Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115649 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga seteiah generasi pertama yang dimulai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP daiam perjalanannya dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidalia denda. Selain itu, piclana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan ydan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal pencembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi aiternatif (altemative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau altematif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan rnasyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda iika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula piidana denda yang ditentukan- sabagai' ancaman kurnulaiif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutarna untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan hafta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan piclana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang be1um atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konfiik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kenugian (restitutif) daniatau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasamya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusia n yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang rnelakukan tindak pidana herat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1023
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai atternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga setelah generasi pertama yang dimuiai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP dalam perjalanannya dipengaruhi oieh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana daiam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan, Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang reiatif tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang- undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kerugian (restitutif) dan/atau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni ?Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah penavujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oieh tindak pidana. Pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1026
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Anindita Yulidaningrum
"Penelitian ini membahas tentang penjatuhan pidana denda dalam kasus tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia, mengingat undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai indikator yang dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tatkala menjatuhkan pidana denda dalam tindak pidana lingkungan hidup. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini membahas permasalahan yang dituangkan dalama tiga pertanyaan penelitian: Pertama, bagaimana pengaturan mengenai sanksi pidana denda dalam tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia; Kedua, apa saja indikator yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan penjatuhan pidana denda yang proporsional dalam pemidanaan atas tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia; dan Ketiga, bagaimana penerapan penjatuhan sanksi pidana denda tindak pidana lingkungan hidup dalam praktik peradilan di Indonesia. Penelitian ini turut membandingkan ketentuan, pedoman pemidanaan, dan penerapannya di Inggris dan Singapura terkait tindak pidana lingkungan hidup. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemidanaan dalam kasus pada akhirnya dijatuhkan dengan pemenuhan unsur-unsur pasal semata, ditambah dengan faktor memberatkan dan meringankan yang dikaitkan dengan fakta dalam persidangan. Putusan Hakim juga tidak mencantumkan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana besaran pidana denda itu ditentukan. Oleh karena itu, terdapat suatu urgensi bagi Mahkamah Agung untuk menyusun suatu pedoman pemidanaan khusus untuk penanganan tindak pidana lingkungan hidup. Pedoman pemidanaan ini harus mencakup ketentuan tentang indikator apa saja yang perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana beserta tahapan yang perlu dilalui dalam hal pemidanaan.

This study discusses the imposition of fines for cases of environmental crimes in Indonesia. Due to the absence of law, there are no further explanations regarding indicators that can be considered when imposing fines in the context of environmental crimes. Using a normative-research method, this study discusses three research questions: First, how has Indonesia regulated the application of fines for environmental crimes in Indonesia; Second, what are the indicators to be considered to determine proportional fines as sentencing for environmental crimes in Indonesia; and Third, how has Indonesia applied fines as sentencing for environmental crimes within Indonesian courts. In answering these, the study conducts a comparative analysis between the practices of the UK and Singapore regarding environmental crimes. The results of this study indicate that sentencing was ultimately imposed by fulfilling the elements required in the article, added with aggravating, and mitigating factors associated with the facts in the trial. In addition, the judgment did not provide further explanation as to how the fine was determined. Therefore, this creates urgency for the Supreme Court to formulate a special sentencing guideline for handling environmental crimes. The guideline must include provisions on what indicators and stages need to be considered by Judges while imposing fine in factual cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Anindita Yulidaningrum
"Penelitian ini membahas tentang penjatuhan pidana denda dalam kasus tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia, mengingat undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai indikator yang dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tatkala menjatuhkan pidana denda dalam tindak pidana lingkungan hidup. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini membahas permasalahan yang dituangkan dalama tiga pertanyaan penelitian: Pertama, bagaimana pengaturan mengenai sanksi pidana denda dalam tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia; Kedua, apa saja indikator yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan penjatuhan pidana denda yang proporsional dalam pemidanaan atas tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia; dan Ketiga, bagaimana penerapan penjatuhan sanksi pidana denda tindak pidana lingkungan hidup dalam praktik peradilan di Indonesia. Penelitian ini turut membandingkan ketentuan, pedoman pemidanaan, dan penerapannya di Inggris dan Singapura terkait tindak pidana lingkungan hidup. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemidanaan dalam kasus pada akhirnya dijatuhkan dengan pemenuhan unsur-unsur pasal semata, ditambah dengan faktor memberatkan dan meringankan yang dikaitkan dengan fakta dalam persidangan. Putusan Hakim juga tidak mencantumkan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana besaran pidana denda itu ditentukan. Oleh karena itu, terdapat suatu urgensi bagi Mahkamah Agung untuk menyusun suatu pedoman pemidanaan khusus untuk penanganan tindak pidana lingkungan hidup. Pedoman pemidanaan ini harus mencakup ketentuan tentang indikator apa saja yang perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana beserta tahapan yang perlu dilalui dalam hal pemidanaan.

