Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97663 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anna Febriana Tri Astuti
"Dengan semakin tingginya usia harapan hidup, makin jumlah orang lanjut usia (lansia) meningkat di masa yang akan datang. Pemberian perhatian pada peran pengasuhan terhadap orang lanjut usia menjadi hal yang tak terelakkan. Perempuan dalam keluarga selama ini telah menjadi sumber utama pengasuhan lansia; namun dengan pergeseran fungsi keluarga, pergeseran peran perempuan menjadi pencari nafkah, telah menggarisbawahi pentingnya peran sektor pengasuhan formal, seperti panti werdha, dalam menduukng para caregiver dari pihak keluarga lansia. Makin tinggi kebutuhan akan tersedianya pengasuhan lansia tersebut, makin tinggi pulalah tuntutan akan tersedianya caregiver yang efektif, yaitu memiliki keterampilan dan kemampuan yang relevan, sumber daya emosional dan material yang memadai, serta motivasi untuk menyediakan pengasuhan. Tuntutan yang tinggi dari masyarakat, tidak tersedianya sumber daya secara memadai dalam institusi formal tempat bekerja, serta karakteristik lansia yang dihadapi meningkatkan resiko terhadap terjadinya burnout pada caregiver.
Burnout memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout dapat timbul karena tiga faktor yaitu faktor keterlibatan dengan lansia, faktor seting pekerjaan dan lingkungan kerja, serta faktor karakteristik individual. Selain itu, karena caregiver yang diteliti adalah perempuan, faktor keluarga juga dimasukkan sebagai tambahan. Proses burnout yang terjadi pada caregiver juga diteliti di sini. Proses burnout dianalisa berdasarkan gabungan dari model proses transaksional menurut Chemiss (1980) dan model transaksional dari stres pekerjaan menurut Cox (1993). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan memperolah gambaran tentang burnout yang terjadi pada caregiver, meliputi penyebab terjadinya burnout, gambaran dimensi burnout dan proses terjadinya.
Diperoleh hasil bahwa perempuan yang bekerja sebagai caregiver lansi mengalami burnout, dengan tingkat keparahan dan kemunculan dimensi burnout yang berbedabeda. Kelelahan emosional dan depersonalisasi dialami oleh setiap caregiver terutama karena keterlibatan dengan lansia. Sedangkan faktor seting pekerjaan menimbulkan kelelahan emosional dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout rentan terjadi pada caregiver yang cenderung memilih perilaku coping pertahanan intrapsikis yang bersifat paiiiative. Pelatihan keterampilan sosial dan pembentukan support group secara formal serta pengoptimalan fungsi penyelia dan pertemuan rutin dalam pemberian feedback dan peningkatan partisipasi caregiver menjadi saran praktis dari penelitian ini. Dari penelitian ini nampak pula pentingnya pemahaman tentang segi psikologi perkembangan orang lanjut usia memberikan pengasuhan yang efektif bagi lansia. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mita Aswanti Tjakrawiralaksana
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Agustin Setianingrum
"Masa lanjut usia sering disebutkan sebagai 'usia keemasan' akan ketenangan dan kesentosaan. Orang lanjut usia pun dikenal sebagai orang yang hangat, ramah dan bijaksana. Namun di lain pihak orang lanjut usia juga sering dianggap tidak aktif kurang produktif senang menggerutu dan mengasihani diri sendiri, terisolasi dari keluarga dan teman-teman serta lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton televisi atau mendengarkan radio.
Periode lanjut usia yang dimulai pada saat seseorang berumur 60 tahun, terutama ditandai dengan berbagai macam perubahan yang mengarah pada kemunduran. Penurunan kemampuan fisik baik secara eksternal maupun internal, kemudian dapat pula ikut mempengaruhi perkembangan kognitif, kepribadian dan sosialnya.
