Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204015 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Wulandari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Maduretno
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang psrose penyesuaian diri istri yang suaminya terserang stroke. Stroke adalah penyakit kerusakan pada area otak yang ketika persediaan darah ke area tersebut terganggu dan menyebabkan otak kekurangan oksigen. Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami kelumpuhan fisik, gangguan kognitif dan emosi tergantung dari bagian otak mana yang terkena serangan. Penyakit stroke tidak hanya menimbulkan penderitaan atau kesulitan pada diri penderitanya saja, namun juga keluarganya, terutama orang yang memiliki ikatan emosi yang erat dengan penderita, seperti pasangan atau anak (Rolland dalam Herfianti, 1998). Istri yang suaminya menderita penyakit kronis harus menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan penyakit dan ini menjadi stres tersendiri bagi istri (Kuyper & Wester, 1998). Seorang istri yang suaminya terserang stroke dituntut harus menerima dan menyesuaikan diri dengan kondisi suaminya yang mengalami perubahan setelah stroke.
Menurut Atwater (1983), penyesuaian diri meliputi perubahan dalam diri seseorang dan lingkungannya untuk mencapai hubungan yang baik dengan orang lain dan lingkungannya. Haber & Runyon (1984) mengemukakan karakteristik yang menunjukkan penyesuaian diri yang efektif meliputi persepsi yang akurat tentang realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, gambaran diri (self-image) yang positif, kemampuan untuk mengekspresikan emosi, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Penyesuaian diri yang dapat dilakukan oleh seorang istri yang memiliki suami yang menderita penyakit kronis adalah dengan membiasakan diri dan belajar hidup dari kenyataan atau keadaan yang ada, juga menyesuaikan jadwal sehari-hari dan menyesuaikan dengan keinginan penderita.
Penelitian dilakukan pada istri yang menjadi caregiver bagi suaminya yang terserang stroke. Untuk mendapatkan gambaran tentang proses penyesuaian diri istri yang suaminya terserang stroke, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara dan obsercasi sebagai alat pengumpulan datanya. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masalah yang dialami istri yang suaminya terserang stroke berkaitan dengan masalah beban tugas merawat suami, masalah dengan kondisi sakit suami, dan masalah hubungan dengan orang-orang disekitamya. Istri penderita stroke menyesuaikan diri dengan berbagai tugas-tugas merawat suaminya dengan menerima dan menjalankannya. Mereka berusaha memahami dan menerima keadaan suaminya dan berusaha menghadapi setiap masalah yang muncul."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellizah Adam
"Pengasuhan anak merupakan suatu proses yang penuh stres (stressful) namun juga membawa kepuasan emosional bagi pasangan suami istri (Carter & Mc Goldrick, 1982). Berbagai masalah yang ditemui dalam mengasuh anak dapat membuat kedua orang tuanya mengalami konflik baik di antara mereka berdua maupun dengan orang sekitarnya. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua anak dengan gangguan perkembangan tertentu biasanya lebih besar dari orang tua dengan anak normal (Mangunsong, 1998).
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti mengenai orang tua anak penyandang autisma Autisma adalah suatu gangguan perkembangan yang dialami oleh anak sejak tiga tahun awal kehidupannya. Gangguan ini bersifat menetap dan mempengaruhi semua aspek kehidupan anak. Gejala pada anak adalah kesulitan berkomunikasi verbal, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, serta obsesi kuat terhadap rutinitas. Pada umumnya anak penyandang autis tidak memperlihatkan ciri-ciri penampilan fisik yang menunjukkan kelainannya itu, sehingga terkadang orang tua mengalami kesulitan menerima diagnosa anak. Selain itu, para orang tua juga merasakan berbagai perasaan negatif yang diakibatkan diagnosa autisma anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses stres dan coping pada orang tua anak penyandang autisma.
