Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173828 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shirlay Santosa
"Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi dimensi dan bersifat transnasional. Dimata dunia internasional, Indonesia dipandang masih rentan terhadap praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme karena regulasi sistem keuangan yang terbatas, penegakan hukum yang tidak efektif dan meluasnya praktek korupsi. Dalam rangka menyikapi kelemahan-kelemahan bangsa Indonesia tersebut apalagi jika dipersandingkan dengan negara Amerika Serikat yang telah membentuk badan khusus di bidang analisa transaksi keuangan, yaitu FinCEN ( Financial Crimes Enforcement Network) sejak tahun 1990, maka berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dibentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang tugas pokoknya adalah membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Dalam penelitian ini, penulis hendak memperbandingkan kedudukan, latar belakang pembentukan, tugas dan wewenang PPATK di Indonesia dengan FinCEN di Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan sifat deskripstif analisis. Hasil penelitian menyarankan untuk lebih mengefektifkan fungsi dan tugasnya, PPATK juga harus diberikan kewenangan untuk melakukan investigasi, karena hakikat dibentuknya lembaga ini adalah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan sehingga kewenangan melakukan investigasi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan seharusnya melekat pada PPATK.

Crime on money laundering is multi dimension, international crime and transnationalistic. In the eye of international world, Indonesia is still susceptible to money laundering practice and terrorist funding, this is due to limitation of financial regulations, ineffective law enforcement and country wide corruption. In order to face the problem and weakness of the country, and comparing with the regulation and the situation in the United States of America who has establish a special organization in analyze of financial trnsactions since 1990, called FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network), Indonesia has established a special organization based on authority given by Undang-undang No. 15 year 2002, named Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). The PPATK has main job to assist law enforcement in preventing and in removing the money laundering transactions as well as other big and heavy crimes by providing intelligent information which result from the analysis of reports sentto PPATK. In this research, the writer would like to compare positioning, background, job descriptions and authority of PPATK in Indonesia to her counterpart, FinCEN in United States of America. This research is normative research with descriptve analysis. Result of this research suggests to effectively develope function and duty of PPATK, for it will have to be given authority to do investigations as the real background to establish the organization is to prevent and tackle the crimes therefore authority to investigate as one of very important elements and it should be attached and it's a must."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S469
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Sulistyowati
"Penelitian ini mengevaluasi konsistensi perencanaan dan penganggaran Program Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di PPATK dikarenakan adanya kecenderungan inkonsistensi pada dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut. Tujuan penelitian untuk memberikan rekomendasi bagi PPATK dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat konsistensi perencanaan dan penganggaran PPATK tahun 2011 sebesar 31,06%, artinya tingkat konsistensi masih tergolong rendah. Pemahaman kurang memadai mengenai restrukturisasi program dan kegiatan menjadi masalah pokok inkonsistensi yang terjadi. Hasil penelitian menyarankan PPATK untuk meningkatkan kompetensi pegawai dalam bidang perencanaan dan penganggaran. Sinergisitas para pembuat kebijakan terkait perencanaan dan penganggaran menjadi faktor fundamental dalam mensukseskan pelaksanaan restrukturisasi program dan kegiatan.

