Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Lyna
"Perkawinan merupakan suatu fase penting bagi setiap insan manusia di dunia selain kelahiran, pendewasaan dan kematian. Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum dan merupakan bagian dari hak asasi serta mempunyai arti yang penting bagi mereka yang menjalaninya. Pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik dari peristiwa hukum tersebut, sehingga setiap perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya serta tiap perkawinan dicatat. Saat ini agama dan kepercayaan yang dimaksud oleh pemerintah adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Dasar agama KHONGHUCU di Indonesia adalah UU No.l/PNPS/1965 dan SE Mendagri No.477/74054 sudah dicabut. Putusan Kasasi Perkawinan KHONGHUCU hanya berlaku untuk Budi dan Lanny saja. Bagi pasangan umat KHONGHUCU lainnya, perkawinannya tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan agama apa saja, seharusnya perkawinan KHONGHUCU adalah sah. Penolakan pencatatan perkawinan merugikan pasangan KHONGHUCU, yang merasakan kerugian lebih besar adalah isteri dan anak. Mereka tidak mempunyai bukti atas perkawinannya, anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin, tidak ada harta bersama dan tidak ada hak dan kewajiban suami isteri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miggi Sahabati
"Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang yang kemudian diwujudkan dalam sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sering timbul konflik di antara suami istri. Perjanjian perkawinan muncul sebagai alternatif untuk memberikan keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban bagi suami istri dalam perkawinan. Namun, perlu diteliti lebih lanjut mengenai pola pengaturan dan materi apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata dan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berkaitan dengan hak-hak istri dalam lembaga perkawinan, serta bagaimana pelaksanaannya selama ini di dalam praktek. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini diberi judul "Perjanjian Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan."
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan yang didukung dengan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam pengolahan data.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pola pengaturan perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur sesudah bab mengenai harta kekayaan perkawinan, sedangkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengaturnya sebelum hak dan kewajiban suami istri serta harta kekayaan perkawinan. Materi dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata lebih kepada persoalan harta kekayaan, sedangkan menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat diperjanjikan hal-hal lain di luar persoalan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan di dalam prakteknya masih mengatur seputar persoalan harta kekayaan suami istri.
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah agar dibuat suatu Peraturan Pelaksanaan mengenai ketentuan dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan dan agar diadakan suatu program penyuluhan dari pemerintah kepada masyarakat mengenai pentingnya dibuat suatu perjanjian perkawinan antara calon suami istri sebelum perkawinan berlangsung."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidia Karlani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan di masyarakat terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Apakah alasan suami istri memilih melakukan perkawinan di bawah tangan di kota Bengkulu? Apa akibat hukum dari perkawinan tersebut terhadap istri, anak dan harta bersama? Bagaimana prosedur hukum yang harus dilalui oleh suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah?. Penelitian kepustakaan yang didukung dengan data dari lapangan berupa wawancara dengan nara sumber yang kompeten. Alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah tangan karena biaya mahal, suami yang melakukan poligami, Pegawai Negeri Sipil yang tunduk pada PP Nomor 10 Tahun 1983 direvisi PP Nomor 45 Tahun 1990, alasan agama untuk menghindari perbuatan zina dan belum diakui oleh negara suatu penganut Kepercayaan sebagai agama. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap status istri, yaitu tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas warisan dan pensiunan suami, apabila terjadinya perceraian istri tidak berhak atas harta bersama. Terhadap status anak dianggap sebagai anak luar kawin, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Terhadap harta bersama, tidak ada harta bersama. Prosedur hukum yang dilalui suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah di mata hukum bagi beragama Islam mengajukan permohonan Itsbat Nikah pada Pengadilan Agama sesuai KHI Pasal 7. Mengulangi perkawinan diantara mereka disertai pencatatan perkawinan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada status istri dan anak, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.

