Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172377 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Situmorang, Santun Meinar Henderika
"Pendaftaran tanah adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah, hal ini ditetapkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Namun tanah yang berada dalam Kawasan Huan tida didaftar pada Kantor Pertanahan. Ketiadaan pendaftaran tanah tersebut membawa akibat lemahnya pembuktian atas keberadaan Kawasan Hutan, meski atas tanah tersebut telah mendapat penunjukan dan penetapan sebagai Kawasan Hutan dengan surat keputusan Menteri Kehutanan. Hal ini terlihat pada putusan atas sengketa Tanah yang berada dalam Kawasan Hutan, yakni putusan-putusan yang menjadi obyek analisis dalam tesisi ini. Intinya adalah bahwa gugatan tidak dapat diterima karena letak, batas, luas tanah tidak jelas. Alasan ini telah dipergunakan oleh hakim pada putusan Peninjauan Kembali pada tahun 1989 dan kemudian diikuti oleh hakim pada Pengadilan Tinggi pada tahun 2007, Hakim tidak meninjau sengketa tersebut dari sudut hukum Pertanahan dan Undang-Undang Kehutanan. Hakim hanya terpaku pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, yaitu tentang pembuktian. Hal ini jelas merupakan kelemahan yang diakibatkan oleh ketiadaan pendaftaran tanah terhadap Kawasan Hutan. Sesungguhnya jika diteliti tidak ditemukan ketentuan yang menyatakan bahwa Kawasan Hutan bukan merupakan obyek pendaftaran tanah.
Berdasarkan tujuan dari pendaftaran tanah yakni, untuk memberi jaminan kepastian hukum terhadap tanah, Kawasan Hutan sebaiknya didaftarakan di Kantor Pertanahan sebagai tanah Negara, sesuai hukum pertanahan maka untuk pendafataran tanah Negara tidak akan diterbitkan sertipikat, tapi hanya didaftar pada daftar tanah di kantor pertanahan. Pendaftaran menurut hukum pertanahan akan memberi kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan dan juga Departemen Kehutanan akan mempunyai alat bukti yang kuat tentang status tanah dalam Kawasan Hutan, serta akan melindungi keberadaannya dari usaha masyarakat sekitar yang mengklaim persilpersil tanah dalam Kawasan Hutan sebagai tanah milik.

Land registration is-an activity conducted to provide legal certainty assurance regarding iand, this is stipulated by the based principles of Agrarian Law however, land located in forest area is not registered at land office. The absence of land registration over Forest area has caused the weakness for evidencing for existence force regarding the presence of forest area* even though over such land has been obtained designation and affirmation as forest area through the decree of the Minister of Forestry according to the Forestry Law. This can be noticed in the decisions towards disputes over lands located in forest area, which are the decisions which become the object of analysis in this essay. The principles of such decisions is the claim is unacceptable because the location; bordera, size, of the disputed land is not clear, this reason of the judges has been used in the decision for judicial review to the supreme court in 1978, and then, it was f ollowed by judges in the high courts in 2007, the judges did not observe such dispute of land from the point of view of Land Law and Forestry Law, Judges was only focusing on the Civil Code which is regarding evidences . this is clèârly à weakness caused by the absence o f land registration over Forest Area, Actually* if being observed, cannot be found the presence of provision which states that Forest Area is not an object of Land Registration.
Based on the objective of land registration, which is, to provide legal certainty assurance over land, Forest Area should be registered at the Land Office as State Land. Registration according to Land Law will provide legal certainty. With land registration over Forest Area, then, the Ministry of Forestry will have sound evidence regarding the status of the land in Forest Area. And it will also protect its presence from the effort of its surrounding community who claim the parcels of lands in Forest Area as their proprietary rights."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T36971
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Santun Meinar Henderika
"Pendaftaran tanah adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah, hal ini ditetapkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Namun tanah yang berada dalam Kawasan Huan tida didaftar pada Kantor Pertanahan. Ketiadaan pendaftaran tanah tersebut membawa akibat lemahnya pembuktian atas keberadaan Kawasan Hutan, meski atas tanah tersebut telah mendapat penunjukan dan penetapan sebagai Kawasan Hutan dengan surat keputusan Menteri Kehutanan. Hal ini terlihat pada putusan atas sengketa Tanah yang berada dalam Kawasan Hutan, yakni putusan-putusan yang menjadi obyek analisis dalam tesisi ini. Intinya adalah bahwa gugatan tidak dapat diterima karena letak, batas, luas tanah tidak jelas.
