Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134519 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawaty
"ABSTRAK
Rezim Hak Kekayaan Intelektual mulai berlaku di Indonesia sejak diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Salah satu bidang HKI ialah Rahasia dagang yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Berbeda dengan bidang HKI lainnya, rahasia dagang memiliki nilai ekonomi karena tetap dijaganya kerahasiaan mengenai suatu informasi dan tetap mendapat perlindungan selama kerahasiaannya dijaga. Dalam perkembangannya rahasia dagang mulai banyak dikaji mengenai kegunaannya sebagai benda jaminan kredit. Para ahli mengatakan bahwa rahasia dagang merupakan HKI non-tradisional dengan HKI lainnya dapat digunakan sebagai benda jaminan kredit. Di Amerika Serikat dan Thailand rahasia dagang sudah digunakan sebagai benda jaminan dalam transaksi berjaminan bersama-sama dengan HKI lainnya. Dalam tulisan ini penulis mengkaji rahasia dagang sebagai benda jaminan kredit di Indonesia berdasarkan konstruksi hukum yang berlaku saat ini. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dimana penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan untuk mendukung analisa hukum yang lebih komprehensif dan akurat penulis menggunakan juga pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini juga bersifat deskriptif analisis dimana penulis menjelaskan asas-asas hukum yang berkaitan dengan rahasia dagang, benda jaminan kredit, dan perbankan. Kesimpulan yang didapat yakni bahwa berdasarkan hasil kajian terhadap konstruksi hukum di Indonesia rahasia dagang dapat dijadikan benda jaminan kredit namun dalam penerapannya dalam bidang perbankan dibutuhkan perangkat hukum yang secara tegas mengatur rahasia dagang sebagai benda jaminan kredit dan prosedur pelaksanaannya."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fatrekiesa Kartika Aranta
"Rahasia dagang merupakan salah satu hak kekayaan intelektual yang semakin populer di kalangan pengusaha. Rahasia dagang dapat diberikan perlindungan sepanjang informasi tersebut terjaga kerahasiaannya dan tidak diungkapkan ke publik. Walaupun begitu, dalam kenyataannya pemilik rahasia dagang mau tidak mau harus mengungkapkan informasi kepada karyawan untuk menunjang kegiatan usaha. Biasanya, dalam suatu perjanjian kerja akan disertakan klausula non-disclosure dan non-competition. Namun, masih terdapat kasus di mana terjadi dugaan penyalahgunaan rahasia dagang oleh mantan karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan rahasia dagang dan efektivitas klausula non-competition dalam kasus dugaan penyalahgunaan informasi oleh mantan karyawan perusahaan kosmetik di Indonesia dan Amerika Serikat. Penulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Tinjauan ini ditujukan untuk membahas isu hukum yang ada dalam rahasia dagang serta pentingnya perlindungan hukum terhadapnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pentingnya beban pembuktian dalam proses persidangan serta klausula non-competition dinilai hanya efektif dalam jangka waktu tertentu saja. Klausula ini hanya merupakan upaya dan tidak bisa menjamin terjaganya aspek kerahasiaan. Sedangkan, mantan karyawan akan selalu membawa pengetahuan tersebut dan bisa kapan saja mengungkapkan informasi tersebut. Namun, hendaknya perjanjian disepakati dengan asas berkeadilan untuk menjamin kesejahteraan karyawan agar tidak melanggar hak untuk bekerja.

