Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136835 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alim
"ABSTRAK
Ketergantungan terhadap alkohol atau alkoholisme merupakan salah satu bentuk
penyimpangan konsumsi zat yang menimbulkan berbagai dampak negatif, baik
secara
tanda-tanda adanya alkoholisme adalah alcohol expectancy, yakni antisipasi akan
efek-efek positif dan negatif yang akan diperoleh individu dari alkohol. Telah
ditemukan bahwa alcohol expectancy sudah dimiliki oleh individu sejak sebelum
pertama kali mengkonsumsi alkohol, sebagai hasil dari proses belajar sosial, dan
dapat memprediksi pola konsumsi alkoholnya.
Kurangnya perhatian yang diberikan kepada fenomena ketergantungan terhadap
alkohol di Indonesia, mendorong dilakukannya penelitian untuk melihat
keterkaitannya dengan alcohol expectancy. Melalui instrumen berupa kuesioner
tertulis, diperoleh gambaran tingkat ketergantungan terhadap alkohol, alcohol
expectancy dan data tambahan mengenai pola konsumsi alkohol dari 161
peminum alkohol usia dewasa muda yang menjadi responden penelitian.
Tingkat ketergantungan terhadap alkohol ditentukan berdasarkan skor responden
pada Michigan Alcoholism Screening Test (MAST), dan alcohol expectancy
diukur menggunakan Alcohol Effects Questionnaire (AEQ), yang keduanya telah
dialihbasakan oleh peneliti. Responden terbagi dalam tiga tingkat ketergantungan
terhadap alkohol serta memiliki skor pada delapan skala alcohol expectancy,
mewakili efek-efek positif dan negatif yang diantisipasi dari alkohol.
fisik, psikologis maupun sosial. Variabel yang diketahui berkaitan dengan
Hasil analisa menunjukkan bahwa skor responden tingkat alkoholik lebih tinggi
dari kedua tingkat ketergantungan lain, pada skala-skala: Global Positive, Power
and Aggression, Sexual Enhancement, Social Expressiveness, dan Careless
Unconcern. Tiap tingkat ketergantungan mengantisipasi efek dari alkohol yang
berbeda-beda urutannya. Efek utama yang diantisipasi oleh responden tingkat non
alkoholik adalah Cognitive and Physical Impairment, tingkat cenderung akan
menjadi alkoholik adalah Social and Physical Pleasure, dan tingkat alkoholik
adalah Power and Aggression. Perhitungan menggunakan multiple reggression
pada program SPSS 10.01 menunjukkan bahwa efek Power and Aggression dan
Global Positive dapat memprediksi 15.9% variasi yang teijadi pada tingkat
ketergantungan terhadap alkohol. Disimpulkan bahwa alcohol expectancy berkaitan dengan tingkat ketergantungan
terhadap alkohol, serta dapat digunakan untuk memprediksi tingkat
ketergantungan terhadap alkohol. Penemuan ini diharapkan memberikan masukan
yang berarti bagi pengembangan program pencegahan ketergantungan terhadap
alkohol di Indonesia. Disarankan agar dibuat alat ukur alcohol expectancy yang
benar-benar mencakup kepercayaan-kepercayaan seputar efek dari alkohol pada
masyarakat Indonesia."
2002
S2910
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Rosalina Paulina
"[Latar belakang. Infeksi terkait perawatan di rumah sakit, dalam hal ini Infeksi
Aliran Darah (IAD), merupakan masalah serius yang masih sering di jumpai.
Salah satu pengendalian infeksi terkait aliran darah, seperti tehnik antiseptik untuk
prosedur invasif dan perawatan pada konektor memerlukan antiseptik. Pemilihan
jenis antiseptik pada perawatan konektor telah banyak diketahui, penelitian ini
membandingkan jenis antiseptik yang dipergunakan pada konektor infus.
Tujuan. Mengetahui perbedaan efektifitas CHG 2% IPA (AC swab) dan alkohol
70% (BD alcohol swab) pada konektor dalam menurunkan jumlah kolonisasi
bakteri .
Metoda. Penelitian cross sectional pada bayi yang dirawat juni 2015 sampai juli
2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo unit Neonatal Jakarta. Subyek dipilih
secara simple random sampling.
Hasil. Dari 60 subyek didapatkan 30 CHG 2% IPA dan 30 alkohol 70%,
dilakukan scrub konektor pada kedua kelompok didapatkan hasil persentase
penurunan jumlah kolonisasi bakteri yang berbeda bermakna (t test, p = 0,038),
uji kolonisasi bakteri sesudah 20 detik scrub antiseptik antara kedua kelompok
antiseptik dengan p-value= 0,49 (uji Fisher?s Exact) serta uji kolonisasi bakteri 30
detik dan 6 Jam setelah scrub antiseptik CHG 2% IPA (t test, p = 0,28) hasil
kedua uji teraebut tidak berbeda bermakna
Simpulan. CHG 2% IPA lebih efektif dalam menurunkan jumlah koloni bakteri pada konektor infus dibandingkan dengan alkohol 70%.;Background. Blood stream infection (BSI), is a serious problem that is often
encountered. One of the BSI control is such as antiseptic techniques for invasive
procedures and treatments on the connector requires the type of antiseptic.
Selection of types of antiseptics in the treatment of connectors have a lot we
know, this study compared the kind of antiseptic used in connector infusion.
Objectives. To compare the effectiveness CHG 2 % IPA (AC swab) and 70%
alcohol (BD alcohol swab) as antiseptic for reducing the number of bacterial for
the hub.
Methods. A cross sectional study from of infants who had hospitalized from Juni
2015 until Juli 2015 in Neonatal Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Subjects was selected by simple random sampling.
Results. There were 60 subjects obtained 30 CHG2 % IPA and 30 alcohol 70 %,
after the scrub connectors in both groups showed a percentage decrease in the
number of bacterial colonization are significantly different (t test, p = 0.038), p=
0,49 (Fisher?s Exact test) after scrub 20 second antiseptic for both groups and 30
seconds and 6 hours 2 % CHG IPA after antiseptic scrub t test, p = 0.28 both test
results are not significantly different.
Conclusions. 2 % CHG IPA is more effective in reducing the number of colonies bacterial compared with 70% alcohol., Background. Blood stream infection (BSI), is a serious problem that is often
encountered. One of the BSI control is such as antiseptic techniques for invasive
procedures and treatments on the connector requires the type of antiseptic.
Selection of types of antiseptics in the treatment of connectors have a lot we
know, this study compared the kind of antiseptic used in connector infusion.
Objectives. To compare the effectiveness CHG 2 % IPA (AC swab) and 70%
alcohol (BD alcohol swab) as antiseptic for reducing the number of bacterial for
the hub.
Methods. A cross sectional study from of infants who had hospitalized from Juni
2015 until Juli 2015 in Neonatal Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Subjects was selected by simple random sampling.
Results. There were 60 subjects obtained 30 CHG2 % IPA and 30 alcohol 70 %,
after the scrub connectors in both groups showed a percentage decrease in the
number of bacterial colonization are significantly different (t test, p = 0.038), p=
0,49 (Fisher’s Exact test) after scrub 20 second antiseptic for both groups and 30
seconds and 6 hours 2 % CHG IPA after antiseptic scrub t test, p = 0.28 both test
results are not significantly different.
Conclusions. 2 % CHG IPA is more effective in reducing the number of colonies bacterial compared with 70% alcohol.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sry Ayu Nashria
"Konsumsi alkohol berlebih yang menyebabkan mabuk dapat merugikan kesehatan dan mengarah pada kematian. Beberapa penelitian menunjukkan perspektif waktu Past-Negative, Present-Fatalistic, dan Future berpengaruh pada konsumsi alkohol, namun hasil yang kontradiktif masih ditemukan. Teori Transactional Model of Stress and Coping menjelaskan bahwa influencing factors berperan pada proses cognitive appraisal yang digunakan dalam menilai sebuah keadaan dan membuat keputusan mengenai pemilihan strategi coping. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengajukan hipotesis bahwa hubungan antara perspektif waktu dan tingkat konsumsi alkohol dimediasi oleh perceived stress. Sebanyak 307 partisipan berusia 18-22 tahun dan mengonsumsi alkohol terlibat dalam penelitian ini.
Berdasarkan analisis mediasi, hasil menunjukkan bahwa perceived stress tidak berperan sebagai mediator pada hubungan antara perspektif waktu Past-Negative dan Present-Fatalistic dengan konsumsi alkohol, namun berperan sebagai mediator pada hubungan antara perspektif waktu Future dengan konsumsi alkohol. Hal ini berarti tingkat konsumsi alkohol pada perspektif waktu Past-Negative dan Present-Fatalistic lebih disebabkan oleh perspektif waktu yang dimiliki, sedangkan pada karakteristik future konsumsi alkohol berlebih akan terjadi bila individu mengalami stres.

