Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211022 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mattalitti, Sitti Fatimah U.
"Dalam kelompok etnik Bugis/Makassar, dikenal istilah siri'. Walaupun merupakan suatu konsep yang sulit didefinisikan secara tepat, namun umumnya para ahli sepakat bahwa siri ' berarti rasa malu dan harga diri. Siri' adalah inti kehidupan adat manusia Bugis/Makassar (Abdullah. 1985). Maksudnya. siri' merupakan unsur yang sangat prinsipil dalam diri mereka; merupakan nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan. Berdasarkan beberapa literatur, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar manifestasi siri' dapat dibagi dua, yaitu manifestasi positif dan manifestasi negatif.
Dalam bentuk manifestasi positif, siri' mcmpakan pendorong bagi orang Bugis/Makassar untuk melakukan suatu perbuatan terpuji dan pengekang untuk melakukan sesuatu yang dapat melanggar siri'-nya. Sementara dan segi negatifnya, siri' sering menjurus pada tindakan "main hakim sendiri" yang pada dasarnya bertujuan menegakkan siri'. Sejalan dengan pembagian di atas, Abidin, 1979, 1983, 1988a, 1988b (dalam Marzuki, 1995) menyebut kedua sisi siri' itu dengan istilah reaksi siri' yang bersifat internal (reaksi yang dilakukan untuk menjaga/menegakkan siri' ditujukan ke dalam diri orang ybs) dan reaksi siri' yang bersifat eksternal (reaksi yang dilakukan untuk menjaga/meneggakkan siri' ditujukan ke luar diri orang ybs).
Sejalan dengan waktu, perkembangan siri' dalam prakteknya te1ah mengarah negatif. Kasus pembunuhan dan penganiayaan yang disebabkan oleh siri' cukup besar, pengetahuan generasi muda tampak samar-samar terhadap siri' (Effendy, 1977) dan mereka cenderung memberikan penilaian negatif terhadap siri' (Hardonn, 1977). Sementara di sisi lain, hingga kini pemerintah masih sering menganjurkan untuk mempertahan siri'. Anjuran itu tampaknya didasarkan pada anggapan bahwa masyarakan Bugis/Makassar (termasuk generasi muda) masih menilai siri' sebagai suatu hal yang positif atau setidaknya masih memiliki pengetahuan menganai konsep siri' secara luas. Mengingat perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, makan tampaknya anjuran pemerinah untuk melestarikan siri' tampak "tidak relevan" lagi, padahal sebenarnya anjuran itu adalah suatu hal yang positif. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mengumpulkan kembali data empiris menganai pengetahuan dan penilaian (sikap) generasi muda Bugis/Makassar (selanjutnya disingkat GMBM di UP) terhadap rekasi siri' eksternal dan internal. Selain itu juga ingin dilihat kekuatan sikap yang dipegang oleh subjek penelitian. Untuk menguji kekuatan sikap ini, maka ada satu variabel lagi yang perlu diukur (variabel yang dianggap paling mendekati tingkah laku) yaitu intensi. Menurut Tesser (1995), Davidson dalam Petty & Krosnick (1995), sikap yang kuat adalah sikap yang dapat meramalkan tingkah laku atau konsisten dengan tingkah laku. Salah satu faktor yang dapat menentukan kekuatan sikap adalah jumlah pengetahuan yang dimiliki subjek tentang objek sikapnya. Jadi tujuan utama penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang pengetahuan tentang siri', sikap terhadap reaksi siri' eksternal dan reaksi siri' internal serta intesnsi untuk melakukan reaksi siri' eksternal dan reaksi siri' internal. Selain itu juga ingin dilihat hubungan antara variabel-variabel itu.
Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif dan hasil yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik perhitungan statistik deskriptif, i-test, korelasi Pearson dan one-way anova. Sampel penelitian ini adalah GMIBM di UP (yang diwakili oleh siswa-siswi beberapa SMUN di UP).