ABSTRAK
A marriage is considered as legally valid, if it is conducted in accordance to the respective applicable religious law and belief of the parties involved (the bride and the groom). However, in reality it is found out that unofficial marriage still often happen, or in other word, not it accordance with the applicable law. What are the reasons that cause a couple prefers to conduct their marriage in such a way? What are the legal consequences particularly for the wife, the kids as well as the properties? What are the procedures should be conducted if the couple would like to enhance their marital status to a legal one? This research is conducted by applying a literature study supported by indepth interview with competent sources. Some of the reasons that make someone decide to conduct his/her marriage in such a way are due to the high cost in conducting a legal marriage, a husband applying polygamy marriage, while he is a government functionary who is bound with the Government Law No. 10 Year 1983, revised with the Government Law No. 45 Year 1990, religious reason, that is, to avoid considered as commit adultery, or regarding his/her status which is not yet recognized by the government due to his/her belief (which is not yet considered as a religion). The consequences of being a wife in a un-legal marriage would be particularly related to her status, that are, she is not considered as a legal wife, she has no right to inherit the husband's assets and pensions, and in case they had a divorce, she would have no right to get any of the assets earned during their living as a couple. Meanwhile, the consequences also happen to the child/children, in term that they will not be considered as legal children, and they only have legal civil relationship with their mother and her family. In term of family's assets, they have no right to them. The procedures that should be undergone by the couple that would like to enhance their status to a legal marriage, then to them who are Moslems, is that they should apply a request of the so-called Its bat Nikah in a religious court, which is in accordance with the Islamic Law Book Article 7. Then they should re-proceed their marriage ceremony while being noted and registered both in Office of Religious Affaires (Kantor Urusan Agama) as well as Civil Registration Office (Kantor Catatan Sipil). In order to avoid the occurrence of any unofficial marriage that brings inconvenient effect to the status of the wife and the child/children, the government is expected to give more socialization and education about the importance of the marriage registration to the society.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S. Heru Sagita Wijaya
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Utami
"Pada dasarnya negara meletakkan konsep pernikahan sebagai hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang sah menurut hukum agama dan kepercayaannya dan diakui oleh negara merupakan konsep yang sudah baku. Konsepsi tersebut menegaskan pernikahan sebagai bagian dari aspek psikologis, biologis, religius, dan yuridis. Perlunya pengakuan hukum negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sehingga ketiadaan pengakuan salah satu di antaranya di anggap sebagai ketiadaan pernikahan. Namun dalam perkembangan sekarang, ada kecenderungan terjadinya pernikahan yang dilakukan tanpa adanya pengakuan hukum negara. Ketiadaan pengakuan ini sering kali disebut sebagai perkawinan di bawah tangan yang terjadi karena alasan ketidakmampuan ekonomis dan ketiadaan izin dari atasan atau isteri sebelumnya. Oleh sebab itu, skripsi ini akan mengkaji tiga masalah dalam perkawinan di bawah tangan, yaitu pertama, bagaimana pandangan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap status hukum perkawinan di bawah tangan? Ke dua bagaimana kedudukan dan hak isteri di dalam perkawinan di bawah tangan ? Ke tiga, bagaimana permasalahan hukum yamg kemungkinan terjadi dalam perkawinan di bawah tangan? Pembahasan akan permasalahan tersebut akan diteliti dengan pendekatan yuridis-normatif sehingga menghasilkan kesimpulan pertama undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memandang status hukum perkawinan di bawah tangan sebagai perkawinan yang batal demi hukum dan tidak dapat di kategorikan sebagai perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974. Kedua 1 Kedudukan dan hak isteri di dalam perkawinan di bawah tangan adalah sangat lemah karena tidak dapat melakukan hubungan keperdataan. Ketiga, permasalahan hukum yang terjadi dalam perkawinan di bawah tangan adalah mengenai status hukum perkawinan yang menyulitkan posisi pasangan suami isteri tersebut dalam melakukan hubungan keperdataan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21208
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Dian Pratiwi