Being drunk after consuming a lot of alcohol may harm peoples health and even deaths. Several studies show that Past-Negative, Present-Fatalistic, and Future time perspectives are influencing alcohol consumption, but contradictory results are found. Transactional Model of Stress and Coping explains that cognitive process that being influenced by personal factors responsible for peoples choice of coping strategy. Based ont the theory, it is hypothesized that the relationship between time perspectives and alcohol consumption were mediated by perceived stress. As much as 307 participants age of 18-22 years old and consuming alcohol involved.
Based on mediation analysis, it shows that perceived stress is not a mediator in the relationship between Past-Negative and Present-Fatalistic with alcohol consumption, however perceived stress is a mediator in the relationship between Future and alcohol consumption. In summary, alcohol consumption int Past-Negative and Presnt-Fatalistic are caused by the domination in these time perspectives, meanwhile for Future, the alcohol consumption more likely to happen when the person experienced stress.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Abdillah Ghifari
"Konsumsi alkohol berlebihan telah menjadi masalah besar di masyarakat. Meskipun demikian, perusahaan alkohol berusaha mencari solusi untuk mengurangi konsumsi alkohol konsumen tanpa berdampak pada penjualan mereka. Cause-related marketing dapat dilihat sebagai sebuah solusi, meskipun dampak dari cause-related marketing sering kali diabaikan atau hanya disinggung secara singkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cause-related marketing dalam hubungan jenis bir (alkohol vs bebas alkohol) terhadap sikap konsumen terhadap alkohol dengan peran moderasi keyakinan agama. Studi ini menggunakan eksperimen online antar subjek menggunakan Qualtrics yang menargetkan beberapa negara berdasarkan dimensi indulgensi Hofstede. Temuan utamanya adalah bahwa dampak moderat dari pemasaran yang berhubungan dengan tujuan sosial dan keyakinan agama tidak mempunyai pengaruh terhadap sikap konsumen terhadap alkohol. Namun, tingkat kesenangan memang mempengaruhi sikap konsumen terhadap alkohol secara positif. Dengan keterbatasan ukuran sampel dan kondisi eksperimen yang belum lengkap, penelitian ini menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut untuk mendalami lebih dalam strategi demarketing di industri alkohol.
Excessive alcohol consumption has been a major problem in society. Despite these, alcohol companies are trying to find a solution on ways to reduce consumers' alcoholic consumption without impacting their sales. Cause-related marketing can be seen as a solution, although the effect of cause-related marketing is often overlooked or only touched upon briefly. This study aims to find out the effect of cause-related marketing in the relationship between beer type (alcohol vs alcohol-free) on consumers' attitudes toward alcohol with the moderating role of religious belief. The study employed a between-subject online experiment using Qualtrics targeting multiple countries according to the Hofstede indulgence dimension. The main findings are that the moderating impact of cause-related marketing and religious belief has no influence on consumers’ attitudes toward alcohol. However, indulgence levels do influence consumers' attitudes toward alcohol positively. With the limitation of sample size and incomplete experimental conditions, this study serves as a foundation for further research to dive deeper in demarketing strategy in the alcohol industry."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rana Fasya Nuzula
"Latar Belakang Alopesia androgenetik pria (AGA), atau pola kebotakan pria, memengaruhi 30-50% pria pada usia 50 tahun dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan hormonal. Faktor lingkungan seperti konsumsi alkohol juga dapat berperan dalam perkembangan AGA. Alkohol dikonsumsi secara luas dan menimbulkan risiko kesehatan, dan kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA telah dikemukakan, terutama pada pria. Studi ini mengeksplorasi kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA pria di Jabodetabek, Indonesia, yang bertujuan untuk memperjelas hubungan ini dan implikasinya terhadap kesehatan masyarakat. Metode Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder dari populasi yang tinggal di Jabodetabek, Indonesia. Studi ini menggunakan formulir persetujuan, kuesioner dengan informasi yang diperlukan untuk studi, dan hasil trikoskopi. Hasil Dari 144 responden, sebagian besar berusia paruh baya (25-44 tahun, 66%) dan berasal dari etnis campuran (23,6%). Prevalensi alopesia androgenetik pria di Jabodetabek adalah 15,3%, dan prevalensi konsumsi alkohol adalah 24,3%. Rasio odds (OR=1,567) menunjukkan bahwa konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria. Namun, interval kepercayaan (95%CI=0,581, 4,222) dan Uji Chi-Square (p=0,372) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi alkohol dan alopesia androgenetik. Kesimpulan Meskipun konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria, temuan ini secara statistik tidak signifikan. Oleh karena itu, tidak ada hubungan yang signifikan yang dapat ditarik antara keduanya. Studi selanjutnya dengan analisis konsumsi alkohol yang lebih komprehensif, seperti kuantitas dan durasi, diperlukan untuk mendukung temuan ini.

