Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219049 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriaan Johannes Lonan
"Prinsip-prinsip yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti yang diatur dalam perundang-undangan tingkat nasional maupun internasional, telah lama ada pada masyarakat lokal di Minahasa, khususnya di desa Tombasian Atas dan Duasudara. Tujuan penulisan disertasi ini adalah 1) untuk meneliti apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam hayati yang ada sekarang, lebih maju dari peraturan perundang-undangan di zaman kolonial, 2) apakah ada prinsip-prinsip kepercayaan tradisional dalam masyarakat pedesaan di Tombasian-Atas dan Duasudara di daerah Minahasa yang menunjang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 3) Faktor-faktor apakah yang menghambat kelangsungan prinsip-prinsip kepercayaan tradisional tersebut, 4) untuk mengungkapkan dengan teori Leopold Pospisil dan teori Talcott Parsons, ada makna di dalam prinsip-prinsip kepercayaan tradisional pada masyarakat di desa Tombasian-Atas dan Duasudara yang tidak jau beda dengan makna yang terkandung di dalam undang-undang nasional. Disertasi ini menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (observasi, wawancara, dan partisipasi terbatas)."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1992
D1086
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriaan Johannes Lonan
"Prinsip-prinsip yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti yang diatur dalam perundang-undangan tingkat nasional maupun internasional, telah lama ada pada masyarakat lokal di Minahasa, khususnya di desa Tombasian Atas dan Dua sudara. Tujuan penulisan disertasi ini adalah 1) untuk meneliti apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam hayati yang ada sekarang, lebih maju dari peraturan perundang-undangan di zaman kolonial, 2) apakah ada prinsip-prinsip kepercayaan tradisional dalam masya- rakat pedesaan di Tombasian-Atas dan Duasudara di daerah Minahasa yang menunjang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 3) Faktor-faktor apakah yang menghambat kelangsungan prinsip-prinsip kepercayaan tradisional tersebut, 4) untuk mengungkapkan dengan teori Leopold Pospisil dan teori Talcott Parsons, ada makna di dalam prinsip-prinsip kepercayaan tradisional pada masyarakat di desa Tombasian-Atas dan Duasudara yang tidak jau beda dengan makna yang terkandung di dalam undang-undang nasional. Disertasi ini menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (observasi, wawancara, dan partisipasi terbatas)."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1992
D191
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Hardjasoemantri
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991
344.06 KOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rifanni Sari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22612
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yuzad Fiddian
"Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik sekarang maupun masa yang akan datang.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek :
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Pasal 12 & Penjelasannya)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987).
Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya).
Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH).
Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH).
Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif-preskriptif, maka penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawab atas masalah-masalah yang ada tersebut. Dengan demikian diperoleh saran-tindak dalam menghadapi permasalahan itu, agar tercapainya kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sehubungan dengan hal di atas, pengamatan dan pembahasannya memakai metode ilmiah analitis-struktural, dengan menerapkan tata pendekatan dan metode kajian berdasarkan aspek wadah dan aspek isi yang terkandung di dalamnya serta aspek tata laku yang merupakan perpaduan antara kedua aspek terdahulu, untuk makin mendekati hakekat kenyataan, agar dapat memperoleh cara penyelesaian masalah dengan berlandaskan pengertian (comprehension) dan tidak hanya sekedar.pengetahuan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa para aparatur hukum yang memproses perundang-undangan yang menjadi obyek penelitian ini, kurang memahami UULH sebagai Umbrella Act yang merupakan makro sistem di dalam pengelolaan lingkungan.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya tingkat kesadaran hukum di Indonesia, karena :
- kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku; dan
- lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pembangunan hukum itu.
Apabila keadaan ini dihubungkan dengan asas-asas legalitas dari Fuller, maka dapat dinyatakan bahwa situasi perundangundangan sedemikian itu tidak memenuhi :
- asas suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanperaturan yang bertentangan satu sama lain;
- asas harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Berdasarkan hal ini dapat dikemukakan, sistem hukum lingkungan di Indonesia belum tercipta secara baik.
