Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Steffi Hartanto
"Interaksi dengan frekuensi dan intensitas tinggi antar anggota pasangan dalam hubungan romantis memungkinkan terjadinya Fenomena Michelangelo (FM). Di dalam FM anggota pasangan saling membentuk kepribadian mereka menuju diri ideal masing-masing. Pencapaian diri ideal merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan individu akan pertumbuhan personal, yang akan memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan psikologis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah fenomena Michelangelo mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan berapa besar sumbangan masing-masing komponen fenomena Michelangelo terhadap dimensi kesejahteraan psikologis. Dengan menggunakan alat ukur Partner Affirmation Scale, Movement Toward Ideal Scale, dan The Ryff’s Scale of Psychological Well Being penelitian ini mengidentifikasi FM dan kesejahteraan psikologis pada 145 partisipan berusia 18 sampai 25 tahun yang sedang menjalani hubungan pacaran selama minimal satu tahun. Hasilnya menunjukan FM signifikan memprediksi kesejahteraan psikologis (18.9%), yang berarti adanya FM berkontribusi terhadap 18.9% kesejahteraan psikologis individu, sementara 81.1% faktor yang berkontribusi pada kesejahteraan psikologis belum diketahui. Secara lebih rinci diketahui fenomena Michelangelo menunjukan hasil yang signifikan dalam memprediksi dimensi kesejahteraan psikologis individu, yaitu hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan personal. Penelitian selanjutnya dapat melihat bagaimana hubungan interpersonal lain yang dijalani emerging adult membantu mereka dalam mencapai diri idealnya, misalnya sahabat, peer, tokoh idola, ataupun orangtua.

Interaction with high-frequency and intensity among members of the couple in a romantic relationship allows the Michelangelo Phenomenon. Each members in Michelangelo phenomenon sculpt each other personality towards their ideal self. Achievement of the ideal self is part of the fulfillment of personal growth needs of the individual, which will contribute to psychological well-being. This study was conducted to determine whether the Michelangelo phenomenon affects the psychological well-being and how great the contribution of each component of the Michelangelo phenomenon to dimensions of psychological well-being. By using Partner Affirmation Scale, Movement Toward Ideal Scale, and The Ryff's Psychological Well Being Scale, the study identified FM and psychological wellbeing in 145 participants aged 18 to 25 years who were undergoing dating relationship for at least one year. The result showed that FM significantly predict psychological well-being (18.9%), which mean Michelangelo phenomenon contributed 18.9% of psychological well-being of individuals, while 81.1% of factors that contribute to the psychological well-being is not known yet. In more detail Michelangelo phenomenon showed significant results in predicting dimensions of psychological well-being, namely positive relationships with others, environmental mastery, purpose in life, and personal growth. Future studies could look at how other interpersonal relationships emerging adult engaged in could assist them in achieving their ideal self, for example bestfriend, peer, idol, or parents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47771
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sinta Jeanita
"ABSTRAK
Tingkat tumover tertinggi terjadi pada kalangan pekerja muda yang umumnya baru
lulus dari bangku pendidikan. Tumover dapat terjadi karena tidak terpenuhinya harapan-
harapan pekerja sehingga mereka keluar. Kontrak psikologis merupakan konsep yang tepat
untuk memahami komitmen pekeria. Keadaan diatas mendorong peneliti untuk melihat
gambaran kontrak psikologis dan komitmen pekerja muda terhadap perusahaan.
Metode pengambilan sampel dengan cara accidental. Responden sebanyak 94
pekerja perusahaan dengan masa kerja dibawah tiga tahun dengan pendidikan sekurang-
kurangnya S1. Kuesioner dengan skala Likert digunakan untuk mengumpulkan data,
kuesioner kontrak psikologis dan kuesioner komitmen terhadap perusahaan.
Studi ini menunjukkan bahwa pekerja muda memiliki persepsi yang seragam, akan
harapan-harapan mereka. Dalam hal ini perusahaan tampak memiliki kekuatan besar dalam
mengontrol pekerjanya. Sementara persepsi individu terhadap kewajibannya tampak
bervariasi, ini menunjukkan subjektivitas dari rasa kewajiban pekerja muda. Pekerja muda
memiliki keyakinan bahwa kontrak psikologis mereka bersifat relasional. Kontrak psikologis
transaksional dan retasional tidak berada dalam satu kontinum yang berlawanan, namun
terletak paralel. Komitmen yang mereka miliki belum terdiferensiasi. Secara umum terdapat
dua macam komitmen pada pekerja muda, yaitu komitmen afektif-normatif dan komitmen
kesinambungan. Ini dapat dimaklumi mengingat belum cukup waktu bagi pekerja muda
untuk mengenal nilai-nilai perusahaan. Aspek-aspek kontrak psikologis : kemajuan yang
cepat, pemberitahuan sebelumnya bila hendak keluar, dan sekurang-kurangnya bekerja 2
tahun melatarbelakangi tingkat komitmen individu di awal karirnya. Komitmen lebih
ditentukan oleh diri individu yang terlibat."
