Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85185 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Herlina
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3654
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yasmine Widyawati
2005
T38449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Widyawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38449
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Inka Setiorini Roebiono
"Penerbang adalah salah satu profesi yang unik, karena memiliki sifat pekerjaan yang berbeda dengan profesi lainnya. Profesi ini sudah sangat populer dalam kehidupan masyarakat modern dan sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menyeli- diki faktor bioteknikal dari sisi seorang penerbang. Tetapi ternyata masih sedikit yang menyelidiki aspek sosial yang terbentuk dalam kaitannya dengan profesinya tersebut, termasuk penelitian yang berkaitan dengan sisi kehidupan keluarga penerbang. Padahal, menurut pendapat beberapa ahli, keadaan keluarga sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja yang ia tunjukkan.
Pada kehidupan perkawinan seseorang, selalu dituntut adanya penyesuaian diri dari masing-masing pihak dan ini biasa disebut sebagai penyesuaian perkawinan. Masa penyesuaian yang paling sulit adalah pada masa 0 - 2 tahun perkawinannya, dan masa tersebut merupakan masa di mana seseorang harus menyesuaikan diri dengan pasangannya. Dikaitkan dengan kehidupan suami sebagai penerbang, pekerjaannya sendiri sudah merupakan suatu bentuk penyesuaian tersendiri, apalagi bila dikaitkan dengan awal-awal perkawinan mereka yang juga membutuhkan penyesuaian yang tidak mudah.
Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang dikemukakan para ahli untuk menggali dan menemukan jawaban dari 3 pertanyaan yang menjadi dasar penelitian ini. Masalah yang muncul dalam masa penyesuaian perkawinan Seorang penerbang ternyata tidak hanya berasal dari 8 area penyesuaian perkawinan yang umumnya ditemui pasangan biasa, tetapi muncul masalah-masalah lain yang sangat spesifik dan berkaitan dengan kondisi kerjanya. Dari 8 area tersebut, 2 area berkaitan erat, 1 area diduga berkaitan erat tetapi masih harus diteliti lebih lanjut, sedangkan 4 area lainnya tidak berkaitan. Sedangkan area terakhir, tidak dapat dilihat kaitannya karena data yang didapat sangat minim.
Area yang berkaitan erat dengan profesi seorang penerbang adalah pembagian peran dan rekreasi/penggunaan waktu luang, serta yang diduga berkaitan dengan profesi tersebut walaupun harus diteliti lebih lanjut yaitu pada area pengasuhan anak. Sedangkan masalah yang spesifik muncul pada pasangan keluarga penerbang tetapi tidak termasuk dalam 8 area penyesuaian perkawinan tersebut adalah penyesuaian terhadap profesi suami, ketakutan yang muncul dari pihak istri serta adanya pengaruh keluarga yang mempengaruhi kinerja dan konsentrasi seorang penerbang.
Selain itu, cara penyelesaian masalah yang muncul tidak hanya berbentuk kesepakatan atau kompromi saja, tetapi ternyata muncul bentuk lain yang bukan merupakan ke 2 bentuk cara penyesuaian perkawinan tersebut dan lebih mengarah pada bentuk strategi Coping.
Terakhir, terlihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan pada ke empat pasang keluarga penerbang yang ditemui. Faktor-faktor yang berkaitan erat dengan kondisi kerja suami sebagai penerbang, baik sebagai faktor pendukung ataupun faktor penghambat adalah komunikasi yang terbuka, kesiapan mental istri termasuk kesadaran bahwa istri harus dapat memberikan ketenangan bagi suami, serta peranan suami untuk menceritakan dunia kerjanya secara lebih terbuka.