Menghadapi permasalahan ini teori ilmu hukum mengharapkan para aparatur hukum untuk melakukan interpretasi teleologis atau interpretasi sistematis berdasarkan konsep, asas, norma, lembaga dan sistematika UULH demi kepentingan masyarakat hukum dan lingkungan yang menuntut penilaian yang sama secara harmoni. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan di dalam pembangunan hukum.
Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai dasar hukum itu, perlu dipacu operasionalisasi Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum secara nasional sebagai unsur pendukung fungsi hukum, sehingga semua aparatur hukum dapat mengumpulkan data dan informasi hukum yang selengkap-lengkapnya secara cepat, mudah dan akurat. dengan demikian terhindarkan, tidak teramatinya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan satu sama lain dalam tata hukum Indonesia dan ketidaktaatan terhadap tertib hukum Indonesia, agar terciptanya budaya hukum nasional yang kondusif bagi kehidupan hukum pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Di samping itu, Pemerintah sudah saatnya untuk merealisasi amanat Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 yang antara lain menyatakan perlu dilakukan penyempurnaan terhadap TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi Keppres yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) DUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan, Amanat Presiden RI kepada Ketua DPR No. 2826/Hk/60 dalam sumber Tertib Hukum Indonesia.
Daftar Kepustakaan : 50 (1971-1994)

The Different Regulated Provision In The Field Of Environmental Law In Indonesia (Case Study Act No. 9 Of 1985 And Act No. 5 Of 1990)Biological natural resources of Indonesia and it's ecosystem have an important role and status in the livelihood of national development. Therefore, it has to be managed and exploited in a harmonious and balanced manner for the sake of the Indonesian community's welfare in particular and mankind in general, both today as well as the coming years to come.
The elements of biological natural resources and it's ecosystem, in essence, are inter-dependent and influencing one another, so that damage and extermination of any one of the element will result in ecosystem disturbance. Thus, conservatory steps are needed so that the biological natural resources' and it's ecosystem are always maintained and able to realize the balance and stuck with development itself. Considering the importance of biological natural resources and it's ecosystem for the promotion of community welfare and quality of man's livelihood, hence the government and it's society the duty and responsibility in conservation activities.
In 1982 was done and promulgated the Act No. 4 of 1982 on Basic Provisions for The Management of The Living Environment (EMA), which functions as an umbrella for the formulation of others Acts and Regulations related to the living environment and for the adaptation of the already existing laws and regulations. In addition, this EMA stated that conservation of biological natural resources and it's ecosystem need to be stipulated with an Act, the activities of which encompass 3 aspects:
1. protection of life support system;
2. conservation and maintenance of the varieties of plant and animal species and their ecosystem, in the sphere of earth, water and air;
3. sustained utilization of organic natural resources and their ecosystems.
(Article 12 & it's Elucidation)
In the framework of species conservation, the protected waters biota species are determined, in order to prevent them from extinction (The Letter of Decision of the Minister for Agriculture No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No 716/Kpts/Um/10/1980, and Letter of Decision of Minister for Forestry No. 12/Kpts-II/1978). Nevertheless, some animal species, protected in accordance with some Decision of the Minister for Agriculture and the Minister for Forestry mentioned above, are permitted to be commercially utilized base on Act No. 9 of 1985 on Fishery (UUP, Article 1 Number 2 & it's Elucidation).
Then, in 1990, Act No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and it's Ecosystem (UUKH) is promulgated, which is the realization of the massage in Article 12 EMA mentioned above. This UUKH stated that the Conservation of Biological Natural Environment constitute Conservation of Biological Natural Resources, the exploitation of which is carried out wisely to guarantee the sustainable reserves by consistently maintaining and promoting biodiversity quality and their values.
