Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57937 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Aimifrina
"Kesusastraan Minangkabau yang terpenting adalah kaba, Kabamerupakan cerita rakyatJ\4inangkabay yang berisi falsafah hidup Lerdlsaikan kebiiaksanaan masyarakat Minangkablu -{.at1m seluruh urpJt t"niaupannya. Untuk mengetahui falsafah hidup dan makna yang berada dibalik falsa{ah hidup tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis Kabq Cindua Mato. Teori yang digunakan adalah teori struktural Levi-Strauss dengan metode deskriptif. Hasil pembahasan diperoleh bahwa terdapat relasi antartokoh dan kontradilisi tokoh pa dakabatersebut. Relasi antartokoh antara tokoh yar,g tit ggrl di daerah Luhak Tanah Datar dengan daerah Rantau Luhak Tanah Datar. Daerah iunit, yiii, Ou"g Tuanku, Bundo Kanduang, dan Cindua Mato, sedangkan daerah rantau ialah Imbang Jayo, Rajo Mudo, dan Tiang Bungkuk. Kontradiksi terjadi antara Dang Tuanku dengan mban[ Jayo, Bundo Kanduang dengan Rajo Mudo, dan Cindua Mato dengan Tiang Bungkuk. Dari relasi intirtokoh dan kontradiksi dapat diketahui maknanya adalah (1) prosedur pelaksanaan hukum dan mendapat keadilan untuk semua warga adalah sama;(2) masalah diselesaikan dengan cara kekeluargaarrdan musyawarah; (3) fitnah menimbulkan permusuhan, peperangan, dan pembunuhan;(+;k";,r;rrrurr, kesetiaao dan tanggung jawab dapat mengangkat martabat dan derajat i"r"or*g (5) kebenaranberita perlu diselidiki, baru menentukan sikap; (6) penguasa harus memberi contoh yang baik dan menjadi panutan bagi warganya."
Yogyakarta: Balai Bahasa Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, 2013
407 WID 41:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Esha Tegar Putra
"Dalam kosmologi Minangkabau, Kaba Cindua Mato menempati posisi penting. Kaba tersebut merupakan penggambaran dari keseimbangan, ketertiban, dan struktur masyarakat Minangkabau. Struktur ceritanya secara genealogis, merunut kehadiran Bundo Kanduang sebagai analogi dari ‘alam’Minagkabau hingga Kaba Cindua Mato dapat dikatakan sebagai gambaran ideal tentang Minangkabau Keidealan tersebut membuat Kaba Cindua Mato digemari dari masa ke masa. Cerita dalam kaba tersebut terus mengalami proses alih wahana, mulai dari cerita lisan hingga teks tertulis, audio, dan video. Novel Cindua Mato karya Tito Alexi merupakan adaptasi terbaru yang berangkat dari Kaba Cindua Mato karangan Syamsuddin St. Rajo Endah. Tito Alexi melakukan perombakan terhadap konteks waktu dalam novel dengan menghadirkan Minangkabau setelah perang nuklir terjadi dan masyarakat membentuk koloni-koloni baru. Tito Alexi turut mengubah alur linear kaba menjadi kilas balik dengan penambahan dan pengurangan beberapa peristiwa dalam kaba. Bagaimana bentuk perubahan dalam proses adaptasi terhadap kaba yang dilakukan Tito Alexi? Argumen utama penelitian ini bahwa Tito Alexi telah melakukan proses adaptasi menggunakan konsep novel posmodern."
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017
810 JEN 6:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1994
LAPEN 07 Let d
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
M. Rasjid Manggis Datuk Radjo Panghoeloe
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 1980
899.224 4 RAS c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusuf
"ABSTRAK
Di kalangan masyarakat Minangkabau, Hikayat Tuanku nan Muda Pagaruyung atau Sedjarah Tuanku Rang Mudo hampir-hampir tidak dikenal. Padahal, kedua nama itu merupakan nama lain untuk sebuah cerita rakyat (lisan) yang hingga saat ini masih dikenal dengan baik oleh mereka. Cerita itu ialah Kaba Cindur Hata, yang di dalam bahasa Minangkabau diucapkan dengan Kaba Cindua Hato. Cerita ini kadangkala, seperti pernah digunakan oleh Mansoe'r (1970:71), dikenal dengan Mitos Bunda Kandung dan Cindur Mata. Nama yang terakhir ini oleh masyarakat Minangkabau dikenal dengan curito Bundo Kaaduang jo Cindua Mato.
Di dalam kedudukannya sebagai cerita rakyat, Kaba Cindua Mato, selanjutnya akan disingkat KCM, dikenal secara baik oleh masyarakat. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Van der Toorn (1891A), cerita ini menduduki tempat yang sangat penting di dalam khasanah kesusastraan tradisional Minangkabau. Pendapat itu dikemukakannya di dalam kata pengantar edisi dan terjemahan KCM (ke dalam bahasa Belanda), disertai keterangan mengenai ungkapan-ungkapan Minangkabau yang terdapat di dalam teks KCM. Edisi ini dikatakannya sebagai edisi setengah bagian pertama (150 halaman) dari 500 halaman (jumlah yang disebutnya kalau edisi itu selesai) dan akan segera diikuti oleh "setengah bagian kedua". Pada kesempatan itu Van der Toorn menyebut KCM legenda Melayu-Minangkabau.