"Khonghucu sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan keimanan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia memeluknya. Dalam perkembangannya, Khonghucu mengalami berbagai hambatan. Di masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang membatasi perkembangan kebudayaan, kepercayaan dan agama yang dianut golonqan etnis Tionghoa serta berusaha mensosialisas ikan bahwa hanya ada lima agama (Islam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindu) yang dianut dan diakui sehingga Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Pengakuan suatu agama erat kaitannya dengan hukum perkawinan yang berlaku. Dalam hal ini timbul masalah mengenai dasar keabsahan perkawinan agama Khonghucu dan bagaimana prakteknya di Kantor Catatan Sipil. Untuk menjawab masalah tersebut, skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan lapangan, dimana data yang diperoleh berasal dari bahan-bahan pustaka dan hasil wawancara. Status Khonghucu sebagai agama yang diakui sebenarnya telah jelas tercantum dalam UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan Khonghucu adalah salah satu agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan pada ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, bila perkawinan oleh pasangan beragama Khonghucu telah di lakukan sesuai ketentuan dan tata cara yang ditetapkan dalam agama Khonghucu serta telah dianggap sah, maka perkawinan tersebut harus pula diakui keabsahannya oleh negara dan dapat dicatat sesuai peraturan yang berlaku. Tetapi dalam prakteknya di Kantor Catatan Sipil, perkawinan agama Khonghucu di tolak untuk dicatat dengan alasan agama Khonghucu tidak diakui dan dibina oleh Departemen Agama. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jaminan kemerdekaan beragama dari negara bagi tiap-tiap penduduk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Aliya
"Skripsi ini menjelaskan mengenai status hukum transeksual dan perkawinannya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam penelitian ini diambil tema mengenai transeksual dalam kaitannya dengan hak-haknya seperti mendapatkan identitas baru yaitu perubahan nama dan jenis kelamin untuk dicatatkan di Pencatatan Sipil dan juga mengenai perkawinan dikaitkan dengan keabsahan perkawinan tersebut yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undang. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan memaparkan mengenai suatu permasalahan, wawancara nara sumber ahli, dan analisa kualitatif dengan acuan literatur dan ketentuan yang berlaku.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa transeksual dapat mendapatkan identitas yang baru dengan cara mendapatkan penetapan pengadilan mengenai perubahan identitas barunya dan selanjutnya dicatatkan ke Pencatatan Sipil dan perkawinan transeksual adalah tidak sah berdasarkan sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga tidak dapat dicatatkan di Pencatatan Sipil.

The focus of this study is to explain the legal status of transsexuals and marriage in terms of Act No. 23 of 2006 on Demography Administration and Act No.1 of 1974 on Marriage. This research takes the themes of transsexuals in relation to their rights such as getting a new identity that is change of name and sex to be listed in the Civil Registry and also about the validity of marriage related with laws and regulation. The study is conducted in analytical descriptive in order to explain related information by interviewing the expert and perform qualitative analysis from related literature and regulations.
This study finds that transsexuals can get a new identity by getting determination from the court about their new identity and then can be listed to the Civil Registry and transsexual marriage is not valid based on the validity of the marriage in Act No. 1 of 1974 on Marriage, so it cannot be listed in Civil Registry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Gracia H.
"Perkawinan merupakan salah satu tonggak kehidupan dari manusia, selain tonggak kelahiran dan kematian. Karena menjadi tonggak kehidupan manusia, perkawinan menjadi penting peranannya dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, tidak mengherankan perkrawinan dijadikan suatu lembaga yang memuat berbagai nilai di dalamnya. Nilai kebahagiaan bersama yang kekal dan abadi di bawah kedamaian dan ketentraman, menjadi tujuan perkawinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu aturan yang memberikan kepastian. Dengan kata lain, diperlukan adanya ke pastian hukum. Di negara Indonesia, perkawinan dilembagakan dalam suatu aturan hukum , yaitu dalam UU No.1 Tahun 1974 dan juga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam perkawinan, dikenal apa yang disebut sebagai perjanjian perkawinan. Perjanjian ini dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, dan akan disahkan di saat akad nikah dilangsungkan. Setelah acara pernikahan dilangsungkan, perjanjian perkiwinan akan mengikat kedua belah pihak dan pihak ketiga. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memungkinkan diadakannya perjanjian perkawinan mengena harta kekayaan, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengaturnya. Karena itu, timbul permasalahan apakah dimungkinkan adanya perjanjian perkawinan yang mengatur hal-hal diluar harta kekayaan. Dapat jadi, perjanjian perkawinan mengatur hal-hal diluar harta kekayaan, tetapi dapat jadi perjanjian perkawinan tidak boleh mengatur hal-hal di luar harta kekayaan. Hal itu sangat bergantung pada sudut pandang yuridis yang dipakai, karena ada dua aturan hukum yang pengaturannya berbeda terhadap masalah ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S21183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>