Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166005 dokumen yang sesuai dengan query
cover
RR. Murdiningsih Hayu Perwitasari
"Tesis ini membahas peranan notaris dalam proses pengakuan anak luar kawin menjadi anak sah. Di dalam K.U.H.Perdata dan Undang-Undang Perkawinan terdapat pembedaan antara anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan biasa disebut anak sah dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan biasa disebut anak luar kawin. Anak luar kawin tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya sehingga anak luar kawin tidak mendapat hak yang sama dari ayahnya seperti anak sah. Tetapi dalam K.U.H.Perdata memberi kesempatan bagi anak luar kawin untuk dapat merubah status anak luar kawin menjadi anak sah, dengan cara mengakui anak luar kawin yang biasa disebut dengan proses pengakuan anak luar kawin. Pengakuan anak tersebut dapat dilakukan melalui Akta Notaris. Permasalahan yang timbul dari latar belakang tersebut adalah bagaimana proses peningkatan anak luar kawin menjadi anak sah dalam hukum perdata Indonesia dan bagaimana akibat hukum dalam hal tidak dilakukannya pengesahan anak luar kawin.
Metode penelitian yang dipakai dalam membahas permasalahan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menyarankan perlunya dikeluarkan suatu aturan untuk melengkapi proses serta akibat hukum dalam pengakuan anak luar kawin dan pengesahannya sebagai pengaturan dan tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

This thesis focus on notary role in confession of external marriage child into legitimate child. In civil code and marriage act there are differencies between child who born in marriage usually called legitimate child and external marriage child. External marriage child does not have law relationship with his/her father so that the external marriage child does not have the same right like legitimate child. But, in civil code giving chance to external marriage child to change the status into legitimate child by confession of external marriage child. That child confession can be done by notary act. The problem that arise from that background is how the external marriege child proces to become a legal child in Indonesia civil code and how the law consequences in the matter of no authentication of external marriage child.
Research method which used in this problem is normative law research method. The data were collected researcher suggest that there is importance to release an act in order to complete the proces and also law consequences in external marriage child confession and the authentication as act and implementation of marriage act number 1 year 1974 about marriage."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T37295
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Enno Soebardjo
"Untuk menuju pembangunan manusia seutuhnya, pembaharuan Undang-Undang diutamakan guna melestarikan ketertiban dan kedamaian dimasyarakat. Setiap manusia memiliki sesuatu yang dihargai, masing masing dalam jumlah yang relatif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Pancasila, sepanjang belum ada atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan perkawinan lainnya masih berlaku. Penelitian dilakukan melalui buku-buku bacaan dan instansi yang terkait. Arti perkawinan di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa. Syarat-syarat perkawinan mengikuti keadaan masyarakat yaitu menurut agama dan kepercayaannya, akibat perkawinan terhadap harta hendak terjadi pemisahan harta tanpa ada perjanjian perkawinan, alasan perceraian untuk pegawai negeri berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 serta peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Harta benda perkawinan peraturannya sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sejak perkawinan berlangsung ada harta yang ter pisah dan harta bersama. Kitab Undang-undang Hukum Perdata bukan warisan budaya bangsa Indonesia. Perjanjian perkawinan tidak banyak digunakan oleh bangsa Indonesia padahal calon suami isteri mendapat kebebasan mengatur harta benda nya, kalaupun itu ada biasanya terjadi antara calon suami atau isteri karena adanya perbedaan yang besar mengenai harta yang dimilikinya. Memuat perjanjian perkawinan berarti mereka akan menentukan harta bendanya atas persetujuannya, dengan memisahkan selain harta yang dibawa, warisan atau hadiah juga harta yang didapat selama perkawinan, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan harta bersama adalah harta yang di peroleh selama waktu perkawinan, dimiliki secara bersama tidak masing - masing, kecuali dari warisan atau hadiah. Perjanjian dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, waktu perkawinan akte perjanjian disyahkan oleh pegawai pencatat. Perjanjian perkawinan ini disaksikan oleh dua orang saksi, ditanda tangani oleh calon suami-isteri Notaris dan saksi- saksi. Selama perkawinan, perubahan perjanjian perkawinan tidak bisa walaupun dengan persetujuannya, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Mengenai hukum perkawinan pada umumnya dan harta benda calon suami-isteri termasuk perjanjian perkawinannya, sebagai warga negara Indonesia berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab I-XIV, pasal 1-67, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Bab I-X, pasal 1-49 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, pasal 1-23. Calon suami-isteri, penghayatan hukum perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya adalah perlu diperhatikan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam beberapa pasalnya menunjuk ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triska Sastiono