Secara garis besar, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek hanya memiliki sedikit pengetahuan dasar tentang siri', pengetahuan tentang hal positif yang dapat ditimbulkan siri' dan pengetahuan tentang penyebab timbulnya siri'. Untuk pengetahuan tentang ungkapan Bugis/Makassar yang berhubungan dengan siri' dan pengetahuan tentang hal negatif yang dapat ditimbulkan oleh siri', subjek tergolong tidak tahu. Bila dilihat secara keseluruhan, subjek penelitian hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang siri'. Sikap subjek terhadap reaksi siri' eksternal cendenderung negatif sementara sikap mereka terhadap reaksi siri' intemal cenderung positif. Terdapat perbedaan yang signitikan dalam mengevaluasi kedua bentuk reaksi siri' itu. Sedangkan intensi mereka untuk melakukan reaksi siri' eksternal cenderung Iemah dan intensi untuk melakukan reaksi siri' internal cenderung kuat. Hanya terdapat hubungan yang signifikan antara total pengetahuan tentang siri' dengan sikap terhadap reaksi siri' internal. Sementara itu, hanya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap reaksi siri' eksternal dengan intensi untuk melakukan reaksi siri eksternal dan internal. Berarti sikap yang secara teoritis seharusnya kuat (didasari oleh pengetahuan yang banyak akan konsisten dengan intensinya), dalam penelitian tentang siri' ini tidak demikian Sementara sikap yang berhubungan secara signifikan dengan intensi, ternyata tidak berhubungan dengan jumlah pengetahuan yang dimiliki. Ada beberapa hal yang mungkin terjadi.
Adapun saran yang dapat diberikan setelah penelitian ini dilakukan antara lain adalah diharapkan pihak-pihak yang terkait dapat lebih menggalakkan pengajaran tentang reaksi siri' internal. Langkah awal sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dan instansi terkait. Dalam melakukan kampanye untuk melestarikan siri', perlu ditekankan masalah yang mungkin timbul bila reaksi siri' eksternal tetap dinilai positif. Diharapkan juga agar dalam penelitian selanjutnya, konsep pacce sebagai suatu konsep yang seringkali digandengkan dengan siri' juga diteliti."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2592
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misero, Susan Helen
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1987
S2089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismarli Muis
"ABSTRAK
Siri adalah suatu konsep abstrak yang meliputi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar. Di dalam siri? terdapat sejumlah nilai-nilai yang bisa disebut sebagai nilai-nilai utama suku Bugis dan Makassar. Dewasa ini, siri semakin sering dibicarakan baik melalui penulisan-penulisan karya ilmiah, penelitian-penelitian, maupun dalam seminar-seminar atau dibahas dalam surat kabar-surat kabar. Dari berbagai pembahasan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa siri pada masa sekarang cenderung dikonotasikan negatif oleh banyak orang. Siri hanya dilihat sebatas akibat-akibat yang ditimbulkannya, yang justru bersifat destruktif, misalnya menghilangkan nyawa orang yang melakukan kawin lari sebagai sanksi atas perbuatan mereka. Fenomena ini lah yang mendorong peneliti untuk mengangkat masalah siri tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh nilai-nilai siri yang pada dasarnya bersifat motivasional dan menjadi nilai-nilai utama suku Bugis Makassar, masih bertahan dalam kehidupan masyarakat tersebut saat ini. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa setiap orang memiliki nilai-nilai pribadi, apabila siri dilihat sebagai nilai-nilai utama yang ada pada masyarakat Bugis Makassar, berarti individu-individu yang ada pada masyarakat tersebut seharusnya juga memiliki nilai-nilai pribadi yang mencerminkan siri . Dasar pemikiran tersebut membawa pada rumusan permasalahan di mana penelitian ini dilakukan untuk melihat makna siri dengan mengkaitkan antara nilai-nilai yang dikandung oleh siri menurut Marzuki (1995), Moein (1990), dan Rahim (1985) dengan nilai-nilai pribadi yang berlaku secara universal menurut Schwartz & Bilsky (1994), seberapa jauh kedua nilai-nilai tersebut masih saling berkaitan.
Penelitian dilakukan di tiga daerah, yaitu Kotamadya Ujung Pandang sebagai ibukota propinsi (mewakili daerah perkotaan), dan Kabupaten Gowa serta Kabupaten Sinjai (mewakili daerah pedesaan). Selain itu, juga dibandingkan antara generasi orangtua dan generasi anak untuk melihat seberapa jauh proses penanaman nilai-nilai siri tersebut pada diri masing-masing individu.
Dalam memperoleh data digunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara yang ditunjang observasi terhadap 16 orang responden. Hasil analisa menyimpulkan bahwa makna siri semakin menyempit ke arah kesusilaan, di mana siri lebih banyak dipahami sebagai suatu akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran adat istiadat. Hal ini mengindikasikan bahwa kedudukan siri sebagai nilai-nilai utama pada masyarakat suku Bugis dan Makassar mulai bergeser. Hasil lain yang ditemukan adalah hampir seluruh responden (terutama dari generasi anak) tidak menyetujui pemberian sanksi mati bagi pelaku siri?, karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Terlihat bahwa nilai-nilai agama merupakan salah satu nilai utama yang berlaku bagi mayoritas penduduk Indonesia."