Dalam menggambarkan proses stres yang dialami oleh para orang tua penyandang autisma, akan digunakan model appraisal yang dikembangkan oleh Lazarus (dalam Cooper & Pavne, 1991). Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu primary dan secondary appraisal. Dari hasil appraisal individu terhadap situasi yang dihadapinya maka individu akan menentukan bermasalah atau tidaknya situasi tersebut. Bila suatu situasi dirasa bermasalah, maka individu akan memunculkan respon untuk mengatasinya {coping). Model strategi coping yang digunakan adalah dari Carver, Wientraub & Scheier (1989) dengan skala COPE.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu melalui metode wawancara dan observasi. Yang menjadi subyek adalah tiga pasang suami-istri yang memiliki anak penyandang autisma. Semua subyek berdomisili di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan antara SMEA dan Strata-2 (pasca saijana). Tingkat sosial ekonomi subyek adalah menengah sampai menengah ke atas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebelum mendapat diagnosa autisma anak, dua pasang orang tua tidak pernah mengetahui sama sekali tentang autisma sedangkan satu pasang sudah mengetahui dari media massa Ketidaktahuan mengenai autisma ini menyebabkan dalam penanganan anak menjadi kurang terarah dan juga kurang efektif. Di samping itu.diagnosa yang tidak pasti mengenai kondisi anak menimbulkan keresahan dan tekanan emosional pada kedua pasangan tersebut. Perilaku anak yang sulit dipahami dan tidak wajar juga menimbulkan masalah yang dirasa berat oleh semua subyek. Coping yang dilakukan pada saat ini biasanya berupa mencari informasi dan juga melampiaskan perasaan sedih dengan menangis atau berdoa.
Setelah mendapat diagnosa, ketiga pasangan mengaku merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, kasihan pada anak, tidak percaya, dan sebagainya. Untuk mengatasi ini, para orang tua selain berusaha mencari informasi dan penanganan bagi anak, juga mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga, teman dan rekan keija. Sesudah mengetahui diagnosa anak, masalah yang dihadapi antara lain masalah keuangan kesulitan menemukan fasilitas terapi yang cocok dan juga memberikan penjelasan pada keluarga besar agar dapat menerima autisma anak mereka. Dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, dua pasangan memiliki bentuk keluarga tradisional di mana suami bekerja dan istri mengurus anak sedangkan satu pasangan memiliki bentuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama beker]a dan pengasuhan anak di siang hari diserahkan kepada baby sitter dan orang tua dari istri.
Ditemukan adanya perbedaan di mana pada keluarga tradisional, istri yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak cenderung lebih mengetahui cara mendidik anak dan juga lebih tahu cara menerapkan hal-hal yang diajarkan pada terapi. Para suami dalam keluarga tradisional ini berusaha untuk mengikuti perkembangan anak namun banyak terhambat oleh kesibukan pekerjaan. Karena ketidaktahuan mereka, kedua orang ayah terkadang inkonsisten dalam mendidik anak sehingga melanggar aturan pengasuhan yang ditetapkan oleh istri mereka. Inkonsistensi ini dirasakan sebagai masalah yang amat besar oleh satu pasangan sedangkan tidak oleh pasangan yang lain. Pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, pengetahuan dan perlakuan terhadap anak relatif sama meski sang istri mengakui bahwa suaminya lebih tegas.