This research evaluates the consistency between planning and budgeting on the Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering and Terrorism Financing Program in Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) because there is a tendency of inconsistency between planning and budgeting documents. The research main objective is to give recommendation to INTRAC on how to improve their knowledges and skills on how to make a good planning and budgeting documents. This research is using qualitative descriptive method. The result showed that the level of consistency between planning and budgeting in 2011 is 31.06%, it means still relatively low. The lack of understanding the restructuring programs and activites concepts was believed to be the main concern about inconsistency.The policy makers combined effort and collaboration is the fundamental key to accomplish a successful implementation of restructuring programs and activities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T38638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Basuki Wicaksono
"Sebagai Penyedia Jasa Keuangan, Manajer Investasi dan Bank Kustodian diwajibkan menerapkan customer due diligence terhadap nasabahnya. Dalam satu rangkaian skema investasi reksa dana, apakah penerapan customer due diligence dilakukan masing-masing oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian, atau oleh Manajer Investasi atau Bank Kustodian saja. Penerapan customer due diligence oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian terhadap investor reksa dana ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dan teliti, serta bagaimana dengan isu kepastian hukumnya terkait dengan aturan yang ada selama ini. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan micro comparison, penulis berfokus pada perbandingan antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk menjawab pertanyaan tentang pengaturan penerapan customer due diligence terhadap investor reksa dana di kedua negara tersebut, serta pengaturan manakah yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia, customer due diligence dilakukan oleh Manajer Investasi yang kemudian didokumentasikan dalam sistem S-INVEST yang dikelola oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Data ini kemudian digunakan oleh Bank Kustodian. Baik Indonesia maupun Amerika Serikat telah mengadopsi rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk penerapan enhanced due diligence bagi nasabah berisiko tinggi seperti politically exposed persons (PEP) dan transaksi lintas batas yang berisiko tinggi. Secara umum, pengaturan customer due diligence di Indonesia sudah cukup ideal dan sesuai dengan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), bahkan dalam beberapa hal pengaturan penerapan customer due diligence di Indonesia jauh lebih lengkap dan efektif apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat, antara lain dengan adanya Pengelolaan Investasi secara Terpadu (S-INVEST) dan Layanan Administrasi Prinsip Mengenali Nasabah. Hal ini inline dengan hasil Mutual Evaluation Review FATF terhadap Indonesia, dimana khusus terkait dengan technical compliance (kepatuhan teknis) terhadap Rekomendasi 10 tentang customer due diligence, Indonesia memperoleh rating largely compliant (LC).

As Financial Service Providers, Investment Managers and Custodian Banks are required to implement customer due diligence on their clients. Within the framework of a mutual fund investment scheme, should customer due diligence be conducted separately by both the Investment Manager and Custodian Bank, or by either the Investment Manager or Custodian Bank alone? The implementation of customer due diligence by Investment Managers and Custodian Banks for mutual fund investors is an interesting topic to study and examine, particularly regarding the legal certainty of the existing regulations. Using doctrinal research methods with a micro-comparison approach, the author focuses on comparing Indonesia and the United States to answer questions about the regulation of customer due diligence implementation for mutual fund investors in both countries, and which regulation is ideal to be applied in Indonesia. The research findings indicate that in Indonesia, customer due diligence is carried out by the Investment Manager and then documented in the S-INVEST system managed by the Indonesian Central Securities Depository (KSEI). This data is then used by the Custodian Bank. Both Indonesia and the United States have adopted the recommendations of the Financial Action Task Force (FATF) to prevent money laundering and terrorism financing, including the implementation of enhanced due diligence for high-risk clients such as politically exposed persons (PEP) and high-risk cross-border transactions. In general, the customer due diligence regulations in Indonesia are quite ideal and in line with the FATF recommendations. In some aspects, the customer due diligence implementation regulations in Indonesia are even more comprehensive and effective compared to the United States, particularly with the presence of the Integrated Investment Management (S-INVEST) system and the Customer Due Diligence Administration Service. This is consistent with the results of the FATF Mutual Evaluation Review of Indonesia, where Indonesia received a largely compliant (LC) rating regarding technical compliance with Recommendation 10 on customer due diligence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dastie Kanya
"Pencucian uang merupakan fenomena yang aktual di industri perbankan hingga saat ini. Tindakan yang tidak pernah terlepas dari tindak pidana asalnya ini pun telah dikriminalisasi di Indonesia. Dengan begitu berarti masyarakat mulai menyadari akan bahaya dan kerugian yang diakibatkan dari tindakan ini. Guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah membentuk suatu lembaga independen yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau yang dikenal dengan PPATK.