1998
S2603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Ariyanny
1987
S6151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977
303.372 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Basir Said
"Dukun sebagai bagian struktur sosial dalam kehidupan sosial sekarang ini, tetap fungsional sebagai pengobat dan penyembuh penyakit. pada orang Bugle Makassar di Kota Madya Ujung Pandang. Walaupun secara fungsional, dukun bukanlah satu-satunya sistem media yang ada di kota tersebut, yakni ada sistem media modern (kedokteran).
Dalam kenyataan sosial sistem media Modern (kedokteran) lebih formal dan lebih ilmiah, lebih lengkap sarana dan prasarananya, serta keberadaannya ditunjang oleh dukungan penentu kebijakan. Bahkan tujuan dari keberadaan sistem media modern (kedokteran) adalah diharapkan agar dapat menggeser dan menggantikan kedudukan sistem media Kedukunan.
Secara teoritis, kanyataan seperti di atas dapat dikatakan akan menggeser dan mendesak kedudukan dan fungsi sistem media kedukunan, namun kenyataannya tidaklah demikian, karena keberadaan dukun secara fungsional sebagai pengobat dan panyembuh penyakit masih tetap dibutuhkan: Dalam kehidupan sosial di kota Madya Ujung Pandang, fungsi sistem media kedukunan masih tetap dibutuhkan, walaupun sistem media modern (kedokteran) di kota tersebut audah semakin maju dan lengkap.
Kenyataan seperti tersebut di atas itulah yang mendasari penelitian tesis ini, dengan mengarahkan objek penelitian pada latar balakang yang mendasari para pelaku sistem media kedukunan Bugle Makassar, sehingga tetap bertahan menjalankan fungsinya dan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi keberadaan sistem tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Mutiara
"Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara agama saja atau hanya di depan pemuka agama. Persoalan mengenai perkawinan siri memang masih menimbulkan pro dan kontra. Satu pihak ada yang beranggapan perkawinan seperti itu boleh saja dilakukan, di pihak lain meragukan ke absahannya. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya istilah perkawinan siri serta tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan. Namun, secara umum, istilah ini diberikan bags perkawinan yang tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Bagaimana status perkawinan siri dimata Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta akibat hukumnya terhadap istri yang dinikahi dan anak yang dilahirkan di dalam perkawinan siri, merupakan masalah yang diteliti dalam tulisan ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis. Perkawinan siri menurut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan perkawinan yang tidak sah, karena perkawinan jenis ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan perkawinan. Sedangkan akibat hukum terhadap istri, istri bukan merupakan istri sah dan karenanya tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami serta tidak berhak atas harta gono-gini dalam hal terjadi perpisahan. Terhadap anak, statusnya menjadi anak luar kawin dan karenanya ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta sewaktu-waktu ayahnya dapat menyangkal keberadaan anak tersebut, selain itu ia tidak berhak atas nafkah hidup, biaya pendidikan, serta warisan dari ayahnya. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) mengenai sahnya perkawinan dan kewajiban pencatatan perkawinan sebaiknya dituangkan ke dalam satu pasal dan bagi yang ingin melakukan perkawinan tersebut dianjurkan untuk mengurungkan niatnya serta bagi yang telah melakukannya dianjurkan untuk mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang dan bagi yang non-Islam dianjurkan untuk melakukan perkawinan ulang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Idaman
"Penelitian mengenai Eskalasi Hubungan Pertemanan
Antara Etnis Cina dan Etnis Bugis/Makassar. Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
bagaimana eskalasi hubungan yang terjadi. Serta
mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya
hubungan pertemanan antar mereka.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
yang dikenal dengan penetrasi sosial (Altman dan Taylor,
1973). Teori ini terdiri dari empat tahapan pengembangan
hubungan yaitu; tahap orientasi menuju ke tahap
penjajakan afektif, tahap pertukaran afektif dan tahapan
pertukaran stabil.
Hubungan pertemanan yang terjadi di antara mereka,
pada tahap orientasi, beberapa pasangan mengalami
hambatan, karena masih terdapat prejudis yang
mempengaruhi mereka. Juga pengalaman lingkungan mereka
tidak mendukung sehingga memerlukan waktu untuk
menjadi akrab (stabil).
