Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64240 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Barita Lindung H.
2001
T36172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI-Press, 2012
332.109 598 EKO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Yulianto
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penjelasan Pasal 3 Angka 7 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan bahwa yang dimaksud dengan " Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku....."
JHB 30 : 4 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mardi Mulyo , 2000
332.1 BAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maqdir Ismail
Yogyakarta: Navila Idea, 2009
332.1 MAQ b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ramly
"ABSTRAK
Pemerintahan otoriter merupakan suatu gaya kepemimpinan yang sejak abad-abad yang Iampau telah ada terutama dalam kerajaan-kerajaan yang ingin menjadikan rakyat tunduk dan patuh pada kekuasaan penguasa, Tatanan demokrnsi mulai tumbuh ketika masyarakat dunia menggunakan sislem dalam negara. Namun sering pula terjadi dalam sistem republik adanya pemerintahan otoriter umpamanya di negara-negara ASEAN, misalnya Presiden Marcos dari Philipina dan Presiden Soeharto di Indonesia adalah penguasa otoriter yang iustru berkuasa dalam negara Republik. Pemerimahan Soeharto mulai eksis setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI tahun |965 pada Fase berikutnya Soekarno gagal memberikan per1anggungjawaba11nya dalam sidang lstimewa MPRS tanggal 7 Marci l967. Kekuasaan Soekarno kemudian dicabut berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyal Sementara Nomor XXXIII/MPRS/I967. Permerintahan Soeharto melaksanakan Pemerimahannya secara konstuiusional. Namun pemerintahan konstitusional ini relatif bcrlangsung hanya sekitar tahun 1966 sampai dengan 1968.
Setelah itu mulai terjadi penyimpangan terutama dalam menata dan melaksanakan demokrasi politik. Rekayasa pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik mulai tampak sejak lahun 1969 Seterusnyn fenomena penyimpangan karena otorilarianisme yang menggunakan produk hukum sebzlgai instrumen kekuasaan semakin sering terjadi. Pada tahun 1985 lahirlah lima Undang-Undang Politik yang menjadi kekuatan Soeharto mengenclalikan demokrasi poiitik, yang terdiri dari Undang-Undang Nomor l Tahun 1985 Tentang Pemilihan Umum_ Undang-Undnng Nomor 2 Tahun 1985 Temang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dewnn Perwakilan Rakyal dan Dewan Perwakllan Rakyal Daerah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Referendum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tenlang Organisasi Kemasyarakatan. lni sekedar contoh saja dari produk hukum yang digunakan Soeharto untuk menciptakan politik hukum mengendalikan demokrasi politik. Penelitian mengenai hal ini menggunakan teori rl Baggs dan Alfred Stepan tenlang Teori Korporatisme. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan uneumitikberatkan pada kajian perundang-undangan terutama yang berhubungan dengan demokrasi politik. Pengumpulan data dilakukan melalui Studi kepustakaan dan wawancara. Data yang digunakan adalah data sekunder untuk memperkuat data primer. Pendckamn penelitian adalah deskriptif analisis dengan analisis yang bersifat kualitatif Sedangkan fokus penelitian ini adalah politik hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik pada tahun 1971-l997."
Depok: 2004
D1054
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ramly
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
321.8 HUT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Nugroho
"Proses pemberian independensi bank sentral di Indonesia dimulai dengan ditandatanganinya letter of intent kepada IMF tanggal 15 Januari 1998 oleh Presiden Soeharto. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keppres No.23/1998 tentang pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia 031) yang memberikan kebebasan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian moneter, penentuan suku bunga, kurs, dan kebijakan devisa. Langkah itu diikuti dengan keputusan untuk tidak lagi memasukkan Gubernur BI di dalam Kabinet Reforrnasi Presiden Habibie, akhir Mei 1998. Akhirnya pada bulan Mei 1999 dikeluarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI yang secara resmi memberikan status BI sebagai lembaga yang independen.
Pemberian status independen kepada BI ternyata menimbulkan kontroversi karena independensi BI dinilai berlebihan bahkan muncul pendapat keberadaan BI seperti negara dalam negara. Gleh karena itu karya akhir ini berupaya untuk menjelaskan seberapa besar tingkat independensi BI saat ini (berdasarkan UU No.23 Tahun 1999) dibandingkan dengan independensi BI di masa lalu (berdasarkan UU No.13 Tahun 1968) serta membandingkannya dengan independensi bank sentral negara-negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, karya akhir ini akan melakukan pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 lebih besar dibandingkan dengan tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968.
Metode yang akan digunakan dalam pengukuran tingkat independensi BI adalah metode Cukiennan, yaitu dengan melakukan penilaian terhadap 16 variabel dari 4 aspek independensi yang terkandung dalam UU BI yaitu aspek : (1) prosedur pengangkatan dan masa jabatan dewan gubernur; (2) formulasi kebijakan dan anggaran; (3) tujuan bank sentral; dan (4) pembatasan pemberian kredit kepada pemerintah. Masing-masing variabel akan dinilai dari angka 0 sampai dengan angka 1, semakin besar nilai variabel menunjukkan adanya tingkat independensi yang semakin tinggi. Cukierman mengakui bahwa penggunaan independensi legal saja sebagai indikator tingkat independensi bank sentral memiliki kelemalian yaitu, pertama, independensi legal tidak lengkap dan tidak dapat menjelaskan kondisi riil batasan wewenang antara bank sentral dan penguasa politik di suatu negara, kedua, apabila independensi legal menjelaskan cukup tegas dalam prakteknya mungkin berbeda.