Introduction Male androgenetic alopecia (AGA), or male pattern baldness, affects 30-50% of men by age 50 and is influenced by genetic and hormonal factors. Environmental factors like alcohol consumption may also play a role in AGA development. Alcohol is widely consumed and poses health risks, and a possible link between alcohol consumption and AGA has been suggested, especially in men. This study explores the possible association between alcohol consumption and male AGA in Jabodetabek, Indonesia, aiming to clarify this relationship and its public health implications. Method This analytical cross-sectional study used secondary data from a population residing in Jabodetabek, Indonesia. This study used informed consent forms, questionnaires with information needed for the study, and trichoscopy results. Results Of 144 respondents, most were middle-aged (25-44 years old, 66%) and of mixed ethnicity (23.6%). Male androgenetic alopecia prevalence in Jabodetabek was 15.3%, and alcohol consumption prevalence was 24.3%. The odds ratio (OR=1.567) indicated that alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia. However, the confidence interval (95%CI=0.581, 4.222) and Chi-Square Test (p=0.372) showed no significant association between alcohol consumption and androgenetic alopecia. Conclusion While alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia, this finding was statistically insignificant. Therefore, no significant association can be drawn between the two. Future studies with more comprehensive analyses of alcohol consumption, such as quantity and duration, are needed to support these findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Kusuma
"Binge eating adalah sebuah fitur gangguan makan dengan prevalensi yang paling tinggi secara global dan terasosiasi dengan berbagai dampak negatif bagi kesehatan mental dan fisik. Perilaku ini berfungsi sebagai strategi regulasi diri untuk mengelola afek negatif yang tengah dirasakan. Perempuan dewasa muda merupakan populasi yang rentan untuk melakukan binge eating oleh karena ketidakstabilan dalam berbagai domain kehidupan dan tendensi untuk menginternalisasi emosi. Walau terdapat urgensi untuk mengembangkan penelitian terkait binge eating, masih belum banyak studi mengenai topik ini di Indonesia. Maka dilakukanlah penelitian mengenai binge eating pada populasi perempuan dewasa muda di Indonesia. Diketahui bahwa eating expectancy dan thinness expectancy merupakan faktor yang memprediksi binge eating, namun masih belum ada penelitian yang membahas mengenai proses yang menghubungkan variabel-variabel tersebut. Dihipotesiskan bahwa repetitive negative thinking (RNT) berperan sebagai mediator yang menjembatani hubungan antara kedua jenis expectancy terhadap binge eating. Dari koleksi data melalui kuesioner daring, terkumpul 193 partisipan dewasa muda berusia 18-25 tahun. Data penelitian diolah secara kuantitatif menggunakan analisis Simple Mediation menggunakan PROCESS v4.2 di SPSS. RNT ditemukan sebagai mediator signifikan yang bersifat parsial antara kedua jenis expectancy dan binge eating.

