Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182693 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Najib Ibrahim
"Tesis ini membahas tentang pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagai upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan negara bagi hak asasi warga negara. Wacana pembubaran organisasi masyarakat ini muncul sebagai reaksi terhadap berbagai macam aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan. Sejauh ini, pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia diatur melalui Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985, yang dinilai telah tidak sesuai lagi, karena dapat mengancam kebebasan berserikat dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum serta demokrasi. Oleh karena itu, pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak dilakukan oleh pemerintah, tetapi melalui proses peradilan. Proses peradilan yang dinilai berkompeten untuk memutuskan pembekuan dan pembubaran adalah Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan fungsinya menafsirkan dan menjaga konstitusi.

This thesis discusses the deactivation and dissolution of civil society organizations as a means of protection, respect, and fulfillment of state for the rights of citizens. Discourse of the dissolution of this civil society organizations emerged as a reaction to the various acts of violence carried out by civil society organizations. So far, deactivation and dissolution of civil society organizations in Indonesia are regulated by Law Number 8/1985 on Civil Society Organizations and Government Regulation Number 18/1986 on the Implementation of Law Number 8/1985, which have been regarded as no longer appropriate, because it can threaten the freedom association and not in accordance with the rule of law and democracy. Therefore, deactivation and dissolution of civil society organizations is not done by the government, but through the judicial process. Judicial process is considered competent to decide on clotting and dissolution of the Constitutional Court, in accordance with its function to interpret and to guardian of the constitution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Surianti Sutomy
"Pengaturan cuti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tidak secara jelas diatur menunjukan keberadaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai cuti, terlebih pengaturannya justru masih menginduk pada undang-undang sebelumnya. Hal tersebut pula menunjukan adanya kelemahan dalam UU ASN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN berkaitan dengan hak kepegawaian, serta menganalisis pelaksanaan ketentuan cuti dengan ketiadaan pengaturan dalam UU ASN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena yang melekat permasalahan. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum dengan pendekatan atas norma atau kaidah yang didalamnya juga termasuk juga peraturan perundang-undangan. Penelitian bersifat deskriptif analisis dengan analisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN yang secara formal tidak mendapat pengaturan mengenai cuti dan hanya mengaitkan keberadaan cuti dengan alasan yuridis keberadaan Pasal 75, yang menyatakan keberadaan aturan yang terdapat dalam UU ASN beserta aturan turunannya. Hasil lain dari penelitian ini adalah cuti adalah sebuh hak yang pelaksanaannya harus diatur dalam undang-undang ASN. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidaklah benar ketiadaan cuti dalam UU ASN, serta ketiadaan tersebut akan menghilangkan kepastian hukum.

The regulation of leave in Law Number 20 of 2023 concerning the State Civil Apparatus (UU ASN) which is not clearly regulated shows that the existence of the Law does not regulate leave, moreover the regulation is still subordinate to the previous law. This also shows weaknesses in the ASN Law. This study aims to analyze the absence of leave regulations in the ASN Law relating to employee rights, as well as to analyze the implementation of leave provisions with the absence of regulations in the ASN Law. This research is a descriptive study, namely describing the phenomenon that is inherent in the problem. A normative legal approach is carried out to answer legal problems with an approach to norms or rules which also include laws and regulations. The research is descriptive analysis with analysis using qualitative methods. The results of the study show that the absence of leave regulations in the ASN Law which formally does not receive regulations regarding leave and only links the existence of leave with the legal reasons for the existence of Article 75, which states the existence of regulations contained in the ASN Law and its derivative regulations. Another result of this study is that leave is a right whose implementation must be regulated in the ASN law. The conclusion in this study is that it is not true that there is no leave in the ASN Law, and its absence will eliminate legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sipayung, Iwan Yohannes
"ABSTRAK Adanya kegiatan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 membuat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dirasa tidak lagi memadai untuk mencegah kegiatan Organisasi Kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 memiliki banyak kelemahan substansial dalam pembentukannya Pertama, tidak adanya check and balances dalam penerapan sanksi pembubaran organisasi kemasyarakatan yang tanpa prinsip due process of law. Kedua, argumentasi penggunaan asas contrarius actus oleh pemerintah yang menganggap penerapan asas contrarius actus yang ditujukan kepada suatu ormas seharusnya tidak sekedar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk subyek hukum baru Ketiga, pembatasan terhadap kemerdekaan berserikat kontradiktif dengan jaminan dalam deklarasi universal hak asasi manusia, undang-undang hak asasi manusia, dan konstitusi. Mekanisme Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 yang tanpa melalui due process of law menciderai prinsip negara Indonesia sebagai negara yang berdasaran atas hukum dan pada gilirannya dapat mengganggu bukan saja relasi eksekutif dan legislatif tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan dan kualitas putusan yang merugikan rakyat.

