Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulizar Azhar
"ABSTRAK
Hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang
dituangkan dalam perjanjian kredit, pada dasarnya merupakan
loan o f money, dan bukanlah perjanjian pinjam meminjam atau
verbruiklening yang diatur dalam Bab Ketigabelas Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1765 jo
pasal 1754. Perjanjian Loan of Money yang terjadi di
Indonesia lebih kepada bentuk perjanjian Baku atau standar,
yang pada akhirnya kedudukan bank sebagai kreditur dan
nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Perlunya
menerapkan Asas kebebasan berkontrak dalam Perjanjian
Kredit haruslah diterapkan melalui persetujuan para pihak.
Salah satu penerapan Asas kebebasan berkontrak dalam akta
perjanjian kredit sebagai upaya penyelesaian sengketa
adalah pemuatan klausul arbitrase. Persengketaan tersebut
menuntut alternatif pemecahan dan penyelesaian yang relatif
cepat, praktis, efektif dan efesien. Jalur Arbitase ini
memiliki kompetensi absolut, yang pada hakekatnya merupakan
suatu cara penyelesaian sengketa di luar sistem peradilan
umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak
yang bersengketa ( Pasal 1, angka 1, Undang-Undang No. 30
tahun 1999). Dengan adanya klausul arbitrase yang dimuat dalam akta perjanjian kredit yang menegaskan semua
perselisihan yang akan timbul diselesaikan melalui
arbitrase, maka secara langsung telah terbit perjanjian
arbitrase dari perjanjian kredit tersebut. Efektivitas
klausul arbitrase tersebut pada hakikatnya sangat
tergantung kepada bagaimana pendapat para pihak tentang sah
atau tidaknya bentuk akta perjanjian kredit tersebut. Pada
prinsipnya dimuatnya klausul arbitrase dalam perjanjian
kredit ini belum banyak diketahui oleh masyarakat umum,
sehingga perlu adanya sosialisasi. Dalam penelitian ini
digunakan metode penelitian hukum normatif, dimana alat
pengumpulan datanya adalah dengan menggunakan studi
kepustakaan yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Data yang diperoleh
kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode
kualitatif, sehingga diperoleh tesis dalam bentuk
deskriptif normative."
2004
T36624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnaningsih
"Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang di buat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perj anjian menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa dan bagaimana juga, sepanjang pembuatannya di lakukan sesuai dengan undang-undang dan isi nya t1dak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan ketentuan ini dapat memungkinkan untuk menggunakan bentuk perjanjian menurut syariat Islam/akad. Dalam pelaksanaan akad dapat terjadi suatu sengketa antara para pihak yang membuat akad tersebut. Selain membawa sengketa tersebut kepengadilan, ada cara lain yang dapat dilakukan yaitu melalui lembaga arbitrase Islam penyelesaian sengketa dengan cara damai dimana para pihak sepakat agar perselisihan di antara mereka diperiksa dan di adili oleh hakim yang tidak memihak dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Keberadaan lembaga arbitrase Islam ini diakui di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ten tang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 14, yaitu tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Alasan dipilihnya penye lesaian sengketa melalui arbitrase Islam adalah karena proses yang cepat (putusan final dan binding), hemat biaya, putusannya lebih mudah dilaksanakan dibandingkan putusan pengadilan, bersifat rahasia (tertutup) dan yang paling penting adalah tidak ada satu pihak yang dikalahkan. Keberadaan lembaga arbitrase Islam adalah sangat penting dalam kehidupan bermuamalah dan perlu untuk membahas apa dan bagaimana lembaga arbitrase Islam tersebut dan kedudukannya dalam sistem hukum positif Indonesia serta melihat pelaksanaannya dalam kegiatan BAMUI menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan perjanjian kredit/pembiayaan di Bank Muamalat Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susiani
"Kasus sengketa lingkungan hidup pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik secara perdata, maupun secara pidana yang diatur diadalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Namun jarang sekali kasus sengketa lingkungan hidup yang menang di pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan memerlukan waktu yang tidak sedikit, sementara itu pencemaran terus berlangsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar proses sidang pengadilan relatif lebih menguntungkan, karena waktu yang diperlukan lebih singkat, para pihak dapat bermusyawarah dan bermufakat sehingga dapat menghasilkan keputusan yang bersifat win-win dalam arti tidak ada pihak yang menang ataupun yang kalah. UULH tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Namun di dalam Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup (RUULH) yang akan datang diatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Bahkan RUULH secara tegas membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya mediator swasta disamping mediator yang berasal dari aparat pemerintah. Hal itu tercermin dalam Pasal 28 RUULH. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa lingkungan, arbitrase banyak mempunyai kelebihan yaitu, cepat, murah dan efektif. Pada umumnya arbitrase dipakai dalam penyelesaian sengketa komersial (perdagangan) baik dalam negeri maupun luar negeri. Arbitrase karena sifatnya yang menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dapat mengarah kepada situasi win-win dan bukan win-lose. Meskipun lebih menguntungkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase masih kalah populer dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hal ini terbukti belum satu pun sengketa lingkungan hidup yang diselesaikan melalui Arbitrase. Kurang populernya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase, karena kurang dikenalnya lembaga tersebut di dalam negeri sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Arbitrase adalah forum yang paling populer dipilih oleh para pemangku kepentingan pada sengketa perdagangan InternationaI di beberapa negara. Ada beberapa argumen sehingga beberapa stakeholder memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Tapi kadang-kadang, di negara-negara tertentu masih ada beberapa hambatan dalam mengenali dan menegakkan penghargaan Meskipun ada Konvensi Internasional tentang Pengakuan dan Penegakan arbitrase asing dengan nama THC New York Convention 7958, namun pada kenyataannya, konvensi tidak dapat dilaksanakan ' artikel ini akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar dari arbitrase, pemikiran forum dn arbitrase whiether adalah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Pembahasan akan menjelaskan kebijakan publik merupakan dasar untuk menolak atau annult penghargaan arbitrase internasional, yang akhir diskusi akan menjelaskan beberapa kasus perdagangan internasional di Indonesia.

Arbitration is the most PoPular forum chosen by the stakeholders on the internationai trade disputes in some
countries. There are some arguments so some stakeholders choose an arbitration to settle the disputes. But sometimes, in certain countries there are still some impediment in recognize and enforcing the awards Although there is an Internatìonal Conventíon on The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards with named Thc New York Convention 7958, but in reality, the convention cannot be implemented' This article will explore the basic concepts of arbitration, the thinking of whiether dn arbitration forum is the best way to settle an international trade dispute's. The díscussion will descríbe of public policy is a ground for refuse or annult the international arbitration awards, The end of discussion will describe some international trade cases in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Derek Gunawan Joedaatmadja
"Sengketa yang timbul dari hubungan kontraktual tidak dapat dihindari, sehingga sangat penting untuk para pihak memiliki metode penyelesaian sengketa. Salah satu metode yang umum digunakan saat ini adalah arbitrase. Banyak perjanjian arbitrase internasional saat ini yang menggunakan mekanisme berjenjang dimana para pihak sepakat untuk melakukan metode penyelesaian sengketa alternatif terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting untuk memahami apakah klausul penyelesaian sengketa berjenjang merupakan perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat. Umumnya, dalam menentukan keabsahan klausul penyelesaian sengketa berjenjang, uji ‘tribunal versus claim’ akan digunakan untuk menyimpulkan apakah masalah dengan klausul tersebut berkaitan dengan yurisdiksi majelis arbitrase atau keabsahan klaim. Jika masalahnya terkait dengan yurisdiksi majelis arbitrase, masalah yang mendasarinya adalah bahwa para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Di sisi lain, jika masalahnya adalah mengenai keabsahan klaim, para pihak dianggap setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, namun klaim tidak dapat diterima karena alasan-alasan seperti ketidaktepatan waktu atau prematur. Pengadilan Singapura dan Hong Kong SAR telah memutuskan klausul penyelesaian sengketa berjenjang melalui proses penangguhan arbitrase. Baik Pengadilan Singapura dan Pengadilan SAR Hong Kong telah memutuskan bahwa klausul penyelesaian sengketa berjenjang dapat diterima. Namun, Pengadilan Singapura memandang bahwa kegagalan untuk memenuhi serangkaian prasyarat membuat majelis arbitrase tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Di sisi lain, Pengadilan SAR Hong Kong memandang bahwa sejauh para pihak setuju untuk melaksanakan arbitrase, majelis arbitrase akan memiliki yurisdiksi dan dapat menggunakan yurisdiksi tersebut untuk memerintahkan para pihak untuk melakukan kegiatan apapun untuk memenuhi prasyarat tersebut. Ketentuan hukum Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai klausul penyelesaian sengketa berjenjang, namun klausul-klausul tersebut telah lazim dalam praktik.