Perkembangan sosial pada orang lanjut usia pada dasarnya ditemukan oleh partisipasinya dalam peran sosial serta aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan sesuai dengan usianya. Dalam hal ini, kontak sosial tetap merupakan aktivitas penting yang berlangsung saat orang menjadi tua (Levy, Digman & Shirrefs, 1984). Dalam Social Breakdown-Reconstruction Theory dikemukakan bahwa pemberian dukungan pada partisipasi aktif bagi orang lanjut usia dalam masyarakat akan meningkatkan kepuasan hidupnya dan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri. Dalam Teori Aktivitas juga dikatakan apabila orang lanjut usia semakin aktif, maka semakin puas pula mereka terhadap kehidupannya. Disamping itu, individu hendaknya juga terus melanjutkan peran-peran sosialnya. Apabila ada peran yang hilang dari mereka, maka penting untuk menemukan peran pengganti yang dapat membuat orang lanjut usia tetap aktif dan terlibat dalam aktivitas sosial. Dalam hal ini, diantara peran-peran sosial yang dapat memberikan arti bagi kehidupan orang lanjut usia adalah keterlibatannya dengan keluarga dan teman-teman (Aiken, 1995).
Berkaitan dengan hilangnya peran sosial dari kegiatan formal, maka sebenarnya orang lanjut usia tersebut tidak benar-benar kehilangan peran. Orang Ianjut usia merasa tidak berguna karena tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah setelah pensiun atau tidak lagi aktif berpartisipasi dalam lingkungan pekerjaan pasangan hidupnya. Padahal sebenarnya mereka dapat menjalankan peran lain yaitu di dalam lingkungan keluarganya. Bagi orang lanjut usia, hubungan dengan keluarga tetap merupakan sumber kepuasan baginya. Mereka merasa bahwa hidupnya sudah Iengkap dan merasa bahagia apabila berhasil menjadi orang tua, dapat berfungsi bagi anak cucu dan menjadi bagian dari keluarga (Duvall & Miller, 1985).
Peran yang dapat dilakukan orang lanjut usia di dalam keluarga sehubungan dengan adanya cucu adalah sebagai kakek atau nenek. Peran yang dijalankan dapat berbentuk formal, mencari kesenangan sebagai orang tua pengganti, sumber kebijaksanaan keluarga serta figur berjarak (Neugarten & Weinstein, 1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk menggali lebih jauh tentang peran-peran apa saja yang dijalankan oleh orang lanjut usia sebagai kakek-nenek. Mengingat bahwa peran kakek nenek terhadap cucu dipengaruhi oleh usia, kondisi kesehatan, jarak geografis, latar belakang suku bangsa dan jenis kelamin kakek-nenek (Denham & Smith, 1989; Hetherington, 1989; Presser, 1989 dalam Vander Zanden, 1993), maka penelitian ini akan dikhususkan pada peran wanita lanjut usia sebagai nenek dalam konteks kebudayaan Jawa. Pemilihan nenek di sini adalah didasarkan pada teori bahwa nenek lebih dekat dan memiliki hubungan yang hangat dengan cucu daripada kakek. Nenek pun lebih memperoleh kepuasan dalam menjalankan perannya dengan adanya cucu (J.L. Thomas, 1986 dalam Papalia & Olds, 1992), sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan hasil yang kaya. Sedangkan pemilihan kebudayaan Jawa adalah dengan pertimbangan bahwa Jawa merupakan kelompok etnis dengan jumlah terbesar dari 10 kelompok etnis besar di Indonesia (Volkstelling, 1930 dalam Ekadjati, 1995) dan secara khusus disebutkan bahwa dalam kebudayaan Jawa, kakek-nenek berperan penting sebagai sumber bantuan material dan kebijaksanaan bagi cucu (Suseno, 1993). Disamping itu, kedudukan orang-orang tua dalam masyarakat Jawa dianggap penting dan keberadaannya dihormati oleh orang-orang yang lebih muda. Kewajiban orang muda untuk menghormati orang-orang yang tua juga diperkuat dengan adanya kepercayaan bahwa orang tua dapat memberikan restu sekaligus hukuman atau "walat" (Mulder, 1996).