ABSTRACT
The existence of social organization activities that contradict Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia made the Government issue Law Number 16 of 2017 concerning the stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 Year 2017 concerning Amendments to Law Number 17 of 2013 concerning Community Organizations. Law Number 17 of 2013 is deemed no longer sufficient to prevent the activities of social organizations that are in conflict with Pancasila and the 1945 Constitution. Law Number 16 of 2017 has many substantial weaknesses in its formation. First, the absence of checks and balances in the application of dissolution sanctions. community organizations without the principle of due process of law. Secondly, the argumentation of the use of the contrarius actus principle by the government which considers the application of the contrarius actus principle addressed to a mass organization should not only relate to administrative validity, but also form the subject of a new law. human rights law, and constitution. Mechanism for Dissolution of Community Organizations in Law Number. 16 of 2017 which without due process of law violates the principle of the Indonesian state as a state that is based on law and in turn can disrupt not only the executive and legislative relations but also the abuse of power and quality of decisions that are detrimental to the people.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Reksodiputro
Jakarta: Universitas Indonesia, 1990
345.05 MAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idzhar Maulana
"Hak Cipta merupakan rezim perlindungan bagi pencipta yang didalamnya terkandung hak moral dan hak ekonomi. Dilihat dari sejarahnya, kedua hak tersebut timbul dikarenakan adanya dua sistem hukum yang berbeda, yakni sistem hukum common law yang mencampurkan antara hak ekonomi dengan hak moral, dan sistem hukum civil law yang mengedepankan hak moral dibandingkan hak ekonomi serta memisahkan diantara keduanya. Namun, Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law justru mencampurkan kedua hak tersebut dengan memasukkan bentuk hak moral ke dalam pengaturan hak ekonomi pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Maka dari itu, penelitian ini mengkhususkan pembahasan pada pengaturan hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan beberapa pandangan terkait dengan kedua hak tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif yang mana berlandaskan pada bahan pustaka atau data sekunder atau dengan kata lain penelitian ini mengacu pada norma hukum peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan hak cipta. Hasil penelitian ini adalah terdapat pencampuran hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menggunakan monist theory dalam mengatur kedua hak tersebut. Sehingga diperlukan konsistensi dari pembuat undang-undang dalam mengatur kedua hak tersebut agar sesuai dengan sistem hukum dan filosofi bangsa Indonesia.

Copyright is a protection for the creator that includes moral rights and economic rights. Judging from its history, the two rights arise because of two different legal systems, namely the common law legal system which mixes economic rights with moral rights, and the civil law legal system which is a moral right compared to an economic right and separates the two. However, Indonesia that adheres to a civil law system, precisely mixes the two rights by incorporating a form of moral right into the regulation of rights in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Therefore, this study focuses on the discussion of the regulation of moral rights and economic rights in Law Number 28 of 2014 concerning copyright and several doctrines related to these two rights. This research was conducted with a juridical-normative research method, which is based on library materials or secondary data, or in other words, this research refers to the legal norms of laws and regulations and other document references related to copyright. The results of this study show that there is a mixture of moral rights and economic rights in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright, which shows that legislators use monist theory in regulating these two rights. Therefore, the consistency of the legislators is needed in regulating these two rights so that they are in accordance with the legal system and philosophy of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Al Ghani Yoneva
"Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki dan melekat dalam diri setiap individu manusia dalam suatu Negara. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Anak merupakan harapan dan apabila sampai saatnya, seorang anak akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian, anak perlu dibina agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak.  Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.  Namun kenyataannya tidaklah demikian, anak sebagai korban perlakukan kekerasan sering terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana, yang seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi, sebab sebagaimanapun korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil, dan dilindungi hak-haknya.

Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut, maka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1958 secara aklamasi mensahkan "Declaration of the Right of the Child". Preamble Declaration of the Right of the Child (Mukadimah Deklarasi Hak Anak-Anak) dalam alinea ke 3. Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) tersebut adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tujuan perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Human rights are the fundamental rights that are possessed and inherent in each human individual in a Contracting State. In LAW No. 39 year 1999 on Human rights, mentioned that human rights is a set of rights inherent to the nature and existence of man as a God almighty being and is his grace which must be respected, held and protected by the state, law, government, and everyone for the dignity and protection of human dignity.

The child is a hope and when it comes to the time, a child will replace the old generation in furthering the wheels of the country's life, thus, the child needs to be built so that they are not wrong in their lifetime. Each child has the right to obtain legal protection from any form of physical or mental violence, abandonment, bad treatment, and sexual harassment during the care of their parents or guardian, or any other party responsible for Care of the child.  But the truth is not the case, the child as a victim of violent abuse is often overlooked by competent institutions in the criminal justice system, which should provide adequate attention and protection based on the law. It is not supposed to happen, because the victim still has the right to be treated fairly, and protected by his rights.

To realize the protection and welfare of the child, the General Assembly of the United Nations on 20 November 1958 is acclamation to confirm the Declaration of the Right of the Child. Preamble Declaration of the Right of the Child, in paragraph 3. The United Nations Convention on the Rights of the Child, is an international convention governing the Civil, political, economic, social, and cultural rights of children and the children. In the Indonesian legislation of the child protection purpose is governed by article 3 of the Law No. 23 of 2002 on child protection."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Tri Lestari
"Indonesia tengah mempersiapkan penyelenggaraan pemilu tahun 2024 secara serentak. Keikutsertaan dalam Pemilu menjadikan partai politik eksis secara hukum dan secara politik. Agar dapat ditetapkan menjadi peserta pemilu tahun 2024, partai politik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 173 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan pasal tersebut telah beberapa kali dilakukan uji materil hingga yang terakhir melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konstitusionalitas kebijakan verifikasi dan akibat hukumnya terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Bentuk penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memerlukan jenis data sekunder dengan hasil penelitian bersifat deskriptif preskriptif analitis disertai perbandingan beberapa negara sebagai komparasi. Hasilnya adalah konstitusionalitas kebijakan verifikasi partai politik menjadi peserta pemilu mengalami perubahan yang bergantung pada penafsiran dan pemaknaan bagaimana kebijakan itu diterapkan. Mahkamah Konstitusi dalam yurisprudensinya pernah mengatakan bahwa pentingnya verifikasi faktual terhadap partai politik yakni sebagai bentuk keadilan terhadap semua peserta pemilu, dan merupakan desain penyederhanaan partai politik. Namun melalui putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi menilai perspektif keadilan secara berbeda yakni perlakuan yang sama terhadap sesuatu yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang berbeda harus diterapkan dalam mekanisme verifikasi dan akibat covid-19 yang menguras keuangan negara sehingga verifikasi faktual tidak perlu dilakukan untuk partai politik parlemen. Akibat hukum putusan yang diskriminasi tersebut secara tidak langsung berakibat terhadap ruang kebebasan berserikat dan berkumpul. Kebijakan verifikasi yang bersifat diskriminasi dan menguntungkan pihak tertentu, secara tidak langsung juga menghalangi tumbuhnya generasi baru dari manifestasi kebebasan berserikat berkumpul yang berakibat matinya demokrasi. Verifikasi partai politik nyatanya tidak berdampak langsung terhadap penyederhanaan partai politik. Oleh karenanya, jumlah partai politik menjadi peserta pemilu maupun diparlemen harusnya bukan menjadi persoalan. Dibutuhkan desain persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu untuk menjadi lesson learned dari beberapa negara sebagai sebuah metode perbandingan setidaknya memberikan pengalaman bahwa banyak alternatif solusi yang bisa diadopsi dan diadaptasikan dinegara sendiri.