1997
S2942
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Wulandari Nurullita
"Remaja merupakan masa yang rentan terhadap teijadinya krisis (Hurlock, 1996). Pada masa ini remaja menghadapi berbagai perubahan dalam waktu yang bersamaan. Menurut Sarlito (1989) perubahan tersebut teijadi secara biologis (munculnya landa seksual sekunder), psikologis (perubahan fisik menuntui dilakukannya perubahan dalam psikologis, misalnya adanya ketertarikan terhadap lawan jenis) dan sosial ( adanya timtutan dari masyarakat untuk berperilaku seperti oraang dewasa). Menghadapi perubahan ini diperlukan penyesuaian diri (adjustment), bukan saja penyesuaian terhadap dirinya, namun juga penyesuaian terhadap lingkungan. Dengan dicapainya penyesuaian ini , akan mudah untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki remaja yang pada akhimya dapat menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan bagi individu tersebut. Kondisi psikologis seseorang yang dibcnluk dari pcngalaman yang dihadapinya dalam kegiatan sehari-hari dan usahanya dalam merealisasikan diri ini disebut kesejahteraaii psikologis.
Di sisi lain, masyarakat Jakarta telah mengalami pergeseran/perubahan sosial sebagai akibat adanya modemisasi dan globalisasi, dan ikut mempengaruhi interaksi dalam sebuah keluarga. Kedekatan anlar anggota keluarga mulai berkurang (Cockerham,1995). Kedekatan keluarga yang merupakan gambaran seberapa jauh keluarga terhubung atau terpisah antara satu anggota dengan anggota lain. Di samping ilu keluarga juga ditunlul untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Kemampuan keluarga merubah peran dan fiingsinya dalam menghadapi stress dan tantangan dari lingkungan itulah yang disebut adaptabilitas.
Berdasarkan hal di atas muncul permasalahan apakah dimensi kedekatan dan adaptabilitas keluarga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis remaja? Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: (1) gambaran nilai rata-rata dimensi kedekatan dan adaptabilitas keluarga , (2)garabaran kesejahteraan psikologis remaja , (3)hubungan dimensi kedekatan dan adaptabilitas keluarga dengan kesejahteraan psikologis. Dimensi Kedekatan dan adaptabilitas Keluarga akan diukur menggunakan FACES III (Family Adaptatability and Cohesion Evaluation Scales 111 berdasarkan teori Olson yang diadaptasi Pumamasari , A,T (1990). Sedangkan kesejahteraan psikologis akan menggunakan Psychological Well being yang dibual oleh Ryff, C.D (1989)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
1. Dimensi kedekatan dan dimensi adaptabilitas memiliki nilai yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata teoritik, walaupim dimensi kedekatan lebih tinggi nilainya daripada dimensi adaptabilitas. Yang mempunyai peranan besar dalam dimensi kedekatan adalah ikatan emosi, sedangkan yang mempunyai peranan besar dalam dimensi adaptabilitas adalah stniktur kekuasaan.
2. Gambaran kesejahteraan psikologis remaja secara umum berada di atas rata-rata mean teoritik. Secara berurutan adalah pertumbuhan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan otonomi.
3. Terdapat korelasi yang signifikan antara dimensi kedekatan dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri dan tujuan hidup.