Setahun terakhir, para subyek merasakan kepuasan yang berbeda terhadap berbagai penanganan yang mereka lakukan terhadap anak mereka Dua orang pasangan mengaku sudah melihat banyak kemajuan pada anaknya dan bahwa sebagian besar cara yang mereka pilih membawa hasil yang positif sementara satu pasangan merasa sangat tidak puas. Ketidakpuasan ini diakibatkan oleh inkonsistensi dari suami dan juga karena kurang intensifnya terapi pada tahuntahun awal diagnosa karena hambatan biaya Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa gejala coping yang tidak diungkap oleh Skala COPE yaitu perbandingan keberhasilan diri sendiri dengan orang lain (socicil comparison). Skala ini juga tidak membahas mengenai pemberian dukungan sosial kepada orang lain sebagai sebuah strategi coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Astuti
"Keluarga sudah sejak lama diketahui sebagai penyedia pendampingan atau bantuan terbesar bagi para lansia dengan gangguan fisik dan kognitif (Brody, dalarn Gatt, Bengtson, & Blum, 1990). Alasan mengapa para lansia ini membutuhkan bantuan, berkaitan erat dengan konteks epidemiologis akibat munculnya penyakit-penyakit Icronis yang mengarah pada gangguan fisik dan kerusakan kognitif Gangguan serta kerusakan tersebut menempatkan sebagian besar lansia pada posisi membutuhkan pendampingan atau bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya tuntutan akan peran caregiving atau pemberian pengasuhan yang lebih aktif dari anak-anak yang telah mencapai usia dewasa (adult children). Dalarn banyak situasi caregiving, anggota keluarga yang berperan sebagai primary. caregiver mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam memberikan pengasuhan. Hal ini sesuai dengan definisi dari caregiving itu sendiri yaitu intera1csi dimana salah satu anggota keluarga membantu pihak lain dalam mengeIjakan tugas atau aktivitas sehari-hari yang pada umwnnya bisa dilakukan secara mandiri. Salah satu jenis penyakit kronis yang kemunculannya meningkat sering dengan pertambahan usia adalah demensia Demensia merupakan gangguan fungsi kognitif yang berdampak pada timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku pada diri penderitanya Memberikan pengasuhan serta perawatan kepada penderita demensia atau jenis gangguan mental lainnya, secara umum lebih sulit dibandingkan dengan merawat lansia yang mengalami gangguan fisik tapi sedikit atau sarna sekali tidak memperlihatkan adanya gangguan emosional dan tingkah laku (Birkel, Pearson et. aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). Menurut sebagian besar caregiver, gangguan emosional dan tingkah laku ini selain sangat menyuJitkan juga mampu membuat mereka merasa sangat tertekan (Teri et.aI., Levine, et.aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Aprilianti
"ABSTRAK
Perkawinan adalah sebuah institusi yang paling tua, paling universal, dan paling khas yang dimiliki oleh manusia. (Fusch dalam Havenmann & Lehtinen, 1986) Perkawinan juga memiliki kedudukan yang penting bagi individu. Beberapa ahli berpendapat bahwa perkawinan berperan besar dalam menciptakan kebahagiaan dan stabilitas individu. (Landis & Landis, 1970).
Selain perkawinan, agama juga memiliki peranan penting dan berpengaruh luas terhadap manusia. Dalam tingkat sosial agama merupakan institusi sosial yang berkontribusi menjaga stabilitas sosial. Dalam tingkat personal agama berperan sebagai serangkaian prinsip yang hidup yang dapat memberikan arti bagi kehidupan seseorang,'aturan-aturan dalam berperilaku, perasaan bebas atau bersalah dan penjelasan tentang nilai-nilai kebenaran yang dapat dipercayai. (Pergament dalam Palaoutzian, 1996) Hurlock (1980) mengemukakan bahwa penyesuaian perkawinan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam perkawinan. Menurut Burgess & Locke (dalam Miller, 1991) penyesuaian perkawinan ditandai dengan adanya kesesuaian antara suami istri dalam berbagai hal yang dianggap penting dalam perkawinan, adanya kesamaan minat serta aktivitas yang dilakukan bersama, saling mengungkapkan kasih sayang dan saling percaya, hanya memiliki sedikit keluhan, serta tidak sering mengalami perasaan kesepian, sedih, marah, tidak puas dan semacamnya. Sementara itu, menurut Glock dalam Palaoutzian (1996), komitmen beragama dipandang sebagai salah satu variabel multidimensional yang tersusun dari 5 dimensi, yaitu dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi eksperiensial, dimensi konsekuensial, dan dimensi intelektual.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa agama merupakan salah satu pendukung utama sebuah perkawinan dan juga keluarga (Schmiedeler, 1946; Daradjat, 1996; Rosen-Grandon, 1999; Fiese & Tomcho, 2001). Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan khususnya di negara-negara barat untuk mencari hubungan antara agama dengan perkawinan. Stinnet (dalam Laswell & Laswell, 1987) dan Jones (2002) mengemukakan bahwa dari berbagai penelitian ditemukan bahwa agama secara konstan memiliki hubungan yang positif dengan perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara penyesuaian perkawinan dengan komitmen beragama pada pasangan suami istri beragama Islam dengan usia perkawinan 1-5 tahun. Penelitian ini juga bertujuan untuk menegatahui gamabaran penyesuaian perkawinan dan gambaran komitmen beragama pasangan suami istri beragama Islam dengan usia perkawinan 1-5 tahun.
Penenlitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode ex post facto field study. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-random sampling dengan tipe Occidental sampling. Subyek dalam penelitian ini beijumlah 164 orang atau 82 pasang suami istri. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan 2 buah kesioner, yaitu kuesioner penyesuaian perkawinan yang merupakan hasil adaptasi dari Marriages Adjustment Schedule yang disusun oleh Burgess & Locke (1960) dan kuesioner komitmen beragama yang merupakan hasil adaptasi dari Religious Commitment Scale yang disusun oleh Glock & Stark (1965).
Perhitungan data untuk mengetahui adanya hubungan antara penyesuaian perkawinan dengan tiap-tiap dimensi komitmen beragama dilakukan dengan menggunakan metode korelasi Pearson Product Mommet. Hasil penelitian menujukkan bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi ekperiensial, dimensi konsekuensial dan dimensi intelektual pada subyek suami. Sementara itu pada subyek istri juga ditemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi idiologis, dimensi ritual, dimensi eksperiensial dan dimensi konsekuensial. Namun pada subyek istri tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian perkawinan dengan dimensi intelektual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina
2004
S3377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Rosmauli
2005
S3468
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gamajanti Zulkarnaen
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikarwin
"ABSTRAK
Perubahan demi perubahan telah terjadi atas kebudayaan kelompok manusia sejak dahulu kala hingga sekarang. Perubahan-perubahan tersebut merefleksikan usaha-usaha manusia meningkatkan kemampuannya mempertahankan dan melangsungkan hidup di dalam habitatnya. Usaha-usaha itu diwujudkan dengan cara mengefisienkan pemakaian energi; yakni dengan menggunakan teknologi yang efektif. Untuk keperluan itulah kelompok manusia merubah organisasi hubungan-hubungan sosialnya agar sesuai dengan teknologi yang dipergunakan Proses penyesuaian itulah yang dinamakan adaptasi (Cohen 1971).
Rumah tangga-rumah tangga di Penengahan Krui, Lampung Barat, sejak permulaan abad 20 telah membangun "kebun campuran". Yaitu suatu "saran untuk mengumpulkan dan mengendalikan sumber-sumber energi yang dapat diperoleh dengan mudah" (Wolf 1985:34). "Kebun campuran" yang dikenal dengan repong ini, dibangun di atas lahan bekas menanam padi perladangan (lahan bera). Yakni bidang lahan yang sengaja "diistirahatkan" karena sudah tidak subur lagi untuk tanaman padi. Jadi, "kebun campuran" adalah sebuah jawaban yang dapat rnengenyampingkan pembatas alam berupa:"ketidak suburan tanah bagi padi". Tetapi kebun campuran mengikat petani pada "tanaman tua" (khususnya tanaman perdagangan) yang tak peduli dengan ketidaksuburan dimaksud.
Hidup dengan cara "berkebun campuran" menyebabkan rumah tangga untuk hidup menetap di satu tempat dalam waktu yang lama. Di sana mereka hidup bersama, berkembang biak dan membangun institusi-institusi. Yaitu institusi-institusi disesuaikan dengan keperluan mengelola kebun campuran yang berbasis pada ekonomi pasar. Artinya pengorganisasian hubungan-hubungan sosial disusun dan disesuaikan dengan tuntutan tekno-ekonomi kebun campuran.
Atas dasar penyelidikan lapangan mengenai proses pengorganisasian tersebut, maka ada dua proses yang menurut hemat saya telah terjadi. Yang pertama pembentukan koalisi di dalam rumahtangga; saya namakan koalisi internal rumahtangga. Yang kedua reduplikasi rumahtangga.
