Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hirsch, Eric Donald, Jr.
Chicago: University of Chicago Press, 1976
220.6 HIR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mardety
"Disertasi ini merupakan studi hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender telah melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme.
Tujuan disertasi ini adalah memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, yaitu mengeksplisitkan cara kerja dan asumsi-asumsi metodologis yang terkandung dalam hermeneutika feminisme. Konstribusi penting hermeneutika feminisme adalah memunculkan tafsir feminis, sebuah tafsir yang mengumandang suara perempuan dalam Alquran.

This dissertation is the study of feminist hermeneutics in the Alquran, particularly, implementing feminist hermeneutics in Wadud?s literature/texts. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has caused gender bias interpretations and has made women subordinate and oppressed. Gender isues spawned the view that the position of women in society is considered lower than male and female humanity is deemed incomplete. Thus, in order to achieve equality and gender justice, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Alquran for reinterpretation.
The purpose of this dissertation is to formulate models of feminist hermeneutics used in Wadud?s literature/texts. It shows how feminist hermeneutics works and methodological assumptions in feminist hermeneutics. The important contribution of feminist hermeneutics is to include feminist interpretation, an interpretation which articulates the voice of women in the Alquran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2078
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Williams, Robin W.
New York: Alfred A. Knopf, 1963
301.73 WIL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gaezza Trikas Frendianto
"Tulisan ini adalah kajian tentang interpretasi simbol omnipoten atau kemahakuasaan Tuhan dan kaitannya dengan evil atau kejahatan. Atribut omnipoten yang disematkan pada Tuhan merupakan sifat yang masih menimbulkan paradoks. Interpretasi konsep omnipoten atau kemahakuasaan yang tersedia masih banyak meninggalkan pertanyaan, terutama keraguan bahwa Tuhan dapat melakukan segalanya termasuk melakukan evil atau kejahatan. Manusia secara intuitif cenderung lebih percaya pada Tuhan yang Maha Baik daripada Tuhan yang jahat, tetapi alasan mengapa Tuhan meng'ada'kan kejahatan di dunia belum sepenuhnya dapat dijawab. Dengan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur, artikel ini menjelaskan konsep omnipoten dan definisi evil dengan refleksi kritis, supaya maknanya tidak hanya dipahami utuh sebagai makna literal, tetapi memberi kebermaknaan hidup bagi penafsir, karena interpretasi yang ada selama ini kurang menjelaskan keterhubungan konsep kemahakuasaan Tuhan dengan makna refleksi kritisnya. Sehingga Tuhan yang Mahakuasa tidak hanya dapat dipahami dalam ranah teologi dogmatis, namun filosofis. Evil yang selama ini disematkan kepada Tuhan dijawab jika evil merupakan kekurangan, bukan kelemahan Tuhan. Jika Tuhan Mahakuasa tidak mungkin Tuhan sekaligus tidak berkuasa, karena melanggar hukum logika yang konsisten. Lebih lanjut, pemaknaan pada kemahakuasaan Tuhan tidak hanya dimaknai dalam bentuk pengetahuan, tetapi refleksi kritis.