Tulisan ini membahas mengenai peran dan fungsi dari PPATK dalam melakukan penegakan hukum atas adanya tindak pidana pencucian uang dengan mengambil contoh kasus pencucian uang yang diduga dilakukan oleh oknum pegawai Citibank Indonesia. Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang meliputi studi kepustakaan dan wawancara dan kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa peran dan fungsi PPATK dalam kasus ini lebih mengarah kepada peran yang bersifat represif yakni penanganan atas tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Peran dari PPATK ini juga membantu aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa memang benar oknum pegawai Citibank tersebut dapat dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Money laundering is recently an actual phenomenon in banking industry. The action that has never been apart from the predicate crime has been criminalized in Indonesia. Therefore, the society begins to recognize the danger and losses caused by this action. To prevent and expel the money laundering, Indonesia has established an independent agency called The Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center known as INTRAC.
This paper discusses the role and function of INTRAC in enforcing the law of money laundering by taking samples of suspected cases, carried out by individual employees of Citibank Indonesia. The principal problem is answered by using normative juridical research method, which includes literature studies and interviews. It leads to the conclusion that the role and function of INTRAC in this case is more directed to the repressive role of the handling on money laundering itself. The role of INTRAC has also helped law enforcement officials to prove that the individual employees of Citibank might be entangled with Article 3 of Law Number 8 Year 2010 concerning The Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S555
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Sekartaji
"Pembalakan liar merupakan kejahatan kehutanan yang menghasilkan keuntungan besar dan memotivasi pelaku untuk terus melakukannya. Pendekatan anti pencucian uang, yang menargetkan kekayaan hasil kejahatan, menjadi salah satu upaya strategis untuk menangani masalah ini. Penelitian ini menganalisis efektivitas pendekatan tersebut dalam konteks pembalakan liar di Indonesia, menggunakan perspektif Green Criminology dan parameter efektivitas hukum William M. Evan. Data penelitian meliputi putusan pengadilan terkait pembalakan liar dan pencucian uang dari 2019–2023. Temuan menunjukkan bahwa meskipun pendekatan ini memiliki potensi besar, penerapannya belum optimal. Kendala utama mencakup minimnya laporan transaksi mencurigakan, kompleksitas identifikasi transaksi ilegal, serta kurangnya koordinasi antar-lembaga. Strategi PPATK melalui pengembangan Green Financial Crime menjadi sorotan penting untuk menangani pencucian uang yang berasal dari kejahatan lingkungan. Penelitian merekomendasikan penguatan koordinasi antar-lembaga, peningkatan komitmen penegak hukum, serta regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan sektor kehutanan. Dengan pendekatan yang lebih holistik, pemberantasan pembalakan liar diharapkan dapat melindungi lingkungan sekaligus mencegah kerugian negara secara signifikan

Illegal logging is a forestry crime that generates significant profits, motivating perpetrators to continue their actions. The anti-money laundering approach, which targets the proceeds of crime, is a strategic effort to address this issue. This study analyzes the effectiveness of this approach in combating illegal logging in Indonesia, using a Green Criminology perspective and William M. Evan's legal effectiveness parameters. The research data include court decisions related to illegal logging and money laundering cases from 2019–2023. Findings indicate that while this approach holds great potential, its implementation remains suboptimal. Key challenges include the lack of suspicious transaction reports, the complexity of identifying illegal transactions that often resemble legitimate business activities, and insufficient inter-agency coordination. The Financial Transaction Reports and Analysis Centre (PPATK) strategy, through the development of Green Financial Crime, is highlighted as a critical effort to tackle money laundering originating from environmental crimes. The study recommends strengthening inter-agency coordination, enhancing law enforcement commitment, and implementing stricter regulations for companies in the forestry sector. With a more holistic approach, efforts to eradicate illegal logging are expected to significantly protect the environment and prevent state losses."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livya Roska Pingkan author