"Pada saat ini, hubungan intim (sex) yang dilakukan antara perempuan dan lelaki sebelum atau tanpa adanya pernikahan adalah hal yang dianggap biasa padahal hubungan tersebut akan berakibat fatal apabila terlahir anak yang akan menyandang status anak luar kawin. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum perkawinan dan keluarga secara nasional adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang aturannya mengenai anak luar kawin cukup minim. Hal tersebut menarik untuk di perbandingkan dengan ketentuan mengenai anak luar kawin yang terdapat dalam K. U. H. Perd yang mengatur kedudukan anak luar kawin secara komprehensif. ternyata setelah melakukan perbandingan baik melalui kepustakaan maupun penelitian di lapangan, terdapat persamaan maupun perbedaan pada kedua ketentuan perundang-undangan tersebut. Perbedaan tersebut diantaranya pada UU No. 1 Tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya sehingga anak luar kawin berkedudukan sebagaimana anak sah terhadap ibu dan keluarga ibunya namun Undang-undang ini tidak mengatur hubungan anak luar kawin dengan bapak biologisnya sedangkan pacta K.U.H.Perd anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapapun kecuali telah dilakukan pengakuan oleh ibu dan atau bapak biologisnya, pengakuan ini dapat ditingkatkan melalui pengesahan yang memberi status anak sah terhadap anak luar kawin. K.U.H.Perd dapat mengisi kekosongan hukum dalam UU No. 1 Tahun 1974 melalui pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 namun hal ini pun masih belum dapat memenuhi rasa keadilan. Salah satunya terlihat dalam putusan No. 935 K/Pdt/19 98 antara Melina G v Hendrik K yang mana Melina menuntut Hendrik untuk mengakui dan menafkahi anak luar kawin yang telah dibenihkan oleh mereka. Pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan agar Hendrik mengakui anak tersebut dan memberinya nafkah berupa rumah. Pada saat ini perlindungan hukum terhadap anak pada umumnya telah diatur oleh UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak, dan Konvensi Hak-Hak Anak yang mana dalam ketentuan-ketentuan tersebut hak anak untuk mengetahui dan dinafkahi oleh orang tuanya dijamin oleh negara serta oleh yurisprudensi yang memperhatikan kepentingan terbaik anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S20815
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiyawati
"Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian selain berakibat bagi bekas suami dan isteri, juga membawa akibat terhadap anak dibawah umur. Perceraian suami isteri dapat terjadi karena berbagai upaya yang dilakukan kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik yang terjadi mengalami jalan buntu, maka perceraian merupakan jalan keluar yang paling baik bagi pasangan suami isteri yang tidak mungkin lagi dapat hidup rukun, sebagaimana yang dituju oleh ikatan perkawinan. Salah satu akibat dari perceraian antara suami isteri terhadap anak dibawah umur menimbulkan perwalian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 3 macam perwalian, perwalian oleh suami/isteri, Perwalian dengan surat wasiat dan perwalian yang diangkat oleh hakim, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ada 2 macam, perwalian yang diangkat oleh hakim dan perwalian dengan surat wasiat. Akibat perceraian terhadap anak dibawah umur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 229 ayat 1 Perwalian diserakan kepada seorang dari kedua orang tuanya sebagai wali, ini merupakan kekuasaan yang bersifat individual, sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 (a) perwalian oleh bapak atau ibu, ini merupakan kekuasaan yang bersifat kolekti£. Tanggung jawab orang tua, terhadap anak dibawah umur berbeda antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa kewajiban itu bukan hanya sampai pada dewasa tetapi sampai mereka mampu untuk berdiri sendiri walaupun telah terjadi ikatan perkawinan antara orang tuanya putus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia
"Pada dasarnya setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan, sehingga sangat wajar apabila seorang pria dan seorang wanita menyatakan untuk hidup bersama dalam waktu yang sangat lama dalam suatu lembaga yang disebut dengan perkawinan. Dalam perkawinan tersebut, mereka akan dihadapi masalah-masalah yang harus mereka hadapi bersama, dimana masalah yang paling sensitif adalah masalah mengenai harta benda (keuangan). Untuk mencegahnya, pasangan suami istri tersebut dapat membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka menikah. Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) peraturan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Penulis ingin mengetahui perbedaan dari isi perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dalam mengumpulkan datanya ditunjang dengan wawancara dengan narasumber yang terkait.