This paper is a study of the interpretation of the omnipotent symbol or the omnipotence of God and its relation to evil. The omnipotent attribute attached to God is a human trait that is constrained to cause paradoxes. The available interpretation of the concept of omnipotence still leaves many questions, especially doubts that God can do everything including evil. Humans intuitively tend to believe in a God who is good rather than God who is evil, but the reason why God creates evil in the world cannot be fully answered. Using Paul Ricoeur's hermeneutic method, this article explains the concept of omnipotence and the definition of evil with critical reflection, so that the meaning is not only fully understood as a literal meaning but gives meaning to life for interpreters because the existing interpretations so far do not explain the connection between the concept of God's omnipotence and meaning critical reflection. So that God Almighty can not only be understood in the realm of dogmatic theology but also philosophical. The evil thrown at God is answered if evil is a deficiency, not God's weakness. If God is all-powerful, it is impossible that He is not powerful simultaneously, because it violates the laws of consistent logic. Furthermore, the meaning of God's omnipotence is not only interpreted in the form of knowledge, but also in critical reflection."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Darmaji
"Secara umum hermeneutik dimengerti sebagai teori penafsiran makna. Berdasarkan persoalan yang menjadi perhatian dalam hermeneutik, Josef Bleicher membagi hermeneutik menjadi tiga yaitu Teori Hermeneutik, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutik Kritis. Hermeneutik Gadamer dimasukkan dalam kelompok Filsafat Hermeneutik. Filsafat Hermeneutik bertujuan untuk menerangkan dan membuat deskripsi fenomenologis atas Dasein dalam kaitan dengan temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian, pemikiran hermeneutik Gadamer dapat diringkaskan dengan istilah hermeneutik linguistik-ontologis daripada hermeneutik linguistik-epistemologis.
Dalam Truth and Method, Gadamer tidak bertujuan memberikan perangkat praktis untuk memahami dan menafsirkan teks, tetapi ingin menganalisis secara filosofis hakekat proses pemahaman dan penafsiran. Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbang epistemologis. Ia mengawali dengan analisis hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakekat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman. Alih-alih mengejar objektivisme absolut-universal ditekankan sifat perspektif-kontekstual dalam usaha pemahaman seraya mengakui adanya otonomi pada subjek dan objek dalam proses tersebut, yang diistilahkan dengan cakrawala pemahaman. Pemahaman terjadi dalam peleburan cakrawala melalui percakapan dengan struktur pertanyaan-jawaban dan bahasa sebagai medium yang bersifat spekulatif dan terbuka. Meskipun bahasa menjadi kunci pemahaman pemikiran hermeneutiknya, namun Gadamer mengingatkan keterbatasan bahasa yang tidak mampu menghadirkan ada dari realitas yang ingin ditunjukkan.
Bahasa yang mempunyai ciri spekulatif dan keterbukaan tersebut menggarisbawahi bahwa Bahasa selalu ada dalam proses mejadi (becoming). Bahasa mempunyai dinamika otonom untuk menyingkapkan realitas dari ada (the being of reality). Bahasa bukan hasil aktivitas metodis subjek, melainkan pekerjaan dari realitas itu sendiri. Pekerjaan dari realitas itu sendiri merupakan gerakan spekulatif yang sesungguhnya, yang menggerakkan pembicara. Pergeseran arah yang ditegaskan Gadamer, yaitu dari realitas itu sendiri, dari proses membahasanya makna, menunjukkan suatu struktur ontologis-universal. Atas dasar hal ini pemahaman dapat mengarahkan diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani`ah
"Sebuah karya fiksi tidak hanya dihidupkan oleh imajinasi pengarang, tetapi juga oleh daya imajinasi dan penalaran pembacanya.
Hermeneutik Ricoeur tidak terlepas dari tujuan Ricoeur berfilsafat, yaitu memahami eksistensi manusia. Konfrontasinya dengan strukturalisme memaksanya pindah dari hermeneutik simbol ke hermeneutik teks. Dan teks yang sesuai dengan tujuan filsafatnya adalah teks sastra. Untuk itu, usaha Ricoeur mula-mula adalah membenahi bahasa yang sudah terlanjur 'diilmiahkan' oleh strukturalisme dengan jalan menyusun filsafat wacana. Dengan filsafat wacana, bahasa dikembalikan pada fungsinya yang sejati, yaitu alat komunikasi. Bahasa bukan objek melainkan mediasi, yaitu sarana untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain. Jadi, wacana tidak didasarkan pada sistem bahasa, melainkan pada parole. Wacana adalah makna karena bertolak dari bahasa sebagai peristiwa. Dengan demikian kita baru dapat berbicara tentang sastra. Namun, perlu dicatat bahwa, menurut Ricoeur, hermeneutik mulai ketika dialog berakhir. Ini berarti, hermeneutik hanya dapat diterapkan pada teks tertulis, seperti novel atau drama.