Trade secrets are an increasingly popular form of intellectual property among entrepreneurs, providing protection as long as the information remains confidential. However, business operations often necessitate the disclosure of such information to employees, typically managed through non-disclosure and non-competition clauses in employment agreements. Despite these measures, there are still instances where former employees are accused of misusing trade secrets. This study aims to analyze the protection of trade secrets and the effectiveness of non-competition clauses in cases of alleged misuse by former employees in cosmetic companies in Indonesia and the United States. Using doctrinal research methods, this study examines the legal issues surrounding trade secrets and underscores the importance of robust legal protections. The findings highlight the critical role of the burden of proof in court proceedings and reveal that non-competition clauses are only effective for a limited time. These clauses are only efforts to maintain confidentiality but do not guarantee it, as former employees may still disclose the information. However, agreements should be made based on the principle of fairness to ensure employee welfare and prevent violations of the right to work."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Janet Dosroha
"Dalam beberapa tahun terakhir, industri ekonomi kreatif Indonesia sedang mengalami perkembangan. Namun, terdapat salah satu persoalan yang dihadapi oleh pelaku ekonomi kreatif, yaitu minimnya infrastruktur pendukung, seperti terbatasnya akses ke pembiayaan. Berkaitan dengan pembiayaan, salah satu masalah yang menonjol adalah keengganan bank untuk menerima hak kekayaan intelektual sebagai jaminan. Pada dasarnya, kedudukan hak kekayaan intelektual untuk dijadikan jaminan telah diatur dalam undang-undang. Hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia. Namun, terdapat ketiadaan peraturan pelaksana dalam pengimplementasiannya. Untuk itu, dalam semangat memajukan industri ekonomi kreatif, Pemerintah menerbitkan PP 24/2022 yang mengatur mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. PP 24/2022 memuat pranata pendukung hak kekayaan intelektual sebagai objek jaminan. Namun, kebijakan ini dianggap belum dapat diimplementasikan dikarenakan terkendala dalam beberapa aspek, antara lain lembaga penilai, standar valuasi, sistem administratif, dan regulasi teknis. Pengaturan mengenai kedudukan HKI sebagai objek jaminan juga dikenal di negara Amerika Serikat dan Korea Selatan, yang mana telah berhasil untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas dan menganalisis perbandingan pengaturan dan implementasi penilaian kekayaan intelektual sebagai objek jaminan pada negara Amerika Serikat dan Korea Selatan, yang dapat memberikan rekomendasi berupa langkah lanjutan untuk perbaikan pengaturan dan implementasi di Indonesia. Bentuk penelitian dari skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif yang didukung oleh studi kepustakaan dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Berdasarkan perbandingan dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, dapat disimpulkan bahwa instrumen hukum dalam implementasi kekayaan intelektual sebagai objek jaminan belum diatur secara komprehensif, jelas, dan menyeluruh. Selain itu, implementasi kekayaan intelektual sebagai jaminan utang di Indonesia terkendala oleh lembaga penilai, standar valuasi, sistem administratif, dan regulasi teknis. Oleh karena itu, disarankan perbaikan dan pengambilan langkah lanjutan untuk merealisasikan pelaksanaan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan.

In recent years, Indonesia's creative economy industry has been on the rise. However, there is one problem faced by creative economy actors, namely the lack of supporting infrastructure, such as limited access to financing. Concerning financing, one of the prominent problems is the reluctance of banks to accept intellectual property rights as collateral. Regulatory-wise, the position of intellectual property rights to be used as collateral has been regulated in law. Intellectual property rights can be used as fiduciary guarantees. However, there is a lack of implementing regulations in its implementation. For this reason, in the spirit of advancing the creative economy industry, the Government issued PP 24/2022 which regulates intellectual property-based financing schemes. PP 24/2022 contains institutions that support intellectual property rights as collateral objects. However, this policy is deemed unable to be implemented due to constraints in several aspects, including assessment institutions, valuation standards, administrative systems, and technical regulations. Arrangements regarding the position of IPR as collateral objects are also known in the United States and South Korea, which have been successfully implemented. Therefore, this thesis will discuss and analyze the comparative arrangement and implementation of intellectual property valuation as collateral objects in the United States and South Korea, which can provide recommendations in the form of further steps to improve regulation and implementation in Indonesia. The research form of this thesis is juridical-normative with a descriptive research typology supported by literature studies and interviews as data collection tools. Based on comparisons with the United States and South Korea, it can be concluded that legal instruments in the implementation of intellectual property as collateral objects have not been regulated comprehensively, clearly, and thoroughly. In addition, the implementation of intellectual property as collateral for debt in Indonesia is constrained by appraisal institutions, valuation standards, administrative systems, and technical regulations. Therefore, it is recommended to improve and take further steps to realize the implementation of intellectual property as a guarantee object."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Rana Izdihar
"Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam berbagai produk dan jasa semakin meningkat, di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang dikembangkan menjadi suatu teknologi hingga dapat melakukan penalaran dan pembelajaran mandiri. Namun, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur teknologi ini sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan apakah AI dapat diklasifikasikan sebagai objek HKI, khususnya pada hak cipta dan paten. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis tanggung jawab pemegang HKI atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI miliknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi perlindungan AI sebagai objek HKI dengan menggolongkannya sebagai program komputer. Sedangkan, perihal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum tetap dibebankan kepada pemegang hak AI karena AI belum dapat dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab.