Binge eating is the most prevalent features of eating disorders and is associated with a range of negative health outcomes. Binge eating serves as a self-regulatory strategy to manage negative affect. Female young adults are categorized as a vulnerable population to develop binge eating due to instability in various life domains and the tendency to internalize emotions. Despite the urgency to further research binge eating, the studies on this topic in Indonesia is limited. Indonesia is known to have the highest level of food consumerism compared to other Southeast Asian countries. Therefore, a study on binge eating in young adult female population in Indonesia was conducted. Eating and thinness expectancy were found to be factors predicting binge eating, however there’s not much explanation about the process linking both beliefs towards binge eating. It is hypothesized that repetitive negative thinking (RNT) acts as mediator that bridge the relationship between both expectancies and binge eating. 193 female young adults age 18-25 years were collected through online questionnaire. The research data were processed through Simple Mediation analysis using PROCESS v4.2 in SPSS. RNT was found to be a significant partial moderator that bridges the relation between both expectancies and binge eating."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Soraya
"Studi sebelumnya telah membuktikan bahwa kanker kepaladan leher telah menjadi masalah penting di negara Asia termasuk Indonesia. Terdapat faktor resiko yang mendukung terjadinya insidens kanker tersebut dibagi menjadi faktor yang dapat dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-Faktor tersebut memiliki implikasi penting dalam mempelajari faktor resiko yang paling berpengaruh dalam insidens kanker nasofaring di Indonesia. Studi ini ditujukan untuk menentukan perbandingan antara tingkat pendidikan dan konsumsi alkohol pada pasien dengan kanker nasofaring dan kanker oral pada pasien yang datang ke klinik gigi RSCM pada tahun 2006-2009. Data dalam studi ini berdasar pada rekam medis pasien yang datang ke klinik gigi RSCM pada tahun 2006-2009. Data dianalisa menggunakan SPSS versi 20. Signifikansi di tes menggunakan Smirnof-Kolmogorov Z test. Pasien yang mengaku mengkonsumsi alkohol sebagian besar merupakan pasien dengan kanker nasofaring. Sementara, untuk tingkat pendidikan, sebagian besar pasien pada kanker nasofaring merupakan pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pasien kanker (P=0.995). Begitu pula dengan konsumsi alkohol, tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara penggunaan alkohol pada pasien kanker nasofaring. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat asosiasi antara tingkat pendidikan dan penggunaan alkohol dengan kanker nasofaring.

