Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136860 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Antonius P.S. Wibowo
"Pekerjaan penerbitan pers merupakan pekerjaan yang bersifat kolektif, artinya melibatkan beberapa orang, yaitu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, wartawan, penulis, pencetak, dan penerbit. Dalam kaitannya dengan sifat kolektif dari pekerjaan tersebut, timbul permasalahan tentang siapa yang harus bertanggungjawab secara hukum apabila pers memuat suatu tulisan atau menurunkan suatu berita yang sifatnya dapat sebagai tindak pidana. Menurut KUHP, dalam hal demikian maka beberapa orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara bersama-sama. Untuk menentukan hukuman masing-masing peserta harus dilihat lebih dahulu sejauh mana peranan masing-masing perserta dalam tindak pidana yang terjadi. Berbeda dengan KUHP, menurut UU Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 04 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982 (UU Pokok Pers), dalam hal terjadi tindak pidana pers, yang dipertanggungjawabkan secara pidana cukup satu orang saja, yaitu pemimpin redaksi atau redaktur atau wartawan atau penulisnya sendiri. Pertanggungjawaban pidana demikian disebut waterfall system, sebab seseorang dapat mengalihkan pertanggungjawaban tersebut kepada orang lain. Undang-undang pers yang baru, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999, meskipun telah secara tegas menyatakan tidak berlaku lagi UU Pokok Pers, dalam prakteknya undang-undang tersebut masih dipergunakan. Melalui UU Nomor 40 tahun 1999 tersebut, dibuka kemungkinan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap insan pers (pemimpin redaksi, redaksi, wartawan, dan lain-lainnya) sekaligus terhadap perusahaan persnya. Pertanggungjawaban pidana perusahaan pers ini, tidak dikenal di dalam UU Pokok Pers. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Achmad
"Iklan merupakan suatu strategi yang ampuh bagi para pengusaha (produsen) untuk melakukan penawaran-penawaran barang dan jasa. Demikian juga engan produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut maka promosi produk dilakukan melalui iklan. Di Indonesia produk yang dikeluarkan oleh pelaku usaha telah menggerakan kegiatan perekonomian. Menyampaikan informasi tentang produk ke dalam sebuah tayangan iklan berdurasi pendek, atau pamflet dan lain-lain, yang menjadikan salah satu faktor pemicu iklan terlalu mengubar janji, tidak kena sasaran ataupun membingungkan.
Secara garis besar isi dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) terdiri dari fungsi iklan sebagai media penyampaian informasi bila dikaitkan dengan Hak atas Informasi yang harus diberikan kepada Konsumen, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Periklanan terhadap Iklan yang Menyesatkan, upaya UUPK dalam melindungi Konsumen Iklan serta Analisa lklan Jasa Angkutan Udara. UUPK memberdayakan Masyarakat umum, di mana UUPK tersebut mengamanatkan bahwa masyarakat adalah penyelenggara perlindungan konsumen, sehingga mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar, namun tidak berwenang untuk memeriksa proses produksi.
Bagi konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara individual maupun secara kelompok. Prosedur gugatan konsumen dapat diajukan pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan Umum. Dengan demikian, kehadiran UUPK akan menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum bila terjadi penyalahgunaan Iklan.
Meskipun masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan penelitian dan pengumpulan data secara kuantitatif, namun dari hasil penyelesaian kasus-kasus yang ada, penulis melihat bahwa pemberlakuan pasal-pasal UUPK yang terkait dengan periklanan dalam kehidupan sehari-hari mampu memberikan Shock Therapy bagi pelaku usaha priklanan agar tidak menyalahi aturan-aturan tersebut dan senantiasa berupaya untuk memperhatikan hak-hak konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T36922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Edi Waluyo
"Era Refomasi sejak 1998 telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk menyampaikan informasi secara bebas pada masyarakat. Perusahaan Pers dan Wartawan berperan besar dalam proses berbagai perubahan penting di Indonesia. Namun sering terjadi perusahan pers dan wartawan menyajikan informasi berdasarkan pertimbangan nilai jual, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti pemberitaan sensasional, berlebihan, pencemaran nama baik bahkan sering bergulir ke Pengadilan dengan gugatan perdata maupun pidana. Dalam suatu Perusahaan Pers terdapat Wartawan yang bekerja secara penuh waktu atau disebut wartawan tetap yang statusnya adalah Karyawan yang berada dibawah tanggung jawab Perusahaan Pers Wartawan lepas Freelance statusnya bukan merupakan Karyawan Perusahaan Pers,bekerja berdasarkan permintaan tertentu dari Perusahaan Pers atas suatu tulisan,dimuat