Koalisi internal rumahtangga terjadi antara orangtua dan anak sai tuba bakers_ Koalisi ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan sumber-sumberdaya pertanian pada satu orang. Tujuannya adalah agar rumahtangga yang sudah ada dapat meraih cita-cita hidupnya; ialah mistutin. Untuk mencapai maksud tersebut maka potensi orang lain dihilangkan melalui mekanisme pewarisan primogenitur.
Reduplikasi rumahtangga adalah suatu proses pembentukan rumahtangga "meniru" rumahtangga asal (model). Rumahtangga peniru ini adalah rumahtangga dari orang-orang yang tersingkir dalam proses koalisi internal. Proses reduplikasi ini mencakup semua pola yang diamati, terrnasuk melakukan kembali koalisi internal seperti yang dilakukan rumahtangga asal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azis Suganda
"Kegiatan industri di Indonesia rnenunjukkan peningkatan cepat. Kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan industri tersebut juga terus meningkat dan akan menyerap tenaga kerja yang berasal dari bukan lingkungan industri. Dengan demikian upaya menumbuhkembangkan sektor industri akan berpapasan dengan masalah nilai-nilai yang dimiliki masyarakat tenaga kerja yang memiliki basis nilai-nilai kebudayaan agraris. Kebudayaan industri modern yang antara lain bertumpu pada orientasi pandangan bahwa kemajuan masyarakat diniungkinkan oleh adanya persaingan dan konflik, berhadapan dengan orientasi pandangan kebudayaan agraris yang menekankan keharmonisan dan keutuhan, Masuknya karyawan ke dalam lingkungan industri yang merupakan perubahan lingkungan karyawan dari agraris ke industri, mau tidak mau menyebabkan karyawan beradaptasi terhadap lingkungan industri tersebut.
Penelitian ini ingin menggali pengetahuan mengenai profil dan pola adaptasi karyawan terhadap lingkungan industri yang mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, tuntutan prestasi produksi, disiplin kerja dan penghasilan, Dalam melihat adaptasi tersebut dipergunakan 3 (tiga) model adaptasi yang diperkenalkan Bennet (1976) yaitu: penyesuaian (adjustment), reaksi (reaction), dan penarikan diri (withdrawal). Selain itu juga akan dilihat kaitan adaptasi dengan pertimbangan-pertimbangan karyawan mengenai ganjaran dan hukuman yang bakal diterima bila mereka melakukan atau tidak melakukan adaptasi menurut perspektif Teori Pertukaran Social (Social Exchange Theory) Romans.
Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pengamatan terlibat dan wawancara tidak terstruktur selama kira-kira 6 bulan pada sebuah perusahaan industri pengolahan yang berlokasi di wilayah Jakarta Utara.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi pada pola adaptasi bersifat penyesuaian antara lain penyesuaian terfokus, penyesuaian sepihak, penyesuaian yang mengandung reaksi dan penyesuaian yang berdampingan dengan reaksi. Pola adaptasi bersifat reaksi nampak pada adaptasi terhadap hubungan vertikal dan disiplin kerja.
Variasi adaptasi penyesuaian selalu memperhitungkan ganjaran dan hukuman yang bakal diterima. Ganjaran-ganjaran yang umumnya diminati karyawan ialah penghasilan lebih tinggi, penghargaan dan persahabatan di tempat kerja, dan keringanan kerja. Ganjaran lebih besar memperlihaikan gejala hubungan positif dengan adaptasi karyawan.
Sistem manajemen yang diterapkan belum cukup menjadi stimulan bagi karyawan untuk bekerja secara optimal. Penentuan target yang belum optimal, tidak adanya sistem bonus, sistem karier dan penilaian yang kurang jelas, belum bisa memfasilitasi adaptasi karyawan terhadap lingkungan industri.
Para manajer sebagai kelompok menengah di pabrik belum berfungsi sebagai perantara yang bisa mensosialisasikan etos kerja industrial kepada karyawan, karena mereka sendiri belum cukup memiliki etos kerja industrial dan secara individual mereka juga memiliki kepentingan-kepentingan mengenai ganjaran dan hukuman baik dari perusahaan maupun dari karyawan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>