Namun demikian independensi legal dapat digunakan sebagai indikator yang panting dengan alasan, pertama, independensi legal mengindikasikan tingkat independensi yang diberikan legislatif kepada bank sentral, kedua, hampir semua penelitian sistematis mengenai independensi bank sentral yang telah dilakukan para ahli mempercayakan semata-mata pada indikator independensi legal.
Selain pengukuran secara kuantitatif, karya akhir ini juga akan menganalisis secara kualitatif terhadap beberapa variabel independensi BI berdasarkan UU No.23 Tabun 1999 dengan menggunakan, pertama, pendekatan teoritis yang digunakan oleh Amtenbrink yaitu dengan menganalisis independensi bank sentral dari 4 (empat) aspek yaitu aspek institusional, fungsional, organisasional, dan keuangan. Kedua, interpretasi secara sistematis terhadap beberapa issue dalam UU BI yang menjadi bahan perdebatan publik.
Berdasarkan hasil pengukuran dengan metode Cukierman, tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 memperoleh nilai 0.67 sedangkan berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 hanya memperoleh nilai 0.21. Kenaikan tingkat independensi yang signifikan terutama disebabkan adanya peningkatan independensi dalam penentuan kebijakan moneter dan independensi dewan gubernur BI.
Tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 relatif rendah dibandingkan negara berkembang atau negara maju Iainnya. Bahkan urutan Indonesia masih di bawah Philipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun demikian berdasarkan UU No.23 Tahun 1999, tingkat independensi BI hampir sama dengan tingkat independensi negara Jarman dan melampaui tingkat independensi negara Amerika Serikat yang dianggap negara pelopor dalam independensi bank sentralnya.
Kenaikan independensi yang sangat signifikan dalam penentuan kebijakan moneter tercantum dalam Pasal 10 UU No.23 Tahun 1999 yang menyatakan bawwa BI menentukan laju inflasi sebagai sasaran kestabilan nilai rupiah. Sasaran ini harus diumumkan dan kemudian menjadi goal untuk dicapai. Menurut penjelasannya, sasaran ini ditentukan secara tahunan menurut tahun kalender dan dapat berbeda dengan asumsi laju inflasi yang digunakan pemerintah dalam menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di sini dapat menimbulkan masalah bagaimana kalau terjadi perbedaan tingkat inflasi yang dijadikan sasaran kebijakan moneter BI dengan asumsi pemerintah. Perbedaan ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan dunia usaha serta menambah ketidakpastian pasar yang justru harus dijaga.
Selain hal tersebut di atas, sistem yang memberikan kebebasan bank sentral menentukan sendiri sasaran yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya juga mengandung kelemahan yaitu dapat mengurangi rasa tanggung jawab bank sentral dan membuka kemungkinan kurang cermatnya lembaga tersebut rnenentukan sasarannya. Bank sentral dapat saja menentukan sasaran yang gampang dicapai, akan tetapi belum tentu sasaran yang ditentukan itu relevan bagi pasar.
Alternatif yang terbuka adalah bahwa sasaran laju inflasi ditentukan oleh pemerintah. Ini tidak menghilangkan independensi BI hanya saja independensinya bukan dalam penentuan sasaran tetapi dalam cara atau teknik mencapai sasaran termasuk menentukan sasaran antara dan pemilihan sarana (instrumen moneter) yang digunakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jadi BI bebas menentukan sasaran antara dan teknik bagaimana mencapai sasaran laju inflasi yang telah ditentukan pemerintah. Sistem ini telah diterapkan di Selandia Baru. Blinder mengatakan bahwa independensi bank sentral berarti bahwa lembaga ini bebas menentukan bagaimana cara mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan keputusan-keputusan yang sudah dibuatnya sangat sukar bagi lembaga lain di dalam pemerintahan untuk mengubahnya. Akan tetapi kebebasan menentukan cara mencapai sasaran tidak berarti bank sentral menentukan sendiri sasaran tersebut. Sasaran ini ditentukan dalam sistem demokrasi oleh pejabat yang dipilih rakyat dan bank sentral menundukkan diri pada keinginan publik.
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, presiden yang dipilih rakyat yang menentukan sasaran inflasi. Sistem penentuan sasaran moneter oleh presiden tetap memberikan kedudukan independen kepada bank sentral. Kebebasan yang diberikan kepada bank sentral bukan dalam menentukan sasaran moneter, tetapi dalam menentukan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut. Fischer menyebutkan posisi bank sentral yang dernikian disebut sebagai instrument independence tetapi bukan goal independence.
Dalam menentukan sasaran tunggal laju inflasi tersebut hendaknya BI dan pemerintah secara tegas menerapkan kerangka .kerja inflation targeting framework. Hal ini terutama untuk menciptakan kredibilitas bank sentral dengan mengumumkan target inflasi secara eksplisit dan diumumkan kepada publik sehingga masyarakat akan mengetahui sejauh mana usaha bank sentral mencapai target yang sudah diumumkan tersebut. Kredibilitas bank sentral ini penting karena akan mempengaruhi publik dalam membuat ekspektasi inflasi. Jika publik percaya bahwa bank sentral akan memegang janjinya untuk mencapai target inflasi, publik akan mengkalkulasi kegiatan usahanya berdasarkan tingkat inflasi yang sudah dijanjikan yang pada gilirannya akan membantu usaha bank sentral untuk menjaga kestabilan harga."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T4981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1984
S17150
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>