"Berkembangnya bidang perekonomian Indonesia, menciptakan dampak negatif dan positif. Dari segi positif dapat kita rasakan, bahwa perkembangan perekonomian ikut membantu pembangunan nasional. Sedangkan pada dari sisi negatifnya dapat kita temui jenis pelanggaran atau kejahatan dalam sistem perbankan. Salah satunya adalah tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang atau money laundering adalah kejahatan yang berupaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan sebagai uang yang seolah-olah diperoleh secara legal. Salah satu upaya yang diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Yaitu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Pembentukannya disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini kemudian dirubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, PPATK bebas dari intervensi pihak manapun. PPATK memperoleh informasi dari Laporan PJK, Ditjen Bea Cukai, Informasi Media dan Masyarakat. Kemudian PPATK menyimpan, menganalisis dan mengevaluasi informasi tersebut. PPATK menyerahkan hasil analisanya terkait transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan atau penyidik lainnya untuk selanjutnya dilakukan penyidikan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Kristabella Subandi
"ABSTRAK
Bank merupakan penyedia jasa keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary karena kegiatan usaha bank adalah menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat yang kekurangan atau memerlukan dana (lacks of funds). Sehingga dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking). Penerapan prinsip kehati-hatian akan sangat menentukan tingkat kesehatan dari bank tersebut mengingat dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan. Money laundering adalah tindak pidana yang didefinisikan sebagai proses menyamarkan uang atau harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana dengan dimasukkan ke dalam sebuah sistem keuangan untuk dicuci sehingga seolah-olah menjadi uang atau harta kekayaan yang sah. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk
mengetahui peranan bank sebagai penyedia jasa keuangan terkait upaya pencegahan dan pemberantasan praktek money laundering di Indonesia. Hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa bank sebagai penyedia jasa keuangan harus melakukan beberapa upaya guna mencegah dan memberantas praktek money laundering, yaitu dengan menerapkan Customer Due Dilligence (CDD) pada operasional perbankan serta melakukan pelaporan transaksi keuangan. Guna mengetahui efektifitas dari penerapan Customer Due Dilligence (CDD) sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan praktek money laundering, Pemerintah memberikan kewenangan pelaporan dan pengawasan perbankan kepada Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan kewenangan terkait fungsi Regulasi dan Pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).

ABSTRAK
Bank is a financial services provider which serves as a financial intermediary because the business of banks is mustering funds from people who have surplus of funds and distribute it again to the people who lacks or need of funds. Thus in conducting its business activities, banks should consider the prudential banking principle. The application of prudential banking principle will determine the bank soundness, considering the primary basis of banking activity is trust. Money laundering is a criminal offense which is defined as the process of disguising money or assets which constitute proceeds of crime to put into the financial system to laundered, so that seems to be legitimate money. The purpose of this research is to investigate the role of banks as providers of financial services regarding prevention efforts and eradication of money laundering practices in Indonesia. The study authors concluded that banks as a financial service provider should do some efforts to prevent and combat money laundering practices by implementing Customer Due Diligence (CDD) on banking operations and reporting financial transaction. In order to know the implementation Customer Due Diligence (CDD) effectiveness as a prevention and eradication of money laundering practices, Goverment gives the authority to PPATK related reporting and banking supervision function to PPATK, and Regulation and Supervision function to OJK, that previously conducted by Bank Indonesia (BI)"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Safitri
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penerapan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) dengan memfokuskan pada studi kasus terkait upaya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Analisis dalam tesis ini menggunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Stephen D. Krasner bahwa dalam rezim internasional terdapat hubungan yang erat antara basic causal variables (pengaruh dan kepentingan) dan outcomes and related behaviour sebagai faktor penyebab terjadinya suatu tingkah laku dalam sistem internasional. Berdasarkan teori ini diketahui bahwa pengaruh G7 dalam pembentukan FATF sebagai organisasi internasional yang mengeluarkan Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) dan kepentingan Indonesia dalam dunia internasional telah menjadi latar belakang pemerintah mematuhi dan menerapkan rekomendasi FATF sebagai standar internasional dalam rezim anti pencucian uang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa melalui peningkatan kepatuhan dengan menerapkan rekomendasi FATF khususnya terhadap sektor perbankan, Indonesia mampu menjaga integritas sektor perbankan nasional serta pencitraan negara.