The development and use of technology in various products and services is increasing, including Artificial Intelligence (AI). AI is a branch of computer science that has been developed into a technology which has the ability to learn and solve problems through logical deduction. However, until now, there is no regulation in Indonesia that specifically regulates this technology which creates legal uncertainty. There are various legal discoveries and interpretations made in an effort to protect AI by Intellectual Property Rights (IPR). This paper attempts to explain whether AI can be classified as an object of IPR, particularly copyrights and patents. In addition, this paper will also analyze the legal liability of right holders for losses caused by their AI. The results show that there are variations in the protection of AI as an object of IPR by classifying it as a computer program. Meanwhile, the issue of liability for the losses caused by AI is still a matter of debate. Most argue that the liability remains with AI rights holders because AI has not yet been defined as a legally liable subject."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Annisa Maylia Murdiono
"HKI pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang haknya. Dengan perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit pertama kali diperkenalkan melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang secara tidak langsung menjadi landasan motivasi bagi para kreator, pencipta, dan/atau inventor karena negara sudah mulai menghargai karya mereka dengan adanya pengakuan dan pelindungan. Bahwa kehadiran PP No. 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif disinyalir dapat memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi kreatif, termasuk UMKM, perseorangan, maupun badan hukum, dengan merek sebagai agunan. Sampai saat ini, belum ada penerapan merek sebagai jaminan utama di Indonesia karena dalam POJK No. 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, tidak mengakui merek sebagai aset/jaminan yang diakomodir. Di negara maju seperti Amerika Serikat, merek telah digunakan sebagai agunan utama dalam kredit perbankan. Maka dari itu, penelitian ini akan membandingkan pengaturan serta penerapan jaminan berbasis KI khususnya merek untuk mendapatkan jawaban bagaimana Amerika Serikat dapat menerapkan merek sebagai jaminan utama kredit perbankan. Metodologi penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini akan berupa sebuah laporan yang mengidentifikasi dan mengklarifikasi permasalahan yang ada sehingga dapat melewati proses analisis dan pengambilan kesimpulan. Dari temuan dan perbandingan hukum yang akan disampaikan dalam penelitian ini dapat dirumuskan berbagai solusi untuk mengatasi kendala penerapan merek sebagai jaminan utama kredit perbankan di Indonesia.