Sebagai hasil tambahan ditemukan adanya peranan antara pendidikan ibu dengan dimensi tujuan hidup, dimensi otonomi, dan pertumbuhan diri; pendapatan berperanan dalam arah yang terbalik dengan kedekatan ; umur berperan dalam batas intemaljenis kelamin berperan dalam dimensi otonomi, dan tujuan hidup; pekeijaan ibu berperan dalam adaptabilitas keluarga ; agama berperan dalam hubungan baik dengan orang lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2830
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kerjasama antar daerah, penandatanganan naskah kesepakatan bersama"
Jakarta: Mega Setia Utama, 2015
333DIRB001
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Prajnya Ratnamaya Notodisuryo
"Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah konsep multi-dimensional mengenai sejauh apa seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori kesehatan mental, teori psikologi perkembangan, dan unsur-unsur gerontologi, Ryff mengemukakan 6 dimensi yang tercakup daiam kesejahteraan psikologis, yaitu 1) Penerimaan Diri (Self- Acceptance), yang mengacu kepada bagaimana individu menerima diri dan pengalamannya, 2) Hubungan interpersonal (Positive Relation with Others), yang mengacu pada bagaimana individu membina hubungan dekat dan saling percaya dengan orang lain, 3) Otonomi (Autonomy), yang mengacu pada kemampuan individu untuk Iepas dari pengaruh orang Iain dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu, 4) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery). yang mengacu pada bagaimana kemampuan individu menghadapi hai-hai di lingkungannya, 5) Tujuan Hidup (Purpose in Life), yang mengacu pada hal-hal yang dianggap penting dan ingin dicapai individu dalam kehidupan, serta 6) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth), yang mengacu pada bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang.
Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan dimensi-dimensi ini, yaitu: faktor demografis, daur hidup keluarga, dukungan sosial, serta evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman tertentu. Menurut Ryff (1995), evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Menurutnya, untuk dapat memahami kesejahteraan psikologis seseorang, perlu pemahaman terhadap pengalaman individu tersebut di masa lalu, dan memahami bagalmana individu tersebut mengevaluasi dan menghayati pengalamannya. Dengan adanya perbedaan dalam evaluasi dan penghayatan tersebut maka dapat saja terdapat perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama.
Menurut Ryff (1995), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Perceraian orang tua diasumsikan memilikl karakteristik seperti itu. Menurut Holmes & Rahe (dalam Carter & McGoldrick, 1989) perceraian menempati urutan kedua dalam skala pengalaman hidup yang paling menimbulkan stres. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orang tua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, memiliki self esteem yang rendah, maupun menunjukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993; Roe, 1994). Walaupun demikian, dewasa ini ditemukan pula bahwa perceraian orang tua dapat juga menimbulkan dampak positif, seperti melecut anak menjadi lebih mandiri atau mengembangkan hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain karena tidak ingin mengulangi pengalaman orang tuanya (Ellis dalam Roe, 1994). Hubungan interpersonal, prestasi sekolah, dan lain-lain hal yang disebutkan di atas merupakan bagian dari dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu penelitian ini diadakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai kesejahteraan psikologis pada anak-anak dari keluarga bercerai.
Kesejahteraan psikologis baru dapat diamati pada tahap usia dewasa. karena dimensi-dimensinya mencakup tugas-tugas perkembangan orang dewasa. Perbedaan jenis kelamln juga menunjukkan adanya perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri terhadap perceraian orang lua. Untuk membatasi masalah, dalam penelitian ini digunakan hanya sampel perempuan saja. Pengaruh perceraian orang tua dikatakan paling sulit diatasi bila perceraian terjadi saat anak berusia remaja atau pra-remaja. Dengan demikian, sampel yang digunakan berkarakteristik utama: perempuan dewasa muda (22-28 tahun), dan orang tuanya bercerai ketika usia pra-remaja atau remaja (9-18 tahun). Karena sampel yang digunakan adalah perempuan, maka dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis pun dikaitkan dengan karakteristik perempuan.
Evaluasi dan penghayatan pengalaman mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis melalui 4 mekanisme: 1) Perbandingan Sosial (social comparison) dimana individu membandingkan diri dan pengalamannya dengan orang lain; 2) Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal), yaitu bagaimana individu mempersepsikan sikap dan harapan orang di Iingkungan terhadap dirinya; 3) Persepsi Perilaku (Behavioural Perception), yaitu bagaimana individu memandang diri dan perilakunya dibandingkan sikap dan harapan umum; serta 4) Pemusatan Psikologis (Psychological Centrality) seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu sejauh apa suatu pengalaman dianggap individu mempengaruhi komponen kehidupannya.
Selain itu disebutkan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu dukungan sosial dan daur hidup keluarga. Daur hidup keluarga adalah peran, sikap, harapan, dan tanggung jawab baru yang diterima anggota keluarga setelah adanya suatu pengalaman yang mengubah struktur keluarga tersebut. Dalam hal ini, daur hidup dikaitkan dengan tahap-tahap yang dilalui sebuah keluarga menjelang perceraian hingga mencapai struktur keluarga yang normal lagi. Di dalamnya tercakup konflik antar orang tua, bagaimana penyesuaian diri anak dan orang tua, dan sebagainya. Sedangkan dukungan sosial adalah persepsi individu mengenai dukungan lingkungan terhadap dirinya, yang ternyata dapat disalukan pengertiannya dengan mekanisme perwujudan penghargaan. Bagaimana pengaruh faktor-faktor ini terhadap kesejahteraan psikologis akan dilihat pula melalui penelitian ini.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitalif, dengan wawancara sebagai pengumpul data. Keabsahan penelitian ini dijaga dengan menggunakan metode triangulasi, balk teori maupun pengamat. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara yang sesuai. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 5 orang responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua adalah baik (penerimaan diri), cukup baik (hubungan interpersonal), cenderung baik (otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi), serta kurang (penguasaan lingkungan).
