kontrak dan pengusaha perkebunan. Namun fungsi sebagai pengawas hubungan kerja tidak pernah dijalankan, hal ini disebabkan banyak para pengawas Arbeid Inspectie yang juga sebagai pengusaha perkebunan.dan yang setidak-tidaknya akan mem_bela kepentingannya. Sehingga hasil akhir dari penulisan skripsi ini akan menyimpulkan formulasi bahwa, Pemerintah Kolonial yang menjadi alat pengusaha perkebunan benar-benar dapat menguasai kuli-kuli kontrak dari Jawa yang bekerja di perkebunan-perkebunan karet Sumatra Timur."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nurul Sakina
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan kuli Cina di perkebunan Sumatera Timur pada tahun 1870-1930. Perkebunan swasta yang banyak dibuka di Sumatera Timur telah menimbulkan kebutuhan akan tenaga kerja yang besar. Etnis terbanyak yang didatangkan untuk menjadi kuli kontrak adalah kuli Cina yang memiliki kehidupan yang tidak jauh berbeda dari negara asalnya. Keadaan negeri Cina yang pada saat itu tertimpa bencana menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orang Cina harus keluar dari negaranya dan mencari penghidupan yang lebih layak. Perekrutan kuli Cina ke Sumatera Timur dilakukan dengan dua cara, yakni melalui Penang dan Singapura dan perekrutan langsung ke dataran Cina. Skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah.
Hasil dari penelitian ini adalah menggambarkan kualitas kerja kuli Cina yang disukai oleh para tuan kebun meskipun mereka memiliki sifat yang lebih emosional sehingga seringkali menyebabkan kerusuhan di dalam perkebunan. Serta kehidupan kuli kontrak Cina yang sengaja dipermainkan oleh para tuan kebun dengan memperkenalkan mereka terhadap candu dan judi. Sehingga, hal ini mengakibatkan mereka harus berhutang dan tidak dapat kembali ke Negara mereka dan harus menjadi kuli abadi.
The aim of this research is to describe Chinese Coolie Contract's life in East Sumatera plantation (1870-1930). The opening of private sector plantation in East Sumatera had one important impact, the needed of labour. Chinese was the most wanted labour in that time to be coolie contract. In that period,the condition of China was destroyed by natural disaster. Because of this, Chinese people should find the alternative way to continued their life. Coolie Chinese recruitment to plantation in East Sumatera had two ways, first indirect recruitment by Penang and Singapore and second by direct recruitment from China. This thesis uses historical method research. The result of this research is to describe work ability from Chinese Coolie that made plantation owner felt satisfied, even Chinese Coolie more emotional than the other labour. Because of their emotional character, they made disturbance oftentimes. In addition, the life of Chinese Coolie intend to be fooled by plantation owner with introducing them to gambling and opium. These things made they had not enough money anymore to go back to their hometown, and finally made them to be lasting coolie in plantation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42010
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Simandjuntak, Ermina
"Selama abad ke-17 dan ke-18 serta pertengahan abad ke 19, kerajaan Deli kurang dikenal sampai ke luar dari wila_yah tersebut. Ketika itu di daerah ini hanya dikenal kera_jaan Aceh dan kerajaan Siak. Baik kerajaan Aceh maupun ke_rajaan Siak, sama-sama mengakui memiliki kedaulatan atas kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur. Aceh menyatakan bahwa daerah Sumatra Timur, yaitu dari Tamiang sampai ke Tanah Putih Ayam Denak adalah termasuk wilayah jajahan Aceh. Sedangkan Siak kemudian juga mengakui bahwa kerajaan-keraja_an Melayu di Sumatra Timur adalah daerah jajahan kerajaan Siak.
Sedangkan kerajaan Deli sendiri, pada masa itu merupakan suatu kerajaan kecil yang tidak dikenal. Asal mula di_dirikannya kerajaan Deli ini tidak ada data yang-pasti me_ngenai tahun berdirinya. Ketika itu berdirinya suatu kera_jaan adalah karena orang-orang di jaman tersebut sesudah bosan mengembara kemudian menenukan tempat-tempat yang ba_lk untuk dijadikan tempat menetap, lalu mendirikan rumah."