Intellectual Property Rights (IPR) essentially hold economic value that can be utilized by their holders. With the development of global society, IPR can be used as collateral to obtain bank loan. New regulations regarding IPR as a loan security were first introduced through Law No. 28 of 2014 concerning Copyright and Law No. 13 of 2016 concerning Patents, which indirectly became a source of motivation for creators, inventors, and/or inventors because the state has begun to appreciate their works by providing recognition and protection. The presence of Government Regulation No. 24 of 2022 concerning the Creative Economy is expected to facilitate creative economy players, including MSMEs, individuals, and legal entities, with trademarks as collateral. Until now, there has been no implementation of trademarks as primary collateral in Indonesia because, in Financial Services Authority Regulation No. 40/POJK.03/2019 concerning the Assessment of the Quality of Commercial Bank Assets, trademarks are not recognized as accommodated assets/collateral. In developed countries such as the United States, trademarks have been used as primary collateral in bank loan. Therefore, this research will compare the regulations and implementation of IPR-based collateral, particularly trademarks, to find out how the United States can implement trademarks as primary collateral for bank loan. The research methodology in this thesis writing is juridical-normative and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this research will be a report that identifies and clarifies the existing problems so that they can undergo the process of analysis and conclusion drawing. From the findings and legal comparisons that will be presented in this study, various solutions can be formulated to overcome the obstacles to implementing trademarks as primary collateral for bank loan in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Yusrika Febriani
Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Fety Soeganto
"Dalam rangka pembangunan negara Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang perekonomian, maka pemerintah menunjukkan alur penanaman dana pada bank atau lembaga keuangan lainnya, yang mana salah satu dari penanaman dana itu dalam bentuk sirapanan deposito. Deposito yang merupakan bentuk simpanan berjangka waktu, dapat dimasukkan kedalam kelompok surat berharga (sertifikat deposito) dan surat yang berharga (surat/bilyet deposito-deposito berjangka). Bila dihubungkan dengan hukum kebendaan deposito termasuk kedalam bentuk benda bergerak, sehingga apabila dijadikan jaminan kredit dengan cara menggadaikan deposito itu. Dalam keadaan mendesak deposito yang belum sampai jatuh temponya dapat dijadikan jaminan kredit, yaitu-dengan cara membuat surat perjanjian kredit antara debitur (dapat deposan atau orang lain) dan kreditur (bank atau lembaga keuangan), yang mana perjanjian kredit ini mempunyai sifat riel dan merupakan perjanjian standard, karena bentuk dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh kreditur. Bentuk perjanjian standard inilah yang perlu diciptakan suatu peraturan perundang-undangannya di bidang perkreditan nasional agar fungsi kredit sebagai sarana pembangunan dapat terlaksana dengan baik. Mengenai berapa bGsar kredit yang dapat diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan jaminan deposito, tentunya kreditur akan memperhitungkan masih berapa lama jatuh temponya dalam bentuk mata uang apa nominal deposito itu dan berapa besar suku bunga kredit yang harus dikenakan hal ini tampaknya belum ada peraturan yang menentukan, karena tiap-tiap bank berbeda-beda dalam memberikan pinjaman kepada debitur yang menjaminkan depositonya, disamping itu faktor kebonafiditas dari debitur juga akan mempengarubi kreditur dalam memberikan kredit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Januardo
"ABSTRAK
Undang-Undang Rahasia Dagang diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000 melalui produk Undang-Unlang Nomor 30 Tahun 2000. Sebagai anggota WTO, Indonesia memiliki tanggung jawab secara moral untuk menegakkan aturan-aturan dalam TRIPs yang di dalamnya terdapat salah satu butir pasal yang mengatur mengenai Protection of Undisclosed Information.
Undang-Undang Rahasia Dagang diatur dalam 19 pasal, yang mengatur pasal pidana dalam pasal 17. Delik pidana dalam pelanggaran pidana rahasia dagang diatur dalam pasal l7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yakni UULIK ADUAN. Sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20011 diundangkan, pelanggaran pidana berkenaan dengan rahasia dagang diatur dalam bentuk pasal persaingan curing dalam pasal 382 bis KUH Pidana maupun mengenai hub mengenai Membuka Rahasia.
Namun, justru pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 sebagai Lex Specialis dalam penegakkan pidana rahasia dagang kurang memadai dan memiliki banyak celah hukum yang dapat menghambat perlindungan penegakkan dan perlindungan rahasia dagang di Indonesia.
Sehingga adalah bijak untuk mengkaji kembali unsur-unsur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yang mcnguakkan celah hukum yang dapat mengganggu penegakkan rahasia dagang dalam rangka menumbuhkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Lembar: "
2007
T17319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>