In addition, in Article 20 UUKH it was stated that, to protect the species, the kinds of plants and animals that are protected both because of in danger of extinction as well as due to their rare population need be stipulated. Related to the above stipulations, the Minister of Forestry issued 2 decrees, namely The Minister of Forestry Decree No. 301/Kpts-II/1991 and the Decree No. 882/Kpts-1I/92.
As a consequence of those stipulations, every person may not capture or other measures which has been stipulated limitatively in Article 12 paragraph (2) UUKH. Should there be a person who carried out that action as meant, then the person in question can be punished (Article 40 paragraph (2) and paragraph (4) UUKH), and plants and animals in question are confiscated by the State to be returned to their respective habitats or entrusted to those institutions that operate in the field of conservation of plants and animals, except when the condition is such that it is impossible to be of use, so that it is considered better to be destroyed (Article 24 UUKH).
Exception to the above can be undertaken for purposes of research, science, survival and or endangering human life (Article 22 UUKH).
In accordance with in this study, which is descriptive﷓prescriptive, hence this study has as objectives to finalize and search for answers of issued that are present. In doing so, recommendations for actions in facing the issue for the sake of achieving human and other living creatures welfare can be obtained. In connection with the above statement, observations and it's discussion are carried out by using the structural-analytical scientific method, by applying the approach and study method based on content and container aspects inherent in it's as well as behavioral aspects which constitute the integration of the previous two aspects, to approach closer the essence of reality, so that problem solving method is obtained based on comprehension and not merely knowledge only.
The results of the study showed that the legal apparatus that processed the laws that became the study object, lack comprehension of EMA as an Umbrella Act, which constitutes the macro system in environmental management.
This condition showed the weakness of the legal awareness level in Indonesia, due to:
- uncertainty that is provided by the valid law; and
- commitment weakness shown by the authorities in the legal development.
When this situation is related to the legal principles of Fuller, thence, it can be stated that the legal situation as such does not comply with:
- the principle that a system must not contain regulations that is contradicting one another;
- the principle that there must be harmony between regulations enacted with the daily implementation.
Based on those, then, it can be stated that, the environmental legal system in Indonesia is not yet realized properly.
Facing this issue, the legal science theory hoped that the legal apparatus carried out teleological interpretation or systematic interpretation based on concept, principles, norms, institutional and EMA systematic for the sake of the legal community interests and the environment that demand similar evaluation harmoniously. This is in accordance with the legal certainty principle, benefit principle and justness principle within the legal development.
To guarantee the realization of those legal principles values, the operationalization of the Documentation Network System and Legal Information need be stimulated nationally as a legal function support element, so that all legal apparatus can collect legal data and information as completely as possible rapidly, easily and accurately.
Hence, it could be avoided, the unobserved legal regulations that are related one to another in the Indonesian Legal System and the non-adherence towards Indonesian Legal Order, so that the National Legal Culture is realized which is conducive for the legal life in particular and national development in general.
In addition, it is time for the government to realize the message of Article 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 which, among others, stated the need to carry out the finalization of TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. This is meant to guarantee the legal certainty of KEPPRES which is issued by the President within the framework of carrying out the task and function of governance in accordance with Article 4 paragraph (1) UUD 1945 and matters pertaining to form of government convention, the Republic of Indonesia Presidential Message to the Chairman of DPR No. 2826/Hk/60 in the Indonesian Legal Order Source.
Number of References: 50 (1911-1994)
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pekei, Titus
"Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem. Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia. Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut.
Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan .pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Dengan hal tersebut, aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup atas kasus Teluk Buyat oleh NMR, merupakan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup sekitarnya.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui: (1) mengetahui proses penyelesaian litigasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; (2) Mengetahui kedudukan hukum dan kepentingan penggugat; (3) Mengetahui petitum dan optimalisasi penggugat terhadap tergugat I (PT.NMR) dan Tergugat 11 (Direktur PT.NMR) hingga putusan.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Evaluasi aspek perdata penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT.NMR, Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terkait dapat implementasikan instrumen penegakan hukum lingkungan untuk mencapai tujuan namun kenyataannya tidak efektif; (b) Kurangnya kapasitas dan komitmen aparat penegakan hukum dalam melaksanakan penegakan hukum lingkungan hidup untuk merealisasikan pelaksanaan satuan tugas tim penegakan hukum lingkungan hidup sebagai gabungan satuan tugas penelitian dan pengembangan melakukan serangkaian kegiatan terhadap dampak besar dan penting untuk mengembangkan sistem penegakan hukum lingkungan hidup terpadu (satu atap) atap ke depan; (c) Keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat penegakan hukum lingkungan hidup dalam hal -penanganan litigasi dan non-litigasi kasus Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat - Sulawesi Utara.
Penelitian ini digunakan penelitian kualitatif dengan penyajian data menggunakan metode deskriptif analitis, terhadap proses litigasi aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan terhadap kasus PT.NMR. Dimana pemerintah (KLH) sebagai penggugat terhadap PT.NMR dan Direktur NMR, Sulawesi Utara sebagai tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Implementasi kaidah-kaidah hukum perdata dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, pada hakikatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan termasuk ruang lingkup hukum lingkungan keperdataan. Dalam hubungannya dengan sengketa lingkungan hidup, akan membedakan adanya tiga fungsi dari penegakan hukum perdata, yaitu: (1) dengan melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik. (2) dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan hidup, (3) memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Hasil analisis penelitian sebagai teknik penegakan hukum melalui upaya-upaya yang bersifat persuasif-edukatif (preventif) dan teknik penegakan hukum yang bersifat represif, yang disebut penindakan hukum bagi para perusak/pencemar lingkungan melalui peran, para pihak yang terlibat secara langsung, meliputi Penggugat, Hakim, Saksi, Ahli, maupun peran para pihak yang tidak terlibat secara langsung, meliputi Instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup, legislatif, media massa.
Kesimpulan penelitian aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup merupakan pengelolaan dan pengawasan untuk mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup maka dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: (1). Gugatan KLH melawan PT.NMR dan Direktur PT.NMR merupakan proses menguji atau uji coba Standi in Judicio. 2. Kedudukan pemerintah sebagai pelaksana instrumen maka tuntutan ganti-kerugian harus konkrit - nyata. 3. Pemerintah sebagai penggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, nampak tidak tegas dan aktual sesuai kondisi dan desakan masyarakat korban untuk mendorong proses penegakan hukum melalui proses class action terdahulu tanpa Standi in Judicio untuk mengukur posisi gugatan litigasi dengan kekuatan proses hukum acara perdata.
Adapun saran Standi in Judicio dimana penulis menyarankan, bahwa saatnya untuk merevisi. UUPLH (UU No.2311997), yakni: 1. instrumen administrasi, perdata, pidana, dan upaya alternatif harus diatur proses beracara, 2. valuasi ekonomi atas kerugian lingkungan hidup dan kerugian sosial-budaya masyarakat dilegalkan, 3. penaatan peraturan internal maupun eksternal harus menigkatkan kemampuan agar supaya proaktif, preventif, represif. 4. dimensi social control dan sarana social engineering kurang efektif maka ke depan diprioritaskan.

In fact, the Indonesian people know better their nature environment than the technology aspects. The development of technology that manage natural resource should bring people to reach their welfare as great as possible but still concern to natural conservation and equilibrium so that it is useful continually to our next generation. Only human actions sign as if they are able to manage the nature whole after which giving the effects that almost all natural environment aspects have been explored by them. Human is a part of ecosystem, human also one who manage this ecosystem. Human actions also give the effect of environment damage when they want to reach their goals connected with the environment aspect itself. The ambiguities of human action result in the environment damage.
Assuasive instrument. The entrepreneur has the obligation in controlling environmental pollution which it is one of the requirements of giving permission of venture processing so that he could be asked for the responsibility in case he derelict in his obligation. Based on that fact, civil aspect on integrated law enforcement of life environment on NMR of Teluk Buyat environment pollution case is an effort to solve legal action of Buyat's life environment by implementing the total responsibility term with pay the compensation and restore the environment to normal condition.
