Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80480 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sriwati
"Pada asasnya apabila penguasa ataupun pengusaha /kalangan bisnis memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus melalui musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Bahwa Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sebagai suatu pedoman bagi pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang terkena dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.
Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pelaksanaan pengadaan tanah harus dilakukan berdasarkan asas-asas perolehan tanah, asas kesejahteraan dan perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah.
Berdasarkan hasil analisa dalam penelitian ini,ternyata Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 kurang memberikan perlindungan hukum dan kurang menjamin kesejahteraan pemegang hak atas tanah yang terkena pengadaan tanah.

Basically, when the authorities or operators / among businesses require land to any needs, then how to acquire land needed to go through deliberations between the party who requires the land to the right land owners until reach an agreement between both parties. That the Presidential Regulation Number 36 Of 2005 amended by Presidential Regulation Number 65 Of 2006 as a guideline for the implementation of the land acquisition for public interest should considering the right land owners who affected by the implementation of land acquisition.
This research is a descriptive analysis by using the method of analytic under juridical normative approach. Implementation of land acquisition should be based on the fundamental of land acquisition, basic welfare and protection of the law given to the land owner.
Based on analysis in this research, it appears to Presidential Regulation Number 36 Of 2005 amended by Presidential Regulation Number 65 Of 2006 providing less legal protection and less prosperity to the land rights owners who affected by the land acquisition.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28607
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ungke Mulawati
"Untuk melakukan perbaikan perekonomian Indonesia dilaksanakan pembangunan di segala bidang. Jalan bebas hambatan termasuk salah satu pembangunan yang menunjang perbaikan perekonomian tersebut. Setiap pembangunan memerlukan tanah, sebagai upaya dalam menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah melalui mekanisme pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan data memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Istilah ini dimaksudkan untuk menyediakan atau mangadakan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Maka yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dalam dalam hal pengadaan tanah dalam rangka penyelesaian pembangunan Jalan Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road - JORR) ruas Hankam-Cikunir, Bekasi dan permasalahan dan hambatan yang dihadapi pemerintah dalam hal ini PT. Jasa Marga (Persero) sehubungan dengan pengadaan tanah tersebut serta upaya hukum yang dilakukan PT. Jasa Marga (Persero) untuk menyelesaikan permasalahan serta hambatan tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yang tidak hanya mengkaji peraturan perundang-undangan semata-mata melainkan juga dengan menelaah dan mengkaji ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan kasus-kasus terutama kasus pengadaan tanah sehubungan dengan Proyek Jalan Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road - JORR) untuk ruas Hankam-Cikunir, Bekasi. Adapun gambaran yang diperoleh bahwa pengadaan tanah yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 berkisar pada penyerahan atau pelepasan hak atas tanah untuk melaksanakan pembangunan bagi kepentingan umum, permasalahan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan warga pemilik tanah.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah pada proyek JORR ruas Hankam-Cikunir, Bekasi yang penyelesaiannya berlarut-larut terletak pada masalah sengketa kepemilikan tanah, mengenai besarnya ganti rugi telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Bekasi dan pembayaran ganti kerugian sesuai sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Keputusan tersebut. Penyelesaian yang diambil dalam hal sengketa kepemilikan tanah dengan dilakukan penitipan/konsinyasi ke pengadilan negeri setempat sedangkan pembangunan proyek JORR dapat terus dilanjutkan.