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S12574
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhamad Clinton
"Studi ini dirancang untuk menggambarkan dinamika kehidupan pekerja kontrak Jawa di Deli, Sumatra Timur selama depresi ekonomi 1930-1942. Awal abad ke-20 menjadi awal masuknya sejumlah besar kuli Jawa ke perkebunan Sumatera Timur. Alasan merekrut kuli Jawa semakin sulit mendapatkan kuli dari Cina dan semakin meluas. Para kuli Jawa ini direkrut dari desa-desa Jawa miskin dengan tujuan untuk menjadi lebih baik. Tesis ini menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah diskusi tentang kesejahteraan kuli Jawa yang telah menurun sejak mereka bekerja di perkebunan. Depresi ekonomi yang melanda Sumatera Timur pada awal 1930-an membuat sosial ekonomi kuli Jawa semakin miskin dan lebih khusus kuli Jawa yang dipecat dari perkebunan. Kuli yang dipecat dari suatu tempat untuk mencari pekerjaan lain dengan bermigrasi ke kota dan beberapa digunakan oleh kuli yang tidak bekerja. Mereka yang melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang. Mereka yang melakukan kejahatan akhirnya dikirim kembali ke Jawa. Sementara itu, mantan kuli yang bekerja dengan baik dapat berbaur dengan penduduk asli Sumatera Timur. Dengan demikian, para mantan kuli yang berbaur dengan komunitas ini akan menjadi kelompok etnis terbesar di Sumatera Timur.
This study was designed to describe the dynamics of the life of Javanese contract laborers in Deli, East Sumatra during the economic depression of 1930-1942. The beginning of the 20th century became the beginning of the entry of large numbers of Javanese coolies into East Sumatra plantations. The reason for recruiting Javanese coolies was getting difficult to get coolies from China and increasingly widespread. These Javanese coolies were recruited from poor Javanese villages with the aim of getting better. This thesis uses historical research methods. The results of this study are discussions of the welfare of the Javanese coolies who have declined since they worked on the plantation. The economic depression that struck East Sumatra in the early 1930s made the socio-economic of Javanese coolies increasingly poorer and more specifically Javanese coolies who were fired from plantations. Coolie who was fired from a place to find another job by migrating to the city and some are used by coolies who do not work. Those who commit crimes to get money. Those who made the crime were eventually sent back to Java. Meanwhile, ex-coolies who work well can blend in with the native people of East Sumatra. Thus, the ex-coolies who blend in with this community will become the largest ethnic group in East Sumatra."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1978
919.25 TEN l
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
F.X. Koesworo
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 1994
079.598 KOE d
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Juhriah
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2007
899.221 09 JUH a
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Kharismaningtyas Rahayu
"Belum banyak riset yang mengkaji tentang implementasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) secara komprehensif. Padahal kebijakan ini sangat penting karena hadir dengan earmarking spirit dalam penggunaan revenue cukai tembakau yang bertujuan mengawasi peredaran hasil tembakau, dan menangani dampak eksternal konsumsi tembakau, serta mitigasi cukai ilegal. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat implementasi kebijakan DBH-CHT dan menganalisis kendala pelaksanaan yang dihadapi daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berdasarkan teori Edward III dengan metode survei dan wawancara mendalam kepada 21 kabupaten/kota penerima DBH-CHT di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat implementasi kebijakan DBH-CHT di 21 kabupaten/kota wilayah Propinsi Jawa Timur cukup berhasil dengan nilain 3.92 poin dari skala 5 atau mencapai 78%. Sementara kendala yang menghambat antara lain tidak ada indikator sasaran yang jelas dari penjabaran kegiatan yang diatur dalam PMK sehingga menimbulkan multitafsir bagi pemda. Kendala lainnya adalah belum adanya petunjuk teknis dari bupati/walikota dan kesulitan meentukan jangkauan industri hasil tembakau.