Disputes arising from contractual relations is inevitable, it is imperative for the parties to have a method of dispute resolution. One of the commonly used method today is arbitration. Many present international arbitration agreements utilize a multi-tiered mechanism whereby parties will agree to conduct alternative dispute resolution methods first. In relation to the foregoing, it becomes important to understand whether a multi-tiered dispute resolution clause constitutes a valid and binding arbitration agreement. Generally, in determining the validity of a multi-tiered dispute resolution clause, a 'tribunal versus claim' test will be used to conclude whether the issue with such clause relates to the jurisdiction of the arbitral tribunal or the admissibility of a claim. Should the matter be regarding jurisdiction of an arbitral tribunal, the underlying issue is that parties have not properly agreed to resolve the dispute through arbitration. On the other hand, if the matter is concerning admissibility, the parties are deemed to agree to resolve the dispute through arbitration, however the claim is not admissible due to reasons such as untimeliness or prematurity. Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled on multi-tiered dispute resolution clauses through stay of arbitration proceedings. Both Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled that a multi-tiered dispute resolution clause are acceptable. However, Singaporean Courts viewed that failure to fulfill a set of preconditions renders an arbitral tribunal to not have jurisdiction on the case. On the other hand, Hong Kong SAR Courts viewed that insofar the parties agree to arbitrate, the arbitral tribunal will have jurisdiction and may use such jurisdiction to instruct parties to conduct any activity to fulfill such preconditions. Indonesian statutory provisions do not necessarily shed a light on multi-tiered dispute resolution clauses, however such clauses are already prevalent in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Sanali
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang penanganan sengketa perbankan bidang perkreditan (selanjutnya disebut sengketa perbankan) oleh bank di pengadilan, bertujuan untuk menjawab pertanyaan akademis, bagaimana jika arbitrase dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris yang dimulai dengan meneliti data sekunder yang berupa literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi yang berkaitan. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan di Kantor Pusat Bank BNI untuk memperoleh data bagaimana penyelesaian sengketa perbankan di Bank BNI oleh pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan sengketa perbankan yang diproses melalui pengadilan sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan bentuk penyelesaian sengketa, lamanya penyelesaian sengketa, adanya tuntutan hak yang tidak berdasarkan hukum serta sikap a priori pengadilan terhadap bank. Adanya permasalahan tersebut dapat menghambat bank dalam upaya menyelesaikan kredit macet karena dalam usahanya bank sebagian besar menggunakan dana yang berasal dari masyarakat. Untuk itu, perlu dicari alternatif bentuk penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa untuk penyelesaian suatu sengketa seharusnya dipilih bentuk penyelesaian yang paling tepat.
Atas dasar hal tersebut, di antara bentuk penyelesaian sengketa yang ada, arbitrase akan lebih tepat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia karena arbitrase memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan. Di samping itu, putusan yang dikeluarkan oleh arbitrase bersifat final and binding sehingga kesemuanya itu lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Demikian pula arbitrase akan sangat penting dalam menghadapi internasionalisasi perbankan.
Untuk memberdayakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia, para manajemen bank perlu merubah kebijaksanaan (hukum) penyelesaian sengketa perbankan yang timbul antara bank dengan nasabah debiturnya. Perubahan tersebut adalah mengenai kemungkinan memilih penyelesaian sengketa di samping melalui pengadilan, juga melalui arbitrase. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Arbitrase yang saat ini sudah disiapkan hendaknya pengaturan menyangkut perbankan memperoleh perhatian."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Hastutiningsih
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S22995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quoriena Julia Sari
Depok: Universitas Indonesia, 1994
S22970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purbandari