Every subject in Indonesia is being developed in order to make economic growth. Highway is one part of this development which supporting this economic growth. This development of highway needs land as an effort of implementing this subject for public interest needs. The mechanism of this land provisioning already arranged with Presidential Decree No. 55, 1993 and Presidential Regulation No. 36, 2005 connection with Presidential Regulation No. 65, 2006. Land provisioning is an activity to get an area by giving some substitute of their loose out who have rights of the land. This means to proper area for development of public interest. This thesis examine how to implement this Presidential Decree No. 55, 1993 and Presidential Regulation No. 36, 2005 in connection with Presidential Regulation No. 65, 2006 about supply area for the completion of Jakarta Outer Ring Road (JORR) project internote Hankam-Cikurnir, Bekasi with its problems and obstacles which government faced, in this case PT. Jasa Marga (Persero) and how they proper the area for this project and its legal action to solve those problems and obstacles.
This thesis is a law research with using juridical norm as a method not only to inspect law regulation but also to study and examine certainty of law regulation and priority cases for land provision in connection with Jakarta Outer Ring Road (JORR) internote Hankam-Cikunir, Bekasi. Hence, land provisioning for this case already arrange in Presidential Decree No. 55, 1993 and Presidential Regulation No. 36, 2005 connection with Presidential Regulation No. 65, 2006 subject in resignation or detachment the rights of land to implement development for public interest needs, problems about how to and amount of land's owner financial loss, conference between party who needs land and people as landlord.
Conclusion output of this thesis is that land provisioning for Jakarta Outer Ring Road (JORR) internote Hankam-Cikunir, Bekasi project which dissolved solution already settled in Regulation of Walikota Bekasi and the payment to change their financial loss appropriate with that regulation. Arrangement solution in this land owner legal action already done with consignation to government courthouse in that area whiles the project of JORR is being continued.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marindi Cintyana
"Girik adalah alat bukti tanda membayar pajak. Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah yang berlaku bersumber hanya hukum adat. Girik digunakan oleh pemilik tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah, karena hanya pemilik tanah yang wajib membayar pajak. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria terjadi perubahan secara fundamental di bidang hukum tanah dan hak- hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta yang menganggap Girik adalah bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik tidak kuat untuk menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah apabila terjadi sengketa di Pengadilan. Oleh karena itu perlunya sosialisasi dari pihak pemerintah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah adalah berupa Sertipikat, bukanlah Girik. Banyak masyarakat yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan Girik, karena didalam literatur ataupun Perundangundangan mengenai pertanahan sangatlah jarang dibahas dan dikemukakan. Tanah Girik bukan merupakan bentuk kepemilikan hak sesuai dengan UUPA, melainkan hanya bukti pembayaran pajak tanah saja. Namun demikian , Petuk Pajak Bumi/ Landrentee, Girik, Pipil,Verponding Indonesia ini adalah salah satu bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti permasalahan dalam penulisan tesis ini mengenai sengketa tanah girik yang telah mendapat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 166/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. pemilik dari Girik C nomor 1349 tidak dapat membuktikan kepemilikannya yag sah di pegadilan, karena kurangnya alat bukti yang lain. Girik dapat menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah dengan didukung alat bukti yang lain yang menguatkan. Oleh sebab itu, perlunya sosialisasi yang dilakukan pemerintah agar masyarakat melakukan pendaftaran pertama kali atas tanah yang masih berstatus hak milik adat.

Girik is proof of payment of tax. Before Act Number 5 of 1960 regarding Agrarian Law, the prevailing law on land was bassed on common law. Girik used by the land owner as a proof of the land, because only a landholder who is obliged to pay taxes. Since Act Number 5 Year 1960 regarding Agrarian Law promulgated, land law and personal rights on land in Indonesia fundamentally changed.. In fact, Some of Indonesian people especially in Jakarta still thought that Girik is an evidenceof land ownership. Because of that, need for socialization of the government to tell people that the proof of ownership land rights is a Sertipikat. Many people do not understand what is referred about Girik, because in literature or regulations of land is very rarely discussed and presented about that.Girik certificate is not propietary right as pointed out in Basic Agrarian Law (UUPA). It only indicates tax payment receipt. Nevertheless, there are other [less formal] land certificate of Petuk Pajak Bumi, Landrentee, Girik, Pipil, verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation (PP) No.24 of 1997 concerning Land Regisration. Shown in land dispute case on Court of Central JakartaDecision Number 166/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST. This research uses a method of a descriptive analysis with yuridis normative approach."
2015
T43965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Dalilah Albar
"Adanya pemalsuan identitas dalam jual beli tanah, menjadikan perlu adanya suatu perlindungan hukum yang kuat bagi pemilik tanah. Permasalahan pemalsuan identitas saat dilakukannya pembuatan akta jual beli tanah dihadapan PPAT, membuat pihak sebenarnya yang identitasnya dipalsukan mengalami kerugian materiil dan immateriil. Seperti dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI, hakim justru mengabulkan gugatan dari penggugat selaku pembeli dari tanah, yang sebelumnya merupakan milik dari tergugat yang identitasnya dipalsukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Doktrinal, artinya penelitian ini dilihat dari keseluruhan data sekunder hukum untuk menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang kehilangan hak nya berdasarkan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dan Undang-Undang 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi, dan pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI yang tidak membatalkan peristiwa jual beli yang berdasarkan pemalsuan identitas, serta peran dan tanggung jawab PPAT untuk mencegah terjadinya pemalsuan identitas. Hasil dari penilitian ini adalah bahwa Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif, sehingga perlu adanya perubahan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan identitas dalam peralihan hak atas tanah. Hakim seharusnya dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya melihat pada satu permasalahan dan alat bukti saja, melainkan seharusnya melihat kepada seluruh aspek yang ada dalam suatu perkara. PPAT dalam jabatannya juga berperan untuk memberikan penyuluhan hukum, dan mencocokan identitas para pihak dengan yang asli dalam pembuatan akta, serta menolak pembuatan akta, jika diketahui ada itikad tidak baik dari para  pihak yang akan ada dalam akta tersebut, sehingga permasalahan seperti ini tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.