Tahap penjajakan afektif dan pertukaran afektif,
hubungan mulai bergerak ke tahap yang lebih akrab untuk
mengungkapkan topik-topik tertentu yang terpilih dan
memusatkan perasaan pada tingkat yang lebih akrab
(Budyatna,1993)
Tahap akhir dari pembentukan hubungan adalah
pertukaran stabil, hubungan pada tahap ini menekankan
keterbukaan, dukungan, empaty, rasa positif dan
kesetaraan (Devito, 1995). Kemudian ditandai oleh
derajat keakraban yang tinggi para partisipan berhak
untuk memprediksi prilaku pasangannya dan memberikan
respon (Budyatna,1973).
Pada teori pertukaran sosial, bila estimasi tentang
hasil dari hubungan antarpribadi terbentuk selama proses
pembentukan, dan, pengembangan membuat hubungan tersebut
menyenangkan maka akan terbentuk hubungan menjadi akrab
dan stabil. Ketika hubungan pertemanan tersebut menjadi
akrab. Perhitungan imbalan (reward) dan biaya (cost)
bukan lagi hal dipertentangkan.
Strategi informasi oleh (Berger dan Calabrace,
1975) menawarkan strategi pasif, aktif dan interaktif,
digunakan oleh masing-masing pasangan untuk memperoleh
data-data diri dari setiap pasangan.
Untuk menyelesaikan konflik, digunakan negosiasi dan
klarifikasi (Wilmot dan Hocker). Konflik di dalam hubungan antarpribadi adalah suatu yang normal, bahkan
memperlancar pertumbuhan antarpribadi (Altman dan Taylor,
1973). Konflik terjadi terutama mengenai masalah
kesalahpahaman, perbedaan sikap, perbedaan pendapat salah
dalam mempersepsikan perilaku pasangan, namun dapat
diselesaikan dengan baik (konstruktif), kecuali bila
menyangkut prinsip/ harga diri.
Penelitian yang menggunakan, persfektif interaksi
simbolik, merupakan penelitian kwalitatif (non-
positivistik interpretatif) dimana pendekatan
kepada latarbelakang kehidupan indnvidu secara holistik
(utuh). Metode kualitatif menggunakan data yang bersifat
deskriptif, dikumpulkan dari hasil pengamatan dan
wawancara secara mendalam."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Novianti H.W.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suraidah Hading
"Studi ini bertolak dari anggapan bahwa keluarga merupakan agen sosialisasi nilai-nilai gender yang diwujudkan dalam pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan anak yang diterapkan dalam suatu etnis ditentukan oleh budaya dalam etnis itu dan telah membawa dampak yang tidak selalu positif pada anak-anak yang dibesarkan di dalamnya.
Studi ini bermaksud menyibak tabir yang menyelimuti pola pengasuhan anak perempuan. Dalam masyarakat yang menjunjung budaya siri' pendekatan kualitatif berperspektif perempuan digunakan untuk memahami permasalahan budaya itu. Maka, teori belajar sosial, dan pandangan feministik digunakan untuk dapat menjelaskan nilai-nilai budaya yang terwujud dalam pengasuhan anak. Hasil studi menunjukkan bahwa pola pengasuhan anak dalam budaya siri', Etnis Bugis Wajo, dipengaruhi oleh budaya patriarki. Hal itu telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap anak perempuan yang berwujud marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban ganda.
Secara khusus, penelitian ini menunjukkan dua hal. Pertama, para perempuan yang patuh pada budaya siri', dilihat dari sisi budaya, dianggap pantas, tetapi dirugikan karena hak-haknya terpasung. Kedua, perempuan yang memberontak pada budaya siri' dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya, tetapi memperoleh keuntungan, karena mampu menentukan kehidupannya sendiri.

Bugisnese Women in Siri’ Culture : A Study on Child Rearing and Its Impact on Wajo Bugisnese Women in South Sulawesi Province. The study is based on the assumption that family is a significant agent to socialize gender norms through child rearing practices. The child rearing practiced in an ethnicity is influenced by the culture held by the community, and the practices may not always bring positive effect to the children grow in the culture.
The study aims to discover the closed curtain covering rearing practices to girl child. In a society glorifies Sir/ culture, a qualitative-feministic approach of research needs to be used for that purpose. The study uses social learning theories and feministic ideas in comprehending how the culture and socialization practices might implant stereotypical self-concepts of women. Strong with patriarchal norms, the Siri culture maintains gender inequality to women - manifested in marginalization, subordination, stereotypes, multiple burdens and violence.
Specifically, the study points to two situations. Firstly, women who were submissive to the culture are seen culturally as those who were 'decent'. But actually they were shackled, their rights were denied. Secondly, women who resisted the culture were seen as 'indecent'. Yet, or however, they gained benefits, since they have their own selves. They were able to take stand and decide for her own lives.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T2313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>