Alasan ini telah dipergunakan oleh hakim pada putusan Peninjauan Kembali pada tahun 1989 dan kemudian diikuti oleh hakim pada Pengadilan Tinggi pada tahun 2007, Hakim tidak meninjau sengketa tersebut dari sudut hukum Pertanahan dan Undang-Undang Kehutanan. Hakim hanya terpaku pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, yaitu tentang pembuktian. Hal ini jelas merupakan kelemahan yang diakibatkan oleh ketiadaan pendaftaran tanah terhadap Kawasan Hutan. Sesungguhnya jika diteliti tidak ditemukan ketentuan yang menyatakan bahwa Kawasan Hutan bukan merupakan obyek pendaftaran tanah.
Berdasarkan tujuan dari pendaftaran tanah yakni, untuk memberi jaminan kepastian hukum terhadap tanah, Kawasan Hutan sebaiknya didaftarakan di Kantor Pertanahan sebagai tanah Negara, sesuai hukum pertanahan maka untuk pendafataran tanah Negara tidak akan diterbitkan sertipikat, tapi hanya didaftar pada daftar tanah di kantor pertanahan. Pendaftaran menurut hukum pertanahan akan memberi kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan dan juga Departemen Kehutanan akan mempunyai alat bukti yang kuat tentang status tanah dalam Kawasan Hutan, serta akan melindungi keberadaannya dari usaha masyarakat sekitar yang mengklaim persilpersil tanah dalam Kawasan Hutan sebagai tanah milik
Land registration is-an activity conducted to provide legal certainty assurance regarding iand, this is stipulated by the based principles of Agrarian Law however, land located in forest area is not registered at land office. The absence of land registration over Forest area has caused the weakness for evidencing for existence force regarding the presence of forest area* even though over such land has been obtained designation and affirmation as forest area through the decree of the Minister of Forestry according to the Forestry Law. This can be noticed in the decisions towards disputes over lands located in forest area, which are the decisions which become the object of analysis in this essay.
The principles of such decisions is the claim is unacceptable because the location; bordera, size, of the disputed land is not clear, this reason of the judges has been used in the decision for judicial review to the supreme court in 1978, and then, it was f ollowed by judges in the high courts in 2007, the judges did not observe such dispute of land from the point of view of Land Law and Forestry Law, Judges was only focusing on the Civil Code which is regarding evidences . this is clèârly à weakness caused by the absence o f land registration over Forest Area, Actually* if being observed, cannot be found the presence of provision which states that Forest Area is not an object of Land Registration.
Based on the objective of land registration, which is, to provide legal certainty assurance over land, Forest Area should be registered at the Land Office as State Land. Registration according to Land Law will provide legal certainty. With land registration over Forest Area, then, the Ministry of Forestry will have sound evidence regarding the status of the land in Forest Area. And it will also protect its presence from the effort of its surrounding community who claim the parcels of lands in Forest Area as their proprietary rights.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Lucy Ishimora
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai pendaftaran tanah yang dilakukan berdasarkan pelepasan hak atas tanah adat khususnya Suku Dawir di Kampung Tobati, Jayapura Selatan. Hal ini menjadi masalah karena proses pendaftaran dan peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dilakukan berdasarkan Sertipikat Hak Milik yang terbit karena pendaftaran tersebut terjadi pada kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa Jayapura. Penulis menganalisis akibat hukum dari pendaftaran dan peralihan hak atas tanah bersertipikat Hak Milik pada kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa berdasarkan kasus yang terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 147/Pdt.G/2017/PN.Jap. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Penulis melakukan analisis menggunakan teori pendaftaran tanah dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana tumpang tindih kepemilikan lahan yang dapat terjadi pada tanah-tanah yang berasal dari hak ulayat masyarakat adat dan berada pada kawasan hutan. Penerbitan sertipikat Hak Milik seharusnya tidak dapat dilakukan terhadap kawasan hutan yang dalam hal ini adalah Taman Wisata Alam. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan berdasarkan sertipikat tersebut juga seharusnya batal demi hukum.