Legal Protection for Landowners Due to IdentityFalsification Based on PP 24/1997 concerning Land Registration and Law Number 27 of 2022 concerning Protection of Personal Data (Analysis of DKI Jakarta High Court Decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI) The existence of falsification of identity in buying and selling land, makes it necessary to have a strong legal protection for land owners. The problem of falsification of identity when the sale and purchase deed of land was carried out before the PPAT, caused the real party whose identity was falsified to suffer material and immaterial losses. As in the Decision of the DKI Jakarta High Court Number 317/Pdt/2020/PT DKI, the judge actually granted the plaintiff's claim as the buyer of the land, which previously belonged to the defendant whose identity was falsified. This study uses a doctrinal research method, meaning that this research is viewed from all legal secondary data to answer questions regarding legal protection for landowners who have lost their rights based on Government Regulation 24 of 1997 concerning Land Registration jo. Government Regulation Number 18 of 2021 and Law 27 of 2022 concerning personal data protection, and judges' considerations in decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI which do not cancel buying and selling events based on identity falsification, as well as PPAT's roles and responsibilities for prevent identity fraud. The result of this research is that Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration has provided preventive legal protection, so there is a need for changes to regulate strict sanctions against identity abuse in the transfer of land rights. Judges should not only look at one problem and evidence in deciding a case, but should look at all aspects of a case. The PPAT in his position also has the role of providing legal counseling, and matching the identity of the parties with the original in making the deed, and rejecting the making of the deed, if it is known that there is bad faith from the parties that will be in the deed, so that problems like this do not happen again in the future.

 

Key Words: Legal Protection of Land Owners, Deed of Sale and Purchase of Land, Officers who make Land Deeds, False Identity."

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
May Lim Charity
"Tesis ini membahas tentang Penerapan Peraturan Presiden Bersifat Mendesak Yang Ditentukan Oleh Presiden Untuk Kebutuhan Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Sistim Hukum Nasional (Berdasarkan Pasal 66 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Keberadaan peraturan presiden jika merujuk pada UUD 1945 tidak disebutkan secara langsung, yang ada hanya peraturan pemerintah sebagai produk eksekutif. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah mengatur materi muatan perpres yaitu materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, dan materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Namun dengan adanya Pasal 66 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah meniadakan tahapan penyusunan peraturan presiden yaitu pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian (PAK) dan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi. Hasil dari penelitian tesis ini adalah Presiden mempunyai kewenangan membentuk peraturan presiden yang berasal dari delegasi kewenangan atau atribusi kewenangan. Beberapa contoh peraturan presiden yang dibentuk berdasarkan Pasal 66, ternyata tidak implementatif dan menimbulkan kegaduhan publik, sehingga status Pasal 66 Perpres No. 87 Tahun 2014 dalam sistim hukum nasional, tidak tepat secara ilmu pengetahuan perundang-undangan, asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan serta RPJM ke-3 (2015-2019) bidang hukum.