ABSTRACT
This thesis discusses about implementation of Financial Action Task Force (FATF) that focused on case study of the development of anti-money laundering in Indonesia. The analysis in this thesis is based on the theory of Stephen D. Krasner which said that there is a close relation between basic causal variables (power and interest) and outcomes and related behaviour in international regime as a causal factor that contribute to the behavior in international system. Based on this theory, it is understood that the power of G7 in the establishment of Financial Action Task Force (FATF) as an international organization that published Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) and Indonesia’s interest in international level, had become the reasons of Indonesia’s compliance and implementation towards FATF recommendations as an international standards of anti-money laundering regime. This research is qualitative with descriptive design. The result of research conclude that through enhancement of compliance by implementing FATF recommendations prominently towards banking sector, Indonesia was able to maintain the integrity of the national banking sector and national image. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhiawan
"Laporan hasil penelitian ini tentang penyidikan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Perhatian atau fokus penelitian adalah kegiatan unit Perbankan Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tersangka pencucian uang. Kegiatan para penyidik setelah menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang dugaan adanya pencucian uang. Kemudian pemahaman para penyidik dengan penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tnndak Pidana Pencucian Uang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap para tersangka. Metode penelitian dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan informan untuk mengumpulkan data dalam rangka memperoleh informasi atau gambaran secara holistik tentang obyek studi yang diteliti, kemudian dengan metode wawancara dan metode penelitian dokumen serta kajian dokumen. Penelitian dokumen dengan mempelajari contoh kasus yang nyata terjadi yaitu kasus pencucian uang di Jawa Timur dan kasus pencucian uang yang terjadi di Jakarta, yaitu dari kasus BNI Rp. 1,2 trilyun,-. Kedua kasus tersebut sudah mendapat persetujuan dan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan untuk slap disidangkan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dengan para penyidik di Unit perbankan dapat ditemukan beberapa hal dan memerlukan pemecahan lebih lanjut, antara lain :
a. pasal-pasal dalam perundang-undangan saling bertentangan, misainya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dalam pasal 41 berbunyi :
1. di sedang pengadilan saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
2. dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hal tersebut bertentangan dengan pasal 160 KUHAP, dimana saksi disebutkan secara jelas nama, alamat dalam proses persidangan terbuka. Dengan demikian belum ada aturan yang mengatur secara jelas yang dapat mengecualikan ketentuan tersebut.
b. Penerapan ketentuan khusus dalam penanganan pencucian uang dengan mengabaikan kejahatan umum dengan kata lain penanganan pencucian uang didahulukan daripada kejahatan umum.
c. Penegakan hukum tetap mengacu pada Hukum Acara Pidana sebagai payung umum) "back up".
d. Setiap penanganan tetap dibuatkan Berita Acara sesuai pasal 75 KU HAP karena pelanggaran pasal tersebut dapat dituntut dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Contohnya dengan Berita Acara Pendapatan yang ditandatangani penyidik dan memenuhi syarat.
Penanganan tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang hanya berdasarkan laporan dari PPATK saja, sebenarnya laporan langsung dari masyarakat juga bisa, asalkan didukung dengan adanya bukti-bukti yang kuat berdasarkan KUHAP. Demikian halnya adanya laporan dari penyidik unit lain misalnya dalam penanganan kasus penggelapan (primary crime) ternyata terdapat predicate crime yaitu pencucian uang. Unit tersebut langsung melakukan penyidikan tanpa menyerahkan kasus tersebut ke unit perbankan.