Sastra adalah seni bahasa, sedangkan seni adalah alat untuk menyempurnakan keberadaan manusia. Seni bertugas menyempurnakan apa yang ditinggalkan oleh alam secara tidak sempurna. Jadi, seni memberi pengertian yang lebih baik dan lebih luas tentang diri kita sendiri dan benda-benda di sekitar kita. Dengan kata lain, seni membebaskan manusia dari ketertutupan dunia.
Pada seni sastra 'dunia teks' atau dunia fiktif yang terdapat di dalamnya itulah yang akan membebaskan manusia dari ketertutupan dunia tersebut. Dunia teks adalah dunia imajinasi yang bersifat hipotetis, dunia yang mungkin untuk diaktualisasikan, dunia di mana kita dapat merealisasikan potensi kita, dunia yang dapat kita huni sebagai alternatif dunia kehidupan kita yang konkret ini. Oleh sebab itu, dalam menghadapi karya sastra, kita-pembaca--diharapkan tidak memperlakukannya sebagai objek, melainkan sebagai mediasi. Kita berhubungan dengan tokoh-tokoh di dalam karya itu sebagaimana kita berkomunikasi dengan manusia biasa. Agar dengan demikian kita memahami tokoh-tokoh itu dan serentak memahami diri kita melalui empati kita dengan tokoh-tokoh itu. Inilah yang disebut verstehen yang merupakan ciri utama metode hermeneutik.
Langkah-langkah metode hermeneutik adalah: distansiasi, interpretasi, dan apropriasi. Momen distansiasi memberi otonomi semantik teks, yang meliputi otonomi makna teks dad intensi penulisnya, dari pembaca awal, dan dari situasi budayanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan objektif sangat diutamakan. Dengan pemberian otonomi itu, makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut hubungan internalnya dan mencari konstitusi yang terbuka di depan teks, yaitu konstitusi yang mengacu ke dunia yang mungkin. Interpretasi mula-mula berupa pemahaman naif yang melihat karya secara utuh meliputi komposisi, genre, dan gaya. Di sini tugas kita membuat tebakan, yang dapat disejajarkan dengan hipotesis, dan validasi sebagai pembuktian yang dilakukan berdasarkan gramatika dunia teks. Tahap berikutnya pemahaman kritis yang diawali dengan eksplanasi, yaitu menjelaskan teks melalui analisis struktur teks (semiotik) untuk meradikalkan apa yang dicapai dalam pemahaman naif, dan diakhiri dengan apropriasi, yaitu mengembalikan apa yang semula diasingkan. Apropriasi mencakup sikap menerima (reseptif), mengecam (kritis), dan transformasi. Dengan apropriasi, pemahaman diri (katarsis) tercapai karena pembaca memperoleh makna berkat teks yang dibacanya. Makna seperti juga keindahan tidak terletak pada kata-kata di halaman buku, tetapi pada mata si pengamat. Metode ini dicoba diterapkan pada novel Pengakuan Pariyem (Linus Surjadi Ag.) yang mengisahkan kehidupan Pariyem, seorang wanita Jawa yang patuh pada nilai budayanya. Kehidupan yang dijalaninya dengan benar itu ternyata kini digugat. Hal ini membuat tokoh kita menjadi bingung. Dia tidak mengerti mengapa keberhasilan hidup yang diraihnya dianggap hina.