This thesis discusses the Application of Urgent Presidential Decree Predefined By President To Governance Needs In The National Legal System (Based On Article 66 of Presidential Decree Number 87 Year 2014 On The Implementation of Law Number 12 Year 2011 About The Establishment of Legislation). The existence of the presidential decree refers to 1945 is not mentioned directly, there is only government regulation as the executive products. The Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of legislation has been set the material content of presidential decree which are material that was ordered by the Act, material to carry out government regulation, and materials to carry out the implementation of governmental power. Under the Article 1 point 1 of Law No. 12 year 2011, the formation of legislation consists of planning, arrangement, discussion, approval or establishment and promulgation. However, the presence of Article 66 of Presidential Decree Number 87 Year 2014 on the Regulation on the Implementation of Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of legislation has excluded the sequences of presidential decree arrangement, which are not forming inter-ministerial committee and / or inter non-ministerial (PAK) and processing of harmonization, rounding and stabilization of conception. The results of this thesis shows that president has the authority to form a presidential derived from the delegation of authority and the authority of attribution. Few examples of the presidential decree which was established by the provisions of Article 66 shows that it is not implementable and it causes a public outcry, so that the position of Article 66 of Presidential Decree No. 87 year 2014 in the national legal system is not appropriately fit to the science of laws and regulations, principles of formation and substance of the legislation and the 3rd Development Plan (2015-2019) of the legal field.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44862
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audry Zefanya
"Pada praktiknya, peralihan hak atas tanah tersebut mengalami konvergensi antara keberlakuan hukum agraria nasional dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu problem yang muncul ialah berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”). Dengan demikian, tesis ini hendak meneliti berkaitan dengan: (a) bagaimana hukum agraria Indonesia mengatur mengenai peralihan hak atas tanah melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan (b) bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya PP Pendaftaran Tanah. Adapun terhadap penelitian yang ada berikut menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Limboto Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa UUPA memuat hibah atau penghibahan sebagai salah satu perbuatan yang ditempuh untuk memindahkan hak milik. Kebiasaan ini dikristalisasi sebagai hukum yang hidup dan, melalui sinkretisme hukum, dipadukan oleh hakim kepada konteks UUPA mengenai hibah (yang seharusnya harus dengan akta PPAT, tetapi menjadi tidak perlu dalam konteks sengketa Putusan Pengadilan Negeri (PN) Limboto No. 2/2021). Berlandaskan hal ini, surat penyerahan hibah tanpa akta PPAT pun dianggap oleh hakim sebagai persetujuan yang kemudian mengikat bagi pihak yang membuatnya dan sah di mata hukum.