Subyek dalam penelitian ini adalah wanita lanjut usia Jawa berusia 60 sampai 79 tahun, yang tinggal bersama keluarga anak dan memiliki cucu berusia 2 sampai 6 tahun (tergolong anak pra-sekolah). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam dengan pedoman wawancara berbentuk pertanyaan terbuka. Data yang diperoleh akan diolah dianalisis secara kualitatif dengan bantuan program Ethnograph.
Dari wawancara yang dilakukan terhadap 7 orang subyek, diketahui bahwa wanita lanjut usia Jawa yang berperan sebagai nenek menjalankan kelima tipe peran seperti yang dilcemukakan oleh Neugarten dan Weinstein (1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992). Secara formal, nenek menyerahkan tanggung jawab pengasuhan cucu kepada orang tua cucu dan bertindak sebagai pihak yang mengawasi dan mengingatkan dengan rnenganut prinsip Tut Wuri Handayani. Dalam peran mencari kesenangan, nenek melakukan kegiatan bersama-sama cucu yang memberikan kesenangan bagi kedua belah pihak, misalnya melakukan suatu pemainan bersama-sama, jalan-jalan atau ngobrol-ngobrol dengan cucu. Sebagai orang tua pengganti, nenek ikut berperan membentuk disiplin kepada cucu untuk mematuhi aturan waktu-waktu makan, belajar, tidur serta membaca doa. Beberapa nenek juga ikut mengajarkan pelajaran sekolah pada cucu. Sedangkan sebagai sumber kebijaksanaan keluarga, nenek rnengajarkan tata krama dalarn kehidupan sehari-hari kepada cucu serta memberikan nasehat, baik kepada cucu maupun orang tua cucu. Selain gambaran tentang peran yang dijalankan nenek tersebut, juga diketahui bahwa kehadiran cucu memberikan perasaan bahagia kepada nenek. Perasaan nenek seakan-akan lebih sayang kepada cucu daripada kepada anak dan nenek ikut merasa sedih dan tidak tega apabila cucu dimarahi oleh orang tuanya, dimana hal ini rnenunjukkan adanya ikatan emosional yang erat antara nenek dengan cucu. Sebagai orang Jawa, nenek juga menginginkan agar cucunya sudah mulai mengenal berbagai tradisi dalam kebudayaan Jawa, yang disampaikan melalui dongeng, lagu serta bahasa.
Hal menarik yang ditemukan dari penelitian ini adalah adanya petuah Jawa yang dikenal dengan nama Panca Mutiara yang berasal dari Eyang Manglcunegoro III, dimana petuah tersebut diterakan oleh nenek dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan petuah Jawa tersebut merupakan wujud kepatuhan dan rasa hormat nenek kepada aturan orang tua dan tatanan budaya.
Sehubungan dengan hasil penelitian, maka pada keluarga besar dimana keluarga anak tinggal bersama orang tuanya, maka kakek-nenek hendaknya diikut-sertakan dalam kegiatan mengasuh cucu. Sedangkan bagi keluarga yang tinggal terpisah, hendaknya secara rutin mengunjungi kakek-nenek, sehingga kakek-nenek mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan cucunya, dimana kehadiran cucu menimbulkan perasaan bahagia dalam diri kakek-nenek sebagai orang lanjut usia.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengadakan cross-checked pada orang tua dan cucu tentang aktivitas yang hiasa dilakukan nenek bersama cucu dan untuk memperkaya ruang lingkup penelitian maka dapat dilakukanstudi perbandingan mengenai peran yang dijalankan oleh kakek atau sekaligus kakek nenek dari latar belakang suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Riana
"Hidup bersama orang lain dalam suatu pernikahan, penuh dengan tuntutan dan masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah konflik suami istri dan kehadiran anak yang dapat menambah konflik tersebut. Jika masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka dapat menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan yang terus menerus disertai stres kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya burnout.
Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran burnout pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan memiliki anak usia sekolah. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode wawancara Pengambilan data dilakukan pada tiga orang ibu rumah tangga yang telah mengalami burnout.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi ibu rumah tangga sehingga dapat menimbulkan burnout adalah overload, conflicting, demands, Kebosanan, perselingkuhan suami tidak terpenuhinya kebutuhan afeksi dan komunikasi sering perubahan sikap suami. Upaya subyek untuk menghadapi masalah mereka adalah dengan menggunakan strategi emolionfocusea' coping, yaitu subjek cenderung menerima keadaan mereka saat ini. Hal ini menyebabkan mereka berada pada kondisi humour. Mereka mengalami kelelahan fisik berupa badan terasa Lelah, keluhan sakit badan seperti sulit bernafas. sakit kepala mudah terkena sakit dan badan panas. Kelelahan mental, berupa perasaan tidak berharga, tidak berguna, merasa lebih tua dari umur yang sebenarnya dan merasa terjebak. Sedangkan kelelahan emosional berupa merasa kesal, marah, berubahnya perasaan terhadap suami dan merasa tidak pernah merasakan bahagia. Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk menambah subjek penelitian dan juga mewawancarai suami."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lanniwati Yapianto
"Kematian pasangan hidup merupakan stressor terbesar dalam hidup seseorang yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Kesepian merupakan stress emosional yang paling menekan adalah masalah utama yang dihadapi oleh janda dan duda usia lanjut (Perlman & Peplau, 1982; Kimmel, 1992; Journal of applied family & child studies, 1986, vol 35). Menikah kembali dapat menjadi jalan keluar bagi para usia lanjut untuk terbebas dari kesepian (Journal of marriage & the family, 1978, vol 40; Hurlock, 1983; Papalia & Olds, 1992). Pada usia lanjut beberapa aspek seperti aspek fisik dan kognitif mengalami penurunan. Kesehatan emosi berkaitan dengan kehidupan yang telah dilalui; seseorang yang merasa bahagia dan mampu melihat kehidupannya di masa lalu tanpa merasa menyesal dan bersalah akan mengalami emosi positif (Vaillant & Vaillant dalam Papalia & Olds, 1992). Interaksi sosial sangat penting bagi usia lanjut agar mereka tidak merasa tersisih dari masyarakat.
Hubungan dengan pasangan hidup mempengaruhi kepuasan hidup seseorang; keberadaan pasangan hidup membantu orang usia lanjut dalam mencapai kesejahteraan emosional dan membuat mereka merasa penting dan diperlukan (Papalia & Olds, 1992). Oleh karena itu kehilangan pasangan hidup menimbulkan masalah-masalah praktis dan emosional bagi usia lanjut. Bagi duda usia lanjut kesepian yang mereka alami ditambah pula dengan keadaan mereka yang tidak terbiasa mengurus diri sendiri; sehingga mereka sangat membutuhkan pendamping di usia tua (Berardo dalam Bell, 1971). Janda usia lanjut walaupun mempunyai dukungan sosial dari anak dan sahabat tetap membutuhkan kehadiran pendamping dalam hidup mereka. Mereka menempatkan companionship sebagai alasan untuk menikah kembali (Gentry & Schulman, 1988; Bengston, 1990 dalam Aiken 1995). Menikah kembali memberikan pengaruh positif karena membuat para usia lanjut lebih bahagia (Butler &, Lewis, dalam Aiken, 1995). Namun para usia lanjut yang menikah kembali harus melalui penyesuaian yang cukup berat sebab selain adanya perbedaan latar belakang; harapan dan kebiasaan yang terbentuk selama pernikahan pertama dijadikan dasar dalam pernikahan kedua ini sehingga mereka sering membandingkan pasangan saat ini dengan pasangan yang dulu (Furstenberg, dalam Hall & Perlmutter, 1992).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam sebagai bentuk pengumpulan data. Subyek dalam penelitian ini diperoleh melalui cara informal dan formal. Dari keempat subyek yang diwawancarai, kebutuhan akan pendamping merupakan alasan mereka menikah kembali. Selain itu perasaan kasihana pada pasangan juga menjadi dasar pertimbangan ketika memutuskan untuk menikah kembali. Adanya perbedaan latar belakang antar suami istri kerapkali menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri. Menikah kembali setelah kematian pasangan hidup dapat menjadi pilihan bagi usia lanjut jika didukung oleh adanya kesamaan latar belakang, persetujuan keluarga, mengetahui kebutuhan pasangan dan adanya penghasilan yang memadai. Menikah kembali di usia lanjut membutuhkan pertimbangan matang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shafira Asiva Suri
"Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja Indonesia mencapai 48,65% pada tahun 2022, menunjukkan peningkatan selama satu dekade terakhir. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja, terutama ibu yang bekerja, menimbulkan tantangan baru, seperti jam kerja yang panjang, karena mereka bertanggung jawab mengurus pekerjaan rumah tangga dan kantor yang membuat mereka berisiko mengalami burnout. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki peran moderasi dukungan sosial dalam hubungan antara tuntutan kuantitatif dan burnout pada Ibu bekerja. Penelitian menggunakan sampel sebanyak 148 partisipan di Indonesia dengan karakteristik karyawan wanita yang sudah atau pernah menikah, berusia 21-55 tahun, memiliki anak dan bekerja minimal enam bulan di perusahaan tersebut. Penelitian ini menggunakan Oldenburg Burnout Inventory (OLBI) sebagai alat ukur burnout, Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ) sebagai alat ukur dukungan tempat kerja dan tuntutan tenaga kerja kuantitatif, dan Family Support Scale sebagai alat ukur dukungan keluarga. Analisis data dengan menggunakan macro process Hayes model 1 regresi moderasi pada program SPSS menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara tuntutan kerja kuantitatif dan ketidakterlibatan, sedangkan dukungan sosial tempat kerja memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara tuntutan kerja kuantitatif dan kelelahan pada Ibu bekerja hybrid atau WFH. Ibu hybrid/WFH memiliki risiko kelelahan yang lebih rendah saat mendapatkan dukungan sosial tempat kerja yang lebih tinggi, dan Ibu hybrid/WFH memiliki risiko ketidakterlibatan yang lebih rendah saat mendapatkan dukungan sosial keluarga yang lebih tinggi . Oleh karena itu, penting untuk mendapat dukungan dari tempat kerja, baik dari atasan dan rekan kerja maupun dari keluarga dan kerabat dekat.

Women's participation in the Indonesian labor market reached 48.65% by 2022, indicating an increase over the last decade. Women's participation in the labor market, especially working mothers, raises new challenges, such as long working hours, as they are responsible for caring for household and office work that puts them at risk of burnout. Therefore, the study investigates the role of moderation of social support in the relationship between quantitative demands and burnout among working mothers. The study used a sample of 148 participants in Indonesia with the characteristics of married women employees aged 21-55 who had children and worked at least six months at the company. The work background and company background are not limited to the participant sample. This study used the Oldenburg Burnout Inventory (OLBI) as a burnout measurement tool, the Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ) as a workplace support and quantitative labor demands measuring tool, and the Family Support Scale as a family support measure. Data analysis using the macro process Hayes model 1 moderation regression in the SPSS program showed that family social support has a moderating effect on the relationship between quantitative demands and disengagement, while workplace social support had a moderate impact on the relationship between quantitative demands and exhaustion on hybrid or WFH mothers. Hybrid/WFH mothers have a lower risk of exhaustion when obtaining higher workplace social support, and hybrid /WFH mothers have a smaller risk of disengagement when getting higher family social support. Therefore, it is important to get support from the workplace, both from your superior and colleagues as well as from family and close relatives."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venus Eleonora
"Kecemasan terhadap kematian adalah perasaan yang tidak menyenangkan, yang ditimbulkan oleh kematian dan atau proses menjelang kematian ataupun antisipasi terhadap kematian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Menurut Lonetto & Templer (1986) setiap orang memiliki kecemasan terhadap kematian tetapi intensitasnya berbeda-beda, Demikian pula dengan orang lanjut usia yang diasumsikan sudah mendekati kematian tentunya juga memiliki kecemasan tersebut.