dalam media cetak dan mendapatkan honor.Dalam doktrin vicarious liability, penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha,bidang redaksi,bertanggung jawab terhadap Wartawan tanpa mengenal adanya perbedaan status apakah karyawan atau bukan karyawan atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Tanggung jawab tersebut berupa pertanggungjawaban untuk mengganti kerugian pihak lain yang disebabkan oleh kesalahan wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Adanya pertanggungjawaban Perusahaan Pers tersebut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1367 KUH Perdata. Dimana majikan turut bertanggung jawab terhadap kerugian pihak lain yang disebabkan oleh perbuatan bawahannya.Wujud pert anggungjawaban yang adalah menurut Kode Etik jurnalistik dan Undang-Vndang tentang Pers yang berisi rambu-rambu bagi Wartawan, diatur nmngenai aspek hukum pers yaitu dengan adanya HaJ: jawab dan Hak Koreksi dalam suatu pemuatan atau penulisan suatu berita dimedia cetak.Hubungan kerja antara Perusahaan Pers dengan Wartawan tetap, timbul karena adanya perjanjian kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian jerja merupakan dasar dari hubungan kerja antara perusahaan dengan wartawan.Dalam perjanjian kerja berisi hak kewajiban para pihak,tugas dan tanggung jawab,jadwal kerja, jangka waktu perjanjian,berlakunya perjanjian.Namun mengenai tanggung jawab Perusahaan pers terhadap kesalahan wartawan dalam jurnalistik, pada umunmya tidak dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian kerja."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S20678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nynda Fatmawati Octarina
Malang: Setara Press, 2018
364 NYN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Widarto
"Sejarah kemerdekaan pers di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pasang surut yang tidak terlepas dari dinamika kehidupan politik di Indonesia. Dan hal ini pada gilirannya mempengaruhi hakekat pers bebas dan bertanggung jawab itu sendiri. Bahkan dengan digantikannya UU No. 21 tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dengan UU No. 40 Tahun 1999 Tenting Pers telah terjadi perubahan sistem pertanggungjawaban pers. Mengingat hal ini penulis berkeinginan menuangkan fenomena tersebut ke dalam suatu tulisan yang berjudul "Analisis Kritis Terhadap Perkembangan Pers bebas Dan Bertanggung Jawab Di Indonesia Pada Era Refarmasi". Penulisan ini bersifat deskritif dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumen, serta menggunakan metode analisis kualitatif Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan di era reformasi pengawasan terhadap pers oleh pemerintah melemah dengan ditiadakannya penyensoran, pembredelan, dan SIUPP yang barhubungan langsung dengan kebebasan pers. Dan di sisi lain kode etik sebagai pencerminan pers yang bertanggung jawab yang dimiliki oleh insan pers belumlah m.erupakan bagian yang terintegral pada setiap diri insan pers. Kondisi ini diperparah dengan ketidakpahaman pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya dengan pers sebagai akibat pemberitaannya yang dirasakan merugakan, baik melalui lembaga hak jawab, melalui jalur hokum, maupun menggunakan Dewan Pets sebagai mediator. Hal inilah yang menyebabkan kemerdekaan pers di era reformasi cenderung menjadi "kebebasan pers". Sehingga, dapat dikatakan fungsi kebebasan pers di era reformasi mendahului fungsi pers yang bertanggung jawab. Perihal limitasi kebebasan nears dalam wujui.i peraturan pidana yang diatur baik di dalam KUHP dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers merupakan penceminan bahwa kebebasan pers tidaklah bersifat absolut, namun dibatasi peraturan-peraturan pidana yang harus memenuhi syarat limitatif dan syarat demokratis.
Adapun, peraturan-peraturan pidana tersebut dapat digolongkan ke dalam 6 (lima) bagian. Dan keenam peraturan pidana tersebut dapat diategorikan sebagai suatu pembatasan yang bersifat universal, karena telah sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Konvensi Internasional Tentang Kebebasan Alas Informasi. Sedangkan perihal sistem pertanggunjawaban pidana pers, telah terjadi tiga kali perubahan dengan dua sistem pertanggungjawaban pidana pers selaina ini, Diawali dengan sistem pertanggungjawaban pidana pers berdasar KUHP yang menitikberatkan pada ajaran penyertaan dan kesalahan.
Dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, maka sistem pertanggungjawaban pidana pers bersifat "air terjun/waterfalls system" yang bersifat fiktif dan suksesif. Dan akhirnya berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sistem pertanggungjawaban pers kembali didasarkan pada KUHP yang menitikberatkan pada unsur kesalahan dan penyertaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T10834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pusat Riset Perikanan Budidaya, 2001
639.2 GLO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>