In practice, the transfer of land rights experienced a convergence between the application of national agrarian law in Law (UU) Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations (“UUPA”) and its implementing regulations. One of the problems that arise is related to legal protection for holders of land rights obtained through a grant process which is carried out without a certificate of land certificate maker (Land Deed Official or Pejabat Pembuat Akta Tanah-“PPAT”) and occurred in the period before the enactment of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration (“Government Regulation on Registration land"). Thus, this thesis aims to examine: (a) how Indonesian agrarian law regulates the transfer of land rights through a grant process carried out without a PPAT deed and (b) how legal protection for land rights holders is obtained through a grant process carried out without PPAT deed and occurred in the period before the enactment of the PP on Land Registration. As for the existing research, the following will use a case study approach to the Limboto District Court Decision Number 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. From this research, it was found that UUPA contains grants or grants as one of the actions taken to transfer property rights. This custom was crystallized as a living law and, through legal syncretism, was integrated by judges into the context of UUPA regarding grants (which should have been with the PPAT deed, but became unnecessary in the context of the disputed Limboto District Court Decision No. 2/2021). Based on this, the grant submission letter without the PPAT deed is also considered by the judge as an agreement which is then binding on the party who made it and is legal in the eyes of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Veratiwi
"ABSTRAK
Perkembangan zaman dan teknologi telah memasuki berbagai sektor lini kehidupan di masyarakat Indonesia saat ini, termasuk di dalam bidang pendaftaran tanah. Berbagai pengaturan mengenai pendaftaran tanah telah diundangkan dari waktu ke waktu yang dimana terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Namun demikian, permasalahan pendaftaran tanah masih kerap kita temukan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu kasus yang dijumpai adalah adanya perbedaan sistem pemetaan yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam rangka penerbitan sertipikat hak atas tanah khususnya tentang metode pemetaan manual dan digital, dimana pada akhirnya menyebabkan sengketa pertanahan. Sehubungan dengan hal tersebut, dampak yang ditimbulkan salah satunya adalah ketiadaan kepastian hukum bagi penanam modal yang akan berinvestasi di Indonesia yang tentu memiliki dampak domino terhadap perekonomian di Indonesia antara lain ketiadaan pembukaan lapangan kerja, mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak dan terhambatnya pemerataan pembangunan dan perekonomian di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian oleh penulis, permasalahan pendaftaran tersebut disebabkan oleh karena belum adanya sinkronisasi dan kesamaan sistem pemetaan yang digunakan antar kantor pertanahan di Indonesia. Selain itu, masih belum adanya landasan hukum yang memaksa para pemilik sertipikat hak atas tanah untuk menyesuaikan wilayah dalam sertipikatnya ke dalam sistem pemetaan digital. Dengan masih belum sempurnanya sistem pendaftaran tanah di Indonesia saat ini, maka kehati-hatian dan penelitian yang mendalam sebelum melakukan transaksi pembelian atau akuisisi tanah sangat perlu dilakukan khususnya bagi penanam modal yang akan melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan legal due diligence dengan memeriksa secara menyeluruh dan komprehensif seluruh data-data terkait dengan tanah yang akan dibeli.

ABSTRACT
The development of the era and technology has entered various sectors of the Indonesian societies 39 life recently, including in the field of land registration. Various regulations on land registration have been enacted from time to time which was lastly stipulated in the Government Regulation Number 24 of 1997. However, the issues of land registration are still often found in various regions in Indonesia. One of the cases encountered was different of mapping systems used by the National Land Agency for the issuance of land rights certificates, particularly in the transition from manual mapping method to digital mapping methods, which ultimately led to land disputes. In relation to this, one of the impact is the lack of legal certainty for investors who are going to invest in Indonesia which may raise a domino effect on the economy in Indonesia, among others, the absence of job openings, the reduction of state revenues from the tax sector and stranded the equity of development and economy in Indonesia. After conducting research by the writer, the registration issues may be caused by the lack of synchronization and harmonization of mapping system used among land offices in Indonesia. Furthermore, there is still no legal basis which forces the owners of land titles certificates to adjust the territory in their certificates into the digital mapping system. With the incomplete of the land registration system in Indonesia nowadays, prudent and thorough research prior to entering into a transaction of land purchase or acquisition is necessary to be conducted, especially for investors who will carry out their business activities in Indonesia. One of the ways that can be done is to do legal due diligence by checking thoroughly and comprehensively all the data related to the land to be purchased."
2017
T49148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Tiolan
"Penelitian mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibebankan terhadap waris atas Hak Guna Bangunan yang telah berakhir jangka waktunya serta perhitungan dan tata cara pembayarannya di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ini didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Terdapat perbedaan pendapat yang berkembang di masyarakat dalam hal Hak Guna Bangunan yang telah berakhir jangka waktunya tersebut diberikan atas tanah negara, pendapat pertama mengatakan bahwa Hak Guna Bangunan atas tanah negara yang telah berakhir jangka waktunya tidak dapat diwariskan, sehingga ahli waris hanya dapat mengajukan permohonan pemberian hak baru dan terhadapnya terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada umumnya, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa terhadap Hak Guna Bangunan atas tanah negara yang telah berakhir jangka waktunya, ahli waris diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan pembaharuan hak dan terhadapnya terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat. Khusus untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), namun dalam hal perolehan hak terjadi karena waris atau hibah wasiat, maka yang dikenakan hanya 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah), yang kemudian dibayar dan dilaporkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah pada masing-masing Suku Dinas Pelayanan Pajak Kota Administrasi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ada di setiap kabupaten.