Perceraian orang tua tampak terutama mempengaruhi dimensi hubungan interpersonal dan tujuan hidup. Seharusnya kedua dimensi ini berfungsi baik, namun ternyata perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua cenderung takut membina hubungan dekat dengan lawan jenis, apalagi memikirkan pernikahan. Sedangkan kurangnya penguasaan lingkungan dapat dikatakan sebagai hal yang wajar, sesuai dengan hasil penelitian Ryff sebelumnya.
Mekanisme perwujudan penghargaan (terutama yang positif/dukungan sosial) serta pemahaman atas konflik merupakan faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Sedangkan pemusatan psikologis secara mengejutkan ternyata dalam penelitian ini kurang mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis.
Faktor demografis, yang dikatakan dapat diabaikan karena sumbangannya yang sangat kecil terhadap kesejahteraan psikologis, ternyata dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang cukup besar. Urutan kelahiran sebagai anak pertama pada 4 dari 5 subyek terlihat mempengaruhi pembentukan dimensi otonomi. Demikian pula dengan faktor lingkungan budaya. Sedangkan latar belakang pendidikan psikologi terlihat dapat mendukung dimensi penerimaan diri responden.
Faktor kepribadian yang pada awalnya tidak disebutkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh, juga menunjukkan pengaruh besar terhadap pembentukan kesejahteraan psikologis. Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang memiliki sedikit andil terhadap pembentukan dimensi-dimensi tertentu, seperti faktor stimulasi lingkungan yang turut mempengaruhi dimensi pertumbuhan pribadi dan faktor besar-kecilnya resiko kesempatan yang turut mempengaruhi dimensi penguasaan lingkungan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Kartika Sari
"ABSTRAK
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang perlu dicermati di setiap
negara. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin yang telah tunm beberapa tahun
ini kembali mengalami peningkatan akibat berbagai macam krisis yang melanda
Indonesia. Kehidupan golongan miskin yang buruk dapat dilihat dari lingkungan
fisiknya, tempat tinggal, atau macam pekerjaannya. Umumnya mereka
berpendidikan rendah dan hanya memiliki keterampilan yang terbatas sehingga
menyulitkan mereka bekerja di sektor formal. Di perkotaan, penduduk miskin ini
merupakan kelompok yang heterogen yang seringkali dipandang sebagai
kelompok marjinal.
Berbagai pengalaman yang dirasakan selama hidup dalam kemiskinan
diasumsikan sedikit banyak turut mempengaruhi/)5yc/7o/ogjca/ well-being (PWB)
atau kesejahteraan psikologis mereka. Ross & Mirowsky (1989) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa status sosial ekonomi yang dimiliki individu
berpengaruh terhadap psychological distress dan psychological well-being
individu. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi seseorang, maka kecenderungan
tingkat distress-nya semakin tinggi, dan semakin rendah PWB individu tersebut.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah
tidak hanya dapat meningkatkan akibat yang negatif, tapi juga menurunkan
positive well-being individu (Ryff, 1996). Konsep PWB terbaru yang
dikemukakan oleh RyfT dapat memperlihatkan bagaimana penilaian individu
terhadap pencapaian potensi-potensi dlrinya pada saat ini, yang dipengaruhi oleh
pengalaman hidup dan harapan-harapan individu. Sebagai suatu konsep, PWB
terdiri dari enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, otonomi, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan dimensi hubungan positif
dengan orang lain.