Perjanjian perkawinan yang dilakukan pasangan suami-istri merupakan suatu sarana unruk mempermudah dan memperjelas pengaturan harta kekayaan calon pasangan suami istri tersebut. Pada dasarnya perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No.l Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tidak mengandung perbedaan yang terlalu banyak. Sayangnya masyarakat Indonesia masih menganggap perjanjian perkawinan tidak terlalu diperlukan, padahal perjanjian perkawinan memiliki banyak manfaat dalam pengaturan masalah keuangan di rumah tangga mereka."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlisa
"Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat berbagai macam hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah. Oleh karena itu dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat terjadi unifikasi di bidang hukum perkawinan. Namun jika kita perhatikan isi dari Undang-Undang Perkawinan tersebut akan nampak bahwa Undang-Undang tersebut hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedangkan penjabarannya lebih lanjut dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya. Namun peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan kemudian di dalamnya hanya mengatur sebagian dari Undang-Undang Perkawinan dan khusus mengenai hukum harta perkawinan belum tercakup di dalamnya. Jadi oleh karena itu bagi mereka yang melangsungkan pernikahan dan tunduk pada B. W. sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan mengenai harta perkawinan mereka tetap tunduk pada ketentuan B.W. sedangkan bagi mereka yang menikah setelah berlaku Undang-Undang Perkawinan maka Undang-Undang tersebut berlaku baginya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis yang bersumber dari bahan kepustakaan yang menganalisa dan memberikan gambaran mengenai perbedaan pengaturan harta benda perkawinan dalam B.W. dan Undang-Undang Perkawinan. Karena antara B.W. dan Undang-Undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang cukup besar. Oleh karena itu kita masih perlu mempelajari hukum harta perkawinan yang ada dalam B.W. disamping Undang-Undang Perkawinan karena ketentuan tersebut masih berlaku bagi sebagian anggota masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Yanto
"Skripsi ini membahas mengenai Gugatan atas Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Th. 1974. Menurut KUHPerdata dengan perkawinan terjadi percampuran harta secara bulat, kecuali adanya perjanjian perkawinan. Harta bersama menurut KUHPerdata termasuk aktiva dan passiva. Apabila terjadi perceraian harta bersama dibagi dua antara suami-isteri. Isteri mempunyai hak eksklusif untuk melepaskan hak atas harta bersama. Menurut UU No. 1 Th. 1974 harta bersama adalah harta yang diperoleh selama dalam proses perkawinan. Apabila terjadi perceraian harta bersama dibagi menurut hukum masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. UU No. 1 Th. 1974 tidak mengatur detil mengenai harta perkawinan dan mengenai mekanisme pelepasan hak atas harta bersama tidak diatur, ini berbeda dengan KUHPerdata. Skripsi ini juga menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Bogor No. 73/Pdt/G/2003/PN.Bgr.