"Banyaknya dana yang terhimpun di sektor perbankan yang diakibatkan oleh penerapan berbagai cara menggalang dana dari masyarakat, di samping itu juga banyaknya dana yang tersedia di bank-bank asing yang siap didistribusikan untuk menopang kegiatan pembangunan proyek-proyek besar. Dua kondisi,disatu sisi bank mempunyai dana yang cukup besar tetapi tidak berpengalaman dengan pembiayaan proyek besar,disisi lain kegiatan pembangunan proyek-proyek membutuhkan dana yang cukup besar. Kondisi ini mendorong timbulnya pranata baru dalam dunia perbankan, yaitu timbulnya kredit sindikasi perbankan.Sebagai lembaga penyedia dana, pengucuran dana oleh bank tertentunya tidak terlepas dari resiko,untuk itu peranan jaminan menjadi hal yang sangat panting. Untuk itu permasalahan yang ditelusuri adalah tentang Status Jaminan pada kredit sindikasi perbankan dalam pelaksanaan perjanjian penyediaan fasilitas kredit,dan status kreditor dan debitor dalam penyelesaian sengketa pada kredit sindikasi. Permasalahan ini ditelusuri dengan menggunakan pendekatan normative empiris dengan mengumpulkan dan menganalisis data sekunder dan data primer. Penelitian ini bersifat deskritif dan eksploratif. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa kredit sindikasi terjadi pada pembangunan proyek proyek besar dan jaminan di dalam pemberian kredit merupakan hal yang belum diperhitungkan secara matang serta status jaminan tidak diperjanjian secara jetas tegas dan terang,sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan eksekusinya. Pada kredit sindikasi terlihat adanya perjanjian yang obyeknya benda yang akan ada dikemudian hari.Berkaitan dengan kedudukan debitor dan kreditor, pada perjanjian sindikasi perbankan kurang diprediksi secara baik. Dari kasus-kasus yang ditelusuri dapat diketahui bahwa lemahnya kedudukan kreditor, karena tidak memperhitungkan permasalahan likuiditas yang disebabkan oleh perubahan iklim perekonomian negara, yang berakibat kreditor dituntut telah melakukan wanprestasi oleh debitornya. Pada perkembangannya praktik sindikasi telah diperjanjikan bahwa peserta sindikasi dapat bertindak sendiri­ sendiri dan tidak melalui agenntnya. Keadaan tersebut telah ikut berbelit-belit serta tanpa batas waktu yang jelas. Untuk menghindari kerugian,baik dari debitor maupun dari kreditor,seharusnya pada perjanjian pinjaman sindikasi suda memuat aturan yang jelas tentang nilai pertanggungan dan pertimbangan tentang kondisi yang dapat menyebabkan salah satu pihak berada pada pihak yang lemah. Untuk menghindari hambatan pelaksanaan eksekusi dan terjadinya berbagai penafsiran terhadap pelaksanaan hukum jaminan,maka pada akte perjanjian sindikasi hendaknya dimuat ketentuan tentang pelaksanaan eksekusi yang melindungi kedua belah pihak."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mifta Idianita
"Untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, Pemerintah pada bulan Maret 2006 telah mensahkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada UU Peradilan Agama yang baru terjadi perluasan kewenangan seperti diatur dalam pasal 49, semula Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan; kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; wakaf dan shadaqah diperluas termasuk ekonomi syariah dan khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga dalam bidang pidana. Dalam bidang perekonomian syariah, termasuk Perbankan Syariah Pemerintah telah mensahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Tidak hanya untuk mereka yang beragama Islam (Muslim) tetapi juga terbuka untuk yang beragama selain Islam (non-Muslim). Perbankan Syariah mempunyai dua kegiatan utama yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana (pembiayaan). Dalam kegiatan pembiayaan, walaupun telah dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah tetap dapat menimbulkan perselisihan hingga sengketa yang harus diselesaikan melalui pengadilan. UU Perbankan Syariah telah mengatur penyelesaian sengketa pada pasal 55, tetapi pada kenyataannya masih terjadi perbedaan pendapat tentang lembaga/pengadilan yang berwenang menyelesaikannya.

To fulfill the need of law for Indonesia society who is predominant Muslims, the government on March 2006 ratified The Law No. 3 of The Regarding the Amandement to Law No. 7 of the 1989 concerning The Religious Judicature. The current law of the Religious Judicature is accomodating the extension of the power as arranged on article No. 49. Previously the Religious Judicature wa responsible for and charge of investigation, made a decision and settled the cases of the first stage among Muslims such as : marriages, matters pertaining to inheritances, wills and bequetsts executed under the islamic law, but now property donated for religious or community use alms are expanded including sharia economy and particulary in the province of Naggroe Aceh Darussalam the criminal cases are also covered. In economy sharia including Sharia Banking, the government ratified the Law No. 21 of the 2008 regarding Sharia Banking.. Not only does it serve for Muslim but also for No-Muslims. Sharia Banking has two main activities, namely, raising the capitals and allocating the capitals (financing). Although the allocating capitals are executed based on sharia principles, there is likely disagreement to occur so that the dispute shall be settled in a court. The law of Sharia Banking has regulated to deal with dispute on article No. 55, but in fact, the differences still occur regarding the institution or court which hav authority to settle the dispute."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [2009;2009, 2009]
S22562
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>