Dalam menghadapi novel dengan pendekatan objektif, momen distansiasi sudah kita lewati sehingga kita bisa langsung masuk ke momen interpretasi, yang mencakup tebakan dan validasi. Tebakan terhadap novel Pengakuan Pariyem adalah bahwa si pelaku yang berhasil mengangkat derajatnya dari babu menjadi selir itu adalah seorang pelacur. Dengan analisis deskriptif fenomenologis terhadap struktur intensional novel itu--validasi--kita mengetahui dan sekaligus memahami bahwa Pariyem bukan pelacur karena ia tidak menjual kehormatannya dan sepak terjangnya yang bebas itu adalah hasil internalisasinya terhadap nilai kejawen yang diyakininya. Akhirnya, pembaca dihadapkan dengan dua pilihan makna: setuju atau menolak perilaku Pariyem (momen apropriasi), yang selanjutnya bermuara pada transformasi diri bahwa ada yang lebih penting daripada menjadi bahagia, yaitu memahami situasi di mana kita hidup agar kita bisa menjalani hidup dengan benar.
Hermeneutik meletakkan tekanan pada aktivitas pembaca sastra. Membaca sastra adalah mengadakan dialog dengan karya sastra. Dengan dialog itu pembaca akan memperoleh pencerahan atau katarsis sehingga mampu memahami dirinya, jika ia berhasil memetik makna dari karya itu bagi dirinya. Dialog dengan karya sastra pada hakikatnya adalah dialog dengan hati nurani karena seni adalah penjelmaan budaya batin suatu bangsa. Kesediaan untuk mau berdialog dengan karya sastra berarti mengapresiasi sastra.
Formalisme yang menjadi subjek pengajaran sastra adalah teori sastra yang membombardir bentuk menjadi seni, tanpa mempedulikan isinya. Sebaliknya, pendidikan sastrayang sasarannya_ apresiasi--tidak terbatas pada bentuk saja karena keindahan mengharuskan adanya harmoni dalam hubungan bentuk dan isi. Jadi, pengajaran sastra hanya berguna sebagai suplemen bagi pendidikan sastra. Pendidikan bukan masalah pemberian pengetahuan, tetapi memberi keteladanan agar si terdidik memiliki kedewasaan jiwa. Sebagai potensi kreatif, sastra punya dunia imajinatif yang akan memindahkan pembacanya ke dunia itu sehingga terjadi fusi horison antara dunia teks dan dunia pembaca.
Akhirnya, perlu digaris bawahi bahwa metode hermeneutik ini mendukung teori resepsi, yaitu teori sastra di mana pembaca sendiri yang hares memberi makna pada karya yang dihadapinya bagi dirinya. Dengan teori resepsi, pengajaran sastra akan dituntut untuk memberi perhatian yang lebih kepada apresiasi sastra."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Suriani Shiddiq
"Teks dengan media apapun sesungguhnya diam, tanpa sentuhan pembaca. Dari sinilah bermuara lahirnya interpretasi atau penafsiran. Setiap orang pasti berbeda-beda dalam memaknai suatu teks, ini disebabkan terdapat 'jarak' ruang dan waktu antara teks-bacaan dengan si penafsir (pembaca; interpretator). Apalagi jika teks yang dimaksud di sini adalah kitab suci, wahyu Tuhan, The Word of God yang diturunkan melalui perantaraan seorang "nabi" (interpretator) yang notabene sulit dilacak sumber awalnya. Hermeneutika dan tafsir Al- Qur'an adalah dua metode yang dipakai untuk dapat menjangkau aspek historis, pengalaman dan fenomena sosial yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks.
Dalam kajian teks-teks kitab suci terutama lnjil, hermeneutika digunakan untuk memahami teks itu sendiri maupun relasi antara teks (inter-text) dengan sang penafsir dan problem sosial yang terjadi sewaktu teks tersebut lahir, yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian melahirkan dua kecenderungan dalam hermeneutika yakni diachronic-subjective dan synchronic-objective.
Konsekuensi dari dua kecenderungan tersebut melahirkan tiga metode hermenutika, yakni: (1) Tradisional; (2) Dialektik; dan (3) Ontologis. Metode inilah yang kemudian rnemunculkan berbagai aliran hermeneutika, seperti hermeneutika pilologis-teologis (Wolf-Ast dan Schleirmacher), hermeneutika filosofis (Hans-Georg Gadamer), hermeneutika eksistensial-ontologis (Martin Heidegger), henneneutika fenomenologis (Paul Ricoeur) dan hermeneutika kritis (Karl Otto Apel).