Menurut Lewis (1976), orang yang mengalami penderitaan ekonomi
selama bertahun-tahun lamanya memiliki potensi mengalami apa yang disebutnya sebagai budaya kemiskinan, yang ditandai dengan sikap yang fatalistik dan
aspirasi yang rendah. Beberapa teori mengenai kemiskinan mengemukakan sisi
negatif dari sifat-sifat orang miskin, seperti yang dikemukakan Argyle (1991),dan
pada teori yang menekankan nilai-nilai. Dalam teori-teori tersebut dijelaskan
bahwa orang miskin cenderung malas, tidak tekun, bergantung pada orang lain,
menutup diri, tidak mempunyai konsep mengenai hari esok, bersikap menerima
nasib, memiliki kontrol internal yang rendah dan berbagai pola perilaku yang
tidak sesuai atau dianggap buruk oleh golongan yang tidak miskin. Semua teoriteori
di atas memperlihatkan sifat-sifat buruk dari golongan miskin yang dapat
mempengaruhi dimensi-dimensi PWB.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh dan mendalam mengenai gambaran PWB pada salah
satu kelompok miskin di perkotaan. Subyek penelitian ini adalah para pengemudi
becak berusia dewasa muda yang telah menarik becak minimal satu tahun
lamanya. Dipilihnya para pengemudi becak sebagai subyek penelitian karena
umumnya mereka memiliki karakteristik seperti orang miskin lainnya. Selain itu,
sejak awal keberadaannya hingga sekarang ini, pekeijaan menarik becak
seringkali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif dapat menggali secara lebih mendalam
penghayatan PWB dari setiap individu. Subyek penelitian ini beijumlah lima
orang. Pemilihan subyek dila^kan secara purposif melalui metode pengambilan
subyek bola salju (snowball/ chain sampling). Pengambilan data dilakukan
dengan metode wawancara mendalam (depth interview) ditambah dengan
observasi terhadap subyek dan tempat dilakukannya wawancara.
Dari hasil wawancara terhadap kelima subyek, dapat disimpulkan bahwa
kelima subyek memiliki gambaran PWB yang relatif baik. Secara berurutan, dapat
dilihat dari gambaran dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan, penerimaan diri, dan otonomi yang tampil cukup baik. Sedangkan
dua dimensi lainnya, yakni dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi tampil
dengan kualitas yang kurang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
status pekeijaan yang rendah (sebagai tukang becak) atau tingkat sosial ekonomi
rendah temyata berperan cukup besar pada pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup.
Sedangkan dimensi hubungan interpersonal tampaknya tidak terlalu berkaitan
dengan status pekeijaan yang rendah atau dengan tingkat sosial ekonomi subyek
yang rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kelimanya, diduga ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan PWB mereka. Diantaranya adalah dukungan sosial,
beberapa variabel demografis, mekanisme perbandingan sosial dan pemusatan
psikologis, sistem nilai budaya Jawa/ sikap mental sebagian besar masyarakat
Indonesia, serta faktor kepribadian yang semuanya tampak cukup berperan
mempengaruhi pembentukan dimensi-dimensi PWB kelima subyek."
1999
S2772
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fitria Ndari Saputri
"Lansia menghadapi tantangan dalam menjaga kesejahteraan psikologis, terutama mereka dengan keterlibatan sosial rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara social engagement dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling. Sampel penelitian sebanyak 112 lansia di Depok yang masih mampu berkomunikasi dua arah. Alat pengumpulan data menggunakan Social Disengagement Index dan Ryff’s Psychological Well-Being Scale (r = 0.325 – 0.783; α = 0.908). Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner dan dianalisis dengan uji Fisher’s exact. Hasil menunjukkan mayoritas lansia memiliki social engagement baik, namun kesejahteraan psikologis dominan pada tingkat sedang (p value = 0.038). Terdapat hubungan signifikan antara social engagement dengan kesejahteraan psikologis lansia di Depok. Kelompok lansia perempuan, tinggal sendiri, tidak bekerja, dan kehilangan pasangan lebih rentan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Sehingga, diperlukan penguatan program seperti Bina Keluarga Lansia (BKL) dan Posbindu Lansia yang mendukung keterlibatan sosial lansia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Older people face challenges in maintaining psychological well-being, particularly those with low social engagement. This study aims to determine the relationship between social engagement and psychological well-being. This study uses a cross-sectional approach with the proportionate stratified random sampling technique. The research sample consisted of 112 older people in Depok who were still able to communicate bidirectionally. The data collection tools used were the Social Disengagement Index and Ryff’s Psychological Well-Being Scale (r = 0.325 – 0.783; α = 0.908). Data were collected through questionnaire completion and analyzed using Fisher’s exact test. The results show that the majority of the older people have good social engagement, but psychological well-being is predominantly at a moderate level (p value = 0.038). There is a significant relationship between social engagement and the psychological well-being of the older people in Depok. Groups of older women, living alone, not working, and having lost their partners are more vulnerable to having low psychological well-being. Therefore, strengthening programs such as Bina Keluarga Lansia (BKL) and Posbindu that support the social engagement of the older people is necessary to improve their quality of life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>