Kedudukan penyidik unit perbankan merupakan bagian dari Bareskrim, sehingga masih adanya hubungan antara atasan dan bawahan. Hubungan tersebut memungkinkan adanya intervensi dari atasan terhadap bawahan yang melakukan penyidikan terhadap kasus pencucian uang. Penyidik selaku bawahan tersebut tidak berani menentang apa yang diperintahkan atasan, yang sebenarnya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Jika berani menentang perintah atasan maka akan menerima sanksi kemungkinan dipindahkan ke lingkungan kerja lainnya yang lebih kering. Demikian halnya terjadi hubungan atau interaksi antara tersangka dan penyidik, pada waktu dilakukan perneriksaan. Dengan demikian kedudukan penyidik lebih tinggi daripada tersangka. Dad hasil wawancara antara peneliti dengan penyidik dinyatakan ada kalanya terjadi kolusi dan korupsi, walaupun tidak ada bukti otentik, namun hai itu ada dan nampaknya biasa terjadi dalam segala tingkat pemeriksaan.
Selain daripada itu terjadi perbedaan persepsi antara penyidik dengan jaksa sehingga sering terjadi bolak baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dibuktikan dalam penanganan kasus BNI, dimana jaksa meminta seluruh barang-bukti agar diserahkan, tetapi penyidik menyerahkan hanya barang bukti penyisihannya saja_ Maka dari itu memerlukan pertemuan rutin tingkat Mahkamah Agung, Kepala Kepolisian RI, Kejaksaan Agung untuk membahas perbedaan persepsi.
Demikian hasil penelitian yang dapat saya kemukakan menurut kemampuan saya, saran dan koreksi dari pembimbing dan penguji sangat diperlukan untuk perbaikan tesis ini."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Imanuel Arinatio
"Pencucian uang merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang berasal dari kejahatan, oleh sebab itu perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam tesis ini, penulis membahas mengenai dua konsep penanganan tindak pidana pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini. Di awal pembahasan, Penulis menjelaskan tentang kedua konsep tersebut beserta dengan pengaturannya menurut hukum positif di Indonesia. Selain itu Penulis juga menjelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan dari penerapan masing-masing konsep tersebut dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sudut pandang dan penerapan pada di lapangan oleh aparat penegak hukum (Jaksa, Advokat, dan Hakim) terkait penerapan kedua konsep tersebut. Selanjutnya, Penulis juga menggunakan Putusan Pengadilan untuk melihat bagaimana salah satu konsep tersebut diterapkan dan mencari kemungkinan timbulnya permasalahan dengan diberlakukannya kedua konsep tersebut. Kesimpulan pada penelitian ini, pertama, konsep follow up crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan, sedangkan konsep independent crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Adapun kedua konsep tersebut mendapatkan pengaturan dalam UU PP-TPPU. Kedua, konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Diadopsinya kedua konsep tersebut dalam UU PP-TPPU perbedaan sudut pandang antar penegak hukum dan adanya diversifikasi di lapangan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, dalam putusan yang digunakan, terhadap penanganan pencucian uang seperti yang ada pada putusan berpotensi menimbulkan masalah ketika harta dari pencucian uang berasal dari suatu tindak pidana yang bukan lingkup dari tindak pidana asal dalam UU PP-TPPU.

Money laundering is the act which the proceeds of crime are made to appear legitimate. As such, it is categorized as a criminal offense. In this thesis, the author discusses two concepts for handling money laundering offenses. The author explains these concepts, their advantages and disadvantages, and how they are regulated under Indonesian law. The discussion also includes an analysis of the perspectives and applications in the field by law enforcement officials (prosecutors, advocates, and judges) regarding the implementation of these concepts. Furthermore, the author examines court decisions to see how one of the concepts is applied and to identify potential problems in the application of both concepts. In conclusion, the first concept defines money laundering as a continuing criminal offense, while the second concept treats it as an independent criminal offense. Both are regulated in Law number 8 of 2010. The adoption of these two concepts has led to differing viewpoints among law enforcers and inconsistencies in the field, resulting in legal uncertainty. Additionally, in the court decisions analyzed, the handling of money laundering has the potential to cause problems when the proceeds of money laundering originate from criminal acts that fall outside the scope of the original criminal act as defined in the PP-TPPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>