A study of an Acquisition Duty of Right on Land and Building that may be imposed on inheritance of a terminated Right to Build, includes the calculation and payment procedure in the territory of Special Regional Capital of Jakarta as regulated based on Regional Government Regulation of Special Regional Capital Jakarta Province Number 18 of 2010 concerning Acquisition Duty of Right on Land and Building. This study analyzed by descriptive analysis using a juridical normative approach. There are differences of opinions growing in the society in the event if the Right to Build is granted on the land of the country, first opinion states that the terminated Right to Build on the land of the country can not be inherited, therefore the heir may only submit the conferral of new right application and of which the general Acquisition Duty of Right on Land and Building shall be payable, another opinion states that against the terminated Right to Build on the land of the country, the heir is granted the opportunity to submit the renewal right application and of which the Acquisition Duty of Right on Land and Building on the acquisition right due to inheritance and bequeathed granting shall be payable. Specifically to the territory of the Special Regional Capital of Jakarta, the Acquisition Duty of Right on Land and Building shall be 5% (five percent) times the tax base after be reduced by the Non-Taxable Acquisition Value for Right Acquisition in amount of Rp 80.000.000,- (eighty million rupiah), however in the tax of the acquisition right occurred due to inheritance and bequeathed granting, therefore the imposition shall be 50% (fifty percent) of the Acquisition Duty of Right on Land and Building with the Non-Taxable Acquisition Value for Right Acquisition in amount of Rp 350.000.000,- (three hundred and fifty million rupiah), which shall be paid and reported using the Regional Tax Payment Slip at each Tax Service Tribal Offices of the Administration City of the Province of the Special Regional Capital of Jakarta at every regency."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28599
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sunarya
"Tesis ini membahas kewenangan Notaris dalam membuat Akta Ikrar Wakaf Tanah, kekuatan pembuktian Akta Ikrar Wakaf Tanah yang dibuat Notaris dan hubungan fungsional antara Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat eksplanatoris dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menyarankan agar Peraturan Menteri Agama tentang persyaratan Notaris sebagai PPAIW segera ditetapkan, agar para pengambil kebijakan mempersiapkan kemampuan dan pengetahuan Notaris di bidang perwakafan dan agar diperjelas kedudukan dan hubungan antara Notaris sebagai PPAIW dengan PPAT dan BPN.

This thesis discusses about Public Notary’s authority in making pledge deed on Wakaf land. The pledge deed on Wakaf land’s legal power verification made Notary and functional relationship between the Notary as a PPAIW with officials of the land deed (PPAT) and The National Land Agency (BPN). This research is using normative yuridical research with explanatory tipology with a qualitative approach. Research results suggest that regulation of religion minister about requirements Notary as a PPAIW immediately set, so that decision makers prepare for the skills and knowledge a Notary in Wakaf, and so more clearly position and the relationship between the Notary as a PPAIW with PPAT and BPN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26256
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Lintang Septianti
"Tesis ini membahas eksistensi Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Pelaksanaan yang Terkait. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain preskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan Peraturan Presiden yang bersifat mandiri yang bersumber pada kewenangan atribusi dari Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Materi muatan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, namun fokus utama dari penyusunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pengaturan mengenai sanksi yang dikenakan bagi pelanggar. Pencabutan ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan Lampiran Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan hal yang dapat dilakukan. Namun, Pencabutan ketentuan dan Lampiran dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, serta pengaturan kembali secara komprehensif mengenai pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebabkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tidak jelas daya gunanya.

This thesis discusses the existence of Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands as amended by Act No. 1 Year 2014 and Related Implementation Regulations. This research is qualitative research with prescriptive design.
Based on the results, it was found that Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands which issued before Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands is an independent Presidential Regulation which is based on attribution authority from Article 4 paragraph 1 of the 1945 Constitution. The content of Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands is regulated in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands, but the main focus of the Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands is an increase in the welfare of the people in coastal areas and small islands and regulations about punishment for violators. Revocation of Article 1 paragraph 2 and Attachment of the Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands with Presidential Decree No. 6 Year 2017 concerning Determination of Outermost Small Islands is a matter that can be done. However, Revocation of provisions and Attachments in Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands, as well as comprehensive reorganization of the management of Small Islands Outside in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands causes Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands is not clearly used.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53846
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>