Penelitian studi kasus memberikan hasil yang unik, karena akan terlihat perbedaan untuk tiap pasang yang diwawancarai. Namun demikian, hasil yang diperoleh tidak begitu saja dapat digeneralisasikan untuk populasi pasangan penerbang yang baru menikah selama 2 tahun pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2608
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sali Rahadi Asih
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada tiga tahun perkembangan pertama anak. Gangguan ini memiliki karakteristik anak tidak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi secara verbal. Anak penyandang autisma memperlihatkan pola tingkah laku tertentu yang dipertahankan dan diulang-ulang. Kehadiran anak penyandang autisma membawa kesedihan bagi suami istri sebagai orang tua. Hasil diagnosa anak memunculkan masalah-masalah baru. Baik yang berhubungan langsung dengan anak maupun yang tidak berhubungan langsung. Masalahmasalah ini bila tidak teselesaikan dapat menimbulkan konflik yang akhirnya merenggangkan hubungan perkawinan suami istri. Sedangkan bila masalah terselesaikan dengan baik dapat mempererat hubungan perkawinan mereka.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran kualitas hubungan perkawinan suami istri yang memiliki anak penyandang autisma. Kualitas hubungan perkawinan, menurut Benokraitis (1996) ditentukan berdasarkan 3 hal, yaitu sikap positif yang ditunjukkan oleh suami atau istri saat mengatasi masalah, komitmen suami atau istri dalam mengatasi masalah, komitmen perkawinan dan dukungan emosi yang diberikan oleh suami atau istri dalam mengatasi masalah. Juga ditanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri berkaitan dengan diagnosa anak sebagai penyandang autisma.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa masalah utama adalah keterbatasan anak mengungkapkan keinginan secara verbal dan mempertahankan konsentrasi. Diikuti dengan masalah tingkah laku stereotipi anak berupa mengetuk-ngetuk benda, berguling-guling di lantai dan memainkan alat kelamin. Masalah pendidikan mencakup kesulitan mendapatkan alat terapi, ketidakjelasan masa depan pendidikan anak dan kurangnya alternatif metode terapi yang ada di Indonesia. Juga kesulitan keuangan dan kesulitan menjelaskan gangguan anak kepada keluarga besar. Pada sikap positif, dua pasangan saling memperlihatkan sikap positif terhadap usaha-usaha mengatasi masalah. Sedangkan satu pasangan menunjukkan inkonsistensi sikap positif terhadap usaha-usaha yang dilakukan.
Seluruh pasangan memperlihatkan komitmen yang tinggi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul. Pada komitmen perkawinan, dua pasangan berpendapat bahwa kehadiran anak penyandang autisma meningkatkan komitmen perkawinan mereka dan satu pasangan berpendapat kehadiran anak penyandang autisma menurunkan komitmen perkawinan mereka. Satu pasangan saling memberi dukungan emosi saat berusaha mengatasi masalah. Sedangkan pada dua pasangan ditemukan inkonsistensi pemberian dukungan emosi yang berbeda intensitasnya.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan memasukkan lebih banyak faktorfaktor yang mempengaruhi hubungan perkawinan agar mendapat gambaran lebih utuh. Perlu diteliti lebih lanjut persepsi keluarga besar terhadap kehadiran anak penyandang autisma. Juga perlu diteliti penyesuaian saudara kandung terhadap kehadiran anak penyandang autisma dalam keluarga."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S3122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sunaryo
"Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besar menimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino, 1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan (handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihat akibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwa banyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi. Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahan yang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Mereka mengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Di samping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahan tanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih si penderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaan yang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yang suaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni, 2003). Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasangan menderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanya berdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnya yaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakit stroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauan emosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yang memiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasangan terserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih dapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkan penelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena peneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi data hasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama proses berlangsungnya wawancara. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke pada penelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengan karakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraan psikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1 subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secara umum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknya pada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekanan psikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalaman menjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandangan yang positif. Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalam pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor: karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalam Mardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadap pengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yang bersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaian yang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suami yang komprehensif.