As many of the previous studies has proven, head and neck cancer has been a major problem in many of Southeast Asian countries, including Indonesia. The contributing risk factors to incidence of HNC are divided into modifiable and unmodifiable risk factors. Those risk factors has very important implications in understanding the most influencing risk factors of HNC among Indonesia populationThis study aim to determine the comparison of educational level and alcohol consumption in patients with nasopharyngeal cancer and oral cancer who came to dental clinic RSCM Jakarta between 2006-2009. The data was obtained from medical record of patients diagnosed with head and neck cancer who visited oral medicine clinic of RSCM Jakarta from 2006-2009. The data then was analyzed using SPSS version 20..The significance association were tested using Kolmogorof-Smirnov Z. The result showed that patient with the presence of alcohol use were mostly diagnosed with nasopharyngeal cancer. However, after compared between nasopharyngeal and non-npc group, there were no significant association found between the two groups (P=1.000). The level of formal education also did not significantly associated with the nasopharyngeal and nonnpc (P=0.995). In conclusion, there was no significant association found between educational level and alcohol use in nasopharyngeal cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erick
"Diabetes mellitus menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan untuk terkena infeksi tuberkulosis paru. Tuberkulosis sendiri merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko yang ada, salah satunya adalah konsumsi alkohol. Studi cross-sectional analitik ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsumsi alkohol dengan prevalensi tuberkulosis pada pasien diabetes mellitus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010. Data yang diperlukan diperoleh melalui rekam medis, dan didapatkan 462 data. Sebanyak 89.39% pasien tidak mempunyai riwayat mengonsumsi alkohol, dan 10.61% sisanya mempunyai riwayat mengonsumsi alkohol. Dari hasil analisis dengan uji chi square, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsumsi alkohol dengan tuberkulosis dengan nilai p 0.107 (> 0.005). Hasil ini sesuai dengan penelitian lain dengan populasi di India Selatan yang menyatakan bahwa pengonsumsian alkohol bukan merupakan faktor risiko penting terhadap terjadinya tuberkulosis. Meskipun demikian, untuk penelitian selanjutnya disarankan agar data diperoleh lewat pengisian kuisioner sehingga pola pengonsumsian alkohol untuk masing-masing individu dapat diketahui.
Diabetes mellitus makes someone more vulnerable to get tuberculosis infection. Tuberculosis itself can be prevented by controlling its risk factors, one of which is alcohol consumption. This analitical cross-sectional study intends to understand the associaton between alcohol consumption with tuberculosis prevalence on patient with diabetes mellitus at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010. Data needed for this study was obtained from medical records, and total data obtained is 462 data. As many as 89.39% patients have no alcohol cosumption record, and the rest 10.61% have it. From data analysis with chi square, the result shows no significant association between alcohol consumption with tuberucolsis (p value0.107). This result is the same with other study in South India which showed that alcohol consumption is not an important risk factor for tuberculosis. However, for the future study, it is mentioned to get the data from questionnaire so that individual pattern of alcohol consumption can be better understood."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khumaidi
"