There is not so many research which examines the implementation on Revenue Sharing Fund of Tobacco Excise (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau / DBH-CHT) in a comprehensive manner. Though this policy is very important, because it is stipulated based on the earmarking spirit in the use of tobacco excise revenue aimed: to oversee the distribution of tobacco products; to address the external effects of tobacco consumption; and to mitigate the illegal excise clearance. This study aims to analyze the level of policy implementation on DBH-CHT and analyze the constraints of policy implementation in the regions. This study uses a quantitative approach based on the theory of Edward III by survey and in-depth interviews to 21 districts/cities in East Java Province which received DBH-CHT. The results showed that the levels of DBH-CHT policy implementation in 21 districts/cities in East Java Province is quite successful with 3.92 points out of a scale of 5 or reaches 78%. While in the barriers on policy implementation, among others are: there is no clear target indicators of specific activity regulated under the Minister of Finance Regulation (Peraturan Menteri Keuangan/PMK) which raised the multiple interpretations for the regions; lack of technical guidance for the regents/mayors to implement the policy and some difficulties to identify the tobacco industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Basuki Harijanto
"Penulisan mengenai pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, yang penelitiannya dipusatkan daerah perkebunan Be_suki, dimulai dari awal munculnya sistem buruh kontrak yang sejalan dengan berkembangnya perusahaan perkebunan swasta di Hindia Belanda. Mengingat bahwa sejarah adalah suatu proses, maka pemogokan buruh perkebunan tahun 1950 adalah suatu proses panjang yang dialami oleh buruh perkebunan un_tuk memperjuangkan nasibnya. Maka penulisan pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, pembahasannya ditarik ke belakang yaitu mulai munculnya perusahaan perkebunan swasta di Hin_dia Belanda. Kemudian diikuti dengan perkembangan gerakan buruh perkebunan dan gerakan buruh lainnya sampai munculnya Serikat Buruh Perkebunaa Republik Indonesia, hingga terja_di pemogokan buruh perkebunan tahun 1950. Tujuannya adalah untuk mengetahui sebab yang paling mendasar timbulnya pemo_gokan buruh perkebunan terhadap perusahaan asing. Penelitian data dilakukan di perpustakaan dan Arsip Nasional di Jakarta dengan mengadakan interpretasi sumber Selain itu juga diadakan peninj auan ke lokasi peris tiwa pe_mogokan di daerah Jember ( sekarang PTP XXVI di Jelbuk dan PTP XXVII di Jember ). Kesimpulannya, bahwa pengalaman buruh perkebunan di jaman Hindia Belanda adalah bernasib buruk dan hidup tidak layak. Dan perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup yang layak selalu tidak berhasil, karena pengusaha perkebunan mendapat perlindungan dari pemerintah kolonial baik yang berupa poenale sanctie ataupun undang-undang hukum pidana dari artikel 161. his yang membatasi gerakan buruh. Maka se_telah Indonesia Merdeka kaum buruh tidak menyenangi pengu_saha asing sebagai sisa-sisa kolonial. Namun buruh perke_bunan harus bekerja kembali pada pengusaha asing sisa-sisa kolonial, karena pemerintah Republik menerima perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949. Kaum buruh perkebunan harus menerima upah yang rendah dari pengusaha asing, sehingga mereka kembali hidup tidak layak seperti jaman kolonial. Ma_ka dalam diri kaum buruh perkebunan tumbuh sifat nasionalisme yang dinyatakan melalui sikap anti perusahaan asing sisa_-sisa kolonial yang masih memberi upah terlalu rendah di ne_gara Indonesia yang sudah merdeka. Jadi sifat nasionalisme dan kebutuhan sosial ekonomi yang mendasari terjadinya pe_mogokan buruh perkebunan tahun 1950."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library