ABSTRACT
This thesis examines the land registration based on waiver of rights on communal rights especially in Dawir Tribe, Tobati Village South Jayapura. This became a problem because the land registration and land right transition based on previous freehold title happen above the Youtefa Bay Nature Recreational Park. The writer analyzed the effect of the registration and land right transition according the case happened in Jayapura Court District Number 147/Pdt.G/2017/PN.Jap. This thesis used a library research. The writer analyzed using the land registration theory and relevant regulations. This exploration showed how overlapping land ownership could happen at the land owned by indigenous people, especially thus located in the forest area. Freehold title publication should't happen above forest area including Nature Recreational Park area. The land rights transition did based on the certificate couldn't happen to and should be stated illegal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marindi Cintyana
"Girik adalah alat bukti tanda membayar pajak. Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah yang berlaku bersumber hanya hukum adat. Girik digunakan oleh pemilik tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah, karena hanya pemilik tanah yang wajib membayar pajak. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria terjadi perubahan secara fundamental di bidang hukum tanah dan hak- hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta yang menganggap Girik adalah bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik tidak kuat untuk menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah apabila terjadi sengketa di Pengadilan. Oleh karena itu perlunya sosialisasi dari pihak pemerintah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah adalah berupa Sertipikat, bukanlah Girik. Banyak masyarakat yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan Girik, karena didalam literatur ataupun Perundangundangan mengenai pertanahan sangatlah jarang dibahas dan dikemukakan. Tanah Girik bukan merupakan bentuk kepemilikan hak sesuai dengan UUPA, melainkan hanya bukti pembayaran pajak tanah saja. Namun demikian , Petuk Pajak Bumi/ Landrentee, Girik, Pipil,Verponding Indonesia ini adalah salah satu bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti permasalahan dalam penulisan tesis ini mengenai sengketa tanah girik yang telah mendapat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 166/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. pemilik dari Girik C nomor 1349 tidak dapat membuktikan kepemilikannya yag sah di pegadilan, karena kurangnya alat bukti yang lain. Girik dapat menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah dengan didukung alat bukti yang lain yang menguatkan. Oleh sebab itu, perlunya sosialisasi yang dilakukan pemerintah agar masyarakat melakukan pendaftaran pertama kali atas tanah yang masih berstatus hak milik adat.

Girik is proof of payment of tax. Before Act Number 5 of 1960 regarding Agrarian Law, the prevailing law on land was bassed on common law. Girik used by the land owner as a proof of the land, because only a landholder who is obliged to pay taxes. Since Act Number 5 Year 1960 regarding Agrarian Law promulgated, land law and personal rights on land in Indonesia fundamentally changed.. In fact, Some of Indonesian people especially in Jakarta still thought that Girik is an evidenceof land ownership. Because of that, need for socialization of the government to tell people that the proof of ownership land rights is a Sertipikat. Many people do not understand what is referred about Girik, because in literature or regulations of land is very rarely discussed and presented about that.Girik certificate is not propietary right as pointed out in Basic Agrarian Law (UUPA). It only indicates tax payment receipt. Nevertheless, there are other [less formal] land certificate of Petuk Pajak Bumi, Landrentee, Girik, Pipil, verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation (PP) No.24 of 1997 concerning Land Regisration. Shown in land dispute case on Court of Central JakartaDecision Number 166/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST. This research uses a method of a descriptive analysis with yuridis normative approach."
2015
T43965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andre Wirasakti
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahriani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T36201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Don Arfan
"Tesis ini membahas mengenai jual beli hak atas tanah berdasarkan hukum adat yang dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah dengan menganalisa suatu putusan pengadilan Negeri Cibinong. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan kualitatif, sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kedudukan jual beli tanah yang dilakukan berdasarkan hukum adat dalam pandangan hukum positif di Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum serta penyelesaian hukum terhadap pemegang hak terakhir yang mengalami kesukaran untuk melakukan pendaftaran tanah akibat jual beli berdasarkan pada hukum adat, dari hasil penelitian disarankan bahwa jual beli hak atas tanah hendaknya dilakukan dihadapan PPAT yang berwenang, dan Kantor Pertanahan berikut PPAT sebagai mitra Kantor Pertanahan selalu memberikan informasi serta melakukan penyuluhan tentang Hukum Tanah Nasional kepada masyarakat setempat agar terciptanya kepastian hukum dan adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah.