This study discusses the imposition of fines for cases of environmental crimes in Indonesia. Due to the absence of law, there are no further explanations regarding indicators that can be considered when imposing fines in the context of environmental crimes. Using a normative-research method, this study discusses three research questions: First, how has Indonesia regulated the application of fines for environmental crimes in Indonesia; Second, what are the indicators to be considered to determine proportional fines as sentencing for environmental crimes in Indonesia; and Third, how has Indonesia applied fines as sentencing for environmental crimes within Indonesian courts. In answering these, the study conducts a comparative analysis between the practices of the UK and Singapore regarding environmental crimes. The results of this study indicate that sentencing was ultimately imposed by fulfilling the elements required in the article, added with aggravating, and mitigating factors associated with the facts in the trial. In addition, the judgment did not provide further explanation as to how the fine was determined. Therefore, this creates urgency for the Supreme Court to formulate a special sentencing guideline for handling environmental crimes. The guideline must include provisions on what indicators and stages need to be considered by Judges while imposing fine in factual cases. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Rajawali Press, 2023
345 PEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Wahyudi
Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
345.081 SET i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jaih Mubarok
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015
346.016 JAI P
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Hartana
"Administrasi peminjaman yang baik, akan sangat membantu kelancaran dalam pelayanan peminjaman. Petugas sirkulasi yang ramah dan mau membantu dengan senang hati, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemakai untuk mengunjungi perpustakaan itu kembali. Peminjam akan puas bila mendapat pelayanan yang cepat dan tepat sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Sebaliknya untuk menunjang kelancaran sirkulasi, para peminjam dituntut pula untuk mentaati peraturan-pe_raturan peminjaman. Salah satu peraturan adalah agar pe_makai mengembalikan buku yang telah dipinjamnya tidak bo_leh lebih dari batas waktu yang diberikan. Untuk menjamin bahan pustaka dikembalikan, pustakawan mengadakan sanksi hukuman berupa denda uang. Hukuman denda uang di perpustakaan bukanlah merupakan hal yang baru, melainkan telah dimulai 133 tahun yang lalu, yaitu di perpustakaan universitas di Amerika Serikat pada tahun 1848, sudah dilaporkan mengadakan hukuman denda uang. Tujuan hukuman denda ini pada mulanya adalah semata-mata untuk menjamin pengembalian buku, dan kemudian berkembang menjadi suatu masalah_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S15471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ali Zaidan
Jakarta : Sinar Grafika, 2015
345 ALI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramzy
"Secara konvensional hukum dibagi menjadi menjadi hukum publik dan hukum privat maka hukum pidana menjadi hukum publik. di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu metode perdamaian (shulh). Di dalam perdamaian (shulh) baik korban atau walinya ataupun washinya (pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diat atau lebih besar dari diat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terkahir) bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Conventionally law is divided into the public law and private law in which the public law governing the relationship between citizens and the state such as criminal law, while private law governs the relationship between citizens with citizens such as contract law. Enactment of Law No. 8 of 1981 regarding Indonesian Crime Law Procedure has led to fundamental changes, both conceptually and in implemental to the settlement procedures for criminal cases in Indonesia. In the tradition of Islamic criminal law there is a method of settlement, namely method of concilliation (shulh). In the shulh both the victim or the will holder will be allowed to make conciliation in terms of punishment in return for a replacement is equal or greater than the blood money (diyat). Restorative justice is an approach model in a criminal case settlement efforts. This approach focuses on the direct participation of perpetrators, victims and society in the process of resolving criminal cases. Criminal cases settlement process through conciliation method is in accordance with the characteristic of the Indonesian nation, "spirit of deliberation" for every crime case settlement with the aim that criminal law is not as a premium remedium but ultimum remedium"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31921
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>