This research has generally purpose to know how life environmental law efforts are enforced and has specifically purpose to know : (1) The Court session process of civil aspect on integrated law enforcement of life environment on pollution impact and/or life environmental damage of Teluk Buyat, Minahasa Province of South Sulawesi. (2) The decisive factor of civil aspect on integrated law enforcement of life environment in fulfill the duty and authority in remanding or handling pollution and/or damaging of Teluk Buyat's life environment case and how is the mechanism the government agencies law enforcement process which they responsible for live environment section which stand for the interest of life environment and local people management. (3) Petitum and the optimal of government development as the litigant which has submitted the claim to accused I (PT. NMR) and Accused II (PT. NMRDirector) until the verdict of the judge of court of first instance in North of Jakarta which connected with UUPLH and other regulations.
The hypothesis used in this research are : (1) Civil aspect on integrated law enforcement of life environment to NMR case based on UUPLH, AMDAL, B3 License and other life environment regulation could represents of life environment law enforcement to reach its goal. (2) The institution of law enforcement commitment in bringing about their integrated life environment civil duty by the form of PT. NMR case handling team work, by the goal to bring about the life environment law enforcement task team Minister of Life environment decree as the combination of developing and researching task team for bringing about a series of activities to integrally important and extensive impact to develop the integrated system of life environment law enforcement for furthermore. (3) By limitedness of quality and quantity of civil aspect on life environment law enforcement of PT. NMR case, it should capable.
In this research the writer use qualitative research by providing the data using analytic descriptive method to litigation process of civil aspect on law enforcement of life environment in PT. NMR case. The government, represented by Life Environment Ministerial (KLH), as the litigation to PT. NMR and the director of PT. NMR as the accused in North Jakarta court of first instance. In fact, the implementation of legal norms in solving of life environment legal action case would expand law enforcement efforts from various constitution regulations include within environment civil law scope. Related to life environment legal action, there are three civil law enforcement functions: (1) By civil law, one subject could be enforced to obey environment law norms; either in private law or public law. (2) By civil law, it could determine the norms inside the life environment terms. (3) It gives the opportunity for someone or corporation to submit the compensation claim to the party which carry out pollution in life environment, it is usually implemented by a claim of against the law.
The result of research analyze as the law enforcement technique by the persuasive-educative (preventive) efforts and also repressive law enforcement technique, which also called a legal action for those who carry out the pollution through roles of directly involved parties- such; Litigant, Judge, Witness, Expert and also roles of indirectly involved party such; Government Instance which is responsible in life environmental matters; organizations, legislative and mass media.
The conclusion of this research is that the civil aspect on integrated law enforcement of life environment connecting to manage and sustain the function of environmental conservation completed with various instruments, they are : 1. KLH against PT. NMR and Director of PT NMR is an examination process or standi judicio try-out, 2. The position of .government _ party as instrument organizer so the compensation claim submitted properly and concretely, 3. Government as litigant party seems unclear and actual in accordance with people pressure as the victim to enforce the law enforcement by class action claim without standi judicio to measure litigation claim position by the power of civil law process.
The Standi In Judicio suggestion, the writer suggest that it is time to make a revision of UUPLH (UU No.2311997). Consist of : I. The Criminal, Civil , Administration instrument and also other alternative efforts must be set up in procedure, 2. Economic valuation upon the detriment of life environment and social-culture detriment of people should be determined in regulations, 3. The obedience of internal and external regulations should increase the capability in order to be preventive, reactive, and repressive, 4. The social control and social engineering dimensions are still ineffective; for furthermore they should be a priority. The instrument of next life environment law enforcement should be bringing out gradually; the stage is: (a) Preparation. (b) Initiation. (c) Development. (d) Program adoption. (e) The Implementation or realization of program. (f) Completing and consolidation.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T17930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>