This thesis discusses the sale and purchase of land rights based on customary law wich is made the basis for land registration by analyzing a decision of the Court Cibinong. Research using this method of research with a qualitative approach normative, so that this research can provide a snapshot of the sale and purchase is based on customary law in the positive law in Indonesia and how the protection and legal settlement of the last holder of the rights that are difficult to perform the registration of land in onder maintenance data. Based on the results of research suggested that the sale and purchase rights to the land should be done before the authorized PPAT and PPAT office land below as a patner of the Land Office land below as a patner of the Land Office should always be to provide information and conduct espionage on national land law to the local community in order to to create legal certainty and the protection of the law rights over land."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37565
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Perum Perhutani
Jakarta : Perum Perhutani, 1989,
R 910. .202 Per o
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Nengah Bawa Atmadja
"Hutan Kera Sangeh adalah kawasan hutan asli yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke XVII, dan terus bisa bertahan kelestariannya sampai sekaranq. Bahkan sejalan dengan adanya kenyataan bahwa Bali sebaaai salah satu daerah tujuan wisata, maka hutan tersebut berkembang pula menjadi Objek wisata yang terkenal di Bali. Meskipun demikian, kelestarian hutan tersebut tetap terjaga. Penael c l aan obyek wisata tersebut sepenuhnya ditangan oleh Desa adat Sangeh. Kelestarian Hutan Kera Sangeh disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kepercayaan masyarakat setempat bahwa hutan itu adalah milik dewa, sehingga Desa adat Sangeh berusaha melindunginya agar dewa tidak memarahi mereka, dengan Cara membuat aturan-aturan tertentu yang mengatur hubungan antar manusia dengan hutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, perlindungan tersebut di sebabkan pula oleh kepercayaan mereka bahwa mata air yang terdapat di Yeh Mumbul, yang sangat berguna untuk pengairan pada Subak Sangeh di anggap bersumber di Hutan Sangeh. Karena itu perlindungan terhadap hutan tersebut berarti pula perlindungan terhadap air yang mereka butuhkan. Peranan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia, tidak bisa pula di abaikan dalam memperkuat posisi Hutan Kara Sangeh, yaitu melalui penetapan hutan itu sebagai hutan yang dilindungi, dengan status cagar alam, sejak tahun 1919. Selanjutnya, pemanfaatan hutan itu sebagai obyek wisata justru memperkuat usaha masyarakat setempat untuk menjaga kelestariannya, sebab mereka melihat kelestarian Hutan Kara Sangeh berarti pula mereka menjaga kelestarian sumber finansial yang sengat berguna bagi Desa Adat Sangeh maupun warganya.
Perkembangan Hutan kera Sangeh sebagai obyek wisata, dieebabkan oleh daya tarik yang dimilikinya, yaitu bersumber dari lingkungan alam dan pura-pura yang ada di dalamnya, terutama Pura Bukit Sari. Hal ini diperkuat pula oleh keterbukaan masyarakat setempat terhadap kunjungan wisatawan dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan, baik yang di prakarsai oleh Desa adat Sangeh beserta warganya, maupun yang disediakan oleh pemerintah daerah. Obyek wisata tersebut sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak tahun 1900-an. Kunjungan wisatawan ke obyek tersebut terus meningkat, dan sejalan dengan itu maka desa adat pun manatanya secara bertahap sehingga akhirnya mencapai tahap kemapanan.
Pengelolaan obyek wisata itu sepenuhnya ditangani oleh Desa adat Sangeh. Agar desa adat bisa berperan seperti apa yang diharapkan, yakni menangani bidang adat dan agama, serta sekaligus sebagai pengelola Qbyek wisata, maka desa adat Sangeh melakukan pembaharuan kelembagaan, yakni menambah organ-organ baru dalam struktur pemerintahan Desa Adat, yang meliputi LKMD Adat, Seksi Pengelola Obyek wisata, Seksi pembangunan Pura Bukit Sari, PT Bank Desa Sangeh, dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Selain itu, desa adat juga membentuk organisasi bisnis sejenis, yakni Perkumpulan Pedagang dan Perkumpulan Tukang Foto Langsung Jadi, lengkap dengan awig-awignya. Selanjutnya, sebagai pengelola obyek wisata, desa adat memainkan beberapa peranan, yakni : (1) menyediakan lokasi fasilitas pariwisata; (2) mendistribusikan lokasi kios dan kesempatan kerja yang ada; (3) mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata; (4) menerima dan menjaga keamanan tamu; (5) mengelola masukan financial; dan (6) menjaga kelestarian dan kebersihan obyek?"
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>