Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149804 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dheasy Suzanti
"ABSTRAK
Indonesia mengalami krisis moneter sejak tahun 1997 yang
dipacu oleh penutupan bank-bank oleh Menteri Keuangan. Pemerintah
memandang perlu untuk dibentuk suatu badan khusus yang menjalankan
fungsi penyehatan perbankan dan melaksanakan pengelolaan aset bank
yang bermasalah dan membentuk Badan khusus yang dinamakan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional yang dalam Peraturan Pemerintah No.
17 Tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 (selanjutnya disebut "PP
17") disebut BPPN. Bank-bank itu dikelola dalam unit BRU (Banking
Restructuring Unit). Begitu pula dengan sektor riil, berbagai
perusahaan bermasalah yang sebelumnya merupakan debitur bank
dipindahkan ke BPPN, untuk kemudian dikelola dalam unit yang
disebut AMC (Asset Management Credit) dan AMI (.Asset Management
Investment) . Dalam Pasal 26 (1) PP 17 BPPN berwenang untuk
mengalihkan dan atau menjual Aset dalam Restrukturisasi dan
Kewajiban Dalam Restrukturisasi baik secara langsung maupun melalui
penawaran umum. Dari proses penambilalihan asset tersebut terdapat
dua pokok permasalahan yang dapat diambil yaitu sampai
sejauhmanakah efektifitas pengambilalihan aset jaminan debitur
berupa tanah dalam rangka penyelesaian hutang dalam kebijakan BPPN
dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi oleh BPPN didalam
pengambilalihan aset jaminan debitur berupa hak atas tanah tersebut
dan bagaimana penyelesaiannya. Sedangkan untuk menjawab
permasalahan tersebut penulis menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif/ yang mencakup asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa jika dilihat
berdasarkan PMNA/ Ka BPN No. 6/1999 dalam kaitan dengan masalah
pendaftaran atau pencatatan tanah, pengambilalihan aset tanah dalam
kepentingan BPPN ada 2 (dua) area yang berkaitan yaitu dalam hal
dilakukan penguasaan atas tanah dan atau bangunan maupun penjualan
atau pembelian tanah dan atau bangunan oleh BPPN. Pelaksanaan
pengambilalihan aset jaminan debitur berupa tanah dalam rangka
penyelesaian hutang efektif apabila tanah yang akan diambilalih
tersebut status haknya jelas dan mempunyai tanda bukti hak yang
sempurna (Sertipikat) dan haknya dapat dikuasai oleh kreditur atau
investor yang akan mengambilalih dan Tanah yang akan diambilalih
tidak dalam sengketa. Sedangkan permasalahan yang menjadi kendala
dalam proses pengambilalihan tersebut antara lain status tanah
tidak jelas, tidak mempunyai tanda bukti yang sempurna berupa
sertipikat, tanah yang akan diambilalih dalam sengketa, dan tanah
yang akan diambilalih bukan merupakan subjek hak dari Kreditur atau
Investor yang akan mengambilalih."
2003
T36645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Lucky Maya Fritziana
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S24062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dayita Putri Kusumaningrum
"Gelombang krisis moneter yang menimpa sektor perbankan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan banyak bank yang menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kemudian mengambil langkah, bagi bank-bank yang masih dapat diselamatkan diberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), termasuk Bank Servitia. BI menempatkan Bank Servitia dalam program penyehatan dan mendelegasikan tugas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kepada BPPN. David Nusa Widjaja sebagai Direktur Utama dan Tarunodjojo Nusa sebagai salah satu direksi di tuntut pertanggungjawabannya untuk mengembalikan dana BLBI yang telah dikucurkan kepada Bank Servitia, dimana kemudian mengajukan gugatan kepada BPPN untuk membatalkan Akta Pengakuan Utang (APU) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun masalah yang dibahas adalah menerangkan kondisi yang terdapat pada salah satu pihak pembuat perjanjian yang berhak memintakan suatu pembatalan, menjelaskan mengenai tugas dan kewenangan BPPN dalam rangka penyelesaian aset dan pengembalian uang negara, serta mengkaji sejauh mana kewenangan hakim untuk menilai dan melakukan suatu penafsiran terhadap perjanjian, khususnya dalam hal pembatalan perjanjian. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, sedangkan metode analisa datanya adalah kualitatif. Bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No. 303/Pdt . G/2003/PN. Jaksel) dalam perkara Bank Serrvitia melawan BPPN terdapat banyak kekeliruan dalam penerapan hukumnya, yaitu: Majelis hakim kurang tepat dalam memberikan pertimbangan mengenai pembahasan keabsahan APU-Servitia, Majelis hakim kurang tepat menempatkan gentlement agreement dalam posisi yang lebih tinggi dari APU, Majelis hakim kurang tepat dalam memberikan pertimbangan mengenai penyalahgunaan keadaan serta Majelis Hakim kurang tepat dengan menyatakan adanya paksaan dan penekanan terhadap tergugat untuk menandatangani APU-Servitia tanpa terlebih dahulu dilakukan pembuktian. Saran yang diberikan adalah hakim baik atas permintaan para pihak atau secara ex-officio wajib menilai dan mempertimbangkan secara seksama apakah benar kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan tidak seimbang, dan juga hakim wajib mengatur secara patut dan adil segala akibat dari putusannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21331
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2001
S23980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma
"Polemik Hukum Pada Perjanjian Pengalihan Hak
Atas Piutang (Cessie) Dari Bank-Bank Kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Tesis, 2002.
Untuk memulihkan kembali kondisi perbankan Indonesia
akibat krisis ekonomi tahun 1997 pemerintah membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
didasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999
tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
beserta perubahannya. Salah satu kewenangan dari BPPN
tersebut adalah melakukan pengambil alihan tagihan atau
kredit macet para debitur dari bank-bank yang ditangani
BPPN melalui perjanjian pengalihan hak atas tagihan
(cessie). Ketentuan mengenai cessie ini terdapat dalam
pasal 613 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Permasalahan
yang timbul adalah para debitur dari bank-bank yang
diambil alih oleh BPPN sering menolak melakukan
pembayaran utang-utang mereka dengan alasan perjanjian
cessie tersebut tidak sah. Ketidak absahan cessie
tersebut diakibatkan oleh karena tidak adanya
pemberitahuan kepada debitur sebagaimana ditentukan oleh
pasal 613 KUH Perdata. Berbagai kekurangan dari cessie
ini penulis paparkan dengan jelas dalam tesis ini. Namun,
semua ini penulis berikan solusinya yaitu dengan
mengadakan revisi atas perjanjian pengalihan hak atas
tagihan, membuat perjanjian pokok pengalihan tagihan,
pemerintah (dalam hal ini Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) harus bersikap pro aktif dengan membentuk tim
perumus yang khusus menangani masalah ini, untuk bisa
diperbaiki di masa yang akan datang. Dengan perbaikan itu
pula, penulis berharap, BPPN bisa lebih mudah dalam
melaksanakan tugasnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36346
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>