Sebagai metodologi pemaknaan dan pemahaman terhadap teks, hermeneutika telah mengalami perubahan paradigma yang sangat signifikan. Pada awalnya problem hermeneutika hanya menyangkut problem pemaknaan teks kitab suci semata, maka pada era selanjutnya hermeneutika juga digunakan sebagai altematif metodologi pemahaman terhadap fenomena manusia, alam dan ragam sasial yang melatarinya.
Seperti halnya hermeneutika, kajian terhadap teks Al Qur'an juga terus mengalami perkembangan. Ini disebabkan terus berkembangnya metodologi penafsiran sepanjang waktu. Lahirlah, kemudian, dua kecenderungan penafsiran, yaitu penafsiran tekstual (tafsir bi al ma'tsur) yang secara teoritik menyangkut aspek teks dengan problem semiotika dan semantiknya, dan model penafsiran kontekstual-rasional (tafsir bi al ra'yi) yang secara teoritik menyangkut aspek konteks di dalam teks yang mereprentasikan ruang-ruang sosial budaya yang beragam di mana teks itu muncul. Konsekuensi dari dua kecenderungan tersebut melahirkan empat metodologi penafsiran yakni (1) Tahlili; (2) Ijmali; (3) Mugaran; dan (4) Maudlu'.
Keempat metodologi penafsiran tersebut menjadi sangat penting dibahas mengingat dari sinilah kemudian lahir berbagai problematika pemaknaan dalam memahami teks Al Qur'an termasuk di dalamnya adalah metodologi hermeneutika Al Qur'an yang hingga sekarang masih mengalami kontroversi. Kontroversi itu menyangkut adanya prosupposisi bahwa metode hermeneutika tidak dapat dipakaikan untuk menafsirkan at Qur'an.
Secara umum, antara hermeneutika dengan tafsir yang selama ini dikenal relatif hampir lama dari sisi penerapannya. Hanya saja, keduanya memiliki karakteristiknya sendirisendiri yang sangat khas. Hermeneutika yang berlatarbelakang teologi Kristen dan Al Qur'an yang berlatarbelakang Islam secara substansial sumbernya jelas berbeda.
Namun demikian, keduanya secara harfiah memiliki fungsi yang sarna, yakni memaknai, menterjemahkan atau menafsirkan. Akan tetapi secara historis keduanya memiliki rnakna yang relatif berbeda. Kalaupun ada persamaan semata menyangkut logika Bahasa dan pemaknaan terhadap fenomena yang melatarbelakanginya. Secara metodologis antara hermeneutika dan tafsir Al Qur'an juga tidak berbeda. Sebab, keduanya sama-sama dipakai dalam konteks untuk memahami teks yang secara historis berbeda jarak ruang dan waktunya. Keduanya bahkan dipandang dapat pula saling melengkapi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zoest, Aart van
Muiderberg: Dick Countinho, 1986
BLD 839.36 ZOE z
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Szondi, Peter
"Peter Szondi is widely regarded as being among the most distinguished postwar literary critics. This first English edition of one of his most lucid and
interesting series of lectures, translated by Martha Woodmansee and with a
foreward by Joel Weinsheimer, opens up his work in hermeneutics for
English-speaking readers. The question of what is involved in understanding a text occupied biblical and legal scholars long before it became a concern of literary critics. Peter Szondi here traces the development of hermeneutics through examination of
the work of eighteenth-century German scholars. Ordinarily treated only as
prefigurations of Schleiermacher, the work of Enlightenment theorists Johann
Martin Chladenius, Georg Friedrich Meier, and Friedrich Ast yields valuable
insight into the "material theory" of interpretation - an epistemology of understanding on which a practical interpretive methodology might be built."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2009
e20377218
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pusat Pengkajian Reformed bagi Agama dan Masyarakat , 2019
200 SODE 6:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>