Perlu dikemukakan di sini bahwa sejauh yang dapat ditelusuri hingga saat ini penerbitan "separoh kedua" seperti yang dimaksudkan oleh Van der Toorn belum (tidak) selesai. Studi yang khusus terhadap persoalan yang ada di balik tertundanya penerbitan tersebut pun belum pernah dilakukan.
Manan(1967:81) berpendapat bahwa KCM merupakan sebuah cerita rakyat yang tidak saja dikenal oleh segala lapisan masyarakat di Minangkabau, lebih dari itu cerita ini tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan mereka. Hal ini menurut Manan disebabkan KCM berintikan ajaran adat dan agama sebagai pandangan dan sikap hidup masyarakat, Minangkabau pada zaman dahulu.
Keberatan dapat diajukan terhadap pendapat di atas, yaitu atas anggapan bahwa KCM berintikan ajaran agama sebagai pandangan dan sikap hidup masyarakat Minangkabau pada zaman dahulu, sebab meskipun secara umum kaba dianggap sebagai harta kekayaan bersama, ini tidak berarti bahwa isi atau pesan yang ada di dalamnya sekaligus merupakan pandangan kolektif.
Mansoer (1970:38) dan Dt. Radjo Panghoeloe (1982:83-86) berpendapat bahwa tiap-tiap penyusun tambo (silsilah) dan tukang kaba yang "berkhabar" di hadapan umum, atau yang menyalin maupun membukukannya, bebas menyisipkan pendapat atau pandangan pribadinya atau pendapat umum yang sedang berpengaruh pada suatu ketika. Tiap-tiap penyusun atau tukang kaba, kata Mansoer, pada hakikatnya adalah seorang medeauteur. Dengan demikian, agaknya lebih tepat dikatakan bahwa sebagian unsur-unsur agama yang ada di dalam KCM merupakan pandangan pengarangnya. Dalam hal ini Abdullah (1970:12) menduga bahwa unsur-unsur yang disebutnya dengan unsur mistik tersebut dikarang atau dirumuskan oleh guru-guru mistik pada masa terjadinya pusat-pusat Islam di Minangkabau pada abad ke-17."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T10429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mina Elfira
"Kaba Cinduo Mato tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau baik dalam ranah publik maupun privat. Kaba ini menampilkan figur Bundo Kanduang yang dipercaya oleh masyarakat Minangkabau sebagai raja pertama kerajaan Pagaruyung. Bundo Kanduang diakui sebagai figur yang meletakkan dasar-dasar sistem pemerintahan Minangkabau yang berlandaskan agama Islam dan adat matrilineal. Legenda Bundo Kanduang, yang citranya masih mendominasi kehidupan sehari-hari perempuan Minangkabau dalam masyarakat kontemporer Minangkabau, telah menjadi fokus penelitian beberapa peneliti yang tertarik untuk melakukan analisa politik gender dalam masyarakat Minangkabau. Citra Bundo Kanduang dalam Kaba Cinduo Mato digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:
"Siapakah yang sesungguhnya memegang kekuasaan dalam masyarakat Minangkabau? "Apakah mungkin seorang perempuan menjadi seorang pemimpin, dalam ranah publik dan privat, dalam Minangkabau?".
Artikel ini menganalisa citra Bundo Kanduang yang dideskripsikan dalam Kaba Cinduo Mato. Argumen utama dari artikel ini adalah Bundo Kanduang dicitrakan dalam Kaba Cinduo Mato sebagai seorang raja yang berkuasa penuh dalam mengendalikan pemerintahannya di kerajaan pagaruyung, serta seorang ibu yang kuat dan bijak. Selain itu, kaba ini memperkuat deskripsi Minangkabau sebagai suatu masyarakat matrilineal dimana kaum perempuannya memiliki beberapa hak istimewa dan turut memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Kaba Cinduo Mato cannot be separated from Minangkabau social life, both in public and private spaces. This kaba describes the life of Bundo Kanduang Bundo Kanduang, believed by most of Minangkabau people as the first queen of Pagaruyung. It is believed that Bundo Kanduang established the foundation of Minangkabau government system which was based on Islamic and matrilineal principles. The legend of Bundo Kanduang, whose image has still dominated the daily life of Minangkabau women in contemporary Minangkabau society, has become the research focus of some researches who are interested in analysing gender politics within Minangkabau society. The image of Bundo Kanduang in Kaba Cinduo Mato is used in order to answer some questions such as "Who holds the power within Minangkabau society?" and "Is it possible for a woman to be a leader, both in public and private spaces, in Minangkabau adat society?".
This article analyses the image of Bundo Kanduang as described in Kaba Cinduo Mato. The main argument of this article is that Bundo Kanduang is described in Kaba Cinduo Mato as a ruler, who has a full authority in leading her government in Pagaruyuang kingdom, and a mother, who is strong and wise. Moreover, this kaba strengthens the description of Minangkabau as a matrilineal society where its women have some privileged rights and play significant roles in their community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1996
Rb 07 Mah u
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>