This thesis discusses The Join Property lawsuit Due to Divorce According to The Book of the Civil Law and Act Number 1 of 1974 on Marriage. According to The Book of Law Civil Law by mixing marital property occurs as a whole, unless the marriage covenant. Matrimonial property according to The Book of Law Civil Law including assets and liabilities. In case of divorce joint property divided between husband and wife. Wife has the exclusive right to release the right to join property. According to Act Number. 1 of 1974 on Marriage join property is property acquired during the marriage process. In case of divorce join property is divided according to their respective laws, namely the religious law, customary law and other laws. Act Number 1 of 1974 did not set up details about the marital property and mechanism of waiver of join property is not set, this is different from The Book of Civil Law. This thesis also analyzes The Bogor District Court Decision No.73/Pdt/G/2003/PN.Bgr."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1320
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marlisye Pandin
"Tujuan Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera jasmani dan rohani, merupakan kewajiban kedua orang tua untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga, karena keharmonisan dalam rumah tangga merupakan hal yang utama untuk mewujudkan pelaksanaan kesejahteraan anak, orang tua yang pertama dan bertanggung jawab atas kesejahteraan anak. Bila terdapat penyalah gunaan kekuasaan atau penelantaran anak maka orang tua dapat dicabut hak penguasaan anaknya. Walaupun tidak secara tegas dicantumkan namun masih dapat kita jumpai pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan kesejahteraan anak yaitu dalam bab-bab yang mengatur tentang kekuasaan orang tua dan Perwalian. Hal yang mendasari setiap putusan Hakim di Pengadilan adalah untuk memberikan kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Widyastuti
"ABSTRAK
Dalam suatu perkawinan kehadiran seorang wali bagi calon pengantin perempuan
keberadaannya adalah mutlak. Apabila dalam suatu perkawinan tidak dihadiri oleh
wali bagi anak perempuan, maka perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan dan
nerkawinannya menjadi tidak sah baik berdasarkan Hukum Islam maupun menurut
Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Posisi ayah biologis bagi seorang Anak Luar Kawin yang merupakan calon pengantin
perempuan akan digantikan oleh Wali Hakim yang ditunjuk oleh menteri yaitu
Kenala Kantor Urusan Agama. Perkawinan tersebut kemudian akan dilangsungkan
S t a r k ^ Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tertang.Wali Hakim
Ayah biologis dari seorang Anak Luar Kawin tidak mempunyai hubungan nasab
dengan anaknya dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya. Hal
tersebut berdasarkan Hukum Islam yang bersumber kepada al-Qur an dan al-Hadits
Kompilasi Hukum Islam dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentans Perkawinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian
kenustakaan yang bersifat yuridis-normatif yaitu dengan cara menganalisa bahanbahan
hukum primer berupa Peraturan Perandang-vmdangan serta ketentuanketentuan
lain yang mengatur atau berkaitan dengan Wali Hakim dan penelitian
dengan menggunakan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan penulisan tesis
ini Penelitian hukum normatif ini disebut juga penelitian hukum kepustakaan (library
research) dan untuk melengkapi penelitian kepustakaan dilakukan wawancara.
Setelah dilakukan penelitian mengenai status anak di luar kawin menurut Hukum
Islam dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dapat disimpulkan bahwa
Anak Luar Kawin tidak ada hubungan nasab anak dengan ayah biologisnya, sehingga
tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan ayah biologisnya, untuk itu yang
menjadi wali dalam Perkawinan Anak Luar Kawin adalah Wali Hakim karena anak
luar kawin tidak mempunyai Wali Nasab.

ABSTRACT
Based on Islamic law, that is an obligation for the presence of a proxy in the marriage
of women. Based on the Islamic Law, The Compilation of Islamic Law, and also Act
No. I Year 1974 about Marriage, if the women’s proxy is absence in the marriage
process that makes the marriage become illegal. The authority of the biological father
of illegal children as a bride will be replace by the Proxy, whose pointed by Ministry
of religion is the Head of the local regional religion affair office. Thus the marriage
will be held based in the Regulation of Ministry of religion No. 30 year 2005 about
Proxy. The biological father of illegal children does not have “nasab” relation with
her daughter, the daughter only has civil case relation with her mother, and this is
based on the Koran, hadist, the Compilation of Islamic Law, and also Act No 1 Year
1974 about marriage. This research conduct by literacy research which is analyze
primary law sources such as regulation and any other decree that related with the
authority of the proxy in the marriage of illegal children, and this research also
conduct by analyze the second law sources that related with the topics cf this thesis.
The normative law research which is also named literacy research which is to make a
comprehensive research this research also conduct interview with resources persons.
This research conclude that the status of illegal children based on the Islamic Law and
the regulation is that illegal children have no “nasab” relation with her biological
father, this make no right and obligation relation between daughter and her biological
father, therefore the one who has authority in the marriage of illegal children is the
Proxy because illegal children have no “nasab” relation."
2009
T37408
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>