Erikson (dalam Miller, 1989) mengatakan bahwa orang lanjut usia mengalami dua krisis psikososial, yaitu integritas dan keputusasaan. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa orang yang mencapai integritas memiliki kecemasan tersebut, sebaliknya orang yang mengalami keputusasaan memilikinya. Orang lanjut usia yang mencapai integritas merasa puas akan hidupnya sedangkan orang lanjut usia yang mengalami keputusasaan merasa kurang puas dengan hidupnya, Berdasarkan perbedaan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecemasan terhadap kematian yang dimiliki oleh orang lanjut usia dan apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari kecemasan terhadap kematian pada orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan.
Metode penarikan sampel adalah non-probability sampling, yaitu sampel diambil dengan kriteria tertentu yaitu orang lanjut usia. Teknik pengambilan sampel adalah random sampling sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Terdapat dua alat ukur, pertama Alat Ukur Kecemasan Terhadap Kematian yang dirancang oleh Hartanto pada tahun 1995 dan dimodifikasi oleh penulis, Terdiri dari 34 item, Uji reliabilitas mendapatkan nilai alpha 0,9042. Alat kedua adalah alat ukur untuk raembedakan orang yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan, alat ini penulis susun sendiri. Terdiri dari 32 item. Uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha 0,6443.
Tipe penelitian ini adalah non-eksperimental dengan metode kuantitatif yaitu mem band ingkan dua kelompok dengan melakukan data secara statistik. Penelitian ini menggunakan t-test untuk membandingkan skor rata-rata antar dua kelompok dan anova satu arah untuk mengetahui perbedaan antar lebih dari dua kelompok. Metode pengolahan data menggunakan bantuan SPSS (Statistical Package for Social Studies).
Hasil penelitian adalah didapatnya perbedaan yang signifikan padda tingkat kecemasan pada kelompok orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan. Perbedaan tersebut signifikan pada los 0,05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Restu Wardhani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Pines' Couple Burnout
Questionnaire and Measurement Alai ini dibuat oleh Pines, seorang psikolog dan konselor
pernikahan, yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya bumout dalam suatu hubungan interpersonal. Pines memberi istilah couple burnout untuk menyebut fenomena tersebut, yaitu suatu keadaan menyakitkan yang menimpa orang-orang, yang berharap cinta romantis akan memberi arti dalam hidup mereka (Pines, 1996).
Pines juga membuat sebuah model untuk menjelaskan bagaimana terjadinya burnout dan apakah hai itu dapat dihindari. Model tersebut terdiri dari dua lajur, yang sama-sama dimulai dengan lahap jatuh cinta, namun jalur yang satu berakhir dengan bumout dan lajur yang lain
berakhir dengan roots dan wings. Burnout dapat terjadi oleh karena adanya ketidaksesuaian antara harapan yang ada dengan kenyataan sehari-hari. Terjadinya burnout dalam suatu pernikahan merupakan proees yang terjadi secara berlahap. Adanya perbedaan antara harapan dengan kenyataan yang ada, ditambah dengan stres eehari-hari, dapat membuat keintiman dan cinta semakin menghilang.
Pemilihan wanita, sebagai subyek dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat yang menyalakan bahwa bagi wanita pernikahan adalah suatu hai yang panting sebagai alat untuk
mendapatkan kehidupan yang menjamin adanya rasa aman. Dengan keyakinan tersebut, wanita
akan memasuki suatu pemikahan dengan harapan bahwa ia akan mendapaikan cinta, rasa aman
dan kehahagiaan dari pasangan maupun dari pernikahannya. Bila harapan ini tidak eesuai dengan kenyataan yang ada maka akan terjadi pengikisan cinta dan komitmen sehingga menjadi burnout.
Tujuan dari penelitian ini adaiah untuk mendapatkan gambaran skor burnout pada wanita
dewasa yang menikah dan memiliki anak. Seiain itu iuga untuk mendapatkan gambaran masalah-
masalah yang dihadapi wanita dalam pernikahannya, cara coping yang digunakan serta bagaimana pereepsi tentang cinta romantis.
Metode penelitian yang digunakan adalah kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan pendekatan
kualitatif dilakukan dengan wawancara pada subyek yang memiliki skor burnout rendah dan
subyek dengan skor tinggi untuk mendapatkan ilustrasi terjadinya bumout serta roots and wings.