Indonesia is currently preparing to simultaneously hold the 2024 elections. Participation in elections makes political parties exist legally and politically. In order to be declared participants in the 2024 election, political parties must meet the requirements in Article 173 of Law No. 7 of 2017 concerning General Elections. The provisions of this article have been subject to judicial review several times, until the last one was through the decision of the Constitutional Court Number 55/PUU-XVIII/2020. This study aims to describe the constitutionality of the verification policy and its legal consequences for freedom of association and assembly. The form of this research is doctrinal research which requires secondary data types with the results of the research being descriptive-analytical, accompanied by a comparison of several countries as a comparison. The result is that the constitutionality of the policy on verifying political parties to participate in elections undergoes changes depending on the interpretation and meaning of how the policy is implemented. The Constitutional Court in its jurisprudence has said that the importance of factual verification of political parties is as a form of justice for all election participants, and is a simplification design for political parties. However, through decision Number 55/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court assessed the perspective of justice differently, namely equal treatment of the same thing and different treatment of something different must be applied in the verification mechanism and due to Covid-19 which drains state finances so that verification factual need not be done for parliamentary political parties. The legal consequence of this discriminatory decision indirectly affects the space for freedom of association and assembly. The verification policy which is discriminatory in nature and benefits certain parties, indirectly also hinders the growth of a new generation of manifestations of freedom of association which results in the death of democracy. Verification of political parties also does not have a direct impact on the simplification of political parties. Therefore, the number of political parties participating in elections or parliament should not be a problem. It requires the design of the requirements for political parties to participate in elections to become lessons learned from several countries as a comparative method, at least to provide experience that there are many alternative solutions that can be adopted and adapted in their own countries."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Husniyati
"Esensi Demokrasi adalah kebebasan berbicara dan partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik. Aspirasi masyarakat sebagai figur sentral demokrasi harus diserap oleh Negara dalam proses pembentukan undang-undang. Karakter responsif pada proses pembentukan undang-undang belum dapat diwujudkan di Indonesia karena partisipasi masyarakat belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan lebih dari itu kompromi-kompromi politik masih ada. Lebih dari pada itu, karakter responsif pada proses pembentukan undang-undang tidak hanya bergantung pada konfigurasi politik yang demokratis namun membutuhkan partisipasi masyarakat secara intensif dan luas. Sama seperti undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-undang No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan masih mempunyai sifat yang represif dan ortodok karena Undang-undang No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum mengedepankan karakter responsif yang menampung dan menyerap aspirasi masyarakat dalam proses pembentukannya walaupun proses pembentukan undang-undang tersebut telah memenuhi standar ketentuan partisipasi masyarakat.

The essence of Democracy is freedom of speech and public participation in any public policy. As the central figure of democracy, the aspiration of citizen shall be absorbed by the country ragarding in law making process. The responsive character in law making process could not yet be fully implemented in Indonesia due to public participation has not been fully performed and the existence of political compromises. Moreover, the responsive character in law making process shall not only depend on democratic political configuration but also intensively and widely public participation. Same as the previous law, which is Law of the Republic of Indonesia Number 8 of 1985 on Community Organization, Law of the Republic of Indonesia Number 17 of 2013 on Community Organization still has repressive and orthodox characteristic due to it does not put the priority on the responsive character by accomodating and absorbing the public's aspiration on its law making process despite of the law making process on Law of the Republic of Indonesia Number 17 of 2013 on Community Organization has already complied with the standard requirement of public participation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>