Stroke is one of the most severe acute diseases that causes disability (Guccione et al; in Sarafino, 1998). The disability that occurs is the presence of handicap and loss of ability to do something that healthy people should be able to do such as: not being able to walk, swallow, and see due to the effects of stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) said that many stroke sufferers become disabled, invalid, no longer able to earn a living as before, become dependent on others, and often become a burden for their families. This burden can be in the form of physical burden, emotional burden, and economic burden. Anggrahaeni (2003) said more clearly that the changes that occur due to stroke also affect other family members. They experience stress because their lives as a whole change. They are required to adjust to the demands of new circumstances. In addition, they also still have to face additional responsibilities. The responsibility is not only limited to taking care of and training the patient to recover, but also the responsibility for the jobs that the patient can no longer do. A wife whose husband has a stroke, for example, may be forced to work to find additional income to support the family and medical expenses (Anggrahaeni, 2003). Therefore, household life with one partner suffering from an acute illness, such as a stroke, is a fact of life that is basically not desired by any married couple. This condition will certainly have the potential to cause problems and also affect the relationship or interaction of the husband and wife. This is because stroke not only affects the sufferer but also the closest environment, namely the partner and family (Walerby & Forsberg et al, 1999). Stroke suffered by one family member can affect the emotional well-being of other family members. Family members of stroke patients usually experience emotional turmoil (Walerby & Forsberg et al, 1999). The purpose of this study was to obtain an in-depth description of psychological well-being in wives whose husbands had strokes. More specifically, this study aims to see the description of the six dimensions of psychological well-being that refer to the theory proposed by Ryff (1995), namely: the dimension of self-acceptance, the dimension of positive relationships with others, the dimension of autonomy, the dimension of environmental mastery, the dimension of life goals, and the dimension of personal growth. The study was conducted on 4 wives who had partners who had strokes. This study used a qualitative approach that could better describe complex and comprehensive processes compared to other studies. The type of qualitative research used was a case study. The data collection technique used was in-depth interviews because the researcher wanted to know the subjective experiences of the subjects. To complete the interview data, observations were made of the subjects during the interview process. The conclusion obtained from the results of this study is that the psychological well-being of wives who had partners who had strokes in this study seemed to show a variety of conditions. In general, with different demographic characteristics, the description of all dimensions of psychological well-being of the 3 subjects showed relatively equally good conditions. While 1 other subject was different from the other 3 subjects in the dimensions of positive relationships with others, autonomy, and personal growth. However, in general, there is a tendency that the stroke situation and its impacts initially (several weeks after the incident) provide psychological pressures so that they need to process to obtain the psychological well-being that they currently feel. The subjects finally assessed the experience of living with a husband who had a stroke with a positive view. Demographic factors and social classification turned out to have no effect on the formation of the psychological well-being of the subjects, but factors: personal characteristics, religiosity (religiousness) (Koenig, Kvale, & Ferrel in Mardhianto, 1997), social support (Robinson 1991), and evaluation of life experiences (Ryff 1995) are factors that influence the formation of the psychological well-being of the subjects. In connection with the results of this study, it is suggested that wives whose husbands have had a stroke as the closest people to the sufferer can achieve good psychological well-being, interpret the event with a positive assessment, and provide more psychological support for their husbands' comprehensive recovery."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Aprilianti
"ABSTRAK
Perkawinan adalah sebuah institusi yang paling tua, paling universal, dan paling khas yang dimiliki oleh manusia. (Fusch dalam Havenmann & Lehtinen, 1986) Perkawinan juga memiliki kedudukan yang penting bagi individu. Beberapa ahli berpendapat bahwa perkawinan berperan besar dalam menciptakan kebahagiaan dan stabilitas individu. (Landis & Landis, 1970).
Selain perkawinan, agama juga memiliki peranan penting dan berpengaruh luas terhadap manusia. Dalam tingkat sosial agama merupakan institusi sosial yang berkontribusi menjaga stabilitas sosial. Dalam tingkat personal agama berperan sebagai serangkaian prinsip yang hidup yang dapat memberikan arti bagi kehidupan seseorang,'aturan-aturan dalam berperilaku, perasaan bebas atau bersalah dan penjelasan tentang nilai-nilai kebenaran yang dapat dipercayai. (Pergament dalam Palaoutzian, 1996) Hurlock (1980) mengemukakan bahwa penyesuaian perkawinan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam perkawinan. Menurut Burgess & Locke (dalam Miller, 1991) penyesuaian perkawinan ditandai dengan adanya kesesuaian antara suami istri dalam berbagai hal yang dianggap penting dalam perkawinan, adanya kesamaan minat serta aktivitas yang dilakukan bersama, saling mengungkapkan kasih sayang dan saling percaya, hanya memiliki sedikit keluhan, serta tidak sering mengalami perasaan kesepian, sedih, marah, tidak puas dan semacamnya. Sementara itu, menurut Glock dalam Palaoutzian (1996), komitmen beragama dipandang sebagai salah satu variabel multidimensional yang tersusun dari 5 dimensi, yaitu dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi eksperiensial, dimensi konsekuensial, dan dimensi intelektual.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa agama merupakan salah satu pendukung utama sebuah perkawinan dan juga keluarga (Schmiedeler, 1946; Daradjat, 1996; Rosen-Grandon, 1999; Fiese & Tomcho, 2001). Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan khususnya di negara-negara barat untuk mencari hubungan antara agama dengan perkawinan. Stinnet (dalam Laswell & Laswell, 1987) dan Jones (2002) mengemukakan bahwa dari berbagai penelitian ditemukan bahwa agama secara konstan memiliki hubungan yang positif dengan perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara penyesuaian perkawinan dengan komitmen beragama pada pasangan suami istri beragama Islam dengan usia perkawinan 1-5 tahun. Penelitian ini juga bertujuan untuk menegatahui gamabaran penyesuaian perkawinan dan gambaran komitmen beragama pasangan suami istri beragama Islam dengan usia perkawinan 1-5 tahun.
Penenlitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode ex post facto field study. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-random sampling dengan tipe Occidental sampling. Subyek dalam penelitian ini beijumlah 164 orang atau 82 pasang suami istri. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan 2 buah kesioner, yaitu kuesioner penyesuaian perkawinan yang merupakan hasil adaptasi dari Marriages Adjustment Schedule yang disusun oleh Burgess & Locke (1960) dan kuesioner komitmen beragama yang merupakan hasil adaptasi dari Religious Commitment Scale yang disusun oleh Glock & Stark (1965).
Perhitungan data untuk mengetahui adanya hubungan antara penyesuaian perkawinan dengan tiap-tiap dimensi komitmen beragama dilakukan dengan menggunakan metode korelasi Pearson Product Mommet. Hasil penelitian menujukkan bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi ekperiensial, dimensi konsekuensial dan dimensi intelektual pada subyek suami. Sementara itu pada subyek istri juga ditemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi eksperiensial dan dimensi konsekuensial. Namun pada subyek istri tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi intelektual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharita Miranda
"Perkawinan merupakan suatu institusi yang membutulikan banyak penyesuaian dari individu-individu yang terl/^at di dalanmya. Tabun-tahun pertama masa perkawinan, yaitu satu sampai dua tabun pertama dapat dikatakan merupakan masamasa dimana individu mulai meletakkan landasan bagi perkawinan mereka untuk itu dibutubkan adanya penyesuian perkawinan. Hubimgan interpersonal memainkan peranan yang penting dalam masa ini untuk tercapainya suatu penyesuaian perkawinan. Kelekatan {attachment) yang dimiliki individu memberikan sumbangan yang penting terhadap peiilaku individu dalam berhubungan interpersonal dengan orang lain, dalam bal ini dengan pasangannya. Melalui penelitian ini akan dilihat pengamh dari gaya kelekatan avoidant, anxious/ambivalent dan secure terhadap penyesuaian perkawinan individu yang sedang menjalani masa dua tahun pertama perkawinannya itu. Alat ukur yang akan digunakan berupa kuesioner dalam bentuk skala untuk mengukur penyesuaian perkawinan dan gaya kelekatan yang dimiliki individu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gaya kelekatan yang berbeda memptmyai pengaruh yang berbeda pula terhadap penyesuaian perkawinan individu. Individu yang memiliki gaya kelekatan secure menunjukkan penyesuaian perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki yang kelekatan lain. Sementara individu dengan gaya kelekatan anxious/ambivalent menrmjukkan penyesuaian perkawinan yang paling rendah dari individu dengan gaya kelekatan lain. Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan dari liwayat atau sejarah kelekatan dengan gaya kelekatan yang dimiliki individu saat ini Selain itu juga didapatkan gambaran penyebaran gaya kelekatan subyek penelitian.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah mempertimbangkan adanya interaksi gaya kelekatan. Juga dipandang perlu rmtuk melakukan penelitian pada jumlah subyek yang lebih besar serta menggunakan metode lain, selain kuesioner, misalnya wawancara sehingga mendapatkan hash yang lebih tajam dan mendalam."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S2361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>