Subyek penelitian ini adalah wanita bekerja yang menikah dan memiliki anak, dengan
menggunakan teknik incidental sampling untuk pengambilan sampelnya.
Hasil dari penelilian ini adalah ssbanyak 80% dari keseluruhan wanita dalam penelitian ini
memiliki pernikahan yang baik-baik saja. Sedangkan 20% sisanya memiliki pernikhan yang hampir burnout dan ada yang sudah mengalami burnout. Sedangkan masalah-masalah dalam hubungan pernikahan yang terungkap dalam penelitian ini berkisar antara sifat, sikap maupun tingkah laku suami, misalnya egois, kurang komunikasi, atau kurang perhatian.
Ada perbedaan dalam cara coping yang digunakan oleh subyek dengan skor burnout rendah dengan subyek dengan skor tinggi. Pada kelompok burnout rendah, cara coping yang
digunakan adalah optimism action, dengan cara berdiskusi alau kompromi dangan suami.
Sedangkan pada kelompok bumout tinggi, cara coping yang digunakan adalah rabbnmizatrbn-
resignation, yaitu dengan mendiamkan hingga waklu yang akan menyelesaikan serta berusaha
mencari kesibukan lain agar dapat melupakan masalah. Selain itu ada beberapa cara coping lain yang digunakan yaitu mengingatkan pasangan, memberi pengertian, menasehati, serta mengambil inisiatif dan keputusan sendiri.
Saran-saran diberikan untuk memberi masukan pada penelitian salaniutnya agar alat ini
dapat benar-benar membantu untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya burnout dalam
pernikahan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathasha Ainaya Pramesti
"COVID-19 menghadirkan tantangan baru bagi keluarga, tidak terkecuali perempuan bekerja yang menjadi family caregiver lansia. Hal ini dapat menimbulkan stres pada caregiver tersebut. Perawatan lansia yang optimal dapat terwujud apabila semua anggota keluarga dapat bekerja sama. Meskipun demikian, kerjasama ini dapat membawa konflik yang mengganggu adaptasi dari anggota keluarga dan mengancam resiliensi keluarga. Penelitian menggunakan metode korelasional untuk melihat hubungan antara resiliensi keluarga dan stres. Alat ukur Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) digunakan untuk mengukur resiliensi keluarga dan alat ukur Perceived Stress Scale (PSS-10) digunakan untuk mengukur stres. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian adalah non-probability dengan jenis convenience sampling. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan teknik analisis statistik Pearson Correlation, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara resiliensi keluarga dan stres pada perempuan bekerja yang menjadi family caregiver lansia. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin kuat resiliensi keluarga yang dimiliki oleh caregiver, maka akan semakin rendah stres yang dialaminya. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebesar 8 persen varians dari stres dapat dijelaskan oleh resiliensi keluarga. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para praktisi dalam mengembangkan intervensi stres yang fokus pada pengembangan resiliensi keluarga bagi perempuan bekerja yang menjadi family caregiver.

COVID-19 presented new challenges for families, particularly working women doubling as Caregivers for the elderlies in the family. This could cause stress for said women. Optimal care for the elderly can be achieved if all family members work together. Even so, this cooperation could still cause conflict between family members that would jeopardize family resilience. This Research was performed using correlational methods to observe correlations between family resilience and stress. The Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) and the Perceived Stress Scale (PSS-10) were used to measure family resilience and stress respectively. Non-Probability Convenience Sampling technique was also used in this research. Based on the correlation test performed using the Pearson Correlation statistics analysis technique, it was observed that there’s a significant negative correlation between family resilience and stress in families with working females doubling work as caregivers to the elderly in the family. This results shows that less stress is present when the family resilience is high with the vice versa applying as well. Therefore, it can be concluded that family resilience explains the 8% variance of observed stress levels. In short, this research can be used as a benchmark for practitioners to develop stress interventions which focuses on the development of family resilience for families with working women who are also caregivers of the elderly."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>