Abstrak

Latar Belakang: Wanita pekerja seks merupakan salah satu populasi kunci penularan human immunodeficiency virus (HIV)  melalui jalur hubungan seksual. Salah satu faktor yang menjadikan  pekerja seks sebagai populasi kunci penularan HIV adalah perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual berisiko pada wanita pekerja seks dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah negosiasi penggunaan kondom dan konsumsi alkohol.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara negosiasi penggunaan kondom dan konsusmis alkohol terhadap perilaku seksual berisiko HIV pada wanita pekerja di Kupang.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik purposive sampling dengan melibatkan 125 wanita pekerja seks. Penelitian ini menggunakan tiga instrumen yakni : safe sexual behavior questionaire (SSBQ), condom influence strategy questionaire (CISQ) dan the alcohol use disorders identification test (AUDIT).

Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara negosiasi penggunaan kondom dan perilaku seksual berisiko (p-value : 0,003) dan konsumsi alkohol dengan perilaku seksual berisiko (p value : 0,037).

Kesimpulan: Negosiasi penggunaan kondom dan konsumsi alkohol  berdampak  pada perilaku seksual berisiko HIV.  Upaya untuk meningkatkan  kemampuan negosiasi penggunaan kondom melalui pelatihan komunikasi efektif  dengan melibatkan teman sebaya perlu ditingkatkan. Intervensi untuk menurunkan konsumsi alkohol juga diperlukan.

Kata kunci: konsumsi alkohol, negosiasi penggunaan kondom, perilaku seksual berisiko, wanita pekerja seks


Abstract

Background : Female sex worker is one of the key populations of transmission human immunodeficiency virus (HIV) through sexual intercourse. One of the factors that make sex workers as the key population of HIV transmission is risky sexual behavior. Risky sexual behavior in female sex workers is influenced by several factors including negotiation of condom use and alcohol consumption.

Objective : The study aimed to determine the relationship between condom negotiation, alcohol comsumption and HIV risk sexual behavior among female sex worker in Kupang .

Method : Cross-sectional was used in this study. Purposive sampling technique involving 125 female sex workers. This study utilized theree instruments: safe sexual behavior questionaire (SSBQ), condom influence strategy questionaire (CISQ) and the alcohol use disorders identification test (AUDIT).

Results : There was a significant relationship between condom negotiation and risky sexual behavior (p-value : 0,003) and alcohol use and risky sexual behavior (p-value : 0,037).

Conclusion : Negotiation of condom use and alcohol consumption affect to HIV risk sexual behavior. Efforts to improve the ability to negotiate condom use through effective communication training involving peers need to be improved. Interventions to reduce alcohol consumption are also needed

Keywords: alcohol consumption, condom negotiation, female sex worker